Tinta Media - Kondisi Indonesia yang jumlah penduduknya besar, ditambah
banyaknya wilayah dengan topografi pegunungan, termasuk beberapa wilayah
di Kabupaten Bandung, menjadikan keberadaan sekolah menengah atas (SMA),
terutama SMA negeri belum dimiliki secara merata. Hal ini menyebabkan sulitnya
mencari SMA bagi peserta didik untuk melanjutkan pendidikannya, terutama mereka
yang tinggal di daerah-daerah pelosok.
Kebijakan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang
menggunakan sistem zonasi membuat mereka tidak dapat masuk ke SMA karena berada
di luar zonasi. Akhirnya, mereka kalah saing dengan yang rumahnya lebih
dekat dengan sekolah.
Dengan keadaan seperti ini, ketua DPRD Kabupaten
Bandung Sugianto mengatakan bahwa Pemkab Bandung bisa saja mengajukan
sekolah baru kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk memfasilitasi siswa
yang rumahnya ada di luar zonasi. Salah satunya yang jauh dari titik terluar
Kabupaten Bandung. Bila pengajuan ini tidak juga disetujui, maka bisa memberi
intervensi dalam bentuk lain, seperti mengajukan sekolah satu atap, yaitu SMA
dan SMP terdekat, atau intervensi anggaran.
Akan tetapi, biasanya pemerintah provinsi tidak mengabulkan
permohonan tersebut karena ada beberapa persyaratan, seperti ketersediaan lahan
dan lainnya. Padahal, bisa saja dilakukan dengan memberikan hibah lahan
milik pemerintah daerah, sehingga Pemkab Bandung bisa memberi intervensi lebih
agar anak yang di luar zona tetap bisa melanjutkan pendidikan.
Sarana pendidikan di Kabupaten Bandung memang belum
tersedia secara merata, sehingga banyak anak didik yang ingin melanjutkan
sekolahnya belum bisa terpenuhi. Padahal, pendidikan adalah kebutuhan asasi
rakyat yang harus dipenuhi oleh negara, karena sangat penting. Di sisi lain,
peserta didik usia SMP dan SMA merupakan generasi muda, generasi penerus
bangsa. Di tangan merekalah keberlangsungan bangsa ini akan
ditentukan.
Oleh karena itu, pendidikan merupakan indikator yang dapat
menentukan maju-tidaknya bangsa ini. Akan tetapi sayang, sistem zonasi yang
katanya ingin memperbaiki penyebaran siswa agar lebih merata, nyatanya tidak
terwujud, karena akhirnya banyak siswa yang tidak bisa masuk ke sekolah negeri.
Ini karena mereka berada di luar wilayah (zona) sekolahnya.
Banyaknya siswa yang berharap bisa masuk sekolah negeri,
terutama yang kurang mampu, tidak sebanding dengan ketersediaan sekolah. Untuk
membatasinya, akhirnya pemerintah memberlakukan empat jalur PPDB bagi SD, SMP,
SMA, yaitu jalur zonasi, jalur afirmasi, jalur perpindahan, dan jalur
prestasi.
Melalui empat jalur ini, para peserta didik berpeluang untuk
dapat masuk ke sekolah yang dituju, mulai dari jalur prestasi yang di tahun ini
berdasarkan prestasi ekstrakurikuler, yaitu prestasi di bidang olahraga
seperti bola, renang, silat dan lain sebagainya. Sedangkan jalur afirmasi bagi
yang kurang mampu dengan syarat-syarat yang rumit, yang kadang tidak tepat
sasaran.
Dalam pelaksanaannya, sistem zonasi ini banyak menuai
kekecewaan pada para peserta didik, karena tidak masuk kategori atau jarak
sekolah yang jauh. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang ingin
mendapatkan keuntungan di tengah kebingungan masyarakat yang membutuhkan
sekolah yang gratis atau murah dengan kualitas yang baik. Akhirnya, mereka
menawarkan jalur belakang agar bisa masuk sekolah negeri, dengan syarat harus
mengeluarkan sejumlah uang yang cukup besar.
Kejadian ini terus berulang setiap tahun tanpa ada sanksi
hukum untuk para oknum yang melakukan kecurangan, sehingga masyarakat sudah
tidak takut atau malu ketika mereka mengambil jalan belakang (kecurangan)
supaya anaknya bisa masuk sekolah negeri.
Situasi seperti ini bisa saja dapat merugikan peserta didik
lain, karena dengan kuota yang terbatas, akhirnya dapat menggeser posisi
siswa yang masuk kategori empat jalur PPDB, dengan uang 'pelicin'
tersebut.
Pada akhirnya, bagi yang tidak lolos masuk ke sekolah
negeri, mereka terpaksa ke swasta walaupun berbiaya mahal. Bagi yang
tidak mempunyai biaya untuk pendidikan, mereka terpaksa putus sekolah.
Sungguh miris, di saat negara tidak mampu memenuhi kebutuhan
rakyat terhadap pendidikan, pada saat yang sama ada oknum-oknum yang
memanfaatkan hal tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, dan
rakyatlah yang selalu dirugikan.
Inilah realitas pendidikan di negeri ini yang berwajah kelam
dari berbagai sisi, akibat penerapan sistem kapitalisme sekularisme. Pendidikan
dijadikan sebagai lahan bisnis untuk meraih keuntungan, tidak lagi menjadi
kewajiban (tanggung jawab) negara yang wajib dipenuhi.
Negara memberikan peluang seluas-luasnya kepada swasta untuk
mendirikan lembaga pendidikan dan memanfaatkan peluang ini untuk menjadi lahan
bisnis yang menguntungkan. Sehingga, sering kita dapati bahwa di sekolah swasta
yang biayanya mahallah rakyat bisa mendapatkan kualitas pendidikan yang lebih
baik dibandingkan di sekolah negeri yang menjadikan sekolah terpinggirkan.
Di sisi yang lain, yang dapat mengenyam sekolah mahal dan
berkualitas hanyalah orang kaya. Sementara, rakyat kebanyakan berebut kursi
sekolah negeri dengan sistem zonasi yang belum tentu berkualitas baik. Itu pun
berpotensi timbul kecurangan.
Padahal, kebutuhan akan pendidikan adalah kewajiban negara
untuk memenuhinya dan merupakan hak rakyat. Penyelenggaraan pendidikan
semestinya dilakukan secara maksimal, mulai dari pengadaan sarana prasarana
berupa gedung dengan berbagai fasilitasnya, tenaga pengajar beserta
perangkatnya, kurikulum yang dapat memajukan peserta didik. Jadi, bukan hanya
cerdas, tetapi juga memiliki ketakwaan yang kuat, dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan tsaqafah demi kehidupan masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan ini tersebar hingga ke pelosok
wilayah pedesaan, baik di gunung ataupun di tepi pantai. Dengan akses jalan dan
transportasi yang memadai untuk memudahkan rakyat di mana pun mereka berada,
mampu menjangkaunya, sehingga hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang
berkualitas tapi gratis, bisa mereka peroleh, tanpa menjadi beban atau bahkan
menjadi celah kecurangan bagi oknum-oknum manusia yang serakah.
Gambaran tersebut hanya dapat terwujud dalam penerapan
sistem hidup yang sahih, yang diterapkan oleh penguasa yang hanya ingin
memelihara kehidupan rakyat secara benar, sebagai wujud tanggung jawabnya
kepada Sang Khalik. Inilah sistem pemerintahan Islam, yakni khilafah.
Keberadaan khalifah sebagai pemimpin ibarat penggembala, sebagaimana sabda
Rasulullah saw. yang artinya:
"Al Imam (khalifah) adalah penanggung jawab, dan dia
akan dimintai pertanggungjawaban atas segala yang diurusnya."
Melalui konsep kepemimpinan tersebut, pendidikan sebagai kebutuhan
asasi rakyat akan dipenuhi oleh negara secara gratis dan berkualitas. Negara
akan membiayai penyelenggaraan pendidikan tersebut dari kas di Baitul Mal, di
salah satu pos pemasukan harta kepemilikan umum. Salah satunya dari hasil
pengelolaan SDA milik umum, yang dikelola oleh negara untuk kesejahteraan
rakyat.
Negara hadir sebagai pengurus dan pelayan rakyat.
Negara tidak akan menyerahkannya kepada swasta untuk diambil keuntungan
sehingga menyebabkan rakyat kesulitan untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.
Untuk mencegah terjadinya kemungkinan terjadi kecurangan, negara akan membuat
mekanisme yang rapi dalam penyelenggaraan pendidikan ini, mulai dari pengadaan
sarana prasarana, SDM pendidik, kurikulum, mekanisme penerimaan siswa didik,
dan sebagainya yang jauh dari unsur-unsur manipulasi atau celah kecurangan karena
dilandaskan kepada kekuatan akidah aparatur negara, termasuk SDM pendidik.
Jikapun terjadi kecurangan oleh pihak tertentu yang
memanfaatkan situasi demi keuntungan mereka, negara akan menindak tegas
dengan sanksi yang bersifat zawajir dan jawabir, efek jera dan penebus dosa,
sehingga menutup celah munculnya orang yang berbuat kecurangan.
Selain itu, ketakwaan pada masyarakat akan menghidupkan amar
makruf nahi mungkar, sehingga mereka akan terhindar dari perbuatan
curang, baik yang mungkin dilakukan oleh oknum rakyat maupun oknum aparat atau
pegawai negara.
Maka, negara akan fokus dalam mencapai tujuan pendidikan,
yaitu mencetak generasi berkepribadian Islam yang unggul sebagai penerus dan
pengisi peradaban Islam yang mulia. Sejarah telah membuktikan bahwa sistem
Islamlah yang pernah melahirkan peradaban mulia pada masa penerapannya selama
lebih dari 13 abad.
Di masa kejayaannya, peradaban Islam telah melahirkan banyak
ilmuwan dan cendekiawan, sekaligus ahli fikih dan calon-calon pemimpin umat.
Cahaya ilmu dari peradaban Islam bukan hanya menerangi kehidupan kaum muslimin,
tetapi juga kehidupan umat manusia di dunia, hingga mereka bangkit
bersama-sama, memajukan peradaban manusia. Betapa kita merindukan peradaban
Islam kembali yang akan memberikan keberkahan bagi manusia dan alam semesta.
Wallahu alam bi shawab.
Oleh: Dela, Sahabat Tinta Media