Kembali ke Zaman Orba, Presiden Dipilih MPR, Apakah Solusi?
Tinta Media - Baru-baru ini muncul sebuah wacana terkait dengan pemilihan presiden sebaiknya dipilih kembali oleh MPR. Wacana ini terang-terangan disampaikan oleh mantan ketua MPR Amien Rais, saat dirinya bertemu pimpinan MPR di gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, (5-6-2024). Amien mendorong adanya amandemen UUD 1945 berupa pemilihan presiden oleh MPR. Menurut Amien Rais pemilihan umum yang langsung dipilih oleh rakyat (pemilu langsung) justru rentan dengan praktik money politik atau politik uang (Rakyat Merdeka, 8-6-2024).
Namun usulan ini, dianggap dapat mengembalikan sistem politik Indonesia mundur ke zaman orde baru (Orba). Zaman Orba MPR memang dikenal sebagai lembaga tertinggi negara, bahkan sebelum Orba yakni zaman orde lama (Orla) masa Soekarno, MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat yang termaktub dalam UUD 1945 (sebelum amandemen) yakni pasal 1 ayat 2. Karena wewenangnya sebagai lembaga negara tertinggi inilah yang membuat MPR dapat melantik Presiden dan Wakil Presiden.
Respons Tokoh dan Politisi
Usulan terkait wacana tersebut ternyata mendapat respons dari berbagai pihak. Sejumlah politisi rame-rame menolak usulan tersebut, bahkan memunculkan berbagai argumentasi lain terkait dengan pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.
Deputi Bapillu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani menyatakan bahwa partainya tidak setuju dengan usulan Pilpres dikembalikan ke MPR RI. Menurutnya hal itu merupakan langkah mundur atas derajat dan kualitas demokrasi yang telah terbangun sebagai amanah reformasi. Kamhar juga melanjutkan, bahwa proses pemilu yang bersifat transaksional dan berbiaya politik tinggi akibat memberikan ‘karpet merah’ pada para pemilik modal atau kroni penguasa. (Viva.co.id, 7-6-2024).
Demokrasi Menyuburkan Politik Uang dan Oligarki
Pelaksanaan politik terutama pemilu yang bersifat transaksional tentunya bukan kali ini saja terjadi. Hal tersebut sudah berlangsung lama yakni sejak Indonesia menyatakan diri menerapkan demokrasi. Politik uang selalu akan berbarengan dengan kekuatan oligarki yakni pemilik modal, hal tersebut dianggap lumrah dilakukan dalam sistem ini. Bagaimana tidak, modal untuk melaju dalam pemilu atau pilkada membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Alhasil calon atau kandidat yang menang nantinya tentu akan berpikir bagaimana mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan untuk dapat melanggeng ke kursi kekuasaan. Menerima suap, gratifikasi atau tindak korupsi lainnya tidak ayal akan mereka lakukan, bahkan halal haram bukan sesuatu yang penting untuk mereka pikirkan.
Bagaikan pucuk dicinta ulam pun tiba, masyarakat pun sudah terbiasa dijejali dengan hal-hal yang bersifat tabu atau dosa. Masyarakat juga menikmati timbal balik dari Politik uang tersebut, semisal menerima serangan fajar saat menjelang pemilu, mendapat hadiah atau sembako, yang bagi sebagian mereka merupakan rezeki yang tidak boleh di tolak apalagi di tengah impitan perekonomian.
Lama kelamaan masyarakat seakan mewajarkan serta menganggap biasa apa-apa yang dilakukan para pejabat saat tertangkap tangan melakukan politik uang atau tindak korupsi. Dan di sinilah para pemilik modal atau oligarki memerankan peranan penting, para oligarki akan sangat mudah untuk memuluskan jalan para kandidat untuk meraih kekuasaan. Para oligarki juga akan sangat mendukung secara finansial saat kandidat melakukan strategi kampanye secara jor-joran, maupun melakukan pencitraan untuk mendapat suara konstituen di wilayah pemilihan mereka.
Maka jangan heran, apa pun yang menjadi keresahan terkait aturan demokrasi tidak akan mengubah sistem ini menjadi lebih baik. Kecurangan memang bisa saja terjadi, baik dalam tataran individu, kelompok, maupun sistem negara apa pun. Namun dalam sistem demokrasi politik uang dan oligarki merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kuatnya pengaruh oligarki di negeri ini merupakan konsekuensi dari penerapan sistem demokrasi yang bermuara pada sistem kapitalisme. Penguasa negeri ini telah di tunggangi oligarki dan menjadikan penguasa menjajah rakyatnya sendiri. Fungsi dan peran negara untuk mengayomi, melindungi dan menyejahterakan rakyatnya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Maka walaupun Presiden di pilih secara langsung maupun melalui lembaga MPR, hal tersebut tidak akan mempengaruhi praktik Money politik atau politik uang. Hal tersebut akan terjadi selama sistem demokrasi masih menjadi solusi bagi sistem negara ini.
Pemilihan Pemimpin Negara dalam Islam
Sistem demokrasi lahir dari asas sekularisme yakni pemisahan agama dari kehidupan, sehingga demokrasi menafikan agama sebagai aturan dalam kehidupan politik, sosial, pergaulan dan sebagainya. Aturan-aturan yang dipakai dalam sistem demokrasi adalah seperangkat aturan yang di buat oleh manusia. Gonta-ganti aturan kebijakan menurut apa kata penguasa merupakan hal yang lumrah. Oleh sebab itu jika diliat dari asas berdirinya, sistem demokrasi dalam kacamata Islam terkategori sistem yang batil, sebab sistem demokrasi tidak mengakui kedaulatan pembuat hukum pada Allah Swt melainkan manusia.
Berbeda dengan sistem Islam yang merupakan pancaran aqidah menyeluruh yang melahirkan aturan, tidak ada pemisahan antara agama dengan seluruh kehidupan manusia. Islam memandang hakikat kekuasaan merupakan perpanjangan dari kedaulatan Allah Swt. Tujuan negara dalam Islam adalah dalam rangka menegakkan hukum-hukum Allah dan khalifah sebagai pemimpin negara berusaha untuk mewujudkan kemaslahatan baik di dunia maupun akhirat.
Oleh sebab itu kewajiban mengangkat seorang khalifah ditetapkan berdasarkan Al-Quran, As-Sunah dan Ijma’ Sahabat. Adapun mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam tergolong sangat sederhana dan tidak membutuhkan biaya besar. Kriteria pemimpin pun sangat umum yakni kriteria yang telah ditetapkan oleh syara’ yaitu, muslim, balig, berakal, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu menjalankan tugas sebagai khalifah.
Khalifah atau pemimpin dalam Islam sifatnya sebagai pengganti Nabi saw dalam memimpin umat, dan mekanismenya dilakukan melalui lembaga syura atau Ahlul Halli wal ’Aqdi. Pengangkatan khalifah dilakukan melalui bai’at dari umat, baik laki-laki maupun perempuan yang menyatakan taat setia kepada khalifah. Ketentuan bai’at menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih untuk di bai’at. Hal tersebut sesuai dengan Hadits dari Imam al-Bukhari meriwayatkan Hadits dari Ubadah bin al-Shamit yang mengatakan:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ
Kami telah membaiat Rasulullah saw agar mendengar dan menaatinya, baik dalam keadaan senang maupun yang tidak disenangi; dan agar kami tidak mengambil kekuasaan dari orang yang berhak; dan agar kami mengerjakan atau mengatakan yang Haq di mana saja kami berasa, tidak takut kepada Allah kepada celaan orang yang suka mencela (HR al-Bukhari).
Untuk itu ketiadaan pemimpin Islam menyebabkan hukum-hukum syariat tidak terlaksana dan hal tersebut menjadi perkara wajib yang harus segera dilaksanakan oleh seluruh umat Islam. Wallahu a’lam bis-showab.
Oleh: Amelia Al Izzah, Sahabat Tinta Media