Tinta Media - "Bagaimana kabarnya Alp Arslan?" tanya Mak Wo kepada Bunda Hanania yang sedang berbelanja di warungnya.
"Ya, masih seperti itu, Mak Wo. Aku bingung, apa yang harus aku lakukan? Mulai obat tradisional, diurut, konsultasi ke dokter spesialis, konsumsi obat dan diuap, semua sudah diusahakan. Tapi belum ada tanda-tanda membaik. Bahkan sekarang air kencingnya sangat sedikit dan warnanya kemerahan," celoteh wanita itu panjang lebar kepada Mak Wo.
Memang, antara Bunda Hanania dan Mak Wo sudah terbiasa saling bercerita dan berbagi pengalaman. Mak Wo adalah warung langganan tempat Bunda Hanania belanja dari tahun 2008, sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di tanah Batam. Karena kedekatannya, mereka berdua seperti saudara. Meskipun keduanya berbeda keyakinan. Dan mereka paham betul batasan sampai di mana mereka boleh berinteraksi.
"Aku tadi juga baru pulang, Bun," Mak Wo melanjutkan ceritanya.
"Darimana, Mak Wo?" Sahutnya spontan.
"Dari Rumah Sakit Embung Fatimah. Ponakanku sudah sepuluh hari koma di ICU," ceritanya dengan guratan penuh kegelisahan.
"Sakit apa? Umur berapa?" Tanya wanita yang kini telah berusia empat puluh tahun itu. Tidak lain adalah Bunda Hanania. Sebagai seorang ibu dengan lima anak, yang keempat anaknya sedang sakit, diselimuti rasa penasaran.
"Awalnya kata mamaknya sering batuk-batuk, sempat mencret, jadi kekurangan cairan. Paru-parunya penuh kuman. Umur 9 bulan," jawab Mak Wo dengan wajah hampa.
Bibirnya seketika mendadak kelu. Aliran darahnya seakan terhenti. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Terbayang wajah mungil calon mujahid yang kini berusia enam bulan, yang bernama Beyazid Alp Arslan Ahmad, dengan panggilan kesayangan Alp Arslan Bey, mengalami gejala serupa. Seribu satu perasaan menggelayut dalam angan. Tersirat perasaan takut akan kehilangan.
Tanpa basa-basi langsung ia gandeng kedua anaknya yang masih balita (Ning Lubna dan Mas Haris) untuk segera pulang. Tanpa disadari buliran bening itu telah membasahi pipinya yang sudah mulai tampak garis halus. Beberapa pertanyaan dan ocehan bocah-bocah yang ada dalam boncengan nyaris terabaikan.
Wajar, sebagai sosok yang pernah mengandung dan melahirkan serta membersamai setiap hembusan nafasnya pasti tersayat saat keempat buah hatinya menderita sakit. Terlebih lagi kondisi Alp yang sepertinya membutuhkan penanganan serius.
"Mengapa aku harus menangis? Apa karena aku terlalu mencintai dunia dan anakku dibandingkan dengan Allah SWT? Sehingga aku tak sanggup jika harus ditinggalkan? Bukankah mereka (anak-anak) ini awalnya juga tidak ada? Bukankah kita ini seperti tukang parkir? Anak-anak dan harta yang kita miliki hanyalah titipan. Sewaktu-waktu pasti akan diambil kembali oleh pemiliknya?" hatinya terus bermonolog sepanjang perjalanan menuju pulang.
Keesokan harinya. Sinar mentari mulai menembus celah-celah ruangan. Hati dan pikiran Bunda Hanania masih diselimuti kegalauan.
"Jadi bagaimana rencana kita hari ini, Bun?" suara lembut dan tenang keluar dari lisan Riyan, yang tidak lain adalah suami Bunda Hanania, Ayah Alp Arslan. Sosok suami yang selalu terlihat tenang dan sabar dalam menghadapi segala cobaan.
"Ayah bisa get pass, kan? Pokoknya hari ini kita bawa Alp Arslan ke Dokter Oscar lagi," suara wanita itu seakan tak sabar untuk segera berjumpa dengan dokter yang biasa menangani anak-anaknya saat sakit.
Bayi mungil itu masih berada di pangkuannya. Batuk yang tak ada henti-hentinya. Sesekali muntah disertai lendir yang begitu pekat. Bunda Hanania mengambil benda berbentuk balok yang tak jauh dari jangkauan tempat duduknya. Diambilnya selembar demi selembar tisu untuk membersihkan lendir yang tersangkut dalam mulut dan hidung Alp Arslan.
Kesibukannya mengurus bayi dan kedua balita itu, tanpa disadari dua jam telah berlalu. Tak lama kemudian sosok lelaki berkulit putih, dengan rambut ikal itu telah tiba kembali di rumah untuk mengantarkan istri dan malaikat kecilnya yang sedang sakit.
Perjalanan dengan mengendarai beat warna hitam, memakan waktu sekitar setengah jam untuk menuju ke tempat praktik dr. Oscar, Sp.A. Selanjutnya diserahkannya kartu warna biru atas nama Beyazid Alp Arslan Ahmad diberikan ke bagian admin. Proses pendaftaran selesai, sambil menunggu antrian, bayi mungil itu ditimbang dan di time terlebih dahulu. Setelah giliran tiba, masuklah Bunda Hanania dalam ruangan ditemani suami tercintanya.
"Ada BPJS?" tanya seorang dokter spesialis anak dalam ruangan pemeriksaan.
Bunda Hanania dan suaminya saling berpandangan. Sepertinya bayi mungil itu membutuhkan penanganan lebih. Lendir yang bertumpuk mengharuskan diuap tiga sampai empat kali dalam sehari. Dan biayanya cukup mahal.
"Punya alatnya di rumah? Kalau ada, biar saya kasih resep untuk obat uapnya," ucap dr. Oscar menjelaskan.
Tanpa berpikir panjang, Bunda Hanania dan Riyan menyetujui tawaran dokter. Karena jika harus rawat inap, banyak hal yang harus dipertimbangkan. Selain di luar tanggungan BPJS juga harus meninggalkan balita di rumah yang tidak akan mau dengan orang yang tidak mereka kenal dan tidak dekat dengan mereka.
Ia juga teringat Ummu Taqiyyah, kawan satu kantor saat masih menjadi staf pengajar di Hidayatullah Boarding School, pernah menawarkan alat uap jika membutuhkan.
Kemudian diambilnya gawai yang ada di dalam tas rangsel warna putih itu. Di carinya nama Hasna.
"Halo, Assalamu'alaikum," jawaban dari seberang yang tidak lain adalah Ummu Taqiyyah. Wanita yang berparas manis dari suku Batak, berkarakter lemah lembut, sosok yang dibina oleh Bunda Hanania sejak kajian umum sekitar 5 atau enam tahun yang lalu. Sampai saat ini tetap menjadi teman, sahabat dan saudara saat suka maupun duka.
"Wa'alaikumussalam, Hasna... Dirimu ada alat uap kan ya? Bolehkah aku meminjamnya? Alp harus diuap tiap hari. Untuk membantu mengencerkan lendir yang bertumpuk," kata Bunda Hanania melalui sambungan telepon WhatsApp.
"Boleh lah Buk. Masak gak boleh. Sini lah!" Sambut Hasna, nama asli Ummu Taqiyyah dengan ramah.
Konsultasi dengan dokter selesai, pengambilan obat juga sudah selesai, kemudian suami istri tersebut menuju rumah Ummu Taqiyyah untuk menjemput alat uap.
"Andaikan bisa dipindahkan, biarlah Bunda yang merasakan sakit ini, Nak," ucapnya lirih kepada bayi mungil yang ada dalam buaian nya.
"Yang sabar, Bun! Tidak tega memang. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa selain mengusahakan sebatas kemampuan kita," kata Riyan dengan lembut sambil mengendarai motor, sesekali menoleh ke sosok wanita yang dinikahinya 16 tahun yang lalu.
Ucapan suaminya memang tidak menyelesaikan persoalan. Namun sedikit bisa menenangkan. Walaupun berat, dalam diamnya, Bunda Hanania terus meyakinkan diri, menguatkan hati dan meneguhkan jiwanya. Bahwa segala sesuatu yang menimpa buah hatinya, adalah bentuk kasih sayang Allah kepada diri dan keluarganya. Pasti akan ada hikmah kebaikan yang Allah rencanakan untuknya. Karena segala sesuatu yang terjadi, termasuk musibah adalah maha baiknya Allah SWT terhadap hambaNya. Jika mampu melalui dengan sabar dan ikhlas insyaallah ada jaminan dosa-dosa kita diampuni dan diganti dengan pahala yang besar.
من يردالله به خيرا يصب منه
Artinya: " Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan mengujinya dengan musibah". (HR. Bukhari 5645)
Oleh : L. Nur Salamah
Sahabat Feature News