Tinta Media: PúvArafah
Tampilkan postingan dengan label PúvArafah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PúvArafah. Tampilkan semua postingan

Selasa, 27 Juni 2023

Bantahan Syari'e, Idul Adha Hanya Manut Saja Ke asal Penguasa

Tinta Media - Makna Hadits “Iedul Adlha Adalah Hari Ketika Umat Manusia Menyembelih Korban”

Imam Tirmidziy menuturkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda: 

اَلْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ وَاْلأَضْحى يَوْمَ يُضَحِّي النَّاسُ

“Idul Fitri adalah hari saat umat manusia berbuka, dan Idul Adlha adalah hari ketika umat manusia menyembelih kurbannya.” [HR. Imam Tirmidzi dari ‘Aisyah ra]

Imam Tirmidzi juga meriwayatkaadits Nabi SAW dengan lafadz berbeda :

اَلصَّوْمُ يَوْمَ يَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحى يَوْمَ يُضَحُّوْنَ

“Berpuasa (Ramadlan) adalah saat mereka berpuasa, Idul fitri adalah saat mereka berbuka, dan Idul Adlha adalah saat mereka menyembelih (hewan kurban).” [HR. Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah ra]

Sebagian orang berdalil dengan hadits ini, bahwa penetapan hari Iedul Adlha harus disandarkan kepada ketetapan yang digariskan pemerintah negara bangsa.  Masih menurut mereka, apabila mayoritas masyarakat –berdasarkan ketetapan pemerintah—ber-Iedul Adlha pada hari Selasa, misalnya, maka hari Iedul Adlha juga jatuh pada hari Selasa. Pendapat seperti ini keliru dan tidak tepat.  Sebab, ia belum mengakomodir keseluruhan hadist yang berbicara tentang Iedul Adlha dan puasa ‘Arafah.   Bantahan atas pendapat ini adalah sebagai berikut:

Pertama, ‘ulama menegaskan bahwa yang dimaksud hadits di atas adalah berpuasa dan berbuka mengikuti mayoritas kaum Muslim.  Adapun yang dimaksud “mayoritas kaum Muslim” tidak hanya mayoritas kaum Muslim yang hidup dalam sebuah negara bangsa (nation state).  Mayoritas kaum Muslim di sini adalah keseluruhan kaum Muslim yang hidup di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.  Hanya saja, sejak tahun 1924, kaum Muslim tidak lagi memiliki pemimpin tunggal (amirul mukminin) yang bisa menyatukan kaum Muslim serta melenyapkan khilaf di tengah-tengah kaum Muslim.  Namun, ketiadaan Khilafah tentu tidak bisa dijadikan alasan untuk berpuasa mengikuti mayoritas kaum Muslim di sebuah negara bangsa saja, atau mengikuti ketetapan penguasa negara-negara bangsa,  tanpa memperhatikan kaum Muslim di negeri-negeri lain.  Bukankah seluruh kaum Muslim di dunia adalah satu dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain? Di samping itu kata al naas termasuk lafadh umum, yang seluruh manusia yang tidak dibatasi dengan wilayah, bangsa, ras, negara, dan warna kulit tertentu.

Adapun hadits yang diriwayatkan Imam Thabraniy:

يَوْمُ عَرَفَةَ يَوْمُ يُعرِّفُ الإِمَامُ، وَالأَضْحَى يَومَ يُضَحِّى الإمَامُ، والفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ الإِمَامُ

“Bahwa hari Arafah (yaitu tanggal 9 Dzulhijjah) itu adalah hari yang telah ditetapkan oleh Imam (Khalifah), dan hari berkurban itu adalah saat Imam (Khalifah) menyembelih kurban.” [HR. Thabrani dalam kitab al-Ausath, dengan sanad hasan].

Tentu yang dimaksud imam di sini adalah Khalifah, Amirul Mukminin, atau Imam.  Sebab, lafadh imam jika digunakan dalam bentuk muthlaq, harus dimaknai dengan Khalifah atau Amirul Mukminin.  Imam Nawawiy menyatakan:

والمراد بالامام الرئيس الاعلى للدولة، والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا. والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا. ويرى ابن حزم أن الامام إذا أطلق انصرف إلى الخليفة، أما إذا قيد انصرف إلى ما قيد به من إمام الصلاة وإمام الحديث وإمام القوم.

Yang dimaksud dengan Imam adalah pemimpin tertinggi negara.  Imamah, Khilafah, dan Imaratul Mukminin adalah sinonim.  Yang dimaksud Khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kata “al-Imam”, jika disebut, maka pengertiannya dipalingkan kepada al-khalifah. Adapun jika disebut dengan taqyid (pembatasan) maka maknanya adalah sesuai dengan batasan tersebut, misalnya, imam sholat, imam al-hadits, dan imam suatu kaum.”. [Imam An Nawawiy, Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 19/191]

Kedua, syariat Islam mengkaitkan kaum Muslim yang tengah wukuf di ‘Arafah dengan kaum Muslim di seluruh dunia yang tidak melaksanakan manasik haji.  Hal ini menunjukkan bahwa kaum Muslim di seluruh dunia terhubung satu dengan yang lain, dan merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisah-pisahkan, termasuk dalam urusan penetapan puasa ‘Arafah dan Iedul Adlha.  Rasulullah saw melarang puasa ‘Arafah bagi jama’ah haji yang berada di padang ‘Arafah, dan menyunahkan berpuasa bagi orang yang tidak melaksanakan manasik haji.  Imam Abu Dawud menuturkan:

  أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَةَ
“Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang berpuasa pada hari Arafah (bagi jamaah haji yang ada) di padang Arafah.” [HR. Imam Abu Daud, Nasa`i, dan Ibnu Khuzaimah].

Imam Ibnu ‘Abdil Barr di dalam kitab al-Tahmid menukilkan adanya ijma’ ulama atas disyariatkan puasa ‘Arafah bagi kaum Muslim yang tidak melaksanakan manasik haji di Mekah.[Al-Tamhid, Juz 21/164].  Di dalam kitab al-Ifshaah, juz 3/170 dinyatakan:

وقد اتَّفقت المذاهبُ الفِقهيةُ الأربعةُ (الحنَفيةُ، والمالكيَّة، والشافعيَّة، والحنابِلةُ) على استحبابِ صومِ يومِ عَرفةَ، وممَّن نقَل الاتِّفاقَ على ذلك: ابنُ هُبيرةَ؛ قال: "واتَّفقوا على أنَّ صومَ يومِ عَرفةَ مُستحبٌّ لمَن لم يكُنْ بعرَفةَ"

“Madzhab-madzhab fikih yang empat (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) sepakat atas sunnahnya puasa hari ‘Arafah.  Dan di antara orang yang menukilkan (meriwayatkan) adanya kesepakatan dalam masalah ini adalah Ibnu Hubairah.  Beliau berkata, “Mereka sepakat bahwa puasa hari ‘Arafah disunnahkan bagi orang yang tidak berada di ‘Arafah”.

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat :

أَنَّ عُمَيْرًا مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ الْفَضْلِ - رضى الله عنها - تَقُولُ شَكَّ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى صِيَامِ يَوْمِ عَرَفَةَ وَنَحْنُ بِهَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَأَرْسَلْتُ إِلَيْهِ بِقَعْبٍ فِيهِ لَبَنٌ وَهُوَ بِعَرَفَةَ فَشَرِبَهُ.

“Sesungguhnya, ‘Umair, maulanya Ibnu ‘Abbas ra, telah menuturkan bahwasanya ia mendengar Ummu al-Fadl ra berkata, “Para shahabat Nabi saw ragu dalam puasa hari ‘Arafah, sedangkan kami sedang di ‘Arafah bersama Rasulullah saw.  Lalu, aku mengirimkan kepada beliau saw gelas besar yang berisi susu, sedangkan beliau saw saat itu di ‘Arafah.  Lalu beliau meminumnya”. [HR Imam Muslim].

Imam Asy Syafi’iy dalam Musnadnya menuturkan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

فطركم يوم تفطرون و أضحاكم يوم تضحون و عرفة يوم تعرفون

“Hari Iedul Fithriy kalian adalah hari saat kalian berbuka, dan Iedul Adlha kalian adalah hari saat kalian menyembelih korban, sedangkan hari ‘Arafah adalah hari saat kalian melaksanakan wuquf di Arafah”.[HR Imam Syafi’iy dan Imam Baihaqiy dari ‘Atha’ secara mursal]  Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Asy Syafi’iy dalam Kitab al-Umm, Juz 1/230; Imam Baihaqiy, Juz 5/176, hadits no:9610. 

Di dalam Kitab Faidl al-Qadiir, juz 4/441, Imam al-Munawiy berkata, “al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Imam Tirmidziy meriwayatkan hadits ini dan menggharibkannya.  Imam Daruquthniy menshahihkannya dari ‘Aisyah ra, dan memarfu’kannya dan meluruskan kesamarannya”.

Imam Daruquthniy menuturkan sebuah riwayat dari ‘Abd al-‘Aziiz bin ‘Abd Khalid bin Usaid, bahwasanya ia berkata:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : يوم عرفة اليوم الذي يعرف الناس فيه
“Rasulullah saw bersabda, “Hari ‘Arafah adalah hari saat manusia melaksanakan wuquf di ‘Arafah”. [HR Imam Daruquthniy dalam sunannya; Imam Baihaqiy dalam al-Sunan al-Kubra, dan beliau berkata, “Hadits ini mursal jayyid, Imam Abu Dawud mengeluarkannya dalam Kitab al-Maraasiil]

Ketiga, para ‘ulama telah menggariskan sebuah kaedah “mengamalkan dua dalil lebih utama dibandingkan mengabaikan salah satunya”.   Hadits yang bertutur tentang puasa 9 Dzulhijjah dan puasa ‘Arafah bisa dipadukan dengan cara bahwa yang dimaksud puasa tanggal 9 Dzulhijjah adalah puasa ‘Arafah saat jama’ah haji melaksanakan wuquf di ‘Arafah.  Jika puasa ‘Arafah dimaknai puasa tanggal 9 Dzulhijjah, tanpa harus dikaitkan dengan wuqufnya manusia di ‘Arafah, niscaya ia akan menelantarkan hadits-hadits yang mengkaitkan puasa 9 Dzulhijjah dengan wuquf ‘Arafah.  Adapun jika puasa ‘Arafah dimaknai dengan puasa tanggal 9 Dzulhijjah saat jama’ah haji sedang wuquf di ‘Arafah, maka kompromi seperti ini bisa memadukan dalil-dalil yang berbicara tentang puasa ‘Arafah, 9 Dzulhijjah, dan lain sebagainya.   Dengan demikian, puasa ‘Arafah dan Iedul Adlha wajib ditetapkan berdasarkan manasik haji di Mekah, dan hal itu mengikat seluruh kaum Muslim di seluruh dunia tanpa terkecuali.  

Inilah pendapat yang lebih kuat, mengumpulkan semua hadits, menyatukan kaum Muslim, serta tidak memperkokoh negara-negara bangsa yang dilarang di dalam Islam, serta mengarahkan umat Islam untuk mewujudkan kembali Khilafah Islamiyyah yang dipimpin seorang Imam atau Khalifah.

Oleh: Ustadz Syamsudin Ramadhan
Cendekiawan Muslim

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab