Pengosongan Lahan di Pulau Rempang, IJM: Dampak Dari UU Omnibuslaw Cipta Kerja
Tinta media - Menanggapi konflik pengosongan lahan yang menimpa warga pulau Rempang, Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menilai ini sebagai dampak dari Undang-Undang (UU) Omnibuslaw Cipta Kerja.
"Konflik pengosongan lahan di pulau Rempang, Kepulauan Riau merupakan dampak Undang-Undang Omnibuslaw Cipta Kerja," tuturnya dalam video yang bertajuk Pulau Rempang Bukan Tanah Kosong, Kamis (14/9/2023) di kanal Youtube Justice Monitor.
Sebab lanjutnya, filosofi dari Omnibuslaw adalah mempercepat pembangunan dan memberikan karpet merah pada investasi dengan segala konsekuensi, sehingga komunikasi dalam pengosongan lahan kepada warga tidak diperlukan lagi.
"Kesannya komunikasi itu tidak diperlukan, karena sudah diputuskan di dalam Undang-Undang Cipta Kerja, bahwa semua proyek yang disebut sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) itu harus dilakukan dengan segala macam konsekuensinya," ucapnya.
Tidak Memihak
Agung membeberkan bahwa keputusan memberikan seluruh lahan kepada investor adalah sikap yang tidak memihak kepada rakyat. "Ini berdampak pada 16 kampung tua, suku Melayu di sana, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat yang sudah bermukim di Pulau Rempang sejak 1834 tergusur," bebernya.
Ia menegaskan, bahwa PSN dinilai banyak pihak merupakan cerminan bagaimana pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang sepihak tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
"Selain itu banyak sekali terjadi pola-pola yang sama untuk mengakomodir pembangunan dan investasi dengan menaikkan skalanya menjadi Proyek Strategis Nasional,” imbuhnya.
Pengadaan tanah bagi PSN ini, lanjutnya, semakin dipermudah sejak Undang-Undang Cipta Kerja ini ditetapkan. Dampaknya bisa dilihat dari berbagai letusan konflik yang terus-menerus terjadi, akibat pembangunan PSN.
Tanah Kosong
Agung mengingatkan, bahwa Rempang bukanlah tanah kosong, dan yang harus menjadi catatan adalah pemerintah harus membangun kesejahteraan rakyat. "Tanah itu bukan untuk investor ,tanah itu untuk rakyat untuk kesejahteraan rakyat," tegasnya.
Agung menilai, pertumbuhan ekonomi yang besar lewat investasi dan melupakan dampak-dampak yang ada adalah cara berfikir pembangunan berasaskan kapitalisme.
"Sudah waktunya kita menata tanah ini dengan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan syariah Islam, posisi mereka yang tinggal, yang memproduktifkan itu berhak lebih banyak daripada mereka-mereka yang ingin berinvestasi," pungkasnya. [] Setiyawan