Harga Pertamax, Bahan Pangan, dan PPN Naik Bersama, Rakyat Semakin Menderita
Tinta Media - Kenaikan harga Pertamax di tengah perekonomian masyarakat yang mulai membaik usai didera Covid-19 bagai palu godam yang meluluhlantakkan kembali.
Kenaikan harga Pertamax dari Rp9.000 menjadi Rp12.500 per liter pun menggerus daya beli masyarakat. Akibatnya, kini sebagian pengguna kendaraan bermotor beralih ke Pertalite untuk mengisi bahan bakar.
Hal itu membuat antrean Pertalite di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) menjadi lebih panjang dari sebelumnya. Pemilik kendaraan bermotor dengan keuangan pas-pasan terpaksa harus bersabar mengantre panjang agar mendapat bahan bakar yang tidak memberatkan kondisi keuangan mereka.
Jika Pertalite makin langka di pasaran, masyarakat terpaksa harus membeli Pertamax yang harganya lebih mahal. Dapat dipastikan, setiap kali harga Pertamax naik, beban rakyat pun semakin berat, apalagi di tengah harga kebutuhan pokok lainnya yang terus meningkat.
PT Pertamina Patra Niaga mengatakan bahwa kenaikan Pertamax dipicu harga minyak dunia yang melambung sehingga mendorong harga minyak mentah Indonesia mencapai US$114,55 (Rp1,64 juta) per barel pada 24/3/2022.
Kondisi ini dapat menekan keuangan Pertamina sehingga penyesuaian harga BBM nonsubsidi tidak dapat terelakkan. Kenaikan harga Pertamax yang ditetapkan saat ini masih disebut lebih rendah jika dibanding harga seharusnya yang dapat mencapai Rp16.000/liter.
Dalih naiknya minyak mentah dunia yang berakibat pada kenaikan harga BBM nonsubsidi ini nyatanya menuai kritik keras dari banyak pihak. Kenaikan harga tersebut membuktikan bahwa pemerintah tak mampu mengantisipasi kenaikan harga minyak mentah dunia.
Daya Beli Masyarakat Menurun
Pertimbangan Pertamina ini nyatanya tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Kenaikan harga Pertamax cukup riskan, karena momentumnya bersamaan dengan kenaikan harga pangan dan PPN. Situasi ini jelas memukul masyarakat dan menurunkan daya beli mereka.
Salah satu efek domino yang timbul akibat kenaikan harga Pertamax adalah langkanya Pertalite yang mulai terasa. Terbukti, SPBU di beberapa wilayah mengalami kekosongan Pertalite. Kalau sudah begini, dampak ekonominya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah akan semakin terasa.
Jika Pertalite makin langka di pasaran, mau tidak mau masyarakat harus membeli Pertamax yang harganya lebih mahal. Dapat dipastikan, setiap kali harga Pertamax naik, beban rakyat pun semakin berat, apalagi di tengah harga kebutuhan pokok lainnya yang makin meningkat.
Politik Energi Rezim Neoliberal
Berulangkali rezim ini mengeluh bahwa APBN terbebani subsidi BBM. Pemerintah merasa berat, sehingga meminta rakyat berempati, mau paham, dan ikhlas jika BBM dinaikan. Akan tetapi, rezim tidak memahami bahwa beban hidup masyarakat sudah begitu berat. Bahkan, saat pandemi, banyak terjadi kasus bunuh diri karena khawatir dengan kehidupannya.
Rezim meminta agar rakyat bersedia menerima kenaikan BBM, tetapi rakyat menolak. Kini, rezim memutar otak, memaksa rakyat mengonsumsi Pertamax dengan modus aplikasi dan bar code. Mereka tega mempersulit rakyat, demi merogoh kocek lebih besar. Rakyat terpaksa membeli pertamax yang sudah lebih dulu dinaikan, dengan modus mempersulit beli pertalite.
Bukan hanya dipaksa belanja pertamax, tetapi rakyat pun dipaksa memanggul beban lebih berat karena harus menanggung beban kenaikan harga kebutuhan pokok akibat naiknya biaya transportasi.
BBM merupakan barang primer, hak semua rakyat. Dulu saat minyak mentah dunia turun sampai US$20 per barel, rakyat tidak pernah mendapat harga BBM murah. Akan tetapi kini, dengan dalih harga minyak dunia naik, BBM juga mau dinaikan.
Meningkatnya harga BBM secara terus-menerus, tidak lepas dari buruknya tata kelola dan politik energi rezim neoliberal yang ditopang sistem sekuler. Sistem ini hanya memosisikan negara sekadar sebagai penjaga dari kegagalan pasar.
Akibatnya, semua hajat hidup rakyat, termasuk BBM, dikelola dalam kacamata bisnis dengan menyerahkannya pada mekanisme pasar, sebagaimana dikukuhkan dalam UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Nyatanya, sebagian besar ladang minyak bumi malah dikelola oleh pihak asing.
Dengan demikian, dari pernyataan itu, dapat kita pahami bahwa mahal dan meningkatnya harga BBM bukan karena Indonesia kekurangan sumber daya minyak, tetapi terletak pada visi rezim dan tata kelola minyak yang kapitalistik.
Tata Kelola Minyak Sesuai Syariat
Dalam pandangan Islam, sumber daya alam yang jumlahnya besar, seperti minyak bumi, merupakan harta milik umum. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim bersekutu dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Daud)
Pengelolaannya pun wajib dilakukan secara langsung oleh Khalifah selaku kepala negara yang berfungsi sebagai pelindung dan pelayan masyarakat. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Al-Imam (Khalifah) itu perisai, orang-orang berlindung di belakangnya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud)
Pengelolaan minyak bumi wajib dilakukan oleh negara secara mandiri, dan mendistribusikannya secara adil ke tengah masyarakat. Negara hadir untuk melindungi kepentingan umat dengan tidak mengambil keuntungan, kecuali dengan biaya produksi yang layak. Kalaupun negara mengambil keuntungan, hasilnya harus dikembalikan lagi ke rakyat dalam berbagai bentuk.
Dengan demikian, pemerintah tidak boleh menyerahkan pengelolaan minyak bumi kepada swasta, apalagi pihak asing. Harga BBM dapat dipastikan murah (bahkan gratis) dan mudah diakses oleh seluruh rakyat. Hasil pengelolaannya dapat diberikan juga dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan, ataupun kebutuhan publik lainnya secara gratis.
Sistem Islam akan melahirkan para pemimpin yang bertakwa, yaitu mereka yang menjadikan kepemimpinan sebagai sebuah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt.
Wallahu a'lam bishawab.
Oleh: Willy Waliah
Sahabat Tinta Media