Tinta Media: PIP
Tampilkan postingan dengan label PIP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PIP. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Maret 2024

Ilusi PIP dalam Menangani Masalah Pendidikan, Islam Satu-Satunya Solusi



Tinta Media - Program Indonesia Pintar (PIP) yang diluncurkan pada 3 November 2014  menjadi angin segar bagi masyarakat yang ingin menempuh pendidikan di tengah mahalnya biaya pendidikan saat ini. Namun sayang, tidak semua pelajar menerima bantuan itu. Sehingga keberadaan PIP dianggap tidak memberikan solusi bagi dunia pendidikan. Justru memunculkan kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dan juga menimbulkan kecemburuan antar pihak. Oleh karena itu, penguasa harus lebih teliti dalam memberikan solusi bagi dunia pendidikan.

Bentuk Penanganan PIP dalam Masalah Pendidikan

Menteri pendidikan, kebudayaan, riset, dan teknologi (mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim melaporkan bahwa PIP hingga 23 November 2023 telah mencapai 100 persen target. Sebanyak 18.109.119 penerima dengan anggaran 9,7 triliun setiap tahunnya. Adapun penyaluran PIP untuk jenjang SMA sebanyak 567.531 pelajar dan SMK sebanyak 99.104 pelajar. Penambahan sasaran bersamaan dengan peningkatan satuan bantuan yang semula 1.000.000 menjadi 1.800.000 untuk pelajar SMA dan SMK. (REPUPBLIKA.com)

Nadiem juga menuturkan bahwa untuk penyaluran bantuan PIP semakin terjamin dalam hal ketepatan sasaran, waktu, jumlah, dan pemanfaatannya. Ia melibatkan penyaluran bantuan PIP melalui pusat layanan pembiayaan pendidikan (puslapdik), semangat merdeka belajar, dan bekerja sama dengan pemerintah daerah dan satuan pendidikan. Hal itu ia sampaikan pada saat mendampingi Presiden Joko Widodo pada acara penyerahan bantuan PIP di Magelang (22/1/2024).

Presiden juga menuturkan bahwa PIP bertujuan untuk mencukupi kebutuhan pelajar dalam menimba ilmu di sekolah. Oleh karena itu pelajar harus pandai dalam mengatur dana bantuan PIP. Terkait ketetapan sasaran PIP, Kepala puslapdik kemendikbudristek, Abdul Kahar mengatakan, sasaran penerima PIP bersumber dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang telah terverifikasi oleh kementerian sosial (kemensos), selanjutnya dipadankan dengan data pokok pendidikan (dapodik) untuk mengecek keberadaan pelajar tersebut di sekolah.

Penguasa Tidak Serius dalam Menangani Masalah Pendidikan

Selama 10 tahun berdirinya ternyata PIP tidak dapat menuntaskan persoalan angka putus sekolah meskipun telah mencapai 100 persen target penerima. Belum ada survei yang secara langsung menunjukkan kehadiran PIP dapat mencegah anak-anak keluarga miskin dan rentan miskin dari putus sekolah. Artinya masih ada kesalahan dalam solusi pengaturan pendidikan saat ini.

Pemerintah seharusnya tidak melihat dari satu sisi saja dalam menangani masalah pendidikan karena banyak sebab terjadinya angka putus sekolah. Seperti mahalnya biaya pendidikan, tidak hanya biaya SPP, biaya barang keperluan pembelajaran siswa pun tidak bisa dicukupi dengan dana yang diterima di PIP setahun sekali karena kebutuhan akan keperluan pendidikan serba mahal. Belum lagi ongkos kendaraan, biaya internet untuk tugas, seragam sekolah, dan alat pembelajaran lainnya.

Semua itu adalah kebutuhan pendidikan yang tidak bisa diabaikan, salah satunya di era teknologi saat ini. Di sisi lain kehidupan siswa yang miskin menyebabkan mereka harus merelakan pendidikan demi membantu orang tua untuk mencari nafkah. Hal itu bukan karena keinginan tetapi karena dorongan biaya hidup yang serba mahal. Sehingga rasa keterpaksaan menuntut para siswa memilih putus sekolah bahkan tidak bersekolah dan lebih memilih mencari uang. Apalagi banyak pendidikan saat ini yang belum tentu langsung bisa mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai output pendidikannya.

Melihat kondisi yang seperti ini menunjukkan bahwa keberadaan PIP sebagai solusi gagal meskipun pembagiannya telah tepat sasaran. Karena pada realitasnya yang mendapatkan PIP harus memenuhi syarat-syarat yang rumit. Padahal seharusnya sebagai penguasa berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat itu dengan mudah tanpa mempersulit. Dan mengenai penggunaan PIP hanya untuk pendidikan saja itu tidak adil. Karena penguasa hanya berfokus pada satu persoalan saja dan mengabaikan permasalahan yang lain.

Seperti dalam persyaratan penerima PIP hanya diperuntukkan bagi yang bersekolah tanpa melihat permasalahan penyebab anak yang memilih untuk tidak bersekolah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sikap penguasa yang seperti ini zalim dalam mengurus rakyatnya. Karena mengurus setengah hati tanpa memastikan secara pasti terhadap kondisi rakyatnya. Begitulah bentuk pengaturan penguasa dalam sistem kapitalisme, mengurus masyarakatnya dengan penuh perhitungan materi. 

Manipulasi Kapitalisme dalam Menghambat Kebangkitan Pemikiran Umat

Ideologi kapitalisme yang lahir dari asas pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) meniscayakan materi sebagai tujuan hidup. Ideologi ini sudah merasuki pemikiran kaum muslimin di negeri-negeri mereka. Sehingga kekacauan dari berbagai lini kehidupan terpampang nyata. Meskipun telah jelas fakta kerusakan kapitalisme menyakiti kehidupan umat saat ini, namun mereka larut dalam keadaan dan memilih membiasakan diri untuk menjalani kehidupan di bawah kerusakan ini.

Kondisi umat yang sudah terbelenggu oleh pemikiran kapitalisme semakin menguatkan cengkeraman kapitalisme untuk menghalangi kebangkitan generasi mulia. Sehingga tidak mengherankan mengapa solusi kehidupan yang ditawarkan oleh penguasa tidak menyelesaikan masalah. Karena penguasa menduduki jabatannya untuk meraih materi semata. Alhasil ketika ia ingin memutuskan segala sesuatu harus memikirkan untung rugi materi atau posisi jabatan yang didapat.

Dari situ lahirlah penguasa yang cenderung mengurusi masalah rakyat setengah-setengah. Karena mereka harus memikirkan asas manfaat yang didapat jika mengeluarkan kebijakan, selain dari untuk mendapatkan perhatian rakyat bahwa seolah-olah mereka sudah menjalani perannya. Di sisi lain, dengan solusi seperti ini menghambat umat dari kebangkitan karena mereka gagal dalam memahami peran penguasa yang sesungguhnya. Akibatnya banyak kaum muslimin yang terkecoh dengan bantuan-bantuan dan penyediaan infrastruktur tanpa memahami lebih mendalam fakta kerusakan yang lain.

Semua itu berhasil dimanipulasi oleh kapitalisme untuk tetap eksis walaupun menghasilkan kerusakan. Jadi, melihat PIP sebagai bentuk pelayanan penguasa tidak cukup. Perlu ada pemikiran yang mendalam pada umat mengenai fakta dan solusi yang ditawarkan apakah tepat atau justru hanya solusi sementara. Kalau itu adalah solusi sementara, umat harus lebih meningkatkan lagi proses berpikirnya yaitu dengan pemikiran yang cemerlang yang menghasilkan solusi yang tidak hanya baik tapi benar sesuai akidah Islam.

Islam Solusi Hakiki

Solusi yang benar hanya ada pada akidah Islam. Allah SWT telah berfirman dalam Qur’an surah Al-Imran ayat 19:

 اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.

Adanya ayat-ayat sebagai hukum menjadikan Islam agama yang sempurna. Karena bukan hanya pengatur ibadah mahdoh saja melainkan pengaturan asas kehidupan yang lain juga yang telah secara lengkap disampaikan melalui lisan Rasulullah Saw. Terpenuhinya pendidikan di dalam Islam adalah kewajiban penguasa. Begitu pun bagi umat wajib baginya untuk menuntut ilmu. Dengan demikian ketersediaan segala kebutuhan pendidikan harus dipenuhi dan disediakan oleh Khalifah selaku penguasa di dalam negara khilafah.

Keberadaan program PIP tidak perlu, karena di dalam negara khilafah penguasa berperan sebagai pelayan umat. Oleh karena itu ia wajib melaksanakan segala apa pun untuk melayani umat sesuai ketentuan syariat. Pelayanan Khalifah bukan dari segi pendidikan saja, melainkan juga politik, ekonomi, sosial, dan segala yang membawa kemaslahatan pada umat dengan persyaratan yang sederhana, cepat, profesional, dan sempurna. Semua pelayanan ini harus dipastikan terpenuhi oleh seluruh individu masyarakat.

Begitulah Islam mengatur kemaslahatan umat. Tidak hanya umat yang dibentuk dengan ketakwaan, tetapi pemimpin lebih lagi dibangun kepribadian takwa dalam dirinya. Pengaturan Islam yang demikian sempurna seharusnya menjadi sistem yang mengatur kehidupan kita. Oleh karena itu kita harus menumbuhkan pemahaman Islam di tengah umat dengan mengemban dakwah Islam kaffah dan berjuang menerapkan syariat Islam di bawah naungan khilafah.

wallahu a'lam.

Oleh : Novi Anggriani, S.Pd.
Sahabat Tinta Media 

Minggu, 25 Februari 2024

Pendidikan Berkualitas dengan PIP, Mungkinkah?



Tinta Media - Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim melaporkan hingga 23 November 2023 penyaluran bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) telah mencapai 100% target, yaitu sudah disalurkan kepada 18.109.119 penerima bantuan dengan menelan anggaran sebesar Rp9,7 triliun setiap tahunnya. Nadiem menyatakan bahwa dengan semangat Merdeka Belajar, pihaknya terus menguatkan kolaborasi dan gotong royong dengan pemerintah daerah dan satuan pendidikan. (news.republika.co.id, 26/01/ 2024)

Tahun 2024 ini, pemerintah memberikan bantuan PIP untuk pelajar SD senilai Rp450.000 per tahun, SMP Rp750.000 per tahun, dan pelajar SMA dan SMK sebesar Rp1.800.000 per tahun. Presiden Joko Widodo berkeinginan agar bantuan ini dapat meningkatkan semangat belajar para pelajar dan mendorong mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. 

Presiden juga memastikan bahwa bantuan PIP bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pelajar dalam menimba ilmu di sekolah. Ia pun menyarankan para pelajar agar bijaksana dalam mengelola dana bantuan PIP yang telah diterima.

Memang, sudah keharusan bagi negara memberikan bantuan dana pendidikan 100% pada rakyat. Sayangnya, yang dimaksud 100% adalah dari sisi penyaluran dana yang dialokasikan. Itu pun secara bertahap, bahkan belum mencakup 100% jumlah anak didik yang ada. Akses pendidikan belum merata, baik dari kualitas, kuantitas, maupun sarana prasarana.

Di daerah-daerah pelosok, sarana dan prasarananya kurang memadai, mulai dari tempat belajar yang sulit dijangkau, gedung yang rusak, bocor, dan tidak nyaman, bahan ajar yang seadanya, dan masih banyak masalah lain yang membuat proses belajar mengajar menjadi tidak efektif dan efisien.

Fakta ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih memiliki banyak PR. Hal ini disebabkan karena kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan dana, tetapi juga kurikulum dan SDM pendidik yang terbaik. Harus diakui bahwa kurikulum pendidikan di negeri ini disusun berdasarkan paradigma sekularisme. 

Sekularisme adalah pemisahan antara agama dan kehidupan. Alhasil, peserta didik dibina dan dipaksa untuk meyakini nilai-nilai kebebasan atau liberalisme dan orientasi pada materi atau kapitalisme sebagai landasan dalam berbuat. Akibatnya, para pelajar memiliki pandangan hidup bahwa kesenangan materi adalah sumber kebahagiaan. Agama dijauhkan sejauh-jauhnya dari peserta didik. Alhasil, output pelajar kini mengalami kemunduran yang luar biasa. Kehidupan generasi hari ini dihiasi oleh pergaulan bebas, narkoba, tawuran, miras, hingga kriminalitas. 

Nyatalah, potret kemunduran pelajar disebabkan oleh kurikulum pendidikan. Gagalnya sistem pendidikan dipengaruhi oleh kurikulum yang berlandaskan pada sistem kapitalisme. Sistem ini merupakan akar persoalan buruknya kualitas pendidikan di negeri ini. Kapitalisme meniscayakan komersialisasi pendidikan. Alhasil, hanya orang yang memiliki uang yang bisa mengakses pendidikan. 

Masyarakat yang tidak memiliki uang tidak bisa mengakses pendidikan. Maka, pemerintah pun seolah-olah berperan untuk membiayai pendidikan melalui bantuan-bantuan yang digelontorkan seperti PIP yang nominalnya masih sangat minim untuk memenuhi kebutuhan sekolah.

Padahal, kebutuhan pendidikan atas seluruh rakyat adalah tanggung jawab negara secara mutlak. Negara dalam sistem kapitalisme hanya bertindak sebagai regulator, bukan pelaksana atau operator yang seharusnya hadir memberi jaminan terpenuhinya kebutuhan asasi seluruh rakyat, termasuk pendidikan.

Berbeda dengan sistem pendidikan dalam Islam. Islam menjadikan pendidikan sebagai tanggung jawab negara dalam semua aspek, baik fisik, SDM, kurikulum, maupun hal terkait lainnya. Islam memberikan pendidikan secara gratis oleh semua rakyat. Sebab, sistem pendidikan Islam yang berjalan dalam sebuah negara memiliki beberapa ketentuan yang digali dari nash-nash syariat, di antaranya:

Pertama, orientasi pendidikan dalam Islam dibangun atas paradigma Islam dengan tujuan membentuk kepribadian Islam dengan tsaqafah Islam dan ilmu-ilmu kehidupan, yaitu iptek dan keterampilan berdasarkan tujuan tersebut. Maka kurikulum pendidikan Islam harus berbasis akidah Islam. 

Kurikulum berbasis akidah Islam memastikan tidak ada pemisahan antara agama dan kehidupan. Peserta didik akan memiliki pemahaman bahwa tujuan hidup hakiki seorang hamba adalah meraih rida Allah, dan melandaskan perbuatan hanya pada syariat Islam. Sehingga, peserta didik akan menjadi generasi yang memiliki kepribadian Islam, disibukkan pada amal saleh, memiliki iman yang kuat, berjiwa pemimpin dan terampil menguasai teknologi. 

Kedua, fasilitas pendidikan dalam khilafah harus memadai untuk semua jenjang pendidikan agar semua peserta didik dapat menikmati fasilitas pendidikan yang berkualitas. Tentu semua ini menjadi tanggung jawab negara. 

Negara wajib menyediakan infrastruktur pendidikan yang cukup dan memadai, seperti rumah sekolah, laboratorium, perpustakaan, buku-buku pelajaran, teknologi yang mendukung kegiatan belajar mengajar, dan sebagainya. Seluruh pembiayaan tersebut menjadi tanggung jawab negara, bukan peserta didik. 

Negara tidak boleh menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis yang dikomersialisasikan. Pembiayaan pendidikan dalam khilafah diambil dari baitul mal, yakni dari pos fai dan kharaj, serta pos kepemilikan umum. Pembiayaan tersebut bersifat mutlak. Artinya, jika pembiayaan dari dua pos tersebut tidak mencukupi, maka negara akan melakukan mekanisme berikutnya yang dibolehkan oleh syariat dan bersifat temporer.

Ketiga, khilafah akan menyediakan tenaga pengajar profesional dan memberikan gaji yang layak bagi mereka. Inilah sistem pendidikan Islam yang bisa diakses secara gratis oleh siapa pun, baik kaya atau miskin, muslim atau nonmuslim dengan sarana dan prasarana terbaik. Dengan demikian, hanya sistem khilafah Islamiyah yang mampu mewujudkan sistem pendidikan seperti ini.


Oleh: Amellia Putri 
(Aktivis Muslimah)
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab