Tinta Media: Opini
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 Desember 2023

HIDUP SEJAHTERA DI SISTEM KAPITALIS, CUMAN MIMPI

Tinta Media - Rumah merupakan sandang papan alias salah satu kebutuhan yang harus di miliki setiap orang. Rumah menjadi tempat layaknya sekelompok keluarga bernaung di dalamnya. Itulah sebabnya penting kiranya setiap orang memiliki tempat tinggal, tak peduli mau itu ngontrak, numpang atau rumah sendiri dengan sertifikat kepemilikan. Karena rumah memang tempat yang paling dibutuhkan setiap orang. 

Beberapa hari yang lalu kita kembali di kejutkan dengan harga rumah yang semakin naik kembali tidak sesuai dengan pendapatan yang di hasilkan setiap orang. Bagaimana bisa orang-orang memiliki rumah dengan harga yang semakin fantastis sementara pendapatan yang lebih rendah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga rumah terus merangkak naik dari waktu ke waktu. Masyarakat yang memerlukan rumah pun harus merogoh kocek dalam. Rata-rata budget yang perlu disiapkan untuk menebus rumah pun sudah mencapai miliaran.

"Budget orang indonesia Rp 1-2 miliar paling banyak, di atas itu tergolong niche, di atas Rp 5 miliar lebih niche lagi," ungkap Director Research & Consultancy Services Leads Property Martin Samuel Hutapea dalam Property Market Outlook 2023 dikutip Jumat (1/12/2023).

Setiap harga bersifat relatif bisa murah dan bisa mahal. Namun, setiap orang pasti lebih memilih menyesuaikan harga dengan pendapatan biasa. Kenaikan harga rumah per unit di tengah kondisi pendapatan yang tinggi justru akan membuat kepayahan setiap orang. 

Bukankah hal ini jadi pertanyaan besar? Bagi orang-orang yang tidak memiliki pendapatan tetap ingin memiliki rumah bagaimana bisa? 

Walhasil kontrakanlah jadi solusi bagi rakyat yang tidak bisa memiliki pendapatan tetap. Lantas kapan impian punya rumah sendiri bisa terlaksana dengan keinginan? 

Padahal kita hidup di negara yang sumber daya alamnya tidak habis-habis namun, penghuninya alias rakyat negaranya hidup dengan tidak sejahtera. Sungguh tragis dan menjadi pertanyaan besar! Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Yang bisa di titik fokuskan ialah melihat pengelolaan sistem pada pemerintahan negara saat ini. Lagi-lagi kapitalis kembali berulah berhasil membuat rakyat hidup dengan tidak sejahtera.  Kapitalis dengan sistem pengambilan untung sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kesulitan orang lain terus kian melunjak.

Kapitalis habis memborong seluruh kebutuhan rakyat hingga rakyat pun terlunta-lunta ingin mencukupi kehidupannya. Dan ini menjadi koreksi bagi negara bahwa tidak seharusnya membuat rakyat hidup dengan tidak sejahtera.

Negara merupakan cakupan paling besar dalam lingkup memberi kesejahteraan untuk rakyat. Bukan malah membuat rakyat tidak sejahtera. Bahkan untuk mendapatkan kebutuhan yang seharusnya di dapatkan setiap orang saja sulit untuk di capai bahkan hanya jadi angan-angan belaka. 

Contohnya saja 'ingin memiliki rumah sendiri' masih banyak rakyat yang belum memiliki rumah sendiri. Permasalahannya bukan karena mereka yang tidak bisa menghasilkan pendapatan tetap yang tinggi. Namun, sistem pemerintahan kapitalislah yang membuat rakyat seperti saat ini, bekerja hanya bisa mencukupi kebutuhan pangan saja mustahil rasanya bisa memiliki rumah dengan harga yang tidak murah.

Walhasil kebanyakan rakyat hanya bisa bertempat tinggal semampu yang mereka dapatkan. Sungguh ini membuat rakyat hidup dengan tidak sejahtera. 

Justru hal ini berbeda dengan sistem pemerintahan Islam sebagaimana yang telah berhasil membuat rakyatnya sejahtera aman sentosa. Yakni sistem Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah. 

Oleh sebab itu solusi dari semua angan-angan yang dimiliki rakyat hari ini 'hidup dengan sejahtera' akan terwujud jika Islam menjadi sistem pemerintahan suatu negara. Yang telah terbukti saat pemerintahan Khalifah pada masanya. 
Wallahu a'lam bisshhowwab.

Oleh : Marsya Hafidzah Z.
Pelajar

Dugaan Pelanggaran Sangat Jelas, Pemakzulan Jokowi Hanya Persoalan Kalkulasi Angka di DPR/MPR

Tinta Media - Presiden harus taat konstitusi, harus taat hukum. Presiden melanggar hukum dan konstitusi wajib diberhentikan atau dimakzulkan. Kalau presiden diduga melanggar hukum atau konstitusi, DPR wajib memanggil presiden untuk mencari fakta atau klarifikasi atas dugaan pelanggaran tersebut. Kalau terbukti, DPR minta presiden diberhentikan.

Proses pemakzulan merupakan hal normal di negara demokrasi, sebagai bagian dari fungsi pengawasan DPR kepada presiden.
Proses pemakzulan juga sedang berjalan di Amerika Serikat. Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, diduga telah menerima keuntungan finansial dari bisnis konsultan anaknya, Hunter Biden, ketika Joe Biden menjabat sebagai wakil presiden Amerika Serikat. Hunter Biden diduga telah menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan ayahnya ketika itu untuk kepentingan bisnisnya.

Investigasi awal sudah dilakukan. Proses pemakzulan terus bergulir. Awal minggu ini, DPR AS sudah menyetujui untuk menjalankan proses penyelidikan pemakzulan Joe Biden.

Di dalam negeri, juga bergema suara masyarakat menuntut pemakzulan presiden Jokowi, karena diduga kuat telah melanggar hukum dan konstitusi. Masyarakat mempunyai daftar panjang dugaan pelanggaran tersebut. DPR tinggal melakukan proses penyelidikan untuk mencari bukti atas dugaan pelanggaran hukum dan konstitusi Jokowi.

Tampaknya, pembuktian untuk itu tidak terlalu sulit. Karena dugaan pelanggaran hukum atau konstitusi Jokowi cukup jelas.

Antara lain, kasus MK-Gate atau Gibran-Gate yang secara kasat mata melanggar konstitusi, melanggar hak konstitusi DPR sebagai lembaga legislasi, dan melanggar UU anti KKN, anti Nepotisme. Anwar Usman, adik ipar Jokowi dan paman Gibran, terbukti melanggar hukum dan konstitusi terkait moral dan etika tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan hakim wajib bersikap independen dan profesional, memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, serta adil.

Jokowi juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaannya dengan melakukan perubahan UU KPK yang independen menjadi di bawah kekuasaan presiden (eksekutif). Perubahan UU KPK ini diduga kuat untuk melakukan intervensi atau menghalangi proses pemberantasan korupsi, merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.

Terbukti, indeks persepsi korupsi turun dari skor 40 (2019) menjadi 34 (2022). Artinya, ada kekuatan besar yang menghambat proses pemberantasan korupsi.
Selain itu, PERPPU dan UU Cipta Kerja, UU IKN secara kasat mata juga terindikasi kuat melanggar konstitusi.

PERPPU Cipta Kerja bersifat manipulatif. Krisis ekonomi global yang menjadi alasan kegentingan memaksa telah membohongi publik dan melanggar konstitusi, karena faktanya tidak ada krisis ekonomi global. UU Cipta Kerja juga merugikan keuangan negara, perekonomian negara, serta merugikan keuangan masyarakat.

Kebijakan harga tes PCR yang sangat mahal menguntungkan pihak tertentu, dengan merugikan keuangan negara dan keuangan masyarakat. Karena, menurut konstitusi pasal 33 ayat (2), cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, seperti tes PCR, harus dikuasai negara, tidak boleh dikuasai swasta apalagi dengan harga yang bersifat “mark up” alias kemahalan.

Kebijakan kartu Pra Kerja juga diduga menyalahgunakan kekuasaan yang menguntungkan pihak tertentu, antara lain penyedia platform pelatihan yang bersifat oligopolistik beraroma KKN, yang merugikan keuangan negara.

Penetapan APBN secara sepihak oleh Presiden, melalui Peraturan Presiden (Perpres No 54/2020, No 72/2020, PP No 98/2022), sangat jelas melanggar konstitusi, yang berbunyi bahwa APBN harus ditetapkan dengan UU APBN, setelah dibahas bersama, dan mendapat persetujuan, DPR.

Mungkin masih banyak kasus dugaan pelanggaran hukum dan konstitusi lainnya, seperti proyek kereta cepat Jakarta Bandung, proyek infrastruktur termasuk jalan tol, atau pertambangan termasuk perpanjangan izin usaha PT Freeport Indonesia.

Oleh karena itu, tampaknya tidak sulit bagi DPR untuk mencari fakta dan bukti atas dugaan pelanggaran-pelanggaran tersebut. Tergantung dari kemauan DPR saja, apakah mau menegakkan hukum dan konstitusi.
Setelah DPR yakin, dan terbukti, presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau konstitusi, proses selanjutnya DPR minta Mahkamah Konstitusi menetapkan presiden telah melanggar hukum atau konstitusi.
Untuk itu, DPR memerlukan 384 suara (kursi parlemen), dari total 575 kursi parlemen, untuk bisa mengajukan permohonan proses pemakzulan presiden kepada Mahkamah Konstitusi.

Proses selanjutnya di MPR. Untuk bisa memberhentikan presiden diperlukan 534 suara, dari 711 anggota MPR.

Memang, jumlah angka di atas kelihatannya sangat besar. Apakah mungkin?

Sebaliknya, kalau semua anggota DPR berpikir objektif dan taat konstitusi, jumlah angka di atas sangat mudah dicapai. Bahkan bisa jauh lebih besar dari angka minimum yang diperlukan.

Apakah DPR saat ini masih bisa menegakkan konstitusi? Waktu yang akan menentukan.
— 000 —

Oleh: Anthony BudiawanManaging Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Kamis, 14 Desember 2023

Kapitalisme di Ambang Kehancuran

Tinta Media - Banyaknya berbagai konflik yang terjadi di belahan bumi, menunjukkan kegagalan aturan yang bersumber dari kapitalis sekularisme. Dari sinilah pentingnya sebuah perubahan peradaban untuk mengembalikan kehidupan manusia agar sesuai fitrahnya. Butuh sebuah aturan yang komprehensif agar tatanan kehidupan kembali kepada fitrah manusia, yakni aturan Islam yang diterapkan dalam sebuah sistem pemerintahan.

Kesadaran umat Islam untuk melanjutkan kehidupan dengan tegaknya sebuah peradaban Islam, makin menguat di kalangan masyarakat. Banyaknya kezaliman dan kehancuran yang terjadi akibat sistem kapitalis sekuler, membuat umat semakin merindukan adanya sebuah sistem pengganti yang bisa memberi solusi.

3 Maret 1924 M, tepatnya pada bulan Rajab 1342 H, menjadi titik tolak penderitaan umat Islam ketika runtuhnya kekhalifahan terakhir. Sejak saat itu sistem kapitalis sekuler mendominasi dan membuat sengsara umat Islam di dunia.

Sistem kapitalis telah banyak melahirkan kebijakan-kebijakan yang merusak dan menyengsarakan rakyat. Sistem buatan manusia yang jauh dari kata memanusiakan manusia, sehingga menimbulkan kerusakan di setiap sendi dan lini kehidupan manusia itu sendiri.

Sehingga umat Islam harus bersegera bangkit untuk mengalahkan musuh yang sudah di ambang kehancuran. Perlu usaha bersama dan saling bergandengan memperkuat ukhuwah untuk mengalahkan kapitalisme.
Mengutip arti dari surah An-Nur ayat 55: “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi...,”.

Karena sejatinya bumi ini milik orang-orang beriman, jika semua orang beriman maka bumi ini akan bisa diwarisi. Sebagaimana umat juga akan merengkuh kembali apa yang diwariskan oleh Rasulullah SAW, dan sahabat yang mulia yakni, kekhilafahan Islam. Manusia boleh berselisih, boleh berpendapat banyak hal, tapi Allah SWT. dan Rasulullah SAW. yang menetapkan, tidak akan pernah menyelisihi.

Tegaknya sistem kehidupan Islam kaffah, telah ditunggu untuk menggantikan sistem yang rusak pada saat sekarang. Janji Allah SWT. dan Rasulullah SAW. pasti akan datang. Kapitalisme akan ambruk digantikan dengan tegaknya peradaban Islam yang cemerlang.
Saat ini geliat dakwah untuk menuju tatanan kehidupan Islam sudah semakin bergemuruh, memanas di seluruh negeri, bahkan di seluruh dunia. Dakwah Islam kaffah mendapat tempat dan diterima di hati umat, maka pantulan dari kapitalisme itu semakin menguat pula. Sehingga semakin banyak tantangan yang harus dihadapi. Maka umat juga harus semangat, karena itu suatu tanda, dakwah mulai dirasakan dampaknya oleh kaum kapitalis.

Sebagai contoh, ketika dakwah mulai menggeliat di berbagai negeri Asia, Timur Tengah, Asia Tenggara sampai di Eropa, maka dimunculkan gelombang moderasi Islam. Tuduhan radikal, teroris, ekstremis dan semacamnya mulai digulirkan. Isu moderasi Islam dipakai obat dari radikalisme. Dari sinilah awal mula terjadi benturan pro dan kontra khilafah.

Mereka menyusun langkah-langkah untuk membangun jaringan Islam moderat di seluruh dunia yang ramah terhadap barat. Berbagai strategi disusun untuk menghadang dakwah Islam kaffah. Upaya umat Islam untuk kembali kepada ajaran agamanya yang kaffah dianggap sebagai bahaya, dunia Islam harus ramah terhadap demokrasi kapitalis dan tunduk kepada aturan-aturan internasional. Maka dibuat pemetaan dan penilaian kekuatan Islam untuk diadu domba.
Tanda-tanda hancurnya kapitalisme makin kuat terasa, semakin banyaknya tantangan dari mereka, berarti mereka sudah merasakan dahsyatnya dentuman dakwah di tengah-tengah kaum Muslim.

Maka dari itu perlu bersemangat untuk menyambut kemenangan dengan berdirinya sebuah institusi yang disebut khilafah yang merupakan metode syar’i dari Nabi Muhammad SAW. Wallahu’alam bishawab.[]

Oleh: Isty Da’iyah 
Mutiara Umat Institute

Klitih, Eksistensi Diri Tanpa Visi

Tinta Media - Keberadaan seseorang ingin diakui dalam masyarakat, adalah salah satu manifestasi dari naluri mempertahankan diri (gharizah baqo). Naluri ini adalah sesuatu yang fitrah dimiliki semua manusia , sebagaimana naluri beribadah dan naluri melangsungkan jenis/keturunan. Namun pengakuan terhadap eksistensi diri tidaklah bebas nilai dan bebas aturan. Karena jika tidak diatur oleh yang Maha Tahu, maka akan menimbulkan perselisihan, keresahan, keonaran, dan kezaliman.

Gejolak naluri mempertahankan diri pada kawula muda memiliki energi yang dahsyat. Dengan darah mudanya mereka selalu berusaha ingin tampil mengekspresikan potensinya Potensi luar biasa ini akan sayang jika tidak diarahkan pada tujuan atau visi yang benar. Seperti yang terjadi di Jember beberapa hari yang lalu pada bulan Nopember. Kompas.com (20/11/2923) mewartakan aksi klitih mulai masuk ke Jember. Yaitu sekelompok remaja yang melakukan aksi klitih (kliling golek getih), atau arti akronimnya: berkeliling mencari darah. Mereka tergabung dengan geng motor yang melakukan aksinya dengan cara menyasar korban secara acak melukai siapa saja yang ditemui di jalan. Tidak ada barang yang dirampas atau dijambret. Mereka hanya butuh kepuasan menyaksikan korban bersimbah darah, kemudian kabur.

Miris sekali, inilah salah satu contoh pemenuhan naluri baqo yang salah arah dan tanpa visi yang jelas. Meskipun Tim Patroli Polres telah melakukan tindakan cepat menangkap sejumlah pelaku, tetapi masyarakat telah dibuat resah dengan adanya peristiwa ini. Mereka adalah para remaja yang merupakan transisi dari usia kanak- kanak ke dewasa. Pada masa ini mereka butuh identity, mencari jati diri siapa dirinya? 

Permasalahannya, bagaimana mereka dapat menemukan identitas yang benar?

Dalam aksi klitih jelas perbuatan itu tidak dilandasi dengan tuntunan akidah. Bisa jadi mereka berbuat hanya ikut ikutan yang sedang trending, dan dianggap itu sesuatu yang sangat membanggakan. Bisa juga karena mereka mendapat banyak maklumat dari media yang sering menayangkan kekerasan hingga tontonan menjadi tuntunan. 

Apalagi dalam kehidupan sekuler- kapitalisme ini semakin menyuburkan pemahaman yang salah tentang makna hidup. Kebahagiaan dimaknai jika manusia bisa memenuhi semua kebutuhan jasmani dan nalurinya dengan kenikmatan jasadiyah semata.

Islam Menunjukkan Pemenuhan Naluri yang Benar

Dalam Islam semua jiwa dilindungi. Kehilangan nyawa satu orang Muslim itu lebih berharga dari pada dunia dan seisinya. Bahkan sekedar menyakiti fisik seseorang ada diyatnya/ tebusannya. Menghilangkan satu gigi diyatnya adalah 5 ekor unta. Begitu juga diyat berlaku bagi anggota tubuh yang lain. Maka keadilan hukum Islam tampak pada menetapkan hukum qishash sebagaimana firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu qishash dalam perkara pembunuhan.( TQS. Al- Baqarah: 178).

Begitu pula dalam sabda Rasulullah saw. " Barang siapa yang membunuh maka bunuhlah ia. Bagi ahli waris ada dua pilihan, yaitu minta tebusan atau balas membunuh. (HR Bukhari)

Jelas dalam Islam pemenuhan kebutuhan jasmani dan naluri diatur dalam sejumlah hukum syara'. Rasa ingin memiliki sesuatu, ingin dihargai, ingin diakui keberadaan dalam lingkungan dan sebagainya pemuasannya harus tetap pada koridor hukum Islam. Jika ingin memiliki sesuatu dengan jalan menjambret, mencuri, membunuh dan sebagainya maka ia akan mendapat sanksi atas perbuatan yang melanggar hukum Islam. 

Namun jika ia tidak bisa memenuhi nalurinya dan bersabar dengan keadaan itu maka ia tidak akan mendapatkan sanksi apa- apa, kecuali kegelisahan yang melingkupinya.

Negara sebagai institusi terpenting yang kehadirannya bisa menciptakan suasana yang kondusif sangat diharapkan rakyat. Negara hendaknya menerapkan sistem yang teratur sesuai petunjuk Allah Swt. dalam semua lini kehidupan, baik sistem ekonomi, sosial, pendidikan, hukum, pemerintahan dsb. Berkaitan dengan penanganan remaja, maka dibutuhkan sinergi antara keluarga, masyarakat/sekolah dan negara. Keluarga sebagai lingkungan awalan anak hidup harus ditancapkan akidah yang kokoh. Anak dibiasakan menjalankan ibadah dengan baik, saat malam anak dibiasakan istirahat lebih awal agar bisa bangun lebih awal pula, tidak dibiarkan keluyuran hingga dini hari.

Masyarakat juga selalu menyuburkan budaya amar makruf nahi munkar, sehingga tampak suasana kepedulian dengan keadaan sekitar. Saling menghormati, membantu, memberi wadah yang positif untuk anak remaja. Bahkan keberadaan jamaah dakwah yang giat melakukan kajian untuk remaja perlu didukung, tidak malah dicurigai/ dimusuhi.

Walhasil dengan adanya sinergi yang cantik dari tiga unsur ini, akan menghindarkan dari aksi- aksi menyimpang pada anak remaja. Mereka akan dapat menemukan jati dirinya yang positif. Maka kasus klitih atau kasus- kasus negatif lain tidak akan bermunculan dan meresahkan masyarakat.
Wallahu'alam bishawwab

Oleh: Dyah Rini
Kontributor Tinta Media

Refleksi Hari Ibu: Nasib Ibu Kian Pilu

Tinta Media - Pilu rasanya mengamati berita yang muncul di media, sering membuat ketakutan maupun kesedihan luar biasa. Terlebih bagi seorang ibu, yang berperan sebagai pendidik dan pengatur rumah tangga.

Kasus bunuh dirinya seorang anak kelas 5 SD di Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan, setelah dilarang memakai HP oleh ibunya, menambah deretan kasus bunuh diri yang menimpa anak usia sekolah dasar. (Kompas.com, 24/11/23)

Sungguh menyedihkan peristiwa ini, anak yang belum sempurna proses berpikirnya, menemui ajal dengan cara yang dilaknat dalam Islam. Adanya kejadian tersebut, patut menjadi perhatian bagi orang tua, khususnya ibu terhadap tumbuh kembang anak.

Keberadaan ibu sebagai pendidik utama dan pertama, nampak pudar seiring kita memasuki era digital. Memang, digital ini mempunyai efek positif dan negatif. Di satu sisi, segala informasi bisa diakses secara cepat, di sisi yang lain banyak bertebaran tayangan negatif dari ponsel yang mampu membuat anak seakan tersihir untuk main dan memegang telepon genggamnya. Jika diamati kejadian ini timbul dikarenakan ada 5 kondisi yang menjadi penyebabnya, yaitu :

Pertama, kurangnya pemahaman Islam yang ditanamkan dalam keluarga. Memang usia anak yang masih kecil, belum bisa memahami secara utuh, tugas orang tua terutama ibu untuk memahamkan kepada anak setahap demi setahap.

Kedua, kurangnya kedekatan hubungan antara ibu-anak. Banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan anak-anaknya kepada lembaga pendidikan, seperti sekolah maupun TPA, tanpa ikut membersamai anak dalam menjalaninya. Sehingga anak menjalani pendidikan dengan pemahaman semampunya tanpa pendampingan dari orang tua.

Ketiga, kesibukan orang tua dalam menjalani aktivitas rutinnya, membuat mereka tanpa sadar menghilangkan waktu bersama anak, sehingga HP menjadi pengganti dalam menemani kehidupan mereka.

Keempat, karakter anak yang labil, berubah-ubah tidak diketahui oleh orang tua. Sehingga mereka tidak menyangka anaknya mengambil keputusan nekat tersebut.

Kelima, tidak adanya kontrol/pengawasan dari negara dan orang tua, terhadap tontonan yang disuguhkan oleh HP, maupun televisi. Adanya tampilan film, gambar, cerita, bisa menjadi inspirasi perbuatan.

Memang menjadi seorang ibu di era digital akan lebih berat, terlebih dalam lingkungan sistem yang tidak Islam (sekuler). Negara berlepas tangan dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya. Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan pokok, diberikan dengan asas pemisahan agama dari kehidupan. Akibatnya kurikulum sering berubah tanpa landasan kuat berupa agama yang dianut oleh anak. Masalah agama dan pemenuhan kebutuhan pokok lainnya diserahkan kepada masing-masing individu rakyat. Harga kebutuhan hidup yang kian tinggi, kadang membuat ibu mengorbankan kebersamaan dengan anak, demi menambah penghasilan keluarga dalam memenuhi kebutuhan hidup. Nasib ibu kian pilu ketika bertahan hidup dalam negara sekuler, yang hanya bertindak sebagai pembuat aturan belaka, sementara pelaksananya diserahkan kepada para pengusaha.

Maka dibutuhkan kesadaran bagi semua ibu dan muslim pada umumnya, untuk meninggalkan sistem sekuler yang jelas rusak dan batil. Pemahaman yang sahih akan mendorong setiap muslim termasuk para ibu untuk memperjuangkan tegaknya sistem Islam kafah yang terbukti selama tiga belas abad lebih telah memberi rahmat bagi umat manusia. Negara akan memenuhi kebutuhan rakyatnya secara makruf, baik muslim maupun non-muslim. Sehingga mampu mewujudkan generasi cemerlang dengan kokohnya iman yang tertanam dalam setiap jenjang pendidikan dan terpancar dalam kehidupan. Wallahu'alaam bishawwab

Oleh : Nita Savitri 
Pemerhati Kebijakan Publik dan Generasi

Rabu, 13 Desember 2023

Jangan Buru-Buru Bunuh Diri!


Tinta Media - Tampaknya, fenomena bunuh diri bak jamur di musim penghujan. Tidak hanya menyerang usia remaja, dewasa, ataupun orang tua. Tapi juga mampu menyasar usia anak-anak. Seorang bocah SD di Kabupaten Pekalongan yang nekat mengakhiri hidupnya dengan gantung diri setelah dilarang bermain gadget oleh ibunya. WHO memperkirakan setiap 40 detik terjadi kasus bunuh diri di seluruh dunia, Adapun angka bunuh diri di Indonesia menyentuh 826 kasus pada tahun 2022, naik 6,37% dibandingkan tahun 2018 yakni 772 kasus. (health.detik.com, 13/10/2023).

Anehnya, fenomena tersebut semakin masif seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern, yang turut didukung dengan gaya hidup individualistis, egosentris, dan cenderung praktis. Anak-anak saat ini adalah generasi yang dididik oleh gadget, tidak bisa dimungkiri mereka akan menemukan role model virtual di dalam gadget yang dipegang setiap harinya.

Entah itu youtuber kaya raya, game online yang menjanjikan kemenangan, seleb tiktok yang berwajah rupawan, atau reels nyeleneh tapi lucu seperti skibidi toilet yang pernah viral. Terlihat aneh tapi nyata, anak bisa tersenyum sendiri menatap gadget yang ia pegang, tak lama kemudian ia pun bisa marah-marah dan membanting gadgetnya.

Persepsi kebahagiaan di benak anak-anak tidak terlepas dari standar materi duniawi berupa harta atau pujian. Inilah yang membentuk mindset "kepraktisan" dalam benaknya. Mau cepat terkenal di medsos harus memperbanyak konten. Mau mengejar posisi top harus push rank. Atau bisa juga hanya menjadi penonton biasa-biasa saja yang menghabiskan waktu dan kuota demi killing time dan having fun.

Coba bayangkan, anak-anak yang masih alpha dari pemikiran Islam, lagi asyik-asyiknya push rank eh disuruh berhenti. Lagi enak-enaknya nontonin idola malah disita gadgetnya. Jiwanya kosong, dan merasa menjadi anak paling menderita sejagat raya, tidak berguna. Berbagai emosi yang hadir tanpa dibimbing oleh syariat hanya menuju kepada pelampiasan yang sia-sia.

Cikal bakal persepsi keliru inilah yang kemudian berujung kepada depresi. Ditambah bumbu-bumbu perilaku impulsif atas emosi yang tengah bergejolak. Lingkungan sekitar pun tidak ada yang mengarahkan kepada qiyadah fikriyyah Islam. Bukan tidak mungkin berujung kepada pengambilan sikap untuk bunuh diri. Naudzubillah min dzalik.

Sebagai orang tua, ini adalah alarm bagi kita bagaimana mendidik anak di tengah gempuran teknologi yang tidak bisa dielakkan. Segala informasi membanjiri otak anak-anak yang masih polos dan tak berdosa. Jika tanpa kendali orang tua, maka anak akan dikendalikan oleh disrupsi digital.

Ditambah dengan arus feminisme terkait, "Perempuan Berdaya, Perempuan Bekerja" akan makin menggempur ketahanan rumah tangga kaum muslim. Bukan tidak mungkin peran ibu akan tergantikan oleh "ibu virtual". Anak-anak akan meniru apa yang dilihat dan didengar dari gadgetnya. Mereka diasuh oleh tontonan-tontonan yang tidak mendidik.

Tentu hal ini tidak mampu diredam oleh institusi keluarga dan masyarakat saja, dibutuhkan kekuatan yang lebih besar. Bukan kekuatan Superman ataupun Wonder Woman. Melainkan, kekuatan negara yang mampu menyaring informasi dan tayangan ramah anak, dan kurikulum pendidikan yang mampu melahirkan generasi-generasi bermental pejuang.

Sebagaimana lahir generasi Islam seperti Usamah bin Zaid yang menjadi panglima perang di usia 18 tahun. Kemudian, Muhammad Al Fatih yang berhasil menaklukkan Konstantinopel di usia 21 tahun. Tentu saja, mereka dibesarkan dengan kematangan berpikir, dan kedewasaan sikap yang bersumber dari Alquran dan Hadits.

Tren naiknya kasus bunuh diri di Indonesia adalah alarm bagi kita bahwa ada yang salah dengan sistem kehidupan hari ini. Sistem pendidikannya terbukti gagal mencerdaskan generasi, sistem ekonominya terbukti gagal menyejahterakan para ibu, sistem sosialnya pun terbukti gagal dalam menjaga akal dan jiwa. Jangan buru-buru bunuh diri, wahai kaum muslim. Inilah waktu yang tepat untuk berjuang dan menyambut penerapan Islam secara paripurna. Allahu Akbar!

Oleh: Putri Halimah, M.Si.
Sahabat Tinta Media

Nasib Anak dalam Cengkeraman Sistem Rusak

Tinta Media - Anak adalah anugerah yang harus dijaga. Namun sayang, beragam gempuran saat ini menjadikan anak dalam ancaman luar biasa. Berbagai masalah menyapa anak sejak usia belia. Bunuh diri misalnya. Kasus tersebut dilaporkan salah satunya di Pekalongan. Sang anak marah dan depresi saat dilarang bermain gadget terlalu lama. Tidak hanya bunuh diri, kasus perundungan pun menjadi masalah yang terus melingkari dan belum juga temu solusi. 

Mirisnya lagi, perundungan pun seolah dianggap sebagai masalah yang tidak penting. Malah ada yang menganggap bahwa beberapa kasus perundungan adalah candaan diantara anak-anak saja. Sehingga tidak perlu terlalu diambil pusing. Miris. Selain perundungan dan bunuh diri, judi online pun kini tengah merambah di circle pergaulan mereka. Gegara gaya hidup hedonis atau hanya sekedar mengikuti trend, mereka terbawa arus judi hingga akhirnya ketagihan.

Masalah-masalah ini terus menggempur dan merusak cara pandang anak tentang hidup dan kehidupan. Bagaimana tidak? Lingkungan yang rusak, cepat atau lambat akan menjerumuskan anak pada keadaan yang terpuruk. Semua ini merefleksikan bahwa negara telah gagal mengurusi masalah anak. Padahal beragam kebijakan telah ditetapkan. 

Di antaranya pasal-pasal tentang perlindungan anak, kebijakan Kota Layak Anak dan kebijakan lainnya yang mengupayakan perlindungan terhadap hak hidup anak. Namun faktanya, semua aturan tersebut tidak mampu menyentuh akar masalah.

Sistem kapitalisme yang sekuleristik menjadi biang kerok timbulnya berbagai masalah mengerikan pada anak. Sistem yang terus berusaha mendapatkan keuntungan materi, telah memaksa negara agar menetapkan setiap keputusan hanya berstandar pada keinginan para pemilik modal. Alhasil, konsep inilah yang menciptakan kerusakan berbagai tatanan. Salah satunya kurikulum pendidikan yang sama sekali tidak berbasis aturan agama. Aturan agama ditanggalkan karena dianggap menghambat kemajuan. Akhirnya perilaku anak berada di luar batas karena tidak ada pemahaman syariat agama sejak kecil.

Kondisi keluarga dan lingkungan pun sangat mempengaruhi pembentukan pribadi pada anak. Keluarga yang minim ilmu karena orang tua yang sibuk mengejar materi menciptakan jiwa anak yang gersang, minim perhatian dan kasih sayang. Lingkungan yang egois dan serba cuek pun melahirkan pribadi anak yang bebas dan mudah menerima berbagai konsep keliru. Akhirnya sistem destruktif ini melahirkan pola pikir yang bebas dan pragmatis. Semuanya dijalankan serba praktis tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi.

Sementara di sisi lain, negara menganggap masalah anak bukanlah masalah besar yang urgent. Sehingga setiap regulasi yang ada, tidak dilengkapi dengan sistem sanksi tegas yang mengikat. Ini membuktikan bahwa negara tidak serius menangani berbagai masalah anak.

Berbelitnya konsep penjagaan anak ala sistem rusak. Nasibnya kian terkoyak seiring dengan kentalnya kapitalisme sekuleristik. Sungguh, sistem ini benar-benar tidak layak dijadikan pondasi penjagaan anak.
Islam-lah satu-satunya sistem yang menjanjikan harapan. Konsepnya yang amanah akan menjaga nasib anak dari berbagai ancaman. Negara dengan sistem Islam, yakni Khilafah, menetapkan bahwa penjagaan masa depan anak adalah prioritas utama. Sehingga berbagai kebijakan ditetapkan demi menjaga kualitas kehidupan anak. Dalam hal pendidikan, kurikulum pendidikan ditetapkan dengan akidah Islam sebagai basis kurikulum yang utama. Syariat Islam menjadi dasar setiap kebijakan. Sehingga mampu optimal menanamkan kaidah-kaidah Islam sejak dini. Anak pun mampu membedakan konsep halal haram, dan benar salah sesuai standar yang benar sejak usia belia.

Dalam Islam, keluarga pun diposisikan sebagai sekolah yang pertama dan utama. Orang tua menjadi teladan yang mampu menjadi role model bagi anak-anaknya. Kontrol masyarakat pun mampu tercipta optimal karena konsep yang ada dalam tubuh masyarakat adalah konsep yang shahih. Kontrol sosial berfungsi dan mampu menjadi alat untuk saling mengingatkan dan menjaga.
Sempurnanya sistem Islam dalam naungan Khilafah. Dan hanya konsep inilah yang mampu menyajikan harapan dalam penjagaan anak. Anak adalah penerus kehidupan. Dari tangannya-lah, tongkat estafet peradaban mampu dilanjutkan. Wallahu 'alam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

IKN Itu Memang Mengerikan


Tinta Media - Ucapan yang dilontarkan oleh Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono yang dilansir dari CNN Nasional itu memang relate banget menurutku, dengan keadaan Ibu Kota Nusantara (IKN), dari yang sedang menuju tahap pembangunan ataupun yang akan datang. Bagaimana tidak, dari perencanaan sampai pembangunannya saja semua bermasalah, dari pembiayaan, lahan, kependudukan, bahkan sampai ke depan ketika sudah jadi pun publik menilai itu tidak sesuai yang diharapkan.

Wajar memang, jika IKN itu dijadikan tempat hukuman. Walaupun hanya guyonan memang ada benarnya juga kalau hukuman untuk ASN yang kerjanya tidak baik adalah dikirim ke sana. Itu cukup merepresentasikan bahwa IKN ini dilihat dari mana pun, baik untuk rakyat ataupun bahkan sampai pejabat tingkat eselon sekali pun, IKN tidaklah cocok untuk disinggahi, apalagi dibangun.
Sebenarnya apa sih yang menjadi patokannya, hingga pemerintah itu berambisi memindahkan ibu kotanya ke Kalimantan Timur. Disokong dengan dana yang luar biasa yakni mencapai 460 triliun rupiah. Dengan anggaran sebesar ini dan hanya ditopang oleh 20% APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Padahal logikanya, 20% APBN itu tidak mungkin bisa menutupi pembiayaan pembangunan IKN.

Walhasil, untuk menutupi kekurangan anggaran yang sebesar itu, maka tidak bisa menutup kemungkinan akan adanya peran pengusaha ataupun investasi asing yang besar, yang ikut berinvestasi di IKN tersebut. 

Jika sudah begitu, khawatirnya kelak proyek tersebut menjadi proyek yang ambisius untuk kelompok kecil dengan syahwat kepentingan pribadinya tanpa memedulikan rakyat.
Memang sejak awal kontroversial dan banyak pihak yang menilai bahwa pembangunan IKN ini kurang adanya kajian saintifik yang mendalam untuk masyarakat, terkait urgentivitas pembangunan atau pemindahan ibukota ini. Kok bisa, pemerintah ngebet banget untuk membangun di saat perekonomian di negeri ini sedang dalam keadaan yang kurang baik. Akan sangat berbahaya jika banyak pembiayaannya itu diberikan kepada pengusaha, investor, asing ataupun negara lain.

Apalagi yang ditawarkan pemerintah kepada pengusaha ataupun investor adalah sektor yang sangat strategis seperti disektor publik kesehatan, pendidikan, dan juga infrastruktur. Bisa dibayangkan jika dua sektor pokok yakni pendidikan dan kesehatan yang sejatinya itu adalah kebutuhan hajat hidup orang banyak, itu dikuasai dan dikelola oleh pengusaha, yang terjadi adalah sektor tersebut akan dijadikan sebagai lahan bisnis mereka. Nah, jika sudah menjadi lahan bisnis atau berbayar tidak semua orang bisa akses, bisa akses pun layanannya akan tergantung pada pembiayaan yang diberikan, semakin mahal pelayanannya akan semakin istimewa pemberiannya.

Itulah sifat pengusaha, tidak mungkin pengusaha berpikiran akan gotong royong, suka rela berkorban, ataupun gratis. Jika sudah menyangkut bisnisnya, kepentingan masyarakat pasti akan tersingkirkan dengan sendirinya. Karena hakikatnya mindset mereka itu adalah untung-rugi bukan berjuang demi rakyat.

Dari sisi pembiayaan pembangunannya lebih ngeri lagi. Jika banyak ketergantungannya dengan investor ataupun berhutang kepada negara lain, maka tak bisa dipungkiri akan rentan didikte kebijakannya oleh investor ataupun negara lain yang sebenarnya problem ketergantungan ini, adalah PR buat rezim ini.
Jadi bisa kita bayangkan nasib negeri ini ke depan, jika kebijakan sudah didikte oleh negara lain ini tak terbendung, maka akan sangat terasa sekali ketidakberpihakan pada rakyat, dan lebih kepada investor ataupun negara-negara yang sudah memberikan jaminan hutang ataupun jaminan dana, dan pada akhirnya yang menjadi korbannya adalah masyarakat. Tentu ini tidak baik dan akan sangat berbahaya jika diterus-teruskan. Bahkan proyeknya pun tidak akan optimal, bisa jadi yang berkuasa di proyek ini nanti investor, pengusaha ataupun asing.

Oleh: Setiyawan Dwi
Sahabat Tinta Media

Malapetaka, Indonesia Darurat Judi Online pada Anak

Tinta Media - Kapitalisme sungguh nyata merusak generasi muda. Jumlah remaja berkepribadian Islam dengan yang tidak berkepribadian Islam ibarat satu banding seribu. Kapitalisme telah membentuk pola pikir dan pola sikap remaja hanya berorientasi pada materi duniawi dan mengabaikan aturan agama. Salah satunya adalah marak anak terjerat judi online. 

Sepanjang tahun ini, klinik KiDi spesialis anak di Pejaten, Jakarta Selatan sedang menangani hampir 50 kasus anak kecanduan judi online. Yang awalnya remaja SMA dan SMP, tiga bulan terakhir justru anak-anak SD kelas 5 dan 6, yang kebanyakan dari keluarga menengah atas. (BBC.com, 27/11/23)

Mengerikan, Indonesia telah darurat judi online pada anak. Ini merupakan masalah besar yang butuh penanganan serius. Sebab, anak merupakan calon pemimpin. Jika mereka rusak, maka hancurlah masa depan negeri ini. Oleh karena itu, harus dipahami beberapa faktor terkait, yakni: 

Pertama, lemahnya self control anak akibat kegagalan pendidikan dari keluarga maupun sekolah. Seperti diketahui bahwa pendidikan Kapitalis hanya berorientasi pada nilai akademik, sehingga mengabaikan penanaman akidah Islam. Tak heran, anak didik hanya mengejar nilai dan perbuatannya tidak terikat syariat. Keluarga termasuk ibu lebih fokus memenuhi kebutuhan materi, sehingga sibuk bekerja dan mengabaikan perannya sebagai pendidik awal bagi anak. 

Kedua, lemahnya kontrol masyarakat akibat tatanan Kapitalis yang mewujudkan masyarakat individualis dan menjunjung tinggi kebebasan. Tak heran, judi dianggap sebagai kebebasan individu yang tak boleh dilarang. 

Ketiga, lemahnya peran negara akibat penerapan Kapitalisme yang menyebabkannya tak mampu menutup secara total situs perjudian online. Sebab, kepemimpinan Kapitalis menjadikan pemilik modal dapat mengendalikan negara hingga seakan tak berkutik. 

Ini adalah malapetaka besar. Maka, untuk menyelamatkan anak dari jeratan judi online dibutuhkan sebuah negara yang berdaulat penuh agar terbebas dari intervensi. Kebijakannya tak bisa dibeli oleh pemilik modal. Negara itu harus menerapkan secara total sebuah sistem komprehensif yang akan mampu menyelesaikannya.

Negara tersebut adalah Khilafah yang kepemimpinannya menjadi perisai bagi rakyat untuk berlindung dari musuh (baik secara nyata maupun kerusakan). Khilafah akan sepenuh hati menjaga keamanan rakyat dari segala hal yang membahayakan termasuk judi offline maupun online. Sebab, judi merupakan kemaksiatan yang dilarang sesuai dengan firman Allah SWT dalam Alquran surat Almaidah ayat 90. Oleh sebab itu, Khilafah akan melakukan segala upaya pencegahan hingga penyelesaian. 

Khilafah akan mewujudkan sistem pendidikan berakidah Islam yang mampu mencetak anak didik berkepribadian Islam. Khilafah juga mampu membentuk keluarga yang kuat dengan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi setiap individu rakyat. Dengan begitu keluarga tidak hanya fokus bekerja, tetapi mampu mendidik anak-anak sehingga terwujud keimanan kuat pada anak sebagai self control untuk membedakan perbuatan halal atau haram. 

Setelah keimanan individu terwujud, maka akan optimal pula kontrol masyarakat dengan melaksanakan amar makruf nahi mungkar dengan memberikan peringatan dan tak segan melaporkan pelaku kemaksiatan kepada pihak berwenang. 

Khilafah akan memberlakukan patroli polisi baik offline maupun online untuk memastikan masyarakat bersih dari perjudian. Khilafah berkomitmen kuat untuk memantau, meretas, dan memblokir seluruh situs dan fasilitas perjudian. Khilafah juga akan menangkap pelaku, agen atau penyedia fasilitas, dan bandar judi untuk kemudian diberikan hukuman sesuai tingkat kejahatannya. 

Sungguh, Khilafah metode kenabian adalah perisai yang keberadaannya saat ini harus diperjuangkan. Sebagaimana Rasulullah melakukan talabun nushrah ke berbagai kabilah, meskipun dilempar batu dan ditolak demi memperjuangkan tegaknya daulah Islam yang belum diketahui kapan dan di mana. Maka, tidak layak bagi kita untuk sekadar menunggu tanpa memperjuangkan bisyarah itu tegak.

Oleh: Wida Nusaibah
Pemerhati Remaja

SEPUTAR ISTILAH NASHRANI, YAHUDI, DAN AHLI KITAB

Tinta Media - Tanya : 
Ustadz, mohon dijelaskan masing-masing istilah Nashrani, Yahudi, dan Ahlul Kitab? Dan mohon dijelaskan sebagian hukum syara’ yang terkait dengan istilah Ahlul Kitab. (Hamba Allah). 
 
Jawab : 

Akan dijelaskan dulu istilah Ahli Kitab (Arab: Ahlul Kitāb), sebagai kategori umum, baru kemudian akan dijelaskan masing-masing istilah Yahudi dan Nashrani sebagai istilah yang lebih khusus sebagai bagian dari istilah Ahli Kitab yang lebih umum. 

Kami akan menggunakan istilah Ahli Kitab, bukan Ahlul Kitāb, karena istilah Ahli Kitab ini lebih popular dan familiar bagi kita karena digunakan secara baku dalam buku Al-Qur`an dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh Kementerian Agama (Kemenag). Istilah Ahli Kitab ini berasal dari istilah Bahasa Arab Ahlul Kitāb (أَهْلُ الْكِتَابِ). Kata “ahli” dalam istilah Ahli Kitab ini, jangan disalahpahami sebagai orang yang ahli (pakar, expert), sehingga Ahli Kitab lalu diartikan secara salah sebagai orang yang ahli (expert) mengenai suatu kitab. Ini tidak benar. Kata “ahli” dalam istilah Ahli Kitab, artinya dalam Bahasa Arab adalah shāhib ( صَاحِبٌ) atau si pemilik. Jadi Ahli Kitab secara makna Bahasa Arab (ma’na lughawi) artinya adalah Pemilik Kitab, bukan orang yang pakar mengenai kitab. Dalam Bahasa Inggris, istilah Ahli Kitab diterjemahkan sebagai The People of Book. 

Ahli Kitab menurut istilah syariah (ma’na syar’i), adalah orang-orang yang beragama Yahudi dan Nashrani, dengan berbagai macam aliran (denominasi)-nya. Dalam kitab Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan : 

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ ( أَهْلَ الْكِتَابِ ) هُمْ : الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى بِفِرَقِهِمْ الْمُخْتَلِفَةِ 

“Jumhūr (mayoritas) ulama berpendapat bahwa Ahli Kitab itu adalah orang-orang Yahudi dam Nashara dengan berbagai firqah (aliran)-nya yang bermacam-macam.” (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 7/140). 

Jumhūr (mayoritas) ulama yang dimaksud adalah ulama dari 3 (tiga) mazhab fiqih, yaitu ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Adapun ulama dari mazhab Hanafi (Arab: Hanafiyyah), memperluas pengertian Ahli Kitab tersebut sehingga mencakup siapa saja yang beriman kepada sebuah kitab yang diturunkan Allah dan mengakui seorang nabi yang diutus oleh Allah kepada mereka. Dengan definisi dari ulama Hanafiyyah ini, berarti Ahli Kitab tak hanya mencakup kaum Yahudi dan Nashrani, melainkan juga mencakup kaum yang beriman kepada kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud AS, dan kaum juga kaum yang beriman kepada Shuhuf yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim AS. (Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 7/140). 

Namun pendapat yang lebih kuat (rājih), adalah pendapat jumhur ulama, yang membatasi Ahli Kitab hanya kepada kaum Yahudi dan Nashrani, sehingga tidak mencakup yang lainnya sebagaimana pendapat ulama Hanafiyyah, dengan dalil firman Allah SWT : 

اَنۡ تَقُوۡلُـوۡۤا اِنَّمَاۤ اُنۡزِلَ الۡـكِتٰبُ عَلٰى طَآٮِٕفَتَيۡنِ مِنۡ قَبۡلِنَا ۖ وَاِنۡ كُنَّا عَنۡ دِرَاسَتِهِمۡ لَغٰفِلِيۡنَۙ 

“(Kami turunkan Al-Qur’an itu) agar kamu (tidak) mengatakan,”Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan sebelum kami (Yahudi dan Nasrani), dan kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (QS. Al-An’ām : 156). 

Jadi, Ahli Kitab intinya adalah orang-orang yang beragama Yahudi dan Nashrani. Dalam Bahasa Ara, kata Al-Yahūdiyyu ( اَلْيَهُوْدِيُّ ) (Eng : Jew) merupakan kata tunggal (mufrad, singular) yang artinya adalah satu orang penganut agama Yahudi. Bentuk jamak (plural) dari kata Al-Yahūdiyyu ( اَلْيَهُوْدِيُّ ) adalah al-yahūdu ( اَلْيَهُوْدُ ) (Eng : Jews) yang artinya adalah para penganut agama Yahudi (Arab : atbā’ al-diyānah al-yahūdiyyah). (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 485). 

Adapun istilah Nashrani, artinya adalah orang menganut agama Kristen (Arab: man dāna bi dīni al–nashrāniyyah, Eng : Christianity), yaitu agama yang aslinya diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi ‘Isa AS. Dalam Bahasa Arab, kata Nashrāniy ( اَلنَّصْرَانِيُّ ) (Eng : Christian) artinya adalah satu orang penganut agama Kristen. Kata Nashrāniy ( اَلنَّصْرَانِيُّ ) ini adalah kata tunggal (mufrad, singular). Bentuk jamaknya (plural) dari kata Nashrani itu, adalah Nashārā ( اَلنَّصَارَى ) yang berarti para penganut agama Kristen (Eng : Christians). Menurut Syekh Rawwas Qal’ah Jie, kata Nashrāniy ( اَلنَّصْرَانِيُّ ) itu dinisbatkan kepada kata Nashrān ( نَصْرَانُ ) atau Nāshirah ( نَاصِرَةُ ), yang dalam Bahasa Inggris diucapkan Nazareth (Heb. נָצְרַת), sebuah tempat bersejarah di Palestina, sebagai tempat Nabi ‘Isa AS dibesarkan. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 451). 

Dalam Aqidah Islam, kaum yang disebut Ahli Kitab ini, yang terdiri dari kaum Yahudi dan Nashrani, bersama kaum musyrikin, terkategori kaum kafir atau non muslim, yaitu tidak beragama Islam, yang akan masuk neraka Jahannam, sesuai firman Allah SWT : 

اِنَّ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا مِنۡ اَهۡلِ الۡكِتٰبِ وَ الۡمُشۡرِكِيۡنَ فِىۡ نَارِ جَهَنَّمَ خٰلِدِيۡنَ فِيۡهَا ‌ؕ اُولٰٓٮِٕكَ هُمۡ شَرُّ الۡبَرِيَّةِ 

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk.” (QS Al-Bayyinah : 6). 

Rasulullah SAW juga telah bersabda : 

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ 

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik orang Yahudi maupun orang Nashrani yang mendengar tentang aku, kemudian dia meninggal dalam keadaan tidak beriman dengan agama yang aku diutus dengannya (Islam), kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim, Shahīh Muslim, no. 218). 

Meskipun kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) dengan kaum musyrikin sama-sama terkategori kaum kafir (non muslim), namun ada perbedaan di antara keduanya dari segi hukum-hukum syara’ yang mengatur hubungan mereka dengan umat Islam. Misalnya, hukum yang terkait dengan pernikahan atau sembelihan. 

Sebagai contoh, sembelihan Ahli Kitab boleh dimakan oleh kaum muslimin, sedangkan sembelihan kaum musyrik haram dimakan oleh kaum muslimin (lihat QS. Al-Mā`idah [5] : 5). Contoh lain, laki-laki muslim dibolehkan menikah dengan perempuan Ahli Kitab (Arab : Kitābiyyah), yaitu perempuan yang beragama Yahudi atau Nashrani, namun laki-laki muslim itu diharamkan menikahi perempuan musyrik, misalnya kaum Majusi (penyembah api). Firman Allah SWT : 

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ 

”(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka [al-muhshanāt] di antara wanita-wanita yang beriman (muslimah) dan wanita-wanita merdeka [al-muhshanāt] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu (Ahli Kitab).” (QS Al-Mā`idah [5] : 5). 

Berdasarkan dalil ayat tersebut, para fuqaha dari berbagai mazhab –di antaranya adalah fuqaha dari mazhab yang empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad– telah sepakat mengenai bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab (Kitābiyyah). 

Hanya saja, meskipun Imam Syafi’i –rahimahullāh– termasuk yang membolehkan seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, beliau membuat syarat (taqyīd), yaitu perempuan Ahli Kitab tersebut haruslah perempuan keturunan Bani Israil, bukan yang lain. 

Jika perempuan Ahli Kitab itu bukan keturunan Bani Israil, misalnya perempuan Arab, atau perempuan Indonesia, yang menganut agama Yahudi atau Nashrani, maka menurut Imam Syafi’i dia tidak termasuk Ahli Kitab sehingga haram hukumnya bagi laki-laki muslim untuk menikahinya. (Imam Al-Baihaqi, Ahkāmul Qur`ān, 1/187, Beirut : Dārul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1975). 

Pendapat Imam Syafi’i tersebut dalam nash (teks) yang asli dari Imam Syafi’i, sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Baihaqi dalam Al-Sunan Al-Kubrā (7/173) adalah sebagai berikut : 

وَأَهْلُ الْكِتَابِ الَّذِينَ يَحِلُّ نِكَاحُ حَرَائِرِهِمْ أَهْلُ الْكِتَابَيْنِ الْمَشْهُورَيْنَ التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَهُمُ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ دُوْنَ الْمَجُوْسِ 

“Dan Ahli Kitab yang halal hukumnya menikahi wanita-wanita merdekanya, adalah Ahli [Pemilik] Dua Kitab yang masyhur, yaitu Taurat dan Injil. Mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani dari Bani Israil, bukan dari orang Majusi.” (Imam Al-Baihaqi, Ahkāmul Qur`ān, 1/187, Beirut : Dārul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1975). 

Adapun dalil yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i untuk pendapatnya tersebut, tercantum dalam kitabnya Al-Umm (Juz III, hlm. 7) dengan bersandar pada beberapa khabar (hadits) yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir (w. 310 H), di antaranya khabar dari ‘Athā` yang berkata : 

لَيْسَ نَصَارَى الْعَرَبِ بِأَهْلِ كِتَابٍ وَإِنَّمَا أَهْلُ الْكِتَابِ بَنُو إِسْرَائِيلَ الَّذِينَ جَاءَتْهُمْ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيلُ .فَأَمَّا مَنْ دَخَلَ فِيهِمْ مِنْ النَّاسِ فَلَيْسُوا مِنْهُمْ 

“Orang-orang Nashrani Arab bukanlah Ahli Kitab. [Karena] Ahli Kitab itu hanyalah orang-orang Bani Israil yang datang kepada mereka kitab Taurat dan Injil. Adapun siapa saja yang masuk ke dalam golongan mereka [menjadi penganut Yahudi dan Nashrani] dari kalangan manusia [bukan Bani Israil], maka mereka itu tidaklah termasuk golongan mereka [Ahli Kitab].” (Nūruddin ‘Ādil, Mujādalatu Ahlil Kitāb fī Al-Qur`ān Al-Karīm wa Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, hlm. 79; Riyādh : Maktabah Al-Rusyd, 2007). 

Berdasarkan riwayat seperti itulah, Imam Syafi’i berpendapat bahwa siapa saja orang non Bani Israil yang beragama dengan agama Ahli Kitab yang kepada mereka diturunkan Taurat dan Injil, maka mereka itu adalah Ahli Kitab sekedar nama, bukan Ahli Kitab yang hakiki. (Imam Al-Baihaqi, Ahkāmul Qur`ān, 2/57, Beirut : Dārul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1975). 

Pendapat Imam Syafi’i tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama pengikut madzhab Syafi’i selanjutnya, seperti Imam Al-Khathib Al-Syarbaini penulis kitab Mughnī Al-Muhtāj (3/187) dan Imam Nawawi penulis kitab Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab (2/44). 

Pendapat mazhab Syafi’i ini, sebagaimana penjelasan dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, intinya adalah bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan Bani Israil dihalalkan, karena berarti perempuan itu adalah keturunan orang Yahudi atau Nashrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya masih asli dan belum mengalami perubahan (tahrīf). 

Sedang perempuan Ahli Kitab yang bukan keturunan Bani Israil, haram dinikahi karena mereka adalah keturunan orang Yahudi atau Nashrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya sudah mengalami perubahan (tahrīf), kecuali jika mereka menjauhi apa-apa yang sudah diubah dari kitab mereka tersebut. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 9/147). 

Pendapat yang rājih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab secara mutlak, baik perempuan itu dari Bani Israil maupun bukan Bani Israil. Inilah yang kami rājih-kan, berdasarkan 3 (tiga) dalil sebagai berikut : 

Pertama, karena dalil-dalil syar’i yang ada dalam masalah ini adalah dalil yang mutlak, yaitu dalil yang tanpa taqyīd (pembatasan/pensyaratan) dengan suatu syarat tertentu. 

Perhatikan dalil yang membolehkan laki-laki menikahi Kitābiyyah (perempuan Ahli Kitab), yang tidak menyebutkan bahwa mereka harus dari kalangan Bani Israil. Firman Allah SWT : 

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ 

”(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka [al-muhshanāt] di antara wanita-wanita yang beriman (muslimah) dan wanita-wanita merdeka [al-muhshanāt] di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu (Ahli Kitab).” (QS Al-Mā`idah [5] : 5). 

Ayat di atas adalah ayat yang bermakna mutlak, yaitu membolehkan menikahi perempuan muhshanāt yang diberi Al-Kitab sebelum umat Islam, tanpa menyinggung atau menyebut sama sekali sifat atau syarat mereka, bahwa mereka itu harus dari keturunan Bani Israil. Dalam hal ini berlakulah kaidah ushuliyah yang menyebutkan bahwa : 

الْمُطْلَقِ يَجْرِي عَلَى إِطْلَاقِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيلٌ يَدُلُّ عَلَى التَّقْيِيدِ 

“Al-muthlaqu yajriy ‘alā ithlāqihi ma lam yarid dalilun yadullu ‘ala al-taqyīd.” (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembatasan). (Wahbah Az-Zuhaili, Ushūl Al-Fiqh Al-Islāmiy, 1/208). 

Kemutlakan dalil inilah yang dijadikan dasar oleh Syaikh Wahbah Az-Zuhaili untuk menguatkan pendapat jumhur ulama atas pendapat Imam Syafi’i. Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berkata : 

وَالرَّاجِحُ لَدَيَّ هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ، لِإِطْلَاقِ الْأَدِلَّةِ الْقَاضِيَةِ بِجَوَازِ الزَّوَاجِ بِالْكِتَابِيَّاتِ، دُونَ تَقْيِيدٍ بِشَيْءٍ 

“Pendapat yang rājih (lebih kuat) bagi saya adalah pendapat jumhūr, berdasarkan kemutlakan dalil-dalil yang menetapkan bolehnya menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, tanpa ada taqyīd (pembatasan, persyaratan) dengan sesuatu (syarat).” (Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islāmi wa Adillatuhu, 9/147). 

Dengan ini jelaslah bahwa Ahli Kitab itu tidak hanya dari keturunan Bani Israil saja, melainkan siapa saja yang beragama Yahudi dan Nashrani baik dia keturunan Bani Israil maupun bukan keturunan Bani Israil. 

Kedua, karena tindakan Rasulullah SAW (af’āl rasūlullah) dalam memperlakukan Ahli Kitab seperti menerapkan kewajiban membayar jizyah atas mereka, menunjukkan bahwa yang menjadi kriteria seseorang digolongkan Ahli Kitab adalah agamanya, bukan keturunannya (yakni dari keturunan Bani Israil). 

Jadi, kaum Ahli Kitab itu tetap dipungut jizyah, tanpa melihat lagi apakah nenek moyang mereka itu ketika pertama kali masuk Yahudi/Nashrani kitabnya masih asli ataukah sudah mengalami perubahan (tahrīf). Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah telah menjelaskan hal itu dalam kitabnya Zādul Ma’ād (3/158) sebagai berikut : 

الْعَرَبُ أُمَّةٌ لَيْسَ فِيهَا فِي الْأَصْلِ كِتَابٌ، وَكَانَتْ كُلُّ طَائِفَةٍ مِنْهُمْ تَدِينُ بِدِينِ مَنْ جَاوَرَهَا مِنْ الْأُمَمِ …فَأَجْرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْكَامَ الْجِزْيَةِ ، وَ لَمْ يَعْتَبِرْ آبَاءَهُمْ وَلَا مَنْ دَخَلُوا فِي دِينِ أَهْلِ الْكِتَابِ : هَلْ كَانَ دُخُولُهُمْ قَبْلَ النَّسْخِ وَالتَّبْدِيلِ أَوْ بَعْدَهُ 

 “Orang Arab adalah suatu umat yang pada asalnya tidak ada sebuah kitab di tengah mereka. Setiap kelompok dari mereka beragama dengan agama umat-umat yang berdekatan dengan mereka…Maka Rasulullah SAW memberlakukan hukum-hukum jizyah, dan Rasulullah SAW tidak mempertimbangkan nenek moyang mereka, juga tidak [mempertimbangkan] orang-orang yang masuk ke dalam agama Ahli Kitab : apakah dulu masuknya mereka itu sebelum terjadinya penghapusan (nasakh) [dengan turunnya Al-Qur`an] dan penggantian (tabdīl) [tahrīf terhadap Taurat dan Injil] ataukah sesudahnya.” (Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Zādul Ma’ād, 3/158. Lihat Nūruddin ‘Ādil, Mujādalatu Ahlil Kitāb fī Al-Qur`ān Al-Karīm wa Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, hlm. 80; Riyādh : Maktabah Al-Rusyd, 2007). 

Atas dasar itu, orang yang tergolong Ahli Kitab itu tidak dilihat lagi nenek moyangnya, apakah ketika mereka masuk ke agama Yahudi atau Nashrani kitab mereka masih asli, ataukah sudah mengalami perubahan (tahrīf), ataukah ketika sudah diturunkan Al-Qur`an. Maka dari itu, orang-orang pada masa sekarang, yaitu yang hidup setelah diturunkannya Al-Qur`an, jika menganut agama Yahudi atau Nashrani, juga digolongkan sebagai Ahli Kitab. 

Ketiga, ayat-ayat Al-Qur`an yang turun untuk pertama kalinya pada masa hidupnya Rasulullah SAW dan berbicara kepada orang Yahudi dan Nashrani, sudah menggunakan panggilan atau sebutan “Ahli Kitab” untuk mereka itu. Padahal kitab mereka pada saat itu, pada zaman Rasulullah SAW, sudah mengalami perubahan (tahrīf) dari kitabnya yang asli, dan mereka pun bukan orang-orang yang masih menjalankan kitabnya yang masih murni/asli. Misalnya firman Allah SWT : 

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَسْتُمْ عَلَى شَيْءٍ حَتَّى تُقِيمُوا التَّوْرَاةَ وَالإِنجِيلَ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ 

“Katakanlah [Muhammad],’Wahai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al-Qur`an yang diturunkan kepadamu [Muhammad] dari Tuhanmu.” (QS Al-Mā`idah [5] : 68). 

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa orang Yahudi dan Nashrani pada zaman Nabi SAW, tidaklah menjalankan ajaran-ajaran Taurat dan Injil yang diturunkan Allah kepada mereka. Tetapi meski demikian, mereka itu tetap disebut “Ahli Kitab” di dalam Al-Qur`an. Dan ayat-ayat semacam ini dalam Al-Qur`an banyak. (Nūruddin ‘Ādil, Mujādalatu Ahlil Kitāb fī Al-Qur`ān Al-Karīm wa Al-Sunnah Al-Nabawiyyah, hlm. 80; Riyādh : Maktabah Al-Rusyd, 2007). 

Dengan demikian, istilah “Ahli Kitab” sejak awal memang ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani yang sudah menyimpang dan tidak lagi menjalankan ajaran Taurat dan Injil secara lurus. Jadi, istilah “Ahli Kitab” bukan ditujukan kepada orang Yahudi dan Nashrani yang masih asli kitabnya atau yang masih lurus dalam menjalankan agamanya. 

Maka dari itu, tidak benar anggapan bahwa saat ini sudah tak lagi Ahli Kitab dengan alasan istilah “Ahli Kitab” ditujukan untuk orang Yahudi dan Nashrani yang masih asli kitabnya. Pendapat ini tidak benar. 

Berdasarkan tiga dalil di atas, jelaslah bahwa pendapat yang rājih (lebih kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab secara mutlak, baik perempuan itu dari Bani Israil maupun bukan dari Bani Israil, baik nenek moyang mereka masuk agama Yahudi dan Nashrani ketika kitabnya masih asli, maupun ketika kitabnya sudah mengalami perubahan (tahrīf), baik sebelum diturunkannya Al-Qur`an maupun sesudah diturunkannya Al-Qur`an. 

Namun yang perlu kami tegaskan, sesuatu yang mubah (dibolehkan syariah) itu jelas bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah), atau yang diharuskan (wajib). Bahkan perkara yang hukumnya mubah, pada kasus-kasus tertentu dapat diharamkan secara syar’i jika menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), meski hukum pokoknya yang mubah tetap ada dan tidak hilang. Hal ini sesuai kaidah fiqih yang dirumuskan oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani –rahimahullāh– sebagai berikut : 

كُلُّ فَرْدٍ مِنْ أَفْرَادِ الْمُبَاحِ إِذَا كَانَ ضَارًّا أَوْ مُؤَدِّيًا إِلَى ضَرَرٍ حَرُمَ ذَلِكَ الْفَرْدُ وَظَلَّ الْأَمْرُ مُبَاحًا 

“Setiap kasus dari kasus-kasus perkara yang mubah, jika terbukti berbahaya atau membawa kepada bahaya, maka kasus itu saja yang diharamkan, sedangkan perkara pokoknya tetap mubah.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 3/456). 

Berdasarkan kaidah fiqih tersebut, pada kasus tertentu, haram hukumnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, jika terbukti berbahaya atau dapat membawa kepada bahaya bagi laki-laki itu secara khusus. Misalnya, laki-laki muslimnya lemah dalam beragama, sedang perempuan Ahli Kitabnya seorang misionaris Kristen atau Katolik yang sangat kuat beragama dan kuat pula pengaruhnya kepada orang lain. 

Maka dalam kondisi seperti ini, haram hukumnya laki-laki muslim tersebut menikahi perempuan Ahli Kitab ini, karena diduga kuat laki-laki muslim itu akan dapat terseret menjadi murtad dan mengikuti agama istrinya, atau diduga kuat perempuan itu akan dapat mempengaruhi agama anak-anaknya sehingga mereka menjadi pengikut Nashrani. Na’ūzhu billāhi min dzālik. 

Namun pada saat yang sama, hukum bolehnya laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab tetaplah ada, dan tidak lenyap. Hukum ini dapat diberlakukan misalnya untuk laki-laki muslim yang sangat kuat beragama, misalnya ulama, atau mujtahid, atau mujahid, yang menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan rakyat negara Khilafah. Seperti halnya dahulu, ketika sebagian shahabat Nabi SAW menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan Ahludz Dzimmah khususnya setelah terjadi penaklukan (futūhāt) di berbagai negeri. 

Misalnya Utsman bin ‘Affan –radhiyallahu ‘anhu— yang pernah menikahi seorang perempuan Nashrani bernama Na`ilah, yang kemudian masuk Islam di bawah bimbingan beliau. Hudzaifah bin Al-Yaman RA juga pernah menikahi seorang perempuan Yahudi dari penduduk Al-Mada`in. Jabir bin Abdillah RA pernah ditanya mengenai laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan Yahudi atau Nashrani. Jabir bin Abdillah RA menjawab,”Dahulu kami dan Sa’ad bin Abi Waqqash pernah menikahi mereka (perempuan Yahudi dan Nashrani) pada saat penaklukan Kufah.” (Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islāmi wa Adillatuhu, 9/145). 

Kesimpulannya, seorang laki-laki muslim hukum asalnya mubah menikahi perempuan Ahli Kitab, yaitu Perempuan yang beragama Yahudi atau Nashrani. Namun dalam kasus tertentu, hukumnya menjadi haram jika pernikahan itu dapat menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), sedang hukum asalnya tetap mubah. Wallāhu a’lam. 

Bandung, 10 Desember 2023 Muhammad Shiddiq Al-Jawi 
  
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi 
Pakar Fiqih Mu’amalah & Kontemporer 


Referensi : HUKUM LAKI-LAKI MUSLIM MENIKAHI PEREMPUAN AHLI KITAB
http://fissilmi-kaffah.com/frontend/artikel/detail_umum/33

Selasa, 12 Desember 2023

Mampukah Kurikulum Baru Mengatasi Stres Guru?


Tinta Media - Keterkejutan Presiden Jokowi terhadap tingkat stres guru disampaikan pada acara peringatan ulang tahun ke-78 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu (25/11/2023). Presiden mengungkap hasil penelitian lembaga riset internasional, RAND Corporation bahwa stres para guru disebabkan perilaku siswa, perubahan kurikulum, dan perkembangan teknologi. Jika memang karena perilaku siswa, bukankah memang tugas guru mendidik siswa agar berperilaku baik? Mestinya pemerintah membuat kurikulum yang membantu guru agar terwujud siswa berkepribadian Islam dengan memanfaatkan perkembangan teknologi.

Alih-alih membantu, kurikulum yang sering berubah justru menjadi beban guru. Ketika para guru memahami dan menerapkan satu kurikulum, sudah diganti dengan yang baru seiring pergantian menteri pendidikan. Jadi, wajar jika guru stres dengan seringnya perubahan kurikulum.

Untuk mengatasi masalah ini, Mendikbudristek Nadiem membuat kurikulum merdeka yang dianggapnya lebih sederhana dibanding kurikulum sebelumnya. Namun, apakah penyederhanaan semacam ini yang dibutuhkan? Faktanya, banyak guru mengeluh beratnya pembelajaran yang berpusat pada siswa, namun tidak didukung oleh sistem yang baik. Ini membuktikan ketidakmampuan negara menyelesaikan masalah guru.

Perubahan Kurikulum

Menurut Jokowi, kurikulum pendidikan harus berubah seiring perkembangan teknologi, agar guru bisa terus beradaptasi. Harusnya bukan sekadar perubahan kurikulum, tapi peran negara dalam memfasilitasi guru, memanfaatkan perkembangan teknologi dengan pelatihan yang maksimal. Untuk itu, dibutuhkan kurikulum dengan tujuan yang jelas.

Tidak cukup tujuan kurikulum, tapi juga metode pembelajaran yang tegas guna mewujudkan siswa berkepribadian Islam. Butuh dorongan konsistensi pendidik untuk membekali siswa dengan ilmu tsaqafah Islam dan pengetahuan umum maupun keahlian, hingga menghasilkan kecakapan hidup. Jadi, sesering apa pun perubahan kurikulum yang salah, maka tidak akan ada hasilnya.

Penyebab Stres

Jika ditelisik, stres para guru tidak hanya pada sering berubahnya kurikulum, tapi juga berbagai tuntutan. Guru dituntut kreatif dalam mendidik siswa. Di sisi lain, siswa disuguhi berbagai pemikiran sekuler kapitalis yang liberal. Ini berakibat maraknya kasus bullying, kriminalitas siswa, pergaulan bebas, hingga narkoba. Belum lagi wali murid yang menuntut guru yang berusaha mendidik dan mengarahkan siswanya ternyata justru dianggap melanggar HAM. Kondisi ini membuat posisi guru serba sulit hingga stres. Beratnya upaya guru di sekolah dalam mendidik siswa, justru dipudarkan keluarga dan masyarakat. Tenaga dan pikiran guru terkuras untuk memenuhi kebutuhan para kapitalis yang menjadikan pendidikan sebagai penghasil cuan. Maka, guru tidak butuh kurikulum baru yang biasa.

Kurikulum Pendidikan Sahih

Berbagai kurikulum pendidikan dijalankan di Indonesia, namun belum memberi hasil nyata. Guru dan siswa butuh kurikulum sahih yang mampu menjawab berbagai persoalan dengan masifnya perkembangan teknologi. Guru dan siswa akan mampu mengendalikan teknologi untuk kemaslahatan umat, bukan sebagai budaknya.

Inilah urgensi diterapkannya kurikulum pendidikan yang sahih. Kurikulum yang memiliki tujuan, metode pembelajaran, hingga peran negara sahih yang mampu menyelenggarakan pendidikan dengan baik, menjadikan teknologi untuk meringankan guru. Sejatinya Allah berfirman dalam QS. An-Nahl: 125. Dalam ayat tersebut, Allah minta manusia menuju jalan yang benar dengan cara yang baik sesuai tuntunan Islam. Meraih pendidikan dengan benar, bijak, dan pengajaran yang baik untuk mendapat ilmu. Allah lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk.

Kurikulum ini hanya kompatibel dengan sistem pemerintahan Islam yang akan mendorong guru berbuat yang terbaik, tanpa keluhan apalagi stres. Guru paham yang dikerjakan adalah tugas mulia membawa kebaikan akhirat. Allahu a’lam bish showab.

 Oleh: R. Raraswati
Aktivis Muslimah Peduli Generasi

"Pengemis Elite" Campakkan Harga Diri demi Cuan

Tinta Media - Dilansir oleh media kompas 1/12/2023 "pengemis elite" telah diamankan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Ponorogo Jawa Timur. 

Mengapa disebut pengemis elite? Pasalnya, ditemukan kunci hotel yang terkategori bukan hotel ecek-ecek di dalam tas pengemis tersebut. Diakui bahwa dalam seminggu ini pengemis tersebut menginap di salah satu hotel tengah kota. Pengemis tersebut berasal dari kabupaten Jombang dan sengaja datang ke Ponorogo mengendarai bus dengan tujuan mengemis.

Tidak hal yang baru sebenarnya berita semacam ini, karena pada bulan Agustus lalu, di Bogor juga ditemukan pengemis yang di sakunya ditemukan uang sebesar 50 juta. Ini hanya yang terkuak di media yang tidak menutup kemungkinan bahwa masih ada banyak lagi yang lainya. 

Demokrasi Liberal Meniscayakan Adanya Pengemis 
 
Pengemis bisa menjadi peluang dalam mencari cuan dalam sistem demokrasi liberal. Baik online maupun offline, baik kaya atau miskin. Sebab dalam demokrasi liberal yang mengagungkan kebebasan berperilaku, termasuk bagaimana mencari uang. Dengan jalan apa pun asalkan dapat uang yang menjanjikan maka tidak akan lagi banyak pertimbangan. Harga diri, rasa malu, apalagi landasan keimanan dalam setiap tindakan sudah dihempaskan. 

Maka ketika tertangkap Satpol PP, direhabilitasi ataupun dikembalikan ke keluarga tidak akan mampu menghentikan jiwa meminta-mintanya. Kerjaan tanpa berpikir, tanpa berkantor, tanpa modal namun hasilnya menjanjikan. 

Islam Solusi Tuntas 

Islam mengatur segala aspek kehidupan, karena Islam adalah agama yang sempurna. Termasuk bagaimana menangani saat terjadi manusia pemalas yang memandang pengemis sebagai peluang kerja. 

Ingatlah dengan kisah yang diceritakan oleh Anas Bin Malik, bahwa suatu ketika ada seorang pengemis datangi Rasulullah,  pengemis tersebut dari kalangan Anshar. Rasulullah bertanya pada pengemis "apakah kamu memiliki sesuatu di rumahmu?" pengemis itu menjawab "tentu, di rumahku ada baju yang sehari-hari kami pakai juga punya sebuah cangkir" lalu Rasulullah  berkata "ambillah dan serahkan padaku" maka pengemis menyerahkannya kepada Rasulullah, kemudian beliau menawarkan pada para sahabat. Sahabat pun ada yang menawar satu dirham. Kemudian Rasulullah menawarkan kembali "adakah di antara kalian yang membayar lebih?"  lalu ada sahabat yang mau membayar dengan dua dirham. 

Setelah mendapatkan uang dua dirham dari penjualan barang tadi maka Rasulullah menyuruh pengemis untuk membelanjakan makanan untuk keperluan keluarganya dan sisanya untuk membeli kapak.  Lalu dengan kapak itu Rasulullah menyuruhnya untuk mencari kayu bakar lalu menjual kayu tersebut ke pasar dan tidak boleh menemui Rasul selama 2 pekan. 

Pengemis itu mengikuti yang disarankan Rasulullah, maka setelah dua pekan pengemis menemui Rasulullah dengan membawa uang hasil jualan kayu sebanyak 10 dirham. 

Kemudian Rasulullah meminta pengemis tersebut membeli pakaian dan makanan untuk keluarganya seraya bersabda "Hal ini lebih baik bagimu, karena meminta-minta akan membuat noda di wajahmu di akhirat kelak. dan tidak layak bagi seorang meminta-minta kecuali dalam tiga hal yaitu fakir miskin yang benar-benar tidak mempunyai sesuatu apa pun, orang yang memiliki hutang dan tidak bisa terbayar, dan penyakit yang membuat seseorang tidak bisa berusaha (HR. Abu Daud). 
 
Dari sini banyak ibrah yang bisa kita petik untuk menyelesaikan kasus pengemis di negara ini. Pertama, negara wajib menanamkan akidah Islam pada rakyatnya sehingga standar dalam berbuat adalah aturan Islam. Dengan begitu tidak akan ada kaya namun meminta-minta. 

Kedua, negara wajib menerapkan aturan Islam di segala lini kehidupan. Termasuk dalam meriayah rakyatnya dengan sepenuh jiwa, disediakan lapangan kerja yang memadai untuk seluruh pemikul tanggung jawab nafkah, sedang bagi yang kurang cakap maka ada bimbingan, selain itu ada sistem perwalian dalam penanggung nafkah.

Ketiga, jika dengan poin satu dan dua sudah dijalankan maksimal dan sudah beberapa kali peringatan masih saja ada yang kaya namun menjadi pengemis maka negara wajib memberikan hukuman yang menjerakan.

Oleh: Lilik Solekah, SHI. 
Ibu Peduli Generasi
 

 

 

 


Jumat, 08 Desember 2023

Para Pengungsi Rohingya, Mereka Saudara Seiman Kita

Tinta Media - Akhir-akhir ini, ramai sekali diperbincangkan terkait kedatangan para pengungsi dari Rohingya yang berlabuh di perairan Aceh. Sayangnya, kedatangan para pengungsi ini tidak sedikit mendapatkan penolakan dari berbagai pihak, bahkan ada sebagian yang mengajukan agar mereka (para pengungsi) dipulangkan lagi ke negara asalnya. Namun, tidak sedikit pula yang menyambut kedatangan mereka dengan baik. 

Sudah kita ketahui bersama bahwa pengungsi Rohingya merupakan korban dari konflik agama yang terjadi di negara asalnya. Mereka berusaha menyelamatkan diri ke luar negara demi menyelamatkan agama, dan jiwa mereka. Tidak tanggung-tanggung, jumlah pengungsi dikabarkan mencapai ratusan orang, bahkan bertambah menjadi ribuan orang.

Menurut sumber lokal, ada dua perahu yang berisi rombongan pengungsi Rohingya yang datang dan berlabuh di Pidie, Aceh. Perahu pertama datang pada tanggal (14/11/2023) dan membawa 194 pengungsi. Sedangkan keesokan harinya, yakni (15/11/2023), datang kembali perahu kedua yang berisi 147 pengungsi. Kabarnya, para pengungsi dari dua perahu tersebut diterima dengan baik oleh warga sekitar. Semua pengungsi saat ini sedang berada di tempat penampungan. 

Ternyata tidak berhenti sampai saat itu. Keesokan harinya, ada lagi rombongan pengungsi yang datang dan jumlahnya lebih banyak lagi, yakni mencapai ribuan, tepatnya sekitar 2487 orang. 

Kali ini mereka turun di daerah Bireun, Aceh. Informasi dari sumber Kredibel Amnesti menyebut bahwa penduduk setempat ikut memperbaiki kapal yang ditumpangi seraya menyediakan makanan bagi para penumpang. Sayangnya, kedatangan mereka ditolak oleh pihak setempat. Akhirnya, mereka pergi dan berusaha kembali lagi ke perairan Aceh Utara pada sore harinya. Namun, di sana mereka tetap kembali mengalami penolakan. Hingga pada hari Sabtu (18/11/2023), perahu pengungsi Rohingya pun masih terombang-ambing di tengah laut perairan Aceh. 

Usman Hamid, Direktur Eksklusif Amnesty Internasional Indonesia mengatakan bahwa ratusan nyawa berada dalam bahaya. Ia mendesak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh untuk segera dan tanpa syarat menyelamatkan mereka (para pengungsi), menyediakan bantuan kemanusiaan, memberikan keselamatan dan tempat berlindung.
                                  
Desakkan dari Usman Hamid selaku Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Indonesia kepada Pemerintah Pusat dan Daerah Aceh tersebut harus kita acungi jempol. Tindakan yang beliau lakukan merupakan tindakan yang benar dan harus kita dukung. Seharusnya, pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah Aceh memberikan pelayanan keamanan, serta melindungi keselamatan mereka. Mereka sudah susah payah lari menyelamatkan diri ke negara kita, apakah pantas, kedatangan mereka malah kita usir, atau bahkan memulangkannya kembali ke negeri asalnya yang mengancam jiwa mereka?        

Kita harus merasakan bahwa mereka itu tidak baik-baik saja di negaranya, sehingga meminta perlindungan ke negara kita. Apalagi, kita adalah negara yang mayoritas penduduknya muslim. Seharusnya, kita tergerak membantu dan melindungi keselamatan saudara seiman.
                
Apakah kita tega melihat mereka dalam bahaya, terombang-ambing di lautan, mencari perlindungan dan tempat yang aman, sementara kita sebenarnya mampu untuk menolong? Dibmana rasa kemanusiaan dan kasih sayang kita antarsesama? Apa karena mereka beda negara? 

Seharusnya, beda negara, suku bangsa, warna kulit, bahasa, ataupun perbedaan lainya tidak menjadi penghalang bagi kita dalam menolong sesama. Apalagi, mereka sangat-sangat membutuhkan kita.
     
Akan tetapi, sayangnya semenjak runtuhnya Khilafah Islam tahun 1924, dan diganti dengan sistem kapitalis sampai saat ini, Islam itu bak anak ayam yang kehilangan induk. Islam hanya sekadar agama yang tidak memiliki pelindung. Islam pun dibagi-bagi menjadi puluhan negara, dan dikotak-kotak atas nama nasionalisme sehingga hanya disibukkan dengan urusan negara masing-masing, seolah menutup mata dengan kondisi saudara seiman di luar negara.

Padahal, di dalam Islam, kaum muslimin bagaikan satu tubuh, yang tidak boleh ada sekat penghalang. Sejatinya, kaum muslimin sedunia itu satu dan bersatu. Jika ada salah satu yang merasakan sakit, maka satu dan yang lainya merasakan sakit pula. Seperti halnya yang dijelaskan dalam hadis,

"Perumpamaan sesama kaum mukminin dalam menjaga hubungan kasih sayang dan kebersamaan adalah seperti satu tubuh, jika satu anggota merasakan sakit, maka akan membuat seluruh tubuhnya merasakan demam (HR. Muslim).
                                     
Artinya, umat Islam sedunia membutuhkan pelindung yang dapat menjadi perisai umat, yang dapat menyatukan umat dalam satu kepemimpinan, yakni khilafah dalam bingkai daulah. Tanpa khilafah dan daulah, umat akan tetap tercerai-berai, tersekat-sekat, dan tidak memiki pelindung. Sudah saatnya kita kembali kepada Islam dan berjuang untuk tegaknya syariat Islam .... Allahuakbar. Wallahua'lam.

Oleh: Dedeh
Muslimah Bandung

Pembangunan lnfrastruktur dalam Sistem Kufur

Tinta Media - Daerah merupakan bagian dari suatu negara yang perlu diperhatikan dalam pembangunan infrastruktur. Ini karena kemajuan suatu daerah dapat mendorong perekonomian negara. 

Senada dengan rencana Bupati Bandung Dadang Supriatna, dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2024, beliau berpesan agar Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) disusun dengan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). 

Beliau mencontohkan beberapa proyek strategis di Kabupaten Bandung yang menjadi proyek strategis nasional, seperti proyek Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC) yang ada di Tegalluar, Bandung Selatan dan proyek pembangunan jalan tol Gedebage-Tasikmalaya-Cilacap (Getaci) yang akan dimulai tahun 2024.

Setiap rencana pembangunan pemerintah, baik skala nasional ataupun daerah, tentunya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Adanya sebuah pembangunan infrastruktur dapat berpengaruh dalam banyak hal, seperti aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu, pembangunan di setiap daerah harus merata agar tidak terjadi kesenjangan dan persaingan antardaerah.

Maka dari itu, dibutuhkan perencanaan pembangunan daerah karena dengan perencanaan yang tepat, pembangunan dapat terarah dan berkesinambungan. Dikarenakan proyek ini adalah proyek jangka panjang, maka dibutuhkan keseriusan dan kekonsistenan dari pihak-pihak terkait dalam menjalankan proyek sesuai dengan perencanaan agar hasilnya bisa dinikmati oleh masyarakat secara merata. 

Sayangnya, terkadang proyek pembangunan infrastruktur yang sejatinya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah, dengan menciptakan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, faktanya tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat itu sendiri.

Sebetulnya, keinginan masyarakat di daerah sederhana, tidak muluk-muluk. Mereka lebih membutuhkan pembangunan infrastruktur sekolah, jalan, rumah sakit, listrik, air bersih, irigasi, pasar dan lain-lain, bukan kereta cepat atau pembangunan jalan tol. 

Banyak daerah yang belum tersentuh terkait pembangunan infrastruktur. Seharusnya pemerintah dengan aparat daerah melakukan survei terlebih dahulu terkait apa yang di butuhkan masyarakat yang berada di daerah.

Banyak pembangunan infrastruktur yang dibangun pemerintah tidak sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat daerah itu. Salah satunya adalah Kereta Cepat Jakarta Bandung dengan harga tiket Rp300 rb, pastinya sangat tidak berpihak pada masyarakat kecil. Fasilitas itu hanya bisa digunakan oleh kalangan elit saja, tidak untuk kalangan ekonomi sulit.

Sangat terlihat jelas bahwa pemerintah telah gagal dalam mewujudkan pemerataan pembangunan infrastruktur. Pemerintah lebih memanjakan masyarakat elit dengan menyediakan infrastruktur yang super canggih, sedangkan masyarakat kecil dibiarkan berbecek-becekan, meniti jembatan rusak, berjalan belasan kilometer demi mendapatkan fasilitas kesehatan yang bahkan tak memadai. Siswa-siswi belajar di bangunan tak layak. Para petani kesulitan mengairi sawah dan banyak lagi bukti dari abainya pemerintah.

Inilah dampak dari sistem kapitalisme yang tak berpihak pada rakyat kecil. Sistem ini memberikan kebebasan bagi para kapital untuk menjalankan perekonomian sesuai yang diinginkan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Sudah pasti yang menjadi target penghasil pundi-pundi rupiah adalah masyarakat elit, sehingga berapa pun biaya yang digelontorkan untuk membangun infrastruktur yang menjadi kebutuhan masyarakat elit pasti dipenuhi, walaupun harus berutang. Selain itu, ada hal-hal yang dikhawatirkan dari perencanaan pembangunan infrastruktur ini. 

Pertama, di tahun politik ini, ada kecenderungan bahwasanya pembangunan yang jor-joran ini dilakukan pemerintah tak ubahnya sebagai lahan mencari dukungan bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

Kedua, proyek pembangunan infrastruktur ini membuka celah korupsi yang dilakukan pihak-pihak terkait dengan mengurangi spesifikasi atau volume infrastruktur, sehingga berdampak pada kualitas bangunan dan anggaran negara pun jebol.
 
Dana yang harusnya digunakan untuk membiayai pembangunan malah masuk ke kantong para koruptor. Menurut data ICW (Indonesia Corruption Watch), 250 kasus korupsi dalam bidang Pengadaan Barang/Jasa (PBJ), 58% adalah kasus korupsi pembangunan jalan dan jembatan.

Alhasil, tujuan pemerintah untuk menyejahterakan rakyat dalam wujud pemerataan pembangunan infrastruktur sepertinya hanya sebatas harapan palsu. Selama negara masih memakai sistem kufur ini, rakyat kecil selalu yang menjadi korban keserakahan para kapital.

Sistem sekuler kapitalisme yang diemban negeri ini menjadikan manusia hidup bukan dengan aturan Sang Khalik, melainkan dengan aturannya sendiri. Padahal, jelas manusia itu lemah dan terbatas sehingga hawa nafsu cenderung mengungguli akal. 

Parahnya, nilai materi adalah sesuatu yang diagungkan dalam sistem ini sehingga apa pun caranya, entah halal atau haram, tak jadi soal. Salah satunya adalah dengan melakukan korupsi yang jelas-jelas sangat merugikan negara dan imbasnya menyengsarakan rakyat.
  
Dalam sistem pemerintahan Islam (khilafah), perencanaan pembangunan infrastruktur betul-betul dipikirkan dan dibuat dengan tujuan memenuhi kebutuhan rakyat, serta memudahkan rakyat untuk menikmatinya. Pembangunan infrastruktur ini merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan untuk memudahkan aktivitas masyarakat, misalnya pembangunan jalan, kereta api, jembatan, air bersih, listrik, waduk, dan lain-lain.

Negara melalui aparaturnya akan terlebih dahulu melakukan survei turun ke masyarakat. Ini dilakukan untuk mengetahui pembangunan infrastruktur seperti apa yang dibutuhkan rakyat. Setelah itu, barulah Negara membuat rancangan dan merealisasikanya dengan mengerahkan para ahli dan pakar di bidangnya yang amanah dalam menjalankan tugas. 

Inilah bentuk komitmen negara dalam melayani rakyat, yaitu memenuhi segala kebutuhan rakyat. Rasulullah saw. bersabda, 

"Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya yang diurus." (HR.Bukhari).

Atas dasar itulah, pembangunan infrastruktur ini merupakan bentuk ketakwaan kepada Allah Swt., bukan memenuhi kebutuhan para pemilik modal seperti dalam sistem kapitalisme.

Negara dengan sistem ekonomi Islamnya sangat mampu membiayai seluruh pembangunan infrastruktur. Dengan kekayaan sumber daya alam yang dikelola, negara tanpa melibatkan pihak asing mampu menghasilkan pendapatan yang luar biasa. Semua hasilnya disimpan dalam baitul mal (kas negara) yang dialokasikan untuk memenuhi semua kebutuhan rakyat, termasuk pembangunan infrastruktur.

Dengan demikian, pemerataan infrastruktur ini akan membawa dampak pada kemajuan perekonomian rakyat. Rakyat memiliki kemampuan secara ekonomi yang tentunya memengaruhi kualitas sumber daya manusia.

Khilafah dengan aturan yang paripurna mampu menghadirkan kesejahteraan untuk rakyat, termasuk dalam pemerataan pembangunan infrastruktur, ekonomi, dan menjadikan manusia yang berkualitas dan berakidah Islam . Tak ada yang harus diragukan lagi, khilafah adalah rahmat bagi semesta alam. Maka, wajiban bagi seluruh umat Islam untuk berjuang mengembalikan kehidupan Islam. Wallahu'alam.

Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media

𝐒𝐎𝐋𝐔𝐒𝐈 𝐏𝐄𝐌𝐁𝐄𝐁𝐀𝐒𝐀𝐍 𝐏𝐀𝐋𝐄𝐒𝐓𝐈𝐍𝐀 𝐈𝐓𝐔 𝐊𝐇𝐈𝐋𝐀𝐅𝐀𝐇, 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍 𝐍𝐄𝐆𝐀𝐑𝐀 𝐁𝐀𝐍𝐆𝐒𝐀

Tinta Media - Selain hukumnya fardhu kifayah, menegakkan khilafah untuk memobilisasi kaum Muslim berjihad membebaskan Palestina dari penjajahan merupakan solusi satu-satunya. 
.
Lihat saja, tidak ada satu pun dari 57 negara bangsa (nation state) yang berdiri di atas puing-puing khilafah termasuk negara bangsa Arab Saudi dan negara bangsa Indonesia yang tergerak untuk mengerahkan militernya mengusir entitas penjajah Zionis Yahudi dari tempat suci umat Islam ketiga tersebut. 
.
Karena menurut negara bangsa, itu memang bukan kewajibannya. Sedangkan khilafah, memang berfungsi untuk menjaga seluruh negeri kaum Muslim sedunia dari berbagai serangan kafir penjajah.[]
.
Depok, 24 Jumadil Awal 1445 H | 7 Desember 2023 M
.
Joko Prasetyo 
Jurnalis

𝐏𝐄𝐍𝐆𝐀𝐊𝐔𝐀𝐍 𝐉𝐔𝐉𝐔𝐑 𝐃𝐀𝐑𝐈 𝐏𝐑𝐀𝐊𝐓𝐈𝐒𝐈 𝐀𝐓𝐀𝐒 𝐊𝐄𝐋𝐄𝐌𝐀𝐇𝐀𝐍 𝐃𝐄𝐌𝐎𝐊𝐑𝐀𝐒𝐈

Tinta Media - Pernyataan mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang kini menjadi tim sukses salah satu paslon capres-cawapres yang menyebut, "Demokrasi tidak selalu memilih orang pintar, cerdas. Demokrasi yang kita pilih adalah memilih orang yang disukai," merupakan pengakuan jujur dari praktisi demokrasinya sendiri akan kelemahan sistem kufur jebakan kafir penjajah tersebut. 
.
Sekali lagi saya tegaskan, itulah kelemahan fatal dari sistem pemerintahan kufur demokrasi dalam memilih kepala negaranya. Sehingga orang yang tidak memiliki kapasitas bisa terpilih menjadi kepala negara dan wakilnya, karena yang penting populer dan disukai. Lebih parahnya lagi, setelah menjabat umumnya membuat kebijakan yang lebih disukai oligarki, asing, dan aseng meski merugikan rakyat yang telah memilihnya atas dasar rasa suka itu.
.
Berbeda dengan demokrasi, semua calon kepala negara (khalifah) dalam sistem pemerintahan Islam khilafah harus memenuhi tujuh syarat bai'at in'iqad (baiat pengangkatan), yakni: lelaki, Muslim, baligh, berakal, merdeka (bukan budak/tidak didikte oligarki, asing, dan aseng), adil (menempatkan segala sesuatu sesuai syariat Islam), dan mampu mengemban amanah kepemimpinan.
.
Walhasil, hanya yang memenuhi syarat bai'at in'iqad saja yang berhak ikut pemilu dan dipilih oleh rakyat. Jadi, dapat dipastikan siapa saja yang disenangi rakyat sehingga diba'iat adalah benar-benar pemimpin yang bukan hanya populer dan disukai tetapi juga memenuhi standar kelayakan sebagai orang yang berkewajiban mengurus urusan rakyat dengan syariat Islam secara kaffah di dalam negeri dan menjadikan dakwah dan jihad sebagai asas politik luar negerinya.[]
.
Depok, 24 Jumadil Awal 1445 H | 7 Desember 2023 M
.
Joko Prasetyo 
Jurnalis
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab