Tinta Media: PPN
Tampilkan postingan dengan label PPN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PPN. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 Juli 2022

Harga Pertamax, Bahan Pangan, dan PPN Naik Bersama, Rakyat Semakin Menderita

Tinta Media - Kenaikan harga Pertamax di tengah perekonomian masyarakat yang mulai membaik usai didera Covid-19 bagai palu godam yang meluluhlantakkan kembali. 

Kenaikan harga Pertamax dari Rp9.000 menjadi Rp12.500 per liter pun menggerus daya beli masyarakat. Akibatnya, kini sebagian pengguna kendaraan bermotor beralih ke Pertalite untuk mengisi bahan bakar.

Hal itu membuat antrean Pertalite di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) menjadi lebih panjang dari sebelumnya. Pemilik kendaraan bermotor dengan keuangan pas-pasan terpaksa harus bersabar mengantre panjang agar mendapat bahan bakar yang tidak memberatkan kondisi keuangan mereka.

Jika Pertalite makin langka di pasaran, masyarakat terpaksa harus membeli Pertamax yang harganya lebih mahal. Dapat dipastikan, setiap kali harga Pertamax naik, beban rakyat pun semakin berat, apalagi di tengah harga kebutuhan pokok lainnya yang terus meningkat.

PT Pertamina Patra Niaga mengatakan bahwa kenaikan Pertamax dipicu harga minyak dunia yang melambung sehingga mendorong harga minyak mentah Indonesia mencapai US$114,55 (Rp1,64 juta) per barel pada 24/3/2022.

Kondisi ini dapat menekan keuangan Pertamina sehingga penyesuaian harga BBM nonsubsidi tidak dapat terelakkan. Kenaikan harga Pertamax yang ditetapkan saat ini masih disebut lebih rendah jika dibanding harga seharusnya yang dapat mencapai Rp16.000/liter.

Dalih naiknya minyak mentah dunia yang berakibat pada kenaikan harga BBM nonsubsidi ini nyatanya menuai kritik keras dari banyak pihak. Kenaikan harga tersebut membuktikan bahwa pemerintah tak mampu mengantisipasi kenaikan harga minyak mentah dunia.

Daya Beli Masyarakat Menurun

Pertimbangan Pertamina ini nyatanya tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Kenaikan harga Pertamax cukup riskan, karena momentumnya bersamaan dengan kenaikan harga pangan dan PPN. Situasi ini jelas memukul masyarakat dan menurunkan daya beli mereka.

Salah satu efek domino yang timbul akibat kenaikan harga Pertamax adalah langkanya Pertalite yang mulai terasa. Terbukti, SPBU di beberapa wilayah mengalami kekosongan Pertalite. Kalau sudah begini, dampak ekonominya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah akan semakin terasa.

Jika Pertalite makin langka di pasaran, mau tidak mau masyarakat harus membeli Pertamax yang harganya lebih mahal. Dapat dipastikan, setiap kali harga Pertamax naik, beban rakyat pun semakin berat, apalagi di tengah harga kebutuhan pokok lainnya yang makin meningkat.

Politik Energi Rezim Neoliberal

Berulangkali rezim ini mengeluh bahwa APBN terbebani subsidi BBM. Pemerintah merasa berat, sehingga meminta rakyat berempati, mau paham, dan ikhlas jika BBM dinaikan. Akan tetapi, rezim tidak memahami bahwa beban hidup masyarakat sudah begitu berat. Bahkan, saat pandemi, banyak terjadi kasus bunuh diri karena khawatir dengan kehidupannya.

Rezim meminta agar rakyat bersedia menerima kenaikan BBM, tetapi rakyat menolak. Kini, rezim memutar otak, memaksa rakyat mengonsumsi Pertamax dengan modus aplikasi dan bar code. Mereka tega mempersulit rakyat, demi merogoh kocek lebih besar. Rakyat terpaksa membeli pertamax yang sudah lebih dulu dinaikan, dengan modus mempersulit beli pertalite.

Bukan hanya dipaksa belanja pertamax, tetapi rakyat pun dipaksa memanggul beban lebih berat karena harus menanggung beban kenaikan harga kebutuhan pokok akibat naiknya biaya transportasi.

BBM merupakan barang primer, hak semua rakyat. Dulu saat minyak mentah dunia turun sampai US$20 per barel, rakyat tidak pernah mendapat harga BBM murah. Akan tetapi kini, dengan dalih harga minyak dunia naik, BBM juga mau dinaikan.

Meningkatnya harga BBM secara terus-menerus, tidak lepas dari buruknya tata kelola dan politik energi rezim neoliberal yang ditopang sistem sekuler. Sistem ini hanya memosisikan negara sekadar sebagai penjaga dari kegagalan pasar.

Akibatnya, semua hajat hidup rakyat, termasuk BBM, dikelola dalam kacamata bisnis dengan menyerahkannya pada mekanisme pasar, sebagaimana dikukuhkan dalam UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Nyatanya, sebagian besar ladang minyak bumi malah dikelola oleh pihak asing.

Dengan demikian, dari pernyataan itu, dapat kita pahami bahwa mahal dan meningkatnya harga BBM bukan karena Indonesia kekurangan sumber daya minyak, tetapi terletak pada visi rezim dan tata kelola minyak yang kapitalistik.

Tata Kelola Minyak Sesuai Syariat

Dalam pandangan Islam, sumber daya alam yang jumlahnya besar, seperti minyak bumi, merupakan harta milik umum. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim bersekutu dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Daud)

Pengelolaannya pun wajib dilakukan secara langsung oleh Khalifah selaku kepala negara yang berfungsi sebagai pelindung dan pelayan masyarakat. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Al-Imam (Khalifah) itu perisai, orang-orang berlindung di belakangnya.” (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud)

Pengelolaan minyak bumi wajib dilakukan oleh negara secara mandiri, dan mendistribusikannya secara adil ke tengah masyarakat. Negara hadir untuk melindungi kepentingan umat dengan tidak mengambil keuntungan, kecuali dengan biaya produksi yang layak. Kalaupun negara mengambil keuntungan, hasilnya harus dikembalikan lagi ke rakyat dalam berbagai bentuk.

Dengan demikian, pemerintah tidak boleh menyerahkan pengelolaan minyak bumi kepada swasta, apalagi pihak asing. Harga BBM dapat dipastikan murah (bahkan gratis) dan mudah diakses oleh seluruh rakyat. Hasil pengelolaannya dapat diberikan juga dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan, ataupun kebutuhan publik lainnya secara gratis. 

Sistem Islam akan melahirkan para pemimpin yang bertakwa, yaitu mereka yang menjadikan kepemimpinan sebagai sebuah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. 

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Willy Waliah
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 09 April 2022

Semakin Sengsara dengan Lonjakan PPN

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1yPTSd-ZDifyK_ettH_VoW0N1qzyLA_82

Tinta Media - Sebagaimana dilansir dari CNB Indonesia, Jum'at (25/03/2022), bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan diberlakukan pada 1 April 2022. Kebijakan yang diputuskan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut tidak akan ditunda meski banyak penolakan. Sementara itu di satu sisi, pajak penghasilan badan diturunkan.

Bukanlah suatu hal yang mengherankan jika kebijakan kontroversial ini mendapat resistensi besar dari masyarakat. Penolakan tersebut karena tidak ada unsur keadilan yang selama ini selalu didengung-dengungkan Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beserta jajarannya.

Aroma ketidakadilan tersebut antara lain terasa ketika Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dikenakan pada konsumen akhir dalam hal ini rakyat jelata naik menjadi 11% dari sebelumnya 10%. Namun, di saat yang sama pajak penghasilan (PPH) yang dikenakan kepada perusahaan diturunkan dari 25% menjadi 22%. Bahkan sebelumnya sempat direncanakan 20%, tetapi akhirnya di batalkan.

Indonesia menjadi bagian dari Presidensi G20 mulai sejak 1/12/2021 hingga 30/10/2022. Pajak juga menjadi momentum bahwa Presidensi G20 seolah perlu dioptimalkan agar posisi Indonesia dalam kerja sama perdagangan dan investasi bisa lebih memiliki magnet yang lebih.

Setelah pandemi Covid-19, negara anggota G20 sepakat melakukan perombakan ulang mekanisme fiskal dan moneter. Akan tetapi, Indonesia sebagai negara berkembang seharusnya sadar diri agar efek normalisasi ini tidak merugikan rakyat.

Alasan pemerintah tentang perbandingan dengan negara tetangga maupun negara G20, memang jika dibandingkan dengan negara G20, tarif PPN Indonesia lebih rendah
Namun, seharusnya juga dilihat dari pendapatan negara tersebut. Pendapatan masyarakat Indonesia belum cukup tinggi dibandingkan dengan negara Amerika Serikat (AS) atau negara-negara maju lainnya di G20. Dengan Malaysia saja bahkan tidak bisa dibandingkan, masih tertinggal.

Kebijakan pemerintah dengan paradigma kapitalis liberal jelas selalu berpihak pada para kapital. Pemalakan harta rakyat dengan legalitas pajak dianggap sebagai bentuk kewajiban dan ketaatan warga kepada pemerintah.

Rakyat yang menjadi wajib pajak dituntut untuk membayar pajak tepat waktu. Jika terlambat, maka akan terhitung utang dan dikenakan denda. Selain itu. pajak juga dipungut tanpa ada batas waktu.

Hal tersebut jelas merupakan pungutan yang batil dan pasti bertentangan dengan Islam.

Negara dengan sistem kapitalis memang menjadikan pajak yang zalim sebagai sumber tetap pemasukan negara.

Ini berbeda dengan Syariah Islam. Sumber tetap pemasukan negara berasal dari harta _fa’i, jizyah, kharaj,_ seperlima harta _rikaz_ dan _zakat._ Seluruh pemasukan ini dipungut secara tetap, baik diperlukan atau tidak. Selain itu, terdapat sumber pendapatan lain yang disimpan di _Baitul Maal_, yaitu dari harta kepemilikan umum atau kepemilikan negara.

Anggaran pendapatan tersebut akan disimpan di _Baitul Maal._ Adapun pengelolaannya, diserahkan kepada orang-orang yang amanah, maka sedikit kemungkinan terjadi manipulasi.

Dengan seluruh sumber pendapatan tersebut dan pengelolaan yang baik, maka negara mampu menyejahterakan dan membiayai keperluan rakyat.

Jika pemasukan masih tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, maka negara akan memberlakukan pemungutan pajak. Namun, ini hanya diberlakukan sewaktu-waktu dan hanya dibebankan pada kaum muslimin yang memiliki kekayaan banyak.

Akan tetapi, jika pemasukan negara yang bersifat tetap tersebut sudah memenuhi kebutuhan pembiayaan negara, maka pajak tidak akan dipungut. Dengan demikian, pajak dalam sistem Islam bukan menjadi sumber penerimaan utama kas negara yang menjadi beban rakyat.

Pajak dalam syariat Islam adalah pungutan sementara yang dilakukan oleh negara ketika kas _baitul maal_ mengalami kekosongan atau kekurangan. Dengan begitu, kebijakan pendapatan negara tidak akan membebani rakyat.

Pajak bersifat mendadak. Pajak hanya ditarik saat _Baitul Maal_ kosong, sedangkan ada kewajiban negara yang harus terpenuhi. Peruntukannya juga hanya untuk kalangan tertentu, yakni _aghniya_ atau orang yang memiliki kelebihan harta.

Tidak semua rakyat dikenakan pajak. Pajak juga tidak diambil secara terus-menerus. Ketika kebutuhan negara  terpenuhi, penarikan pajak pun  akan dihentikan.

Apabila seluruh aspek perekonomian negara berjalan di atas pondasi sistem ekonomi Islam, mekanisme pajak tidaklah akan membebani rakyat seperti saat ini. Negara akan menjalankan fungsinya sebagai pelayan umat sehingga motif utama negara adalah mengupayakan agar hajat hidup umat terpenuhi.

Ini semua tidak akan terwujud kecuali dengan sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh, sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi Muhammad saw. dan dilanjutkan oleh para sahabat dan generasi kaum muslimin terdahulu.

Wallahu ta'ala a'lam

Oleh: Fastaghfiru Ilallah
Sahabat Tinta Media

Kamis, 31 Maret 2022

Pengamat: Kenaikan PPN Akan Menambah Beban Berat Pemulihan Ekonomi

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1I5QyP1JngoLpL_WKSR7UuIPeTb5dCHfC

Tinta Media - Rencana Pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1 % pada 1 April mendatang ditanggapi oleh Pengamat  Ekonomi Dr. Arim Nasimbahwa kenaikan PPN akan menambah beban berat pemulihan ekonomi.

 “Sekecil apa pun kenaikan PPN, dalam kondisi ekonomi yang sekarang masih belum pulih akibat   krisis global juga krisis yang disebabkan oleh pandemi  Covid-19 maka akan menambah beban  berat untuk pemulihan ekonomi,” tuturnya dalam acara Kabar Petang : PPN Naik, Ekonomi Terpukul? Sabtu (26/3/2022) melalui kanal Youtube Khilafah News.

Arim memberi alasan bahwa kenaikan PPN akan diikuti kenaikan harga-harga barang. Kenaikan  harga-harga barang akan berpengaruh pada inflasi. Kenaikan harga barang otomatis menurunkan daya beli.

“Ketika daya beli  menurun maka proses produksi  juga akan terganggu, karena barang-barang yang dihasilkan oleh perusahaan  tidak terserap dengan baik. Kalau ini  terjadi  pengangguran yang sudah bertambah akibat Covid-19 bisa jadi bertambah lagi,” ungkapnya.

Menurut Arim, ketika daya serap produksi menurun, kemudian harga barang-barang naik akan membuat dunia usaha yang masih terpapah-papah  menuju pemulihan karena Covid, akan kembali mendapatkan hantaman, karena daya beli masyarakat  turun.

Turunnya daya beli masyarakat tadi, menurutnya bukan hanya disebabkan oleh kenaikan PPN tapi kenaikan harga yang lain. “Kenaikan tempe tahu saja membuat  produsen kecil usaha tahu tempe ini mulai banyak yang bangkrut. Belum  sektor-sektor lain yang juga terpengaruh dengan daya beli masyarakat yang turun.  Bukan hanya daya beli masyarakat yang turun tapi ada yang  sama sekali tidak memiliki daya beli, yaitu mereka yang kena PHK atau pengangguran” tuturnya.

“Bahkan kalau kita lihat  salah satu kasus yang kemarin  heboh yaitu penggorokan seorang ibu terhadap 3 anaknya itu kan saya kira  juga salah satu penyebabnya walaupun bukan faktor utama itu adalah karena mungkin juga  kondisi ekonomi yang terjadi,” imbuhnya.

Menurut Arim, dalam kondisi seperti ini yang harus dilakukan pemerintah adalah kalau tidak bisa menghapus pajak, seharusnya menurunkan  bukan menaikkan. Karena pajak adalah beban bagi masyarakat.  

“Walaupun memang kalau kita bicara sistem ekonomi kapitalis pajak ini kan menjadi tumpuan harapan dari pendapatan negara,” sambungnya.

 Arim menilai, ketika pemerintah menaikkan PPN , diperkirakan  kenaikan  pendapatan pajak hanya 40 triliun. Angka yang  tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan  dampak yang akan dihasilkan nya yaitu  inflasi dan menurunnya daya beli masyarakat.

Zalim

Menurutnya,  seharusnya pemerintah bukan hanya menaikkan pajak dan menaikkan hutang, tapi mencari sumber pendapatan lain.

“Untuk menambah pendapatan, negara  bisa  melakukan penghematan.  Salah satunya memangkas  proyek-proyek yang tidak layak dan belum waktunya. Dengan membatalkan proyek IKN misalnya anggaran bisa dihemat. Saya kira  menaikkan pajak saat ini  sangat tidak tepat momentumnya. Kalau kita bicara dari aspek ekonomi kapitalis pun itu sudah enggak tepat.  Apa lagi kalau kita melihat dalam perspektif Islam tentu lebih lagi bukan hanya tidak tepat, tapi itu sebuah kebijakan yang keliru ketika menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan,” tegasnya.  

Sayangnya, sesal Arim, Justru 80 % pendapatan APBN  justru diambil dari pajak. “Ini sebuah kezaliman,” tandasnya.

Kezaliman itu menurut Arim bisa dilihat dari tiga aspek.

Pertama dari sumbernya. “Sumber pendapatan APBN mengandalkan sebagian besar dari pajak sementara sumber daya alam Indonesia itu sangat melimpah seharusnya  menjadi alternatif untuk mendapatkan pendapatan negara,” jelasnya.

 “Tapi negara malah membiarkan pengelolaan sumber daya alam ini kepada kapitalis swasta lokal maupun asing. Memberikan royalty 0% kepada para pengusaha batubara. Ini  jelas kezaliman,” geramnya.  

Kedua, dari sisi alokasi APBN. Hampir 25 % alokasi APBN untuk membayar bunga utang. Ketiga, alokasi APBN untuk menutupi proyek-proyek infrastruktur yang tidak dipenuhi swasta. Misal proyek kereta api cepat, proyek IKN. Lagi-lagi yang menikmati infrastruktur itu para kapitalis, bukan rakyat.

“Ini semakin mengokohkan bahwa APBN kita itu memang APBN yang pro kapitalis. Sebagian besar alokasi pembiayaan itu memang untuk memenuhi kepentingan para kapitalis,” bebernya.

Arim lalu memberikan solusi untuk keluar dari kezaliman ini yaitu dengan membongkar paradigma anggaran berbasis ekonomi kapitalis diganti dengan paradigma anggaran berbasis Islam.   

“Paradigmanya harus  dikembalikan sesuai dengan paradigma dalam sistem ekonomi Islam dalam pengelolaan keuangan negara atau pendapatan negara,”tuturnya.

Menurutnya, sumber utama APBN dalam sistem ekonomi Islam itu diantaranya adalah  bertumpu kepada pengelolaan sumber daya alammilik umum.  Barang tambang, mineral, migas dan yang lainnya termasuk juga laut dan hutan.  Dari situ sebenarnya kalau dikelola secara profesional sesuai dengan syariat itu lebih dari cukup untuk menjadi sumber pendapatan APBN.

“APBN berbasis syariah ini harus didukung dengan institusi politik. Politik dan ekonomi itu tidak bisa dipisahkan. Dua agenda ini (politik dan ekonomi)  harus segera  kita wujudkan agar  terbebas dari APBN yang menyengsarakan dan menzalimi rakyat menuju APBN yang barokah dan mensejahterakan umat manusia. Bukan muslim saja  tapi juga non muslim.  Dan itu adalah APBN yang berbasis Syariah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab