Tinta Media: PPDB
Tampilkan postingan dengan label PPDB. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PPDB. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Agustus 2024

Kisruh PPDB Masih Berlanjut, Kapan Berakhir?

Tinta Media - Kecurangan pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru atau PPDB di berbagai daerah terus berulang. Ada dugaan kecurangan dalam proses PPDB sebagaimana peristiwa tahun-tahun sebelumnya. 

Anggota Ombudsman RI Indraza Marzuki Rais mengatakan bahwa terdapat persoalan-persoalan menonjol yang ditemukan dalam pelaksanaan PPDB di sejumlah wilayah tanah air, mulai dari penyalahgunaan jalur afirmasi, menambah jumlah SMA 'fiktif', penambahan rombongan belajar, bahkan gratifikasi dan pungli untuk jaminan penerimaan siswa. Pungli dengan modus pendaftaran/administrasi dan pembelian seragam/buku, dan jual beli kursi dengan menambah jumlah kuota. Namun, dengan temuan Ombudsman ini belum terlihat rencana pemerintah untuk mengubah sistem PPDB yang lebih berkeadilan bagi semua. 

Bahkan, pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SMAN 1 Majalaya, Kabupaten Bandung pun diduga terjadi kecurangan. Hal itu terendus saat puluhan warga terdekat mengeluhkan bahwa sebanyak 18 calon siswa dari Desa Panyadap, Kecamatan Solokanjeruk tidak masuk ke sekolah tersebut karena gagal masuk melalui jalur zonasi, padahal calon peserta didik tersebut berjarak dekat dan memenuhi syarat administrasi. Yang lebih mencengangkan, ternyata jual beli kursi saat PPDB ini terjadi bahkan di hampir semua sekolah negeri yang ada di tanah air, sehingga PPDB zonasi ini menjadi kisruh. 

Namun, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) RI Muhadjir Effendy menegaskan bahwa kecurangan yang muncul dalam pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) sistem zonasi bukan karena kesalahan sistemnya, tetapi karena tidak adanya pengawasan. 

Maraknya kecurangan tersebut menjadikan banyak peserta didik tidak dapat terpenuhi hak pendidikannya, padahal sudah terpenuhi syarat sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini merupakan pelanggaran yang harusnya serius dalam penanganannya. Jika tidak, akan berefek kepada kualitas generasi negeri ini di masa depan yang akan menentukan kualitas negara ini, karena sebuah negara dikategorikan maju atau terbelakang ditentukan oleh kualitas pendidikannya. 

Jika akses dalam mendapatkan pelayanan pendidikan sulit dan tidak memadai, seperti yang terjadi di negeri ini, maka wajar jika negeri ini akan menjadi negara yang terbelakang di masa yang akan datang. Sulitnya mencari sekolah berkualitas yang murah dan terjangkau masyarakat luas di negeri ini sudah lama terjadi sebelum sistem zonasi itu diterapkan.

Penerapan sistem zonasi konon dalam rangka memperbaiki penyebaran siswa agar lebih terwujud pemerataan pendidikan, tetapi nyatanya tidak terwujud. Ini karena sistem tersebut tidak ditopang oleh asas pendidikan yang kokoh dan SDM penyelenggara pendidikan yang bertanggung jawab dan berdedikasi dalam upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan. 

Pada akhirnya, terbuka peluang-peluang untuk terjadinya kecurangan yang akan terus menimbulkan kisruh PPDB. Ini menunjukkan buruknya sistem di negeri ini yang terbukti abai dalam memenuhi kebutuhan pendidikan semua warga. Itulah sistem kapitalisme sekularisme liberalisme.

Sistem tersebut memandang bahwa pendidikan merupakan barang ekonomi yang dapat dikapitalisasi sehingga memberikan keuntungan. Pengelolaan pendidikan bisa diliberalisasi dan bukan layanan yang wajib dipenuhi oleh negara. Lemahnya negara dalam pendanaan di bidang pendidikan, menjadikan munculnya kebijakan privatisasi di bidang pendidikan. 

Artinya, pihak swasta dibebaskan untuk memanfaatkan peluang berbisnis di dunia pendidikan sehingga mendapatkan banyak keuntungan. Alhasil, jika orang tua ingin sekolah yang berkualitas dan berprestasi bagi anaknya, dia akan memasukkan mereka ke sekolah swasta yang notabene biayanya tinggi, yang hanya dapat dinikmati oleh orang-orang kaya.

Adapun rakyat umum yang berekonomi menengah ke bawah, mereka harus berebut bangku di sekolah negeri yang menggunakan sistem zonasi. Ini justru melahirkan masalah-masalah baru, termasuk banyaknya anak bangsa yang tidak dapat mengenyam pendidikan.

Masyarakat malah saling berkompetisi dan tidak sedikit menempuh segala cara untuk memuluskan jalan anaknya bersekolah di sekolah unggulan yang diminati, misalnya dengan beberapa bulan atau setidaknya sebulan menjelang PPDB mengontrak rumah di sekitar wilayah yang dekat sekolah yang diminati atau sekadar nempel di KK yang tempat tinggalnya masuk wilayah zonasi, bahkan merogoh kocek untuk membeli kursi. 

Masalah seperti ini pasti terus berulang karena penerapan sistem kapitalisme melahirkan pendidikan sekuler, yaitu sistem pendidikan yang memisahkan antara agama dan dunia. Tujuan pendidikan yang kapitalistik juga mendorong semua elemen yang terlibat di dalamnya hanya berorientasi pada uang. Tidak mengapa calon siswa menyuap dan curang, yang penting bisa masuk sekolah yang diharapkan.

Islam sebagai sistem hidup yang sempurna telah menetapkan pendidikan sebagai layanan publik yang menjadi hak setiap warga negara dan menjadi kewajiban negara dalam penyelenggaraannya. Atas dasar itu, negara wajib memberikan pelayanan terbaik, sebagaimana yang dicontohkan dalam penerapan syariat Islam kaffah selama kurun lebih 1300 tahun dalam naungan khilafah Islamiyyah. Pendidikan berkualitas di masa tersebut telah menghantarkan peradaban Islam sebagai peradaban yang tinggi dan maju.

Di zaman keemasan Islam, pendidikan yang diselenggarakan sangat berkualitas, tetapi gratis. Kemajuan pendidikan Islam itu telah terbukti menjadi rujukan peradaban lain. 

Tim Wallace-Murphy (2006) menerbitkan buku berjudul What Islam Did for Us: Understanding Islam's Contribution to Western Civilization. (London: Watkins Publishing, 2006). Buku tersebut memaparkan fakta tentang transfer ilmu pengetahuan dari Dunia Islam ke Barat pada Abad Pertengahan.

Selain itu, banyak lahir pula para ilmuwan dan cendekiawan yang menerbitkan banyak karya, seperti Al Khawarizmi_penemu Aljabar, Ibn Al Haitham_Fisikawan Penemu Optik, Ibn Sina_Ilmuwan Bidang Kedokteran, dan masih banyak lainnya penemuan dan karya mereka menjadi rujukan ilmu hingga saat ini.

Padahal, pada saat itu tidak ada pajak dan sumber daya alam melimpah, seperti minyak bumi yang belum ditemukan. Namun, khilafah Islam melakukan pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dan berhasil menjadikan pendidikan di dunia Islam merata dan berkualitas tinggi. 

Setiap orang berhak mengikuti pendidikan secara gratis selama memang memiliki kecerdasan yang diperlukan. Negara juga tidak akan berbagi peran dengan swasta yang mengakibatkan rakyat kesulitan mengakses pendidikan. 

Penerapan sistem ekonomi Islam membuat negara memiliki anggaran yang cukup untuk mendirikan sekolah murah, bahkan gratis dan berkualitas. Dengan akidah Islam sebagai dasarnya, masyarakat pun terikat dengan hukum syariat yang menjadikannya benar dalam menetapkan visi pendidikan bagi anak-anak mereka, bukan semata bagi kepentingan dunia kerja untuk mengatasi kemiskinan sebagaimana sekarang. Sehingga, mereka akan mencari sekolah tanpa harus berbuat curang. Wallahu'alam Bishawwab.

Oleh: Thaqiyunna Dewi, S.I.Kom, Sahabat Tinta Media

Kamis, 04 Juli 2024

Kisruh PPDB Zonasi, Cerminan Rusaknya Sistem Pendidikan Kapitalis



Tinta Media - Memberikan jaminan pendidikan yang layak dan merata untuk masyarakat merupakan salah kewajiban negara, seperti yang tertuang dalam UUD pasal 31 ayat (1) dan (2). Dalam mewujudkan hal tersebut, sudah seharusnya pemerintah menyelenggarakan pendidikan yang bermutu dan membuat mekanisme pelaksanaan pendidikan yang mudah dan praktis, tanpa ada nuansa diskriminasi.

Realitas penyelenggaraan pendidikan di negeri ini berbanding terbalik dengan UUD.  Pemerintah justru terkesan membatasi, bahkan mempersulit akses pendidikan bagi rakyat. Hal tersebut tampak pada pelaksanaan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) sistem zonasi yang telah berlangsung selama tujuh tahun. 

PPDB adalah seleksi yang dikenakan kepada peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya. Sistem zonasi ini telah menuai banyak protes dari masyarakat, khususnya para orang tua dan kepala daerah. Sistem ini juga memunculkan masalah baru dalam dunia pendidikan.

Pada 2023 misalnya, terungkap persoalan manipulasi dokumen kependudukan untuk mengakali seleksi PPDB sistem zonasi. Selain itu, kecurangan banyak terjadi, mulai dari jual-beli bangku sekolah, penyalahgunaan dokumen kependudukan, suap-menyuap, hingga sekolah yang kekurangan calon murid atau bahkan kelebihan calon murid.

Padahal, sistem zonasi ini digadang-gadang dapat memperbaiki penyebaran siswa agar terwujud pemerataan kualitas pendidikan dan sebaran murid di semua sekolah. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api.  

Dari realitas tersebut, tampak jelas karut-marutnya tata kelola penyelenggaraan pendidikan di negeri ini yang diawali oleh sistem zonasi dalam PPDB-nya. 

Pesimistis tampaknya menjadi hal yang lumrah dalam menilai kualitas pendidikan di Indonesia, apalagi ketika outputnya jauh dari target sebuah negara maju yang indikasinya tampak dari kemajuan ilmu dan teknologi, serta peradaban yang dijalankan.

Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme sekularisme yang selama ini menjadi basis tata kelola pendidikan di negeri ini. Pendidikan tidak menjadi layanan yang wajib dipenuhi oleh negara, tetapi hanya sebatas komoditas ekonomi yang diperjual-belikan. 

Siapa yang dapat membayar mahal dialah yang mendapatkan sekolah berkualitas, baik dari sisi fasilitas maupun mutu pengajaran, serta SDM pengajarnya. Begitu pun sebaliknya, bagi yang tidak mampu membayar mahal, maka cukuplah dengan kualitas dan mutu sekolah yang seadanya. 

Ketika sistem zonasi diterapkan, para orang kaya akan membeli kursi dengan harga yang ditawarkan untuk mendapatkan keinginan. Kapitalis juga membuat persepsi bahwa sekolah favorit menjanjikan bagusnya masa depan. Pada akhirnya, banyak yang melakukan "jalan pintas" hanya untuk mendapatkan bangku sekolah.

Kisruh PPDB zonasi bukan hanya perkara teknisi semata, tetapi juga sistem pemerintahan yang tidak tegas pada setiap kecurangan dan tidak seriusnya pemerintah dalam memajukan pendidikan untuk rakyat.
Sehingga, lolosnya anak didik di 'sekolah favorit ' tidak lagi berdasarkan kualitas, tetapi berdasarkan kemampuan daya beli orang tuanya.

Ketimpangan ekonomi yang makin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah penduduk miskin, di tengah semakin mahalnya biaya pendidikan yang 'berkualitas' menjadikan rakyat banyak yang tidak mendapatkan pendidikan. Apalagi, jumlah penduduk semakin banyak. Seharusnya pemerintah bisa membangun sekolah negeri yang lebih banyak, dengan biaya gratis tetapi berkualitas, bukan malah mengizinkan pendirian sekolah swasta secara bebas, dengan biaya yang mahal.

Inilah kapitalisasi pendidikan yang diterapkan di negeri ini, buah penerapan sistem kapitalisme sekularisme liberal, yang membuat negara pun tidak mampu membiayai penyelenggaraan pendidikan secara maksimal. Hal ini karena dana APBN minim akibat tata kelola SDA yang banyak diserahkan kepada swasta (lokal maupun asing-aseng). 

Sistem ini telah membuat kerusakan sedemikan parah pada SDM dan SDA Indonesia, sehingga sudah saatnya kembali kepada sistem Ilahi, yakni sistem khilafah yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, untuk dapat memenuhi hak dasar rakyat terhadap pendidikan.

Di dalam Islam, penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelaksanaan terhadap kewajiban syariat akan dilaksanakan secara maksimal, karena Rasulullah saw. bersabda:

“Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim.” (HR Ibnu Majah)

Wajibnya setiap muslim menuntut ilmu, sekaligus merupakan hak mereka sebagai rakyat menjadikan negara harus memfasilitasi pelaksanaan kewajiban terhadap warga dengan sebaik-baiknya.

Dalam Islam, negara memahami tanggung jawab sebagai pelayan rakyat, karena Islam menjadikan penguasa sebagai raa’in (penanggung jawab) bagi warganya. Berbeda dengan sistem kapitalis yang menjadikan penguasa hanya sebagai regulator saja.

Penguasa dalam Islam sangat paham konsekuensi dari hadis Rasulullah saw.

"Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)

Maka, dalam memenuhi hak pendidikan untuk rakyat, negara khilafah memiliki kemampuan dalam membuat kebijakan ekonomi dan politik, yang mampu mewujudkan kemapanan dan kemandirian ekonomi dan politik, baik di dalam maupun luar negeri.

Melalui kemapanan dan kemandirian tersebut, negara mampu mewujudkan pembangunan yang merata, termasuk pembangunan di bidang pendidikan. Ini membutuhkan anggaran besar.  
Baitul maal yang merupakan kas negara, memiliki pos pemasukan. Salah satunya dari pos kepemilikan umum yang akan didistribusikan untuk kemaslahatan rakyat, termasuk pendidikan. 

Pengelolaan SDA oleh negara, akan maksimal dalam pembiayaan kebutuhan dasar rakyat, baik pendidikan, kesehatan, maupun keamanan, sehingga dapat berkontribusi melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang kuat dan berkualitas yang ada dalam sistem khilafah.

Dari dana di baitul maal, khilafah akan membangun sekolah di seluruh penjuru wilayah daulah dengan sarana dan prasarana yang berkualitas, sehingga memenuhi kebutuhan pendidikan rakyat di seluruh wilayah, dengan kualitas yang sama, tanpa ada ketimpangan antara desa dan kota, wilayah ibu kota negara atau wilayah yang jauh dari ibu kota.

Khilafah memberikan pendidikan berkualitas tersebut secara gratis untuk seluruh rakyat, baik miskin atau kaya, berprestasi atau biasa saja. Semuanya mendapatkan pelayan yang sama.

Kestabilan dan kokohnya sumber pendanaan baitul maal jelas akan menunjang independensi pendidikan agar sesuai syariat Islam. Ini yang akan menciptakan manusia-manusia yang berilmu dan berkepribadian Islam, yang dapat menerapkan visi besar pendidikan, yaitu meninggikan kemuliaan Islam dan kaum muslimin, menjadikan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin, dalam naungan khilafah Islamiyyah.

Hal ini telah terbukti bahwa cemerlangnya peradaban sistem khilafah selama lebih 1300 tahun mampu melahirkan para ahli fikih sekaligus ilmuwan-ilmuwan terkemuka, juga generasi pemimpin yang dikenal dalam sejarah, bukan hanya sejarah Islam dan kaum muslimin, tetapi juga dikenal oleh sejarah manusia di dunia.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita sadar dan tergerak untuk membangun sistem yang adil, yang bersumber dari Zat yang menciptakan alam semesta, yaitu sistem Islam, daulah khilafah. Waahuallam.


Oleh: Ira Mariana 
Sahabat Tinta Media 


Rabu, 05 Juli 2023

Karut-marut Pelaksanaan PPDB akibat Minimnya Sosialisasi

Tinta Media - Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bandung Yayat Hidayat menyatakan bahwa masih banyak masyarakat Kabupaten Bandung yang belum mengetahui jadwal, tahapan, dan cara Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), sehingga meminta dinas pendidikan untuk lebih gencar melakukan sosialisasi PPDB ini agar masyarakat tidak bingung. (AyoBandung.com, Senin (19/06/2023).

Fakta berikut merupakan salah satu dari karut-marutnya pelaksanaan PPDB. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjelaskan setiap tahunnya selalu menerima banyak pengaduan terkait masalah pelaksanaan PPDB. Masalahnya macam-macam, mulai dari sistem zonasi, sistem error, informasi teknis PPDB yang belum merata, teknis pendaftaran yang belum sepenuhnya dipahami masyarakat, daya tampung, serta persoalan lainya. (Kpai.go.id)

Menurut Inspektur Jenderal Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Irjen Kemendikbud) Daryanto, bahwa penyebaran daerah yang mengalami masalah PPDB banyak terjadi di setiap daerah di Indonesia. Di antara masalah yang dominan diadukan adalah pengaduan seputar ketidakadilan dan zonasi. Siswa dan Orang tua merasa dirugikan dengan pembatasan jarak. Juga ada yang mengadukan keberadaan slot jatah untuk orang-orang tertentu yang dirasakan tidak adil. 

Tujuan adanya sistem zonasi adalah menghadirkan pemerataan akses pada layanan pendidikan, serta pemerataan kualitas pendidikan nasional. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Kalaupun sistem zonasi ini dihilangkan, tidak akan mampu memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak negeri. 

Ustazah Iffah Ainur Rochmah memaparkan dalam Muslimah Media Channel (MMC) terkait "Sengkarut sistem zonasi PPDB" bahwa pendidikan terbaik bagi anak-anak negeri ini membutuhkan political will secara mendasar dari negara.

Masalahnya, apakah negara sekarang memiliki political will yang mengedapankan kualitas pendidikan anak-anak negeri? 

Pertanyaan itu muncul mengingat pentingnya masalah piticsl will ini untuk menghasilkan generasi unggulan, generasi yang mampu membangun peradaban. 

Ternyata, jawabannya sama sekali tidak. Bahkan kalau kita lihat, masyarakat menganggap sekolah favorit atau tidak favorit itu identik dengan sekolah yang mampu menghantarkan anak-anaknya menuju ke perguruan tinggi favorit, kemudian setelah lulus mendapatkan pekerjaan atau karier yang baik. 

Inilah niat pandangan publik tentang sekolah, bahwa sekolah itu untuk mendapatkan pekerjaan. Sekolah bukan untuk membangun kepribadian, bukan pula untuk menghasilkan generasi unggul, generasi pemimpin, generasi pembangun peradaban. 

Problem mendasar ini tidak lain karena negara hari ini menetapkan dasar dan tujuan pendidikan yang diikuti dengan kurikulum pendidikan yang sekuler. Bukankah di dalam UU. No. 20 tahun 2003, tujuan pendidikan adalah menciptakan insan seutuhnya yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan seterusnya? Di manakah perwujudannya? Apakah asas pendidikan, tujuan pendidikan, dan kurikulum pendidikan itu sejalan?

Faktanya, kurikulum pendidikan sekarang hanya menjadikan generasi kita generasi yang sekuler. Mereka bisa saja diberikan pengetahuan dan informasi tentang ajaran agama, tetapi orientasi masa depan mereka itu bukanlah pembentukan pribadi yang bisa mendapatkan Rida Allah Swt. dan memberikan pengabdian untuk tegaknya hukum-hukum Allah, yaitu terwujudnya peradaban yang berdasarkan Rida Illahi. 

Bahkan, tidak sama sekali. Ini karena yang ditanamkan, mulai dari materi ajar, cara mengajarkannya, sampai tata kelola bagaimana pendidikan itu dijalankan di negeri ini adalah orientasi-orientasi materialistik. 

Terlebih lagi, hari ini Indonesia berada dalam iklim global. Maka, anak-anak negeri ini disetting untuk menjadi anak-anak yang kompetitif, bagaimana mereka harus berhadapan dengan Tenaga Kerja Asing (TKA), bagaimana mereka harus mempunyai skill yang tidak kalah dengan TKA. 

Kalau hanya semacam itu, bagaimana mereka bisa memanfaatkan iklim global internet of things hari ini untuk mendapatkan keungungan materialistik sebesar-besarnya bagi diri mereka? 

Itulah orientasi pendidikan hari ini. Suka atau tidak suka, kita harus mengakui bahwa pendidikan hari ini orientasinya adalah orientasi materialistik karena kurilulumnya sekuler. 

Pemerintah mengatakan bahwa sistem zonasi sekolah berfungsi untuk menghilangkan diskriminasi, menghilangkan kasta sekolah favorit atau tidak favorit, tetapi nyatanya tidak bisa dimungkiri bahwa pemerintah tidak bersungguh-sungguh dalam menyiapkan fasilitas, infrastruktur, persiapan tenaga kependidikan untuk bisa membuat semua sekolah memiliki kualitas yang sama. Lebih mendasar dari itu, pemerintah juga ternyata tidak mengubah sama sekali orientasi pendidikan yang sekuler bahkan materialistik itu. 

Karut-marutnya sistem zonasi sekolah ini semoga mampu menyadarkan diri kita, serta menyadarkan publik bahwa kita membutuhkan sistem pendidikan yang benar-benar berpihak pada pembentukan kepribadian Islam anak-anak negeri ini. 

Anak-anak harus mendapatkan kesempatan sekolah terbaik, yakni sekolah yang menyiapkan mereka menjadi insan yang bertakwa kepada Allah Swt. sekaligus yang memiliki skill memadai untuk menghadapi tantangan kehidupan. Ini bukan untuk memperkaya diri sendiri, bukan untuk orientasi materialistik, tetapi untuk mewujudkan  'izzah umat Islam dan untuk mewujudkan peradaban mulia tegak kembali di muka bumi. 

Inilah anak-anak bangsa negeri yang membutuhkan kembali tegaknya sistem Islam dalam naungan Khilafah, karena hanya sistem khilafahlah yang akan memberlakukan sistem pendidikan Islam dengan asas, tujuan, dan kurikulum pendidikannya berdasarkan Islam. Dari sini, lahirlah generasi-generasi cemerlang seperti pada masa, yaitu pribadi-pribadi unggul yang mampu menghasilkan peradaban mulia dengan tegaknya Islam sebagai mercusuar dunia. 

WalLaahu a'lam bi ash-shawwab.

Oleh: Nia Kurniasari
Sahabat Tinta Media

Senin, 28 November 2022

PPDB Zonasi Masalah Baru Pendidikan Sistem Kapitalis

Tinta Media - Sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)  menyisakan banyak persoalan di berbagai wilayah di Indonesia. Sistem ini dipandang sebagai salah satu upaya meningkatkan akses pendidikan yang berkeadilan, tetapi faktanya berbanding terbalik. 

Banyak pihak mengkritisi sistem zonasi ini. Salah satunya adalah anggota DPRD Jabar Dapil II fraksi PAN Hj. Thariqoh Nashrullah, ST.ME.Sy. Ia mengimbau agar Dinas Pendidikan Kab. Bandung perlu meninjau ulang pemetaan sekolah-sekolah di wilayahnya.

Banyaknya wilayah di Kecamatan Kabupaten Bandung belum memiliki sekolah negeri baik SD, SMP maupun SMA. Ini dikarenakan pemetaan sekolah negeri tersebut masih menumpuk di pusat kecamatan saja. Thariqoh pun menyarankan agar pemda Kabupaten Bandung segera memperbaharui dan mengadakan fasilitas sekolah demi menunjang sistem zonasi ini.

Saat ini memang PPDB dengan sistem zonasi mengharuskan calon peserta didik mendaftar ke sekolah terdekat yang berada di sekitar tempat tinggalnya saja. Aturan ini ditetapkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (permendikbud) no.44 Tahun 2019. 

Awalnya sistem ini dimaksudkan guna mendorong pemetaan guru yang berkualitas, serta pemerataan jumlah guru yang dibutuhkan di setiap sekolah. Namun, ternyata kebijakan zonasi ini malah menimbulkan masalah yang pelik. Penyesuaian sekolah dengan tempat tinggal peserta didik melalui kartu keluarga (KK) yang sudah diterbitkan minimal 1 tahun menjadikan orang tua yang ingin anaknya masuk sekolah negeri yang diminati berlomba-lomba memanipulasi data domisili yang ada dalam KK agar dekat dan masuk peta koordinat sekolah yang diinginkan.

Tidak meratanya sekolah negeri di setiap wilayah malah menjadikan kelebihan daya tampung calon peserta didik pada suatu sekolah. Kelebihan inilah yang acap kali dijadikan transaksi bisnis para oknum sekolah yang bersangkutan. 

Agar peserta didik dapat tertampung dan masuk quota, maka mereka harus membayar sejumlah uang. Sudah menjadi rahasia umum jika ingin masuk sekolah negeri harus membayar mahar, sehingga mau tidak mau para orang tua dipaksa melakukan kecurangan demi kelangsungan pendidikan anaknya, ketimbang harus masuk sekolah swasta yang sangat mahal biayanya. Bahkan, sistem zonasi menjadikan banyak sekolah kosong. Banyak pula anak-anak yang tidak dapat sekolah.

Karut-marut PPDB sistem zonasi menunjukkan betapa lemahnya negara dalam mengurus pendidikan warganya. Padahal, pendidikan adalah hak mendasar individu dan masyarakat. Namun, sangat disayangkan pengelolaan negara kita yang berasas kapitalis-neoliberal menuntut negara memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada swasta ataupun masyarakat untuk terlibat dalam kewajiban yang seharusnya dilakukan negara. 

Negara yang seharusnya menjadi pelaksana dan operator malah cuci tangan dalam mengurus urusan rakyat dan berperan sebagai regulator dan fasilitator saja. Karena itu, bermitra dengan swasta dianggap solusi bagi pemerintah daripada harus membangun sekolah yang memadai. 

Alhasil, pendidikan dijadikan alat pengeruk keuntungan dengan adanya keterlibatan swasta. Karena itu, pendidikan melalui sistem zonasi tidak akan pernah menjadi solusi jika sistem politik negeri ini masih berpegang pada kapitalis-neoliberal.

Padahal, jika target awalnya ingin menciptakan keadilan dalam kemampuan mengakses sarana pendidikan bagi seluruh rakyat, maka pengadaan sarana-prasarana pendidikan di setiap wilayah harus disesuaikan dengan kebutuhan rakyat, mulai dari pendidikan dasar, menengah, atas, bahkan perguruan tinggi. Tidak boleh dibeda-bedakan antara kualitas sekolah di wilayah (daerah) dengan kualitas sekolah di pusat ibu kota negara. 

Hal itu didasarkan pada pemahaman bahwa pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia, sehingga harus dipenuhi secara maksimal. Konsep seperti ini hanya dapat dijalankan oleh sebuah sistem yang memiliki konsep ri'ayah (pengaturan) urusan rakyat dalam penyelenggaraan negaranya, yaitu sistem Islam. 

Sistem Islam yang diterapkan dalam sebuah khilafah, menjadikan seorang kepala negara (khalifah) sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menyelenggarakan pendidikan bagi semua warga negara. Oleh karena itu, khalifahlah yang menyiapkan sarana-prasarana pendidikan, mulai dari gedung sekolah beserta seluruh kelengkapannya, guru-guru yang kompeten, kurikulum sahih yang berlandaskan akidah Islam, serta konsep tata kelola sekolahnya. Ditunjang dengan penyiapan SDM pendidik yang mumpuni, berupa pengadaan perguruan tinggi yang memadai untuk melahirkan calon-calon guru (pendidik).

Terkait mekanisme pemenuhan hak pendidikan bagi seluruh warga negara, khilafah berpegang pada prinsip kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas pengurus, sehingga mempermudah peserta didik dalam mengakses pendidikan, mulai dari pendaftaran hingga pelaksanaan belajar-mengajarnya. 

Melalui mekanisme pembiayaan yang dikelola oleh baitulmal, khilafah mampu menghadirkan pelayanan pendidikan yang gratis, tetapi tetap berkualitas di seluruh wilayah negeri. Hal inilah yang menjadikan warga negara berlomba-lomba dalam menikmati pelayanan pendidikan, sehingga menghadirkan kualitas SDM rakyat yang berkualitas, yang peluangnya dimiliki oleh semua rakyat, tanpa kecuali. Inilah yang akan mengantarkan negara menjadi maju dan berperadaban tinggi di tengah kehidupan umat manusia. Selain itu, rakyat juga berlomba-lomba dalam upaya mencapai derajat yang tinggi di sisi Allah melalui ilmu yang diraihnya. 

Hal tersebut pernah terjadi di masa kegemilangan Islam, yaitu ketika penerapan Islam dalam kekhilafan berjalan selama lebih dari 13 abad. Pendidikan pada masa itu melahirkan banyak ilmuwan besar, seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Khawarizmi,  al-Farabi, Imam al-Ghazali, dan masih banyak lainnya yang pengaruh keilmuannya dapat dirasakan hingga di zaman modern seperti sekarang.

Wallahu'alam bishawwab.

Oleh: Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab