Tinta Media: OTT
Tampilkan postingan dengan label OTT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OTT. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Mei 2023

Walikota Bandung Kena OTT, Pengamat : Perlu Ada Perubahan dengan Islam

Tinta Media - Pengamat Kebijakan Publik, Dr. M. Riyan, M.Ag. menegaskan bahwa perlu ada perubahan dengan Islam untuk membersihkan para pejabat dari tindak korupsi, dengan tertangkapnya Walikota Bandung dan pejabat publik lainnya dalam OTT (Operasi Tangkap Tangan) oleh KPK. 

"Hanya ada dua kata kunci untuk membersihkan para pejabat dari tindak korupsi, yang pertama, sistemnya. Kita tidak bisa berharap kepada demokrasi yang senantiasa mengandalkan uang. Sehingga perlu adanya perubahan dengan Islam," tegasnya dalam Kabar Petang: "Ajur! Uang Suap Untuk Plesir Ke Thailand, Pejabat Kok Gini Sih.." Rabu (26/4/2023) di kanal Youtube Khilafah News.

Ia meyakinkan bahwa dalam Islam yang diterapkan adalah syariat Islam yang kaffah, yang penerapannya oleh seorang khalifah.

"Para pejabat yang ada nanti harus menstandarkan semua perilakunya dengan aturan-aturan Islam. Kalau sistemnya Islam maka seluruh aturan yang diterapkan berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah. Maka gaya hidup tadi akan diarahkan, karena seorang pejabat dipilih berdasarkan ketakwaan, bukan berdasar transaksi," bebernya.

"Maka bisa jadi pejabat yang kredibel, dia mungkin secara harta tidak memiliki uang cukup. Namun negara memfasilitasi, sehingga tidak ada peluang bagi dia untuk korupsi. Kalaupun melakukan, ada hukuman yang sangat berat. Sehingga pejabat-pejabat yang bertakwalah yang akan dipilih oleh Khalifah untuk mengisi jabatan-jabatan yang strategis. Sehingga menghindarkan dari praktik jual-beli jabatan ataupun pembiayaan politik yang besar," paparnya.

Kedua, tidak boleh dilupakan adalah pemimpin itu harus memberikan teladan. "Sehingga ketika dia direkrut, tentu harus memberikan teladan. Artinya harus ada keterbukaan dari sisi kekayaan, kalau nanti pada masa dia menjabat ada proses pertambahan dan tidak wajar, kalau bertambah secara wajar itu silahkan saja," jelasnya.

Riyan menambahkan akan ada penghitungan terbalik, sehingga nanti akan bisa dibuktikan kewajaran atau tidaknya harta yang dimiliki.

"Khalifah Umar bin Khattab dulu menyita harta dari para pejabat, kalau dia tidak bisa membuktikan dari mana kegiatan atau penghasilan yang dia miliki, sehingga menggelembungkan kekayaannya tadi secara tidak wajar," imbuhnya.

Ia pun melihat bahwa Islam memberi dua solusi sekaligus. "Satu, sistemnya akan melindungi para pejabat dari berbagai peluang untuk melakukan korupsi. Karena dengan ketat diawasi dan didasarkan kepada aturan-aturan Islam," ujarnya.

Kedua, dari person pejabat atau para pemimpin tadi itu memang harus benar-benar bertakwa. "Dan juga memang mereka yang nanti secara terbuka diaudit kekayaannya, dengan kriteria yang telah ditetapkan," tandasnya.

"Saya kira dengan dua solusi tadi, Insyaallah gaya hidup mewah tidak akan muncul. Apalagi dipamer-pamerkan," pungkasnya.[] Nita Savitri

Senin, 19 Desember 2022

Wakil Ketua DPRD Jatim Kena OTT, FDMPB : Korupsi Jadi Budaya dalam Sistem Demokrasi

Tinta Media - Tertangkapnya Wakil Ketua DPRD Jatim yang diduga terlibat korupsi penyaluran dana hibah dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK dinilai oleh Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra sebagai perilaku berulang atau budaya yang menyimpang produk politik Demokrasi.

“Banyaknya kepala daerah yang terkena OTT oleh KPK semakin menguatkan betapa marak praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam sistem Demokrasi hingga dianggap sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai budaya. Disebut budaya karena saking berulangnya kasus korupsi padahal sesungguhnya korupsi ini adalah perilaku yang menyimpang,” beber Dr. Ahmad Sastra kepada Tintamedia.web.id, Jumat (16/12/2022). 

Dr. Ahmad Sastra menandaskan sistem demokrasi ini sejak awal telah sarat dengan politik uang . Akibatnya para pelaku politik terjerat sifat koruptif yang tidak lagi bisa dihilangkan. “Demokrasi dan korupsi adalah dua sisi mata uang yang hampir tidak mungkin dipisahkan. Korupsi di negeri ini bersifat sistemik dan struktural. Idiom demokrasi lebih tepat kalau diganti dengan dari uang, oleh uang, dan untuk uang,” ujarnya. 

Sistem demokrasi yang bersifat antroposentris, lanjutnya, adalah sistem yang meniadakan peran Tuhan sehingga melahirkan politik kleptokrasi, di mana mencuri uang rakyat dianggap sebagai budaya politik. “Entah sudah kali keberapa para pejabat korupsi uang rakyat dalam sistem politik demokrasi ini mungkin sudah ribuan kali. Harian kompas (6/11/20) pernah mengangkat headline ‘Korupsi Tak Berhenti di Tengah Pandemi’,” ucapnya.  

Menurutnya, perilaku menyimpang korupsi uang rakyat oleh pejabat yang mengemban amanat rakyat adalah sebuah kejahatan besar. “Semestinya seorang pemimpin adalah yang sengsara karena merasakan penderitaan rakyat, bukan justru mengkorup uang rakyat yang dipimpinnya. Mental korup bagi pemimpin selain seperti mental penjajah juga merupakan bentuk pengkhianatan kepada rakyat,” tegasnya. 

Kasus-kasus korupsi yang terus terjadi di kalangan pejabat pemerintah, menurut analisanya disebabkan oleh dua hal. Pertama, sistem demokrasi adalah sistem berbiaya besar. “Para pejabat yang sebelum menjadi pejabat sudah begitu besar mengeluarkan uang sebagai biaya politik, maka setelah menjabat, mau tidak mau ingin kembali modal. Berbagai cara akan dilakukan untuk mendapatkan modal itu. Pejabat sendiri memiliki kewenangan mengatur anggaran belanja, nah di sinilah peluang korupsi sangat lebar,” ungkapnya. 

Kedua, hukum di negeri ini tidak tegas terhadap kasus-kasus korupsi, seolah para pejabat di negeri ini saling melindungi koruptor. “Hal ini bisa disebabkan oleh banyaknya pelaku korupsi oleh para pejabat, sehingga jika hukumannya berat, maka dikhawatirkan akan banyak pejabat yang masuk penjara. Jadi penegakan hukum atas tindak pidana korupsi ini sama sekali tidak menjadikan jera para pelaku, bahkan tiap tahun nampaknya semakin banyak pelaku korupsi,” imbuhnya

Solusi 

Dr. Ahmad Sastra menawarkan tiga solusi untuk memberantas budaya korupsi di kalangan para pejabat ini, baik secara internal maupun eksternal.

Pertama, Secara internal, penting sekali memperkuat keimanan dan ketaqwaan dalam setiap diri pejabat dan pemimpin di negeri ini. “Pembentukan keimanan dan ketaqwaan individu ini sangat bergantung kepada diri sendiri, namun bisa juga dibentuk oleh sistem sosial berbasis agama. Kesadaran hubungan yang kuat setiap individu dengan Allah akan bisa menjadi faktor pertama untuk mencegah korupsi,” urainya.

Kedua, adanya hukum yang tegas dan adil. “Lemahnya hukum akan terus dijadikan oleh para koruptor untuk terus melakukan kejahatannya. Apalagi jika hukum bisa dibeli. Dalam Islam, hukum sangat tegas dan adil. Maka, jika negeri ini berhukum kepada hukum Allah yang sempurna dan adil, maka berbagai bentuk kejahatan korupsi akan bisa bilang,” jelasnya.

Ia menegaskan berhukum dengan hukum Allah adalah sebuah konsekuensi keimanan sebagaimana firman Allah Swt:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasakan dalam hati mereka keberatan atas keputusan hukum apapun yang kamu berikan, dan mereka menerima (keputusan hukum tersebut) dengan sepenuhnya. (TQS an-Nisa’ [4]: 65).”

Ia juga meyakinkan jika hukum pidana Islam akan memberikan kemaslahatan di dunia dan akhirat karena memiliki sifat jawâbir dan zawâjir. “Bersifat jawâbir karena penerapan hukum pidana Islam akan menjadi penebus dosa bagi pelaku kriminal yang telah dijatuhi hukuman yang syar’i. Hukum pidana Islam juga bersifat zawâjir, yakni dapat memberikan efek jera bagi pelakunya dan membuat orang lain takut untuk melakukan tindak pidana korupsi atau bentuk kejahatan lainnya. Hukum Islam akan melindungi harta rakyat,” yakinnya.

Ketiga, adanya pengawasan dan kontrol masyarakat untuk upaya memberantas tindak pidana korupsi di kalangan para pejabat. “Rakyat harus terus memantau perilaku para pemimpin di daerah masing-masing. Jangan sampai rakyat justru tak peduli atau bahkan memaklumi budaya korupsi ini. Lebih ironis lagi jika rakyat justru ikut terlibat, semisal jelang pemilu sering terjadi suap menyuap dari calon pemimpin kepada rakyat,” paparnya.

“Inilah tiga solusi fundamental agar budaya korupsi bisa dilenyapkan dengan tuntas,” pungkasnya.[] Erlina

Kamis, 06 Oktober 2022

Hakim Agung Terseret OTT KPK, MMC: Akibat Penerapan Sistem Batil Sekuler Demokrasi Kapitalisme

Tinta Media - Menanggapi kasus Hakim Agung yang terseret OTT oleh KPK, Narator Muslimah Media Center (MMC) menilai fenomena korupsi para pejabat tersebut, bukan masalah moral individu tetapi penerapan sistem batil sekuler demokrasi kapitalisme.

"Fenomena korupsi yang menjadi kebiasaan di kalangan para pejabat bukan masalah moral individu rendah, integritas kerja yang kurang ataupun sistem struktural lembaga yang kurang pengawasan. Ada hal yang lebih fundamental dari itu, yakni penerapan sistem batil sekuler demokrasi kapitalisme," tuturnya dalam Serba Serbi MMC: Hakim 
Agung Terseret OTT, Pemberantasan Korupsi Mimpi dalam Sistem Demokrasi? Di kanal YouTube Muslimah Media Center, Ahad (2/10/2022).

Menurutnya, sistem kehidupan ini adalah sistem batil sehingga apapun aturan yang keluar dari sistem ini hanya akan membawa kerusakan. Sekularisme adalah akidah batil karena memisahkan agama dari kehidupan. Manusia yang terjangkiti sekularisme tidak menjadikan tolak ukur agama sebagai pemutus perkaranya. "Mereka tidak mengenal halal haram, baik buruk, boleh tidak boleh, sebagaimana yang diatur oleh syariat. Manusia bebas mengatur kehidupan mereka sesuai kehendaknya," ujarnya.

"Sistem politik yang mendukung eksistensi sekularisme adalah demokrasi," imbuhnya.

Ia menjelaskan bahwa demokrasi menjadikan manusia berdaulat atas hukum. Mereka bisa membuat, merevisi dan menghapus aturan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Seperti mekanisme meraih kekuasaan. Dalam demokrasi, suar mayoritas adalah syarat legal untuk berkuasa. "Maka para calon penguasa harus memiliki sokongan dana dari sponsor untuk memenangkan kontestasi pemilu," bebernya.

Ia menilai bahwa inilah penyebab korupsi akut di kalangan pejabat. Sementara mindset Kapitalisme yang menguasai kehidupan manusia saat ini, menjadikan materi sebagai orientasi kehidupan. Uang, jabatan, prestise adalah segalanya. "Maka tak ayal, yang seharusnya merupakan pemberi keadilan menjadi sarang para mafia peradilan," tuturnya.

Dengan demikian, lanjutnya, problem korupsi adalah program sistem dan cacat bawaan sistem yang tidak bisa diberantas tuntas, meski ada lembaga super anti korupsi. 

Solusi 

Narator mengatakan, umat membutuhkan sistem pengganti yang sudah terbukti mampu mewujudkan pemberantasan korupsi dari akar hingga daun. "Sistem ini adalah sistem Islam yang secara fiqih disebut sistem khilafah," terangnya.

Menurutnya, penerapan sistem khilafah akan membawa kebaikan untuk umat dan seluruh alam. Sebab sistem kehidupan yang menjadi dasar berdirinya Daulah khilafah adalah akidah Islam, sehingga ketika menyelesaikan sebuah perkara pun sesuai dengan syariat Islam. 

Ia mengutip penjelasan Syeikh Abdulrahman al Maliki dalam kitab Nidzamul Uqubat bahwa kasus Korupsi dalam Islam disebut dengan perbuatan khianat dan tidak termasuk definisi mencuri atau sariqah karena perbuatan tersebut termasuk penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang.

Ia melanjutkan bahwa sebuah hadist dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: "Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan termasuk koruptor yang merampas harta orang lain dan penjambret. Hadist riwayat Abu Daud," ucapnya.

Berdasarkan hadits di atas maka sanksi atau uqubat bagi pelaku korupsi adalah takzir, Qadhi atau Hakim akan memberi hukuman sesuai level kejahatan yang dilakukan. Sanksi ini bisa mulai dari yang paling ringan seperti nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda atau qharamah, pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa, hukuman cambuk hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati. 

"Ini adalah upaya kuratif dari Daulah khilafah yang akan menimbulkan efek jawabir yakni sebagai penebus dosa pelaku di akhirat dan efek zawajir sebagai pencegah di masyarakat," jelasnya.

Selain itu, ia melanjutkan bahwa untuk menciptakan suasana bebas korupsi, khilafah akan menerapkan paling tidak ada enam langkah sebagai langkah preventif

Pertama, Khilafah merekrut pegawai sesuai profesionalitas dan integritas bukan berasaskan konektivitas atau nepotisme. Untuk aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kifayah yakni kapabilitas dan kepribadian Islam atau syakhsiyah Islamiyah. 

Kedua, Khilafah melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya.

Ketiga, memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada seluruh aparatnya sehingga tidak ada alasan bagi pegawai melakukan korupsi.

Keempat, Khilafah melarang para pejabatnya menerima suap dan hadiah. "Syeikh Abdul Qodir Zallum dalam Al Amwal di Daulah Khilafah menjelaskan untuk memantau harta kekayaan pejabat, Khilafah membentuk badan pengawas atau pemeriksa keuangan seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab Radhiallahu Anhu. Beliau mengangkat Muhammad bin maslamah sebagai pengawas keuangan, tugasnya adalah mengawasi kekayaan para pejabat negara," ungkapnya.

Kelima, adanya teladan dari pemimpin. Dan yang keenam, adanya pengawasan oleh negara dan masyarakat.

"Inilah mekanisme tuntas penanganan korupsi yang ditawarkan oleh Khilafah," pungkasnya.[] Ajira

Rabu, 05 Oktober 2022

Hakim Agung OTT KPK, Bukti Mimpi Pemberantasan Korupsi


Tinta Media - Jagad berita diramaikan dengan pemberitaan Operasi Tangkap Tangan (OTT) Hakim dan staf Mahkamah Agung. KPK melakukan OTT di Jakarta dan Semarang pada Rabu, (21/9/2022) malam dan berhasil menjaring 10 orang yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka. (Kompas.com)

Lima di antaranya adalah pegawai Mahkamah Agung (MA, 4 orang) dan seorang hakim agung, Sudrajad Dimyati.

Pemberitaan ini menuai komentar beberapa pihak. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan,  Mahfudz MD mengatakan bahwa yang terlibat dalam OTT tersebut sebetulnya lebih dari satu orang. Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menganggap bahwa fenomena mafia peradilan ini "sudah menjadi rahasia umum".

Fakta di atas menjadi catatan kelam pemberantasan korupsi di negeri ini. Bagaimana tidak, lembaga hukum sekelas Mahkamah Agung mengalami nasib demikian, terlibat OTT karena kasus suap perkara. Apalagi, sampai melibatkan Hakim Agung dan para staffnya. Padahal, sejatinya lembaga hukum tinggi tersebut menjadi tumpuan harapan bagi masyarakat saat keadilan di negeri ini kian mahal. Namun, lagi-lagi publik harus menelan pil pahit karena nyatanya kebenaran sudah sedemikian jungkir balik. Aib yang terbongkar, sudah sedemikian mengakar. Kasus OTT di atas tak ubahnya fenomena gunung es yang hanya terlihat puncaknya, tetapi lebih besar di dasarnya.

Inilah yang terjadi saat sistem pemerintahan dikendalikan oleh materi. Siapa pun yang mempunyai materi, maka akan bertindak sesuai hawa nafsunya sendiri. Hukum dibeli, rakyat pun dizalimi.

Hal ini tak bisa dibiarkan. Bagaimanapun, negeri ini membutuhkan jalan keluar. Gurita korupsi yang sudah menjalar ke semua lini kekuasaan tak bisa ditumpas, kecuali dengan menghadirkan hakim yang seadil-adilnya, yakni Allah Swt. 

Jauh jauh hari, Islam telah menjelaskan mengenai perkara korupsi ini. Dalam Islam, korupsi dihukumi sebagai sebuah pelanggaran yang dikenakan ta'zir bagi pelakunya. Maka, hukuman yang diberikan sesuai dengan kebijaksanaan hakim yang mengadili. 

Hal ini disebabkan karena perbuatan korupsi melibatkan dua macam pelanggaran, yaitu: 

Pertama, khianat terhadap amanat rakyat

Kedua, mengambil harta yang bukan menjadi haknya. 

Meski sanski korupsi tidak tercantum dalam aturan hudud berdasarkan Qur'an dan Sunnah, jika korupsi yang dilakukan menyebabkan kerugian yang sangat besar, maka bukan tidak mungkin pelakunya akan diberi hukuman mati.

Tindakan menghukumi pelaku korupsi dengan hukuman yang pantas semata untuk memberi efek jera bagi pelaku, sekaligus mencegah tindakan korupsi serupa bermunculan. Inilah solusi yang ditawarkan syariat dalam hal sanksi.

Sementara dari sisi pemerintahan, Islam melalui institusi daulah khilafah akan menghadirkan good goverment yang dipenuhi suasana keimanan bagi para pemangku kekuasaan. Ini karena jabatan yang disandang semata dalam rangka menjadi khadimul ummah yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.

Demikianlah kiranya solusi tuntas bagi gurita korupsi yang kini melingkari negeri, hingga pemerintahan yang bersih dan dapat dipercaya bukan lagi sekadar mimpi. Wallahu alam bis shawab.

Oleh: Ummu Azka
Sahabat Tinta Media


Minggu, 02 Oktober 2022

Penegak Hukum MA Terkena OTT KPK, Gus Uwik: Mereka Layak Disebut Para 'Bedebah'!

Tinta Media - Merespon banyaknya para penegak hukum dari Mahkamah Agung (MA) yang terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Peneliti Pusat Kajian Peradaban Islam Gus Uwik mengatakan mereka layak disebut para 'bedebah'.
 
“Sungguh miris! Para penegak hukum terkena OTT KPK karena terlibat suap menyuap untuk pengkondisian kasus. Enggak  tanggung-tanggung, yang terlibat ada hakim agung, panitera pengganti mahkamah agung, PNS di mahkamah agung  dan sejumlah pengacara. Mereka layak di sebut sebagai para ‘bedebah’,” tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (1/10/2022).
 
Menurutnya,  hal ini sangat sulit diterima oleh akal, yang ada justru sangat brutal. “Mereka-mereka yang seharusnya memberi keadilan hukum atas perkara yang melibatkan rakyat malah menjadi mafia,” geramnya.
 
"Mereka justru mempermainkan hukum. Hukum dikondisikan sesuai dengan keinginan yang punya uang. Sepertinya keadilan hukum dan persamaan di depan hukum itu omong kosong, manis di mulut tapi nol dalam implementasinya,” kritiknya.
 
Kasus di atas, kata Gus Uwik,  jadi tabir pembuka bahwa hukum buta, hukum itu sesuai keinginan yang punya uang dan adanya mafia hukum itu nyata, tidak bisa terbantahkan lagi, tidak bisa berkelit lagi. Fakta begitu jelas lagi kasat mata.
 
“Bisa dibayangkan, para penegak hukum justru yang menjadi mafianya. Hancur leburlah hukum ini. Belum lagi kondisi carut marut yang ada semakin runyam ketika dikaitkan dengan kasus Sambo. Dia begitu piawai merekayasa kasus. Ngeri sekali,” tuturnya miris.
 
Dari Sambo, lanjut Gus Uwik,  bisa dimengerti jika hukum bisa direkayasa sesuai kepentingan kekuasaan atau yang punya uang, rakyat pasti akan selalu jadi korban.
 
“Jika dilihat rangkaian persitiwa yang ada, dari kasus Sambo dan OTT KPK ini akan tersibak kengerian penegakan hukum di negeri ini. Tiga  pilar penegak hukum; kepolisian, hakim dan pengacara ternyata ada para bedebahnya.  Apakah ini oknum? Kalau lihat kasus Sambo dan OTT KPK ini nampak ini ada mafia dan jaringannya, terbukti banyaknya orang yang terlibat. Jelas, bukan oknum. Bisa jadi sudah menjadi budaya,” ungkap Gus Uwik memberikan analisa.
 
Menyikapi kondisi ini, Gus Uwik tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya seraya  mengatakan jangan berharap hukum akan tegak lurus dan berkeadilan jika masih bercokol para bedebah tersebut. “Harus disikat habis sampai keakar-akarnya,” lugasnya.
 
Buah Sekularisasi
 
Banyaknya bedebah ini dinilai Gus Uwik sebagai  buah dari sekularisasi. “Para penegak hukum "diharamkan" untuk beriman dan bertaqwa. Diksi itu hanya ada dalam kalimat ceramah dan sambutan saja. Nol besar dalam pelaksanaan. Buktinya para penegak hukum enggak  takut lagi sama surga dan neraka, apalagi dosa. Mereka tahu, tapi enggak  peduli. Inilah racun sekularisasi. Allah Swt. sebagai Sang Pencipta dianggap "ada" ketika di masjid saja. Di luar itu dianggap hilang, enggak  memantau apalagi hadir. Sekuler kafah,” urainya.
 
Wajar, lanjutnya, jika mereka alergi pada syariat Islam. Pahamnya bertentangan dengan sekuler kaffah. Syariat Islam mewajibkan selalu ingat kepada Allah Swt. dengan bukti selalu terikat dengan syariatNya, sekuler justru "mengharamkan" untuk ingat kepada Allah Swt. apalagi terikat dengan syariatNya. Haram total.
 
“Yakinlah, hukum akan senantiasa buta dan tidak berkeadilan jika para penegakknya sekuler kafah. Negara ini juga menerapkan hukum sekuler,” tandasnya.
 
Keadilan dalam hukum, menurutnya,  akan mudah terwujud jika para penegak hukumnya iman dan taqwa, negaranya menerapkan syariat Islam sebagai bukti iman dan taqwanya.
 
“Ini bukan terori, tapi sudah terbukti selama 14 abad dalam empirium Khilafah. Keadilan hukum buat semua kalangan rakyat dan agama terbukti terjamin. Sejarah pun mencatat dalam tinta emas. Tidak ada yang meragukan,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
 

Senin, 26 September 2022

OTT Hakim Agung MA, IJM: Ada Persoalan Sistemik yang Harus Digeledah

Tinta Media - Mengomentari Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah satu oknum Hakim Agung atas dugaan kasus suap pengurusan perkara, Ahli Hukum Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Muh. Sjaiful, S.H., M.H. mengatakan, ada masalah sistemik yang harus digeledah. 

"Sangat ironis. Tentu ada persoalan dasar sistemik yang harus digeledah mengapa lembaga peradilan sekelas MA, pada akhirnya terseret lingkaran mafia peradilan," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (24/9/2022). 

"Padahal, MA didesain sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang memiliki kredibilitas paling top mengakomodir kepentingan para pencari keadilan," ujarnya.

Dr. Sjaiful menjelaskan terkait sejarah MA yang mana merupakan produk lembaga peradilan yang lahir dari rahim peradaban Eropa. Lembaga tersebut, menurutnya, diadopsi dari produk kolonial Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental dengan berdasarkan asas konkordansi. 

"Sebagai produk sistem peradilan Eropa yang nyaris bertumpu kepada paradigma sekuleristik, maka saat bersamaan, rujukan hukum bagi para hakim agung memutus perkara adalah undang-undang tertulis hasil produk berpikir manusia yang kemudian menjadi pertimbangan hukum atau ratio decidendi dalam putusan kasasi MA. Pertimbangan hukum umumnya lahir dari subjektivitas nalar para hakim agung," paparnya.

Sementara itu, Dr. Sjaiful menambahkan, pada kasus tertentu, pertimbangan hukum dibuat berdasar arus kepentingan pragmatis oknum hakim, misalnya kepentingan ekonomi atau intervensi kekuasaan. "Ini salah satu problematika sistemik yang menghinggapi MA," tegasnya.

Masalah lain, menurutnya, MA masih terkoptasi dengan gagasan positivistik yang abai dengan nilai-nilai spiritual. Ia melanjutkan, meskipum di atas kertas termaktub kalimat Dengan Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi sekedar kata-kata simbolik.

"Problematik sistemik tersebut hingga kini menjangkiti atau boleh dibilang merusak marwah MA," ungkapnya.

Kondisi-kondisi tersebut, menurutnya, menjadi alasan sulitnya MA keluar dari lingkaran setan mafia peradilan. Apalagi, semua pilar penegakan hukum yang menyangga sistem peradilan Indonesia, hampir dipastikan tidak ada yang lepas dari jeratan lingkaran mafia peradilan. 

"Tentunya, MA secara empiris sulit mengelak dari lingkaran setan mafia peradilan," katanya.

Hal tersebut menurut Dr. Sjaiful, menjadi bukti bahwa peradilan berbasis sekuleristik pragmatis tidak bisa diharapkan mampu mengakomodir kepentingan para pencari keadilan yang menginginkan penegakan hukum, semua orang sama di depan hukum.

Lain halnya dengan sistem peradilan Islam, yang menurutnya mampu memberikan cahaya keadilan bagi umat manusia. "Alasannya, sistem peradilan Islam berasal dari Sang Pencipta yang Maha Agung dan Maha Adil," tegasnya. 

Dr. Sjaiful kembali menegaskan, sistem peradilan manapun selain sistem peradilan Islam, tidak akan mampu memberikan jaminan keadilan atas dasar semua orang sama di depan hukum. 

"Sistem peradilan produk manusia, serba lemah dan terbatas. Produk akal manusia, betapapun jeniusnya, tak akan mampu menandingi produk wahyu yang maha sempurna," pungkasnya.[] Ikhty
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab