Derita Ojek Online: Korban Tak Terdengar dalam Dinamika Kapitalisme
Tinta Media - Bukan permasalahan dari individu maupun masyarakat yang tidak dapat membantu atau mengubah keadaan para pekerja ojek online atau biasa disebut ojol jika ternyata mereka terdampak ketidaksejahteraan kerja saat penumpang mulai sepi.
Permasalahan tersebut tentunya buah dari kebijakan yang tidak jelas hukumnya. Maka, permasalahan kesejahteraan di Indonesia pun mulai banyak dipertanyakan dalam berbagai aspek kehidupan. Yang ditunggu adalah peran pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut yang sampai saat ini belum juga diselesaikan.
Kesulitan ojol mendapatkan pelanggan sangat memengaruhi penghasilan perhari dan perbulan, belum lagi biaya aplikator motor untuk mitranya. Pasalnya, perusahaan ojek online termasuk pemilik swasta sehingga pendapatan bersih tergantung kesepakan kedua belah pihak.
Hal tersebut tentunya akan sulit ditangani oleh pemerintah karena pada dasarnya kebijakan diatur oleh perusahaan yang bersangkutan terkait bagi hasil. Sedangkan untuk pekerja, mereka hanya bisa berlindung dari hukum yang dibuat pemerintah untuk pemilik swasta sehingga jika ada ketidaksejahteraan pekerja, respon pemerintah akan apa adanya.
Dikutip dari Tempo, Sabtu malam (29/07/2023), sopir ojol masih dianggap sebagai mitra oleh aplikator sehingga tidak bisa menuntut hak-haknya seperti karyawan. Menurut Lily Pujiati, ketua SPAI, status mitra ini juga diperburuk dengan adanya aturan yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019. Dalam beleid itu disebutkan bahwa hubungan aplikator dengan pengemudi ojol adalah hubungan kemitraan.
"Aturan ini sangat tidak berdasar dan berpihak kepada aplikator," kata Lily.
Masalah ketidaksejahteraan para pekerja ojek online atau ojol bukanlah sekadar hasil dari kurangnya upaya individu atau masyarakat untuk membantu mereka. Sebaliknya, permasalahan ini lebih merupakan akibat dari kebijakan yang tidak jelas hukumnya dan adanya sistem kapitalisme yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Situasi sulit para pengemudi ojek online dalam mencari pelanggan sangat memengaruhi pendapatan mereka, disertai dengan biaya aplikator motor yang harus ditanggung oleh mitra. Namun, status sebagai mitra oleh perusahaan ojek online membuat mereka tidak memiliki hak yang sama seperti karyawan. Peraturan yang ada cenderung berpihak kepada aplikator. Hal ini tercermin dari ketentuan di Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 yang menegaskan hubungan sebagai kemitraan.
Dapat disimpulkan bahwa aturan-aturan yang ada, meskipun mengklaim sebagai kemitraan, sebenarnya dirancang untuk menguntungkan pengusaha swasta, dan hal ini diperkuat oleh sistem hukum yang berlaku. Dalam konteks kapitalisme di Indonesia, kesenjangan antara kaya dan miskin semakin terasa, dan sistem ini cenderung mengedepankan keuntungan individu atau perusahaan daripada kesejahteraan umum.
Pemerintah memiliki peran penting dalam mengatasi permasalahan ini, namun hingga saat ini belum memberikan respons yang memadai terhadap kesulitan yang dialami oleh pekerja ojek online. Kesulitan ini juga merupakan cerminan kecacatan dalam sistem pemerintahan yang mengakibatkan kerugian pada masyarakat secara keseluruhan.
Dalam Islam terdapat konsep pengaturan akad kerja yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan melindungi pekerja dari eksploitasi. Sistem akad kerja dalam Islam dirancang untuk memastikan adilnya perlakuan terhadap pekerja, menghormati hak-hak mereka, dan mencegah praktik yang merugikan. Selain itu, Islam juga mendorong negara untuk memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Konsep ini tidak hanya sebatas retorika, tetapi memiliki landasan dalam ajaran Allah dan ajaran Rasul-Nya.
Islam mengatur mekanisme dan pedoman yang membimbing negara untuk mengambil peran aktif dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat, berpegang pada prinsip keadilan dan distribusi yang merata. Dengan demikian, ajaran Islam mengakomodasi dimensi manusiawi dalam dunia kerja dan tuntutan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan rakyatnya, membangun landasan bagi keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat.
Oleh: Sonia Rahayu, S. Pd. (Pengajar)