Tinta Media: Olahraga
Tampilkan postingan dengan label Olahraga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Olahraga. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Februari 2024

Industri Olah Raga Melemahkan Umat?



Tinta Media - Industri bola yang bergengsi dan melibatkan sumber daya ekonomi banyak adalah piala dunia. Bisa jadi, olimpiade juga dapat menyamainya. Pertandingan antar bangsa ini berguna untuk memupuk semangat persatuan dan kebangsaan. Bahkan, sampai ada yang menyatakan bahwa atlet dan pemain yang sedang berlaga dalam even tersebut sedang berjihad. Terdengar begitu bijak dan heroik, bukan?

Jihad dalam arti bahasa adalah bersungguh-sungguh. Mungkin bisa saja disematkan, tetapi jihad sebagai istilah adalah aktivitas-aktivitas yang terkait langsung dengan perang fisik, seperti pengerahan tentara, pembuatan senjata, mempelajari ilmu pembuatan senjata, dan aktivitas lain yang terkait langsung dengannya.

Seperti Khilafah Utsmaniyah yang mengerahkan semua sumber daya dalam Perang Dunia Pertama, walau mereka kalah perang setelah berjihad melawan blok sekutu yang dimotori Inggris dan Prancis.
Pemenang perang akhirnya membagi-bagi wilayah kekuasaan  Khilafah Utsmaniyah. Pembagian ini dilakukan dalam perundingan Sykes-Picot. Kemudian, lahirlah banyak negara bangsa setelahnya.
Karena pembagian dilakukan di atas peta, maka batas-batas negara baru itu lurus-lurus saja. Lihat batas-batas negara Mesir, misalnya.

Hal demikian juga terlihat dari batas negara yang tampak di pulau Papua. Sesama penjajah tentu membagi wilayah jajahan mereka lewat perjanjian dengan menggunakan peta juga.

Hal unik lainnya adalah model dan warna bendera negara yang dulunya menjadi bagian Khilafah Utsmaniyah ternyata mirip desainnya, baik pola dan pilihan warna. Hal itu terjadi karena memang idenya juga lahir dalam perjanjian Sykes-Picot.

Silakan diperiksa bagian bendera yang ada di ikon grup WA, banyak yang mirip, bukan? Bahkan, termasuk bendera Palestina yang masih terjajah secara fisik sampai sekarang. Bagi yang mau memeriksa lebih lanjut, silakan periksa tahun kemerdekaan negara yang mempunyai kemiripan desain benderanya dengan Palestina tersebut. Saya pastikan, Anda akan menemukan semuanya merdeka setelah tahun 1916 Masehi.

Pemenang perang yang jadi penguasa dunia juga merancang strategi agar umat senantiasa lemah dan tetap berpecah belah. Mereka tidak ingin muncul lagi persatuan hakiki umat Islam. Maka, tidak heran jika perselisihan bahkan perang antar bangsa yang rakyatnya mayoritas Islam sering terjadi.

Salah satu strategi mereka yaitu dengan merancang "perang semu" untuk memupuk semangat nasionalisme negara-negara bangsa.

Maka, dihadirkanlah ajang piala dunia dan olimpiade yang digunakan untuk tetap memompa semangat persatuan negara bangsa.

Terciptalah ashabiyah (fanatisme) kebangsaan di benak umat. Mereka jadi lalai dan lupa bahwa dahulunya pernah bersatu dalam satu kepemimpinan, yaitu Khilafah Utsmaniyah, Khilafah Abasiyah, Khilafah Umawiyah, Khulafaurrasyidin yang mewarisi kepemimpinan dari Rasulullah shalallahualaihiwassalam.

Khilafah tentu dalam sejarahnya diwarnai dengan pasang surut karena memang sistem kepemimpinan tersebut dijalankan manusia bukan malaikat.

Sejarah awal negara bangsa merupakan "lubang kadal gurun (biawak)" yang dirancang keturunan Yahudi dalam rangka mewujudkan mimpi mereka untuk menghegemoni dunia.

Mereka sadar, selagi bangsa-bangsa masih disatukan oleh agama, seperti Eropa yang pernah bersatu di bawah kekristenan dan Arab di bawah Islam, mereka tidak punya peluang untuk mewujudkan mimpinya.

Propaganda mereka berhasil dengan terjadinya Renaisance dan Revolusi Prancis. Revolusi ini meruntuhkan kekuasaan berbasis kekristenan di Eropa. Ketika negara bangsa di Eropa juga memusuhi mereka, selanjutnya kepemimpinan Islam menjadi targetnya. Makar dan propaganda  "pan arab"  mereka berhasil juga melahirkan Revolusi Arab. Revolusi ini berpengaruh sangat penting terhadap keruntuhan Khilafah Utsmaniyah di tahun 1924 Masehi, walau banyak lagi faktor lainnya.

Mereka berhasil lagi. Setelah Perang Dunia Kedua, lahirlah negara bangsa impian keturunan Yahudi. "Bidan"-nya Inggris, "dokter"-nya Amerika. Maka, wajar negara bangsa ini selalu di dukung sang "polisi dunia". Negara yang jadi bayangan dari  negara-negara Arab ini sampai sekarang masih menjajah dan melakukan genosida terhadap umat Islam di Baitul maqdis. Semoga laknat Allah Azza wa Jalla tetap pada mereka.

Negara bangsa dengan penduduk mayoritas muslim yang lemah dari banyak sisi hanya diam saja

Mereka membela mati-matian bangsa sendiri dan nyaman dalam berpecah belah, tenggelam dalam euforia "perang semu".

"Itu bukan urusan kita. Itu masalah mereka."

Ungkapan itu terdengar keren dan bijak.

Walau ada kecaman, aksi boikot, bantuan obat-obatan, dan makanan dari sebagian umat dan pemimpin umat, hal itu tidaklah cukup, karena yang diperlukan adalah segera mengirim kekuatan tentara. Tentara hanya bisa digerakkan oleh pimpinan negara.
Itulah yang dilakukan oleh Khalifah Mu'tashim ketika membela seorang muslimah yang dilecehkan di Amuria. Sang Khalifah mengirim tentaranya, ujungnya sudah sampai di Amuria, ekornya masih di Baghdad. Baghdad saat itu menjadi ibu kota khilafah.

Saya yakin banyak tentara muslim ingin berangkat ke Palestina, Uyghur, Khasmir, Rohingya, atau lainnya. Mereka tinggal menunggu perintah jihad saja.

Keinginan Itu hanya akan terjadi jika segenap komponen umat mau dan rindu kembali bersatu tanpa sekat negara bangsa dan mau berjuang untuk menegakkan khilafah.
Terdengar mimpi dan utopia? Tidak bagi umat yang kuat keyakinannya terhadap janji Allah Azza wa Jalla dan bisyarah (kabar gembira)  dalam hadis Rasulullah shalallahualaihiwassalam.

Oleh: Mak Wok
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 10 Juni 2023

Antara Olahraga dan Stunting, Mana yang Lebih Penting?

Tinta Media - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyatakan bahwa Indonesia menggelontorkan Rp852,2 miliar untuk keperluan mentas di SEA Games Kamboja 2023 dan digunakan untuk pembinaan atlet hingga bonus bagi peraih medali.

Dana tersebut digelontorkan dari APBN melalui Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). 

Dalam akun Instagramnya pada 17/5/2023, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan rincian anggaran tersebut dalam tiga peruntukan, di antaranya:

Pertama, Rp522 miliar untuk pembinaan atlet-atlet sebelum berlaga di multi-event internasional. 

Kedua, Rp55,2 miliar untuk bantuan pengiriman kontingen menuju Kamboja. 

Ketiga, Rp275 miliar untuk pemberian bonus bagi peraih medali (atlet/pelatih/asisten pelatih) SEA Games ke-32. (CNN Indonesia, 17/5/2023)

Besarnya pendanaan yang digelontorkan oleh pemerintah tersebut, menunjukkan bahwa pemerintah lebih memprioritaskan sektor olahraga ketimbang sektor yang lebih penting yang menyangkut nyawa manusia. Salah satunya adalah stunting. 

Karena event olahraga dijadikan sarana untuk mengharumkan nama bangsa di mata dunia, prestasi dianggap sebagai kehormatan negara. Sehingga, negara secara totalitas mempersiapkannya, termasuk menyediakan dana yang fantastis.

Padahal, negeri ini sedang dirundung persoalan yang lebih penting dan mendesak untuk di atasi sebab terkait dengan nyawa manusia, termasuk anak-anak, seperti kemiskinan ekstrem, stunting, infrastruktur, pendidikan dan kesehatan yang masih belum memadai, dan kurang berkualitas. 

Kepentingan Politik

Penggelontoran dana yang cukup signifikan untuk kegiatan olahraga di tengah kemiskinan dan stunting yang masih melanda masyarakat menunjukkan gagalnya negeri ini menempatkan prioritas kebijakan yang benar dan tepat. 

Hal ini cukup menjadi bukti bahwa kepentingan, keselamatan, kesehatan, dan pendidikan masyarakat tidak menjadi prioritas oleh negara dalam penerapan sistem kapitalisme demokrasi. Sebab sistem demokrasi kapitalisme menempatkan materi dan kekuasaan di atas segalanya. Yang lebih dikedepankan adalah kepentingan politik, kelompok, kekuasaan dan ekonomi. 

Inilah kebijakan khas kapitalis. Keberadaan SEA games dipandang akan menaikkan posisi Indonesia di mata dunia dan tak menutup kemungkinan dengan kemenangan Indonesia laga 2023 akan membuka peluang baru berupa kesepakatan ekonomi dengan negara lain. 

Penguasa yang lahir dari sistem politik demokrasi juga menghilangkan posisi riayah(kepengurusan) atas urusan rakyat. Penguasa kini menjelma menjadi regulator yang membuat regulasi untuk memuaskan hasrat para kapitalis. 

Kembali pada Sistem Islam

Kondisi ini sangat berbeda dalam sistem Islam. Islam memandang bahwa negara bertanggung jawab penuh atas kebijakan maupun regulasi terkait berbagai urusan dan kebutuhan hidup rakyat. 

Negara dalam Islam atau khilafah wajib memastikan bahwa seluruh kebijakannya memang dipersembahkan untuk kemaslahatan rakyat dan memperkuat kedaulatan negara. Hal ini akan terwujud jika negara menerapkan seluruh aturan Islam secara kaffah, baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial, sanksi, dan sebagainya sebagai konsekuensi atas keimanan dan ketakwaan dan amanah kepemimpinan. Hal ini akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Jika mereka lalai atau berkhianat, maka mereka diancam dengan hukuman yang berat. 

Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda: 

"Dia yang berkuasa atas lebih dari 10 orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran." (HR. Tirmidzi)

Prioritas kebijakan khilafah tegak di atas akidah Islam dan prinsip syariat Islam. Negara tidak akan membiarkan satu pun rakyatnya hidup dalam kelaparan serta jauh dari akses pendidikan dan kesehatan, apalagi sampai membiarkan puluhan juta rakyat kelaparan. 

Sebagai negara yang menerapkan sistem kapitalisme, tentunya negara akan fokus dalam memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu, agar rakyat dapat hidup sehat dan sejahtera. Kebutuhan tersebut meliputi makanan bergizi, rumah, dan pakaian yang layak serta layanan pendidikan dan kesehatan yang gratis. Inilah yang menjadi ukuran prioritas yang tepat dan terbaik yang harus dijalankan oleh negara dalam sistem Islam.

Penerapan sistem ekonomi Islam yang disandarkan kepada izin Asy-Syari' yakni Allah Swt. akan menutup jalan penguasaan kepemilikan umum oleh para pemilik modal. Khilafah tidak akan membiarkan kebutuhan kolektif berupa air, listrik, dan migas dikuasai oleh segelintir orang hingga menjadikan orang lain terlarang mendapatkannya. 

Negaralah yang diwajibkan oleh Allah untuk mengelola dan mendistribusikan kepada seluruh rakyat tanpa terkecuali dan tanpa memandang apakah dia berasal dari kalangan kaya atau miskin, muslim atau non-muslim, semuanya memiliki hak yang sama dalam konsep kepemilikan. Dengan demikian, negara akan mampu membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat. Sehingga, pengangguran dapat diatasi dengan mudah. 

Dalam khilafah terdapat kas negara yang disebut baitul mal. Baitul mal dalam sistem pemerintahan Islam memiliki sumber pemasukan yang tepat yang jumlahnya sangat besar dan mampu mencukupi kebutuhan umat. Demikianlah bahwa hanya khilafah negara yang memiliki visi menyejahterakan rakyatnya.
Wallahu 'alam bisshawwab.

Oleh: Mutiara Aini
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 25 Maret 2023

Pengamat: Tingginya Popularitas Olahraga Bisa Jadi Sarana Politik

Tinta Media - Pengamat Politik Internasional Ustadz Budi Muliyana menyampaikan tingkat pupolaritas olah raga seperti sepak bola bisa menjadi sarana politik.

"Ketika olahraga (sepak bola) mencapai suatu tingkat popularitas tertentu, maka itu menjadi sebuah sarana yang penting dalam politik,” ungkapnya di kanal YouTube UIY Official: Timnas U-20 Israel Diterima, Indonesia Inskonsisten? Ahad (12/3/2023).

Ia melanjutkan, propaganda dan juga isu-isu dalam politik lokal maupun Internasional akan mendapatkan momentum oleh pihak-pihak tertentu dalam event olahraga.

“Sehingga memang akhirnya menjadi sulit, menjadikan olahraga sebagai suatu kegiatan yang purely sport tanpa nilai-nilai politik gitu,” ujarnya.

Ia juga menuturkan, penegakan aturan FIFA secara purely, memisahkan politik dan olahraga memang sulit sekali, ketika memutuskan Rusia diskualifikasi dari peserta piala dunia Qatar 2022, karna rusia menyerang Ukraina. 

"Tentu keputusan tersebut dengan pertimbangan politik," tegasnya.
"Menjadi sesuatu hal absurd, jika berkeinginan memisahkan politik dan olahraga," pungkasnya. [] Abi Nayyara

Kamis, 16 Maret 2023

MALU KEPADA PALESTINA



Tinta Media - Beredar informasi dari website kantor berita yang memberitakan bahwa *Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir memberikan jaminan keamanan bagi Timnas Israel* yang akan datang ke Indonesia untuk Piala Dunia U-20. Ia menyebut negara menjamin kedatangan siapa pun yang bermain di Indonesia sesuai kontrak sebagai tuan rumah.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya akan memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

PERTAMA, Bahwa yang perlu diketahui setiap peserta yang berlaga pada piala dunia U-20 merupakan utusan negara atau representasi negara atau sering disebut Timnas (Tim Nasional). Menerima Israel sebagai peserta berarti secara tidak langsung mengakui keberadaan negara Israel;

KEDUA, Bahwa Palestina merupakan salah satu negara pertama yang mengakui Indonesia sebagai negara merdeka secara de facto. Pengakuan ini disebarluaskan ke seluruh dunia oleh seorang mufti besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini. Pasca-mengakui Indonesia merdeka, mufti besar Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dan Muhammad Ali Taher, saudagar kaya Palestina, menyiarkan dukungan rakyat Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia. Dukungan tersebut disebarluaskan melalui radio berbahasa Arab di Berlin, Jerman.;

KETIGA, Bahwa Israel adalah Penjajah sekaligus perampok tanah rakyat Palestina, mereka mendirikan negara diatas tanah milik rakyat Palestina. Bayangkan bagaimana jika tanah rakyat Indonesia dirampok pihak lain lalu mendirikan negara diatas tanah tersebut. Begitulah yang terjadi di Palestina. Menerima Timnas Israel sama saja mengakui keberadaan perampok dan penjajah;

KEEMPAT, Bahwa saya teringat pepatah lama "air susu dibalas air tuba", pepatah tersebut tepat untuk menggambarkan kebaikan Palestina mengakui kemerdekaan Indonesia.

Demikian.

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT dan Mahasiswa Doktoral Hukum

Rabu, 15 Maret 2023

Kedatangan Timnas Israel Murni Olahraga Hanya Manipulasi

Tinta Media - Menyoroti kedatangan timnas Israel ke Indonesia yang dianggap murni olahraga, menurut Pengamat Politik Internasional Budi Mulyana, S.IP., M.Si. hanya manipulasi.

"Artinya, dengan menyatakan bahwa tidak ada atau jangan dikaitkan dengan unsur politik itu, menurut saya itu hanya manipulasi saja," tuturnya dalam Rubrik Dialogika: Israel Datang, Pemerintah Setuju Penjajahan? Sabtu (11/3/2023) di kanal Youtube Peradaban Islam.ID.

Menurutnya, pada faktanya unsur politik itu ada di dalam penyelenggaraan kegiatan event olahraga, bahkan di dalam event-event lain.

"Pendekatan hubungan antar negara itu bisa berbagai jalan. Olahraga, ekonomi, politik yang memang utamanya," jelasnya.

"Bahkan sekarang merambah ke kuliner dan macam-macam. Artinya, semua unsur itu, bisa dikaitkan dengan aspek-aspek hubungan antar negara. Hubungan antar negara itu adalah bagian dari cara mainstreamnya," terangnya.

Ia menilai interaksi antar negara dan aktivitasnya tentu terkait dengan konteks politik. "Mau tidak mau, walaupun bicaranya tadi olahraga, mungkin fashion, unsur-unsur politik itu selalu masuk di sana, karena ini kan masalah terkait dengan penyelenggaraan yang melewati lintas negara," ungkapnya.

Ia memandang, secara administrasi politik pun akan terkait. Misalkan kehadiran orang-orang seperti pemain sepak bola, pelatih dan supporter. Itu kan membutuhkan izin dari negara penyelenggara untuk masuk. "Adanya visa, adanya izin negara untuk memasukkan warga lain dengan alasan apapun, itu adalah motif politik," pungkasnya.
[]'Aziimatul Azka

Selasa, 11 Oktober 2022

Bola: Fanatisme, Kanal Emosi, Kerapuhan Sosial dan Kecerobohan Negara

Tinta Media - Tahun 1985 sebagai ABG saya menatap layar tv malam-malam. Bersama bapak menonton final Liga Champion yang mempertemukan dua raksasa bola daratan Eropa; Juventus dari Itali, melawan Liverpool dari Inggris. Dua tim ini sedang gacor-gacornya di liga masing-masing dan di pentas Eropa. Saya menonton karena kepincut dengan permainan The Reds dan kelincahan striker mereka asal Wales, Ian Rush.

Namun, tontonan itu tidak lagi menghibur tapi malapetaka. Kita semua tahu, Stadion Heysel, Belgia, menjadi saksi kerusuhan besar antar suporter. Hooligan dari Inggris diduga jadi pemicu konflik. Ratusan luka, 39 meninggal. Itu jumlah besar kala itu.

Setelah itu semua klub Inggris dibanned dari kancah pertarungan internasional. Liga Inggris pun terkucilkan. Tak ada lagi gemuruh para hooligan di stadion-stadion Eropa.

Namun setelah tragedi Heysel penyelenggara sepakbola di Eropa berbenah. Bukan saja memperketat penonton, tapi juga menata stadion dan sistem keamanan. Liga Inggris sejak tragedi Hillsborough di tahun 1989, dimana puluhan penonton terluka dan tewas karena tergencet sesama penonton ke pagar pembatas, maka semua stadion menghilangkan pagar pembatas antara tribun dengan lapangan.

Mengapa Eropa berbenah setelah insiden Heysel? Pertama, soal kemanusiaan. Tragedi itu bagaimana pun memilukan dan memukul banyak penggemar sepakbola. Banyak berita menyentuh dari keluarga korban dan sesama suporter tentang kawan mereka yang mati.

Kedua, soal uang! Sepakbola hari ini adalah mesin industri yang alirkan uang bukan hanya untuk pemain, tapi pemilik klub dan semua organisasi sepakbola di dunia, termasuk UEFA dan juga FIFA. Menurut catatan situs statista.com organisasi bola Eropa UEFA revenue yang mereka dapatkan dari musim 2020/21 mencapai 5.7 million euros alias 88 triliun rupiah lebih! (UEFA revenue 2004-2021 | Statista) Jadi, kalau ada liga yang macet atau bermasalah, dampaknya juga pada kocek mereka.

Karena itu mereka berusaha seprofesional mungkin jalankan kompetisi. Cegah kerusuhan dan cegah sepakbola ‘gajah’. Tapi tetap saja tidak bisa menghentikan praktik korupsi di sana. Tahun 2019, Presiden UEFA juga mantan bintang Prancis dan Juventus, Michael Platini ditangkap dan diadili di Swiss bersama mantan Presiden FIFA Sepp Blatter. Keduanya terlibat skandal suap, korupsi, dan pencucian uang.

Para pengelola kompetisi juga sering dituding mata duitan oleh klub dan para pemain. Sebabnya, mereka terus buat berbagai kompetisi dan peraturan baru yang menguntungkan para penyelenggara, tapi menjadi beban untuk klub dan terutama para pemain.

Kiper timnas Belgia, Thibout Courtois terang-terangan menyebut UEFA mata duitan karena menggelar UEFA Nations League sampai perebutan peringkat ketiga. Padahal UEFA sudah punya hajatan liga Champions juga Piala Eropa. Siapapun paham setiap pertandingan adalah mesin uang untuk para pejabat UEFA. Benar, pemain juga dapat uang, tapi mereka seperti budak yang bertarung di arena gladiator yang bertarung secara maraton. Tidak heran para pemain top dunia rawan cedera dan ujungnya dibuang dari klub dan timnas.

Sepakbola juga kanal emosi dan ikatan identitas yang rapuh yang kita kenal dengan nama supporter. Para pendukung klub bisa terikat begitu kuat bahkan mengalahkan nasionalisme mereka dan bisa begitu rasis. Walaupun para pemain bola bisa berada dalam satu timnas, tapi kalau sudah berada di klub masing-masing, maka para supporter bakal terbelah. Bahkan bisa begitu sengit bermusuhan. Di Inggris, rivalitas Liverpool dan Manchester United begitu sengit walaupun para pemain nasional kedua tim bisa main bareng di three lions.

Para pendukung klub bola ini bisa begitu rasis pada pemain lawan dan pendukungnya. Kalau di antara pembaca pernah menyaksikan para pendukung klub bola A atau B yang sering disebut musuh bebuyutan, ada saja chant-chant yang sering dinyanyikan berisi sumpah serapah untuk klub rival mereka. Ini berlaku bukan saja di dalam negeri, di luar negeri juga sama saja.

Apalagi sepakbola diakui atau tidak jadi kanal emosi yang dianggap menghibur warga pendukung. Pantas bila klub kesayangan mereka kalah, emosi itu meluap dan bisa bertransformasi jadi ledakan amarah. Sudah tak terhitung kerusuhan di dalam ataupun di luar stadion karena tim mereka keok.

Maka olahraga ya mestinya olahraga saja, jangan menjadi satu identitas yang meluapkan enerji negatif seperti permusuhan, ashabiyyah/fanatisme klub, rasis dan diskriminatif apalagi anarkisme. Dalam agama hukumnya haram dan bisa memecah belah kerukunan. Herannya, tak ada ulama di tanah air yang berkomentar soal ini secara terbuka. Bahwa fanatisme klub bola itu berbahaya, jauh lebih bahaya dari radikalisme. Mereka yang sering disebut kaum ‘Islam radikal’ belum pernah membunuh orang lain yang berbeda ormas, merusak fasilitas umum, dsb. Tapi kenapa belum ada ulama yang secara terbuka serukan haramnya fanatisme klub bola dan membuat dharar pada lingkungan dan masyarakat?

Bicara tragedi Kanjuruhan, Malang, yang tewaskan lebih dari 120 warga, juga menunjukkan kecerobohan negara. Bukannya melindungi warga, aparat keamanan malah membuat warga panik dengan tembakan gas air mata ke tribun penonton. Orang dewasa, anak-anak, lelaki, perempuan, ibu-ibu berhamburan mencari jalan keluar. Sesak nafas, jatuh, terinjak dan tergencet.

FIFA sudah membuah panduan bagi pihak keamanan stadion dengan ‘mengharamkan’ senjata api dan gas air mata. FIFA belajar dari tragedi tahun 1964 di Peru. Ketika aparat menembakkan gas air mata ke arah penonton menyebabkan tiga ratus lebih warga tewas. Herannya, kepolisian dari Polda Jawa Timur dengan mantap menyatakan bahwa penggunaan gas air sesuai protap. Penonton bertanya, protap yang mana? Apakah disamakan protap hadapi perusuh dengan penonton di tribun, karena gas air mata justru ditembakkan aparat ke arah tribun? Padahal, tahun 2019, ketika Arema bertemu Persebaya ada kesepakatan aparat keamanan tidak akan gunakan gas air mata.

Apakah kepolisian lupa kalau penonton itu beragam usia; ada anak-anak, ibu-ibu, wanita, tidak semua lelaki dewasa? Apakah aparat juga lupa tidak mudah bagi ratusan apalagi ribuan penonton berebut ke pintu keluar di jalur yang sempit? Apalagi di stadion Kanjuruhan ternyata sebagian pintu masih tertutup? Faktanya korban tewas bukan karena serangan para perusuh, tapi karena kepanikan yang disebabkan tembakan gas air mata.

Jadi, persoalan sepakbola, khususnya di tanah air itu mbuled. Saya duga kuat tak ada yang mau bertanggung jawab, mundur dari jabatan, apalagi diseret ke pengadilan. Apalagi aparat kepolisian kelihatan akan bersikukuh mereka sudah jalankan prosedur pengamanan dengan benar. Sulit di negeri ini mencari pejabat dan perwira yang gentle mau bertanggung jawab sementara ratusan warga sudah meregang nyawa. Jangankan 120-an nyawa penonton, kasus 894 nyawa petugas KPPS saja pemerintah tak mau mengusutnya.

PSSI? Ah, apalagi. Sudah capek penggemar sepakbola melihat sepak terjang para pengurus PSSI. Sudah banyak kritik tajam dan keras bahkan sarkas pada PSSI, tapi mereka bergeming. Tragedi Kanjuruhan tidak bakal terjadi kalau supervisi dilakukan ketat oleh PSSI, soal penjualan tiket lebihi kapasitas penonton, briefing dengan aparat keamanan soal larangan penggunaan gas air mata dan kekerasan pada penonton, dan PSSI berani menunda atau bahkan membatalkan pertandingan bila itu semua tidak dipatuhi. Tapi, ya sudahlah

Makanya, sulitlah tragedi Kanjuruhan ini ada titik terang, apalagi ada yang diseret ke pengadilan. Paling gampang menyalahkan supporter. Dan itu sudah dilakukan oleh mereka hanya beberapa jam setelah kerusuhan terjadi.

Di sisi lain, olahraga itu harusnya sekedar olahraga untuk kesehatan dan melatih ketrampilan kaum mulimin. Selain itu, dalam kehidupan Islam, agenda-agenda seperti ini tidak memberikan manfaat kecuali hiburan dan uang untuk para pengusaha dan pengelola olahraga yang mata duitan kapitalistik. Dalam kehidupan Islam, umat akan diarahkan untuk aktifitas produktif; mengembangkan ilmu pengetahuan, tsaqofah, dakwah dan jihad di jalan Allah.

Oleh: Iwan Januar 
Direktur Siyasah Institute 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab