Overthinking Timbul dari Kekeliruan Berpikir
Tinta Media - Aktivis Muslimah Ustazah Ratu Erma Rachmayanti menegaskan bahwa kekeliruan berpikir menimbulkan overthinking.
“Kekeliruan berpikir ini menimbulkan overthinking,” tegasnya dalam Program Tahukah Kamu: Overthinking Itu Bikin Gak Produktif? Sabtu (30/7/2022), di kanal YouTube Muslimah Media Center.
Menurutnya, fenomena overthinking ini banyak menjangkiti kaum muda hari ini dan ia mengkhawatirkan kondisi tersebut.
“Overthinking adalah penampakan dari rendahnya kualitas berpikir kaum muda dan juga ini bentuk kekeliruan berpikir dan kita harus sangat khawatir dengan fenomena ini,” tuturnya.
Ia memperhatikan pemikiran pemuda muslim hari ini tidak jauh dari persoalan pribadinya.
“Jadi mereka cenderung untuk mengamankan kebutuhannya sendiri,” ucapnya.
Ia melanjutkan tentang ketakutan dan kekhawatiran berlebihan dari pemuda muslim sekarang hanya berkisar pada kepentingan individu. “Misalnya khawatir tidak dapat pekerjaan, khawatir tidak lulus, takut tidak dapat nilai yang baik, takut tidak punya teman, khawatir dibilang tidak cantik atau takut pasangannya yang berselingkuh, takut gagal bisnis, dan lain-lain,” kritiknya.
Ia pun mengkritik bahwa standar pemikiran demikian merupakan pemikiran yang rendah.
“Karena pemikiran yang tinggi itu adalah pemikiran untuk menyelesaikan masalah skala masyarakat, umat atau bangsa, bukan berputar pada persoalan individu,” kritiknya.
Overthinking umumnya dipacu oleh pengaruh dari perkataan orang lain di sekitarnya, atau bisa dari kurangnya percaya diri karena proses pendidikan selama ini yakni selalu mendapat penilaian negatif, akhirnya menjadi takut untuk melakukan sesuatu. Dan hal ini menurutnya merupakan problem besar bagi generasi muda.
“Ini adalah problem besar bagi generasi muda yang terjangkit model kelemahan berpikir seperti ini, sehingga kita melihat pemikirannya tidak matang, perasaannya galau, resah, dia mudah tertekan, dan stres. Maka sikapnya pun labil, berubah-ubah, dan mudah terpengaruh. “ tuturnya.
Ia mengungkapkan antara pemikiran, perasaan, dan perilaku pada diri seseorang itu saling berkaitan. “Seseorang yang berpikiran positif, akan muncul perilaku positif, dengan cara menilai sesuatu kejadian atau hal apa pun itu dimulai dari respons yang positif terlebih dahulu dan sebaliknya,” ungkapnya.
Berpikir dan bersikap positif atau negatif seseorang itu dipengaruhi oleh perspektif yang dibentuk dari informasi yang diperoleh mengenai kehidupan.
“Ketika seseorang tidak mampu berpikir positif maka yang muncul adalah pemikiran negatif. Maka tentu sikapnya pun menjadi negatif sesuai dengan pemikirannya,” tambahnya.
Ia menggambarkan kehidupan umat Islam termasuk generasinya yang hidup di bawah sistem kapitalis menjadikan pemikiran yang lemah ini terus berkembang.
“Sistem kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan adalah sistem kufur yang tidak berlandaskan rasa takut dan khawatir itu kepada Allah SWT, Sang pencipta alam semesta dan sistem ini telah membentuk perspektif materialistis dan hubungan persaingan yang tidak sehat di masyarakat,” bebernya.
Ia mengatakan perspektif inilah yang membentuk secara sistematis bahwa pemikiran untuk meraih segala sesuatu itu dengan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dan eksistensi sosialnya tanpa dilandasi oleh perspektif akhirat dan menyebabkan overthinking.
“Bahwa untuk menang harus kuat, ingin bertahan hidup harus kaya, ingin mendapat segalanya harus punya posisi atau berkuasa. Persaingan tidak sehat inilah yang menghasilkan kecemasan dan ketakutan, tekanan dan juga kesengsaraan, “ katanya.
“Karena itu tidak heran kalau ketakutan masyarakat termasuk pemudanya hari ini tidak jauh dari kebutuhan ekonomi dan eksistensi sosial sehingga umumnya yang mendominasi itu adalah tidak adanya ketakutan yang dilandasi oleh perspektif akhirat,” lanjutnya.
Melihat faktanya, ia menilai pemahaman dan sistem kapitalis telah membentuk umat Islam menetapkan hawa nafsu sebagai pemutus. Tidak bersandar kepada hukum-hukum Allah sehingga tidak memahami aspek dan cara hidup menurut Allah SWT, tidak menjadikan keredaan dan kemurkaan Allah sebagai standarnya.
“Setiap Muslim termasuk pemuda muslim itu tidak ubahnya seperti orang yang tidak meyakini Allah, orang yang mengingkari nikmat penciptaan, tidak menerima ketentuan dan ketetapan, mengabaikan akhirat, tidak takut pada apa yang akan terjadi di hari akhir, “ pungkasnya.[] Ageng Kartika