Tinta Media: ODGJ
Tampilkan postingan dengan label ODGJ. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ODGJ. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 Januari 2024

Polemik Keikutsertaan ODGJ Nyoblos di Pemilu




Tinta Media - Ketua divisi sosialisasi, pendidikan, pemilih, partisipasi masyarakat KPU Jawa Barat  Kabupaten Bandung Barat Herdi Ardia menyebutkan bahwa sekitar 32 ribu lebih orang dalam gangguan jiwa (ODGJ) yang biasa disebut penyandang disabilitas mental di daerah itu akan ikut memberikan suara pada pemilu 2024. Penyandang disabilitas mental ini akan bergabung dengan penyandang disabilitas kategori lain yang totalnya sekitar 146.751 orang se-Jawa Barat. 

Herdi menyatakan bahwa ODGJ ini bukan yang tidak terdata atau biasa berkeliaran di jalanan. Mereka ada di rumah dan secara medis berdasarkan keterangan dokter bisa menentukan pilihan. 

Selain Jabar, di berbagai daerah lain KPU juga memastikan keikutsertaan mereka, seperti di Bojonegoro, Jawa Timur, sekitar 1.508 ODGJ, di Banten 6.451 ODGJ, di Gresik 995 ODGJ, di DKI Jakarta 22 ribu lebih, Indramayu 1.665 ODGJ, Medan 769 ODGJ, dan masih banyak daerah lainnya. 

Dilibatkannya penyandang disabilitas mental ini sebagai calon pemilih bukanlah yang pertama kali. Pada pemilu 2019, mereka pun turut ambil bagian karena dinilai memiliki hak pilih. Ini sungguh menggelikan. 

Di sistem demokrasi, suara rakyat merupakan hal yang akan menentukan keputusan pemenang di pemilu. Di tahun-tahun sebelumnya, ODGJ tidak pernah diberi hak untuk menyoblos, karena salah satu  syarat sahnya pemilih adalah tidak terganggu jiwa atau ingatan. Akan tetapi, sejak tahun 2019, ODGJ diberi hak untuk memilih dengan syarat tidak sedang gangguan jiwa atau ingatan permanen. 

MK mengeluarkan sebuah kebijakan yang menjadi pedoman bagi KPU bahwa ODGJ diberi hak sebagai pemilih. Dalam demokrasi, perubahan kebijakan yang terjadi adalah suatu hal yang wajar. Keputusan MK ini tentunya menimbulkan berbagai macam polemik di masyarakat dan membuat tanda tanya, ada apa di balik semua ini. Pasti ada oknum-oknum yang menggunakan kekuasaannya untuk meraih suara, sehingga berdampak pada perubahan kebijakan. 

Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Devi dermawan, memprediksi bahwa angka golput di pemilu 2024 berada di kisaran 18%-29% atau setidaknya menyamai perolehan suara peringkat ketiga capres-cawapres. Kondisi ini menjadikan pihak-pihak tertentu menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan, dengan melegalkan kebijakan yang menjadikan ODGJ mempunyai hak sebagai pemilih di pemilu. Ditambah lagi, pemilu sudah diwarnai tuduhan kecurangan yang berimbas pada turunnya kepercayaan terhadap institusi demokrasi, seperti partai politik dan aparat hukum. 

Pemilu dalam sistem kapitalisme demokrasi adalah jalan politik untuk meraih kekuasaan sehingga berbagai macam cara akan ditempuh. Mereka tidak bertujuan untuk meriayah (mengurusi), tetapi memperkaya diri. Mereka yang membuat aturan, mereka sendiri yang melanggar peraturan tersebut dengan banyak dalih. 

Pemilu adalah pesta demokrasi yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali. Namun, pemenang pemilu tidak ada korelasinya dengan masyarakat, karena pemenang kekuasaan sudah ditentukan para kapitalis untuk dijadikan pemimpin. 

Tabiat sistem demokrasi adalah menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Seperti yang sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya, siapa yang meraih suara terbanyak tidak dijamin akan menjadi pemimpin. Ada semacam penyiapan atau 'setingan' siapa orang yang akan disiapkan sebagai pemimpin. 

Pemilu hanya dagangan politik dari pemilik sistem kapitalis. 
Mereka akan memunculkan nama baik sebagai pemimpin pilihan mereka. Dengan penetapan kebijakan bahwa ODGJ diberi hak sebagai pemilih, telah membuka celah bagi para elite politik untuk melakukan politisasi terhadap ODGJ. 

Sistem yang diterapkan saat ini adalah sistem batil buatan manusia yang berasal dari akal manusia yang lemah dan terbatas, sehingga kebijakan yang dikeluarkan dan solusi yang ditawarkan atas setiap problematika yang terjadi di masyarakat tidak menyelesaikan secara tuntas, malah makin banyak dan berkembang-biak. 

Contohnya, dalam sistem kapitalis, ODGJ terus meningkat jumlahnya dikarenakan buruknya sistem penerapan yang menitikberatkan pada 4 kebebasan. Salah satunya adalah  kebebasan kepemilikan, sehingga yang kaya bisa menguasai tanah, tempat, dan perdagangan. Akibatnya, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Rakyat diimpit kebutuhan hidup, lapangan pekerjaan susah, beban hidup makin berat, akhirnya banyak yang stres. Ini bisa jadi salah satu sebab banyaknya ODGJ. 

Hal ini karena solusi yang digunakan oleh sistem saat ini tidak menyentuh akar permasalahan. Mereka memberikan solusi ketika masalah sudah terjadi, tidak mencegah penyebab terjadinya permasalahan. Ini membuktikan lemahnya manusia. Ini adalah akibat dipisahkannya aturan agama dari kehidupan. 

Seharusnya, yang mengatur kehidupan ini adalah Allah Swt. sebagai Sang Pencipta dan Pengatur manusia, karena hanya Allah yang mengetahui apa yang baik dan buruk bagi  manusia. 

Oleh karena itu, solusi yang hakiki adalah dengan kembali kepada aturan Islam yang berasal dari Sang Khalik, yaitu dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah. Khalifah akan menjalankan sistem politik Islam berdasarkan syariat Islam yang wajib dipatuhi oleh negara dan warga negara. 

Dalam Islam, kekuasaan adalah kepemimpinan. Jika dipisahkan dari Islam, maka akan membahayakan pemangkunya dan merusak rakyat yang dipimpin. Penguasa akan terhina jika menghianati perintah Allah untuk mengatur kekuasaan dalam Islam, sedangkan rakyat akan menjadi korban penerapan aturan yang rusak. 

Dalam Islam rakyat memilih pemimpin sebagai wakil rakyat (umat) untuk menjalankan penerapan Islam secara kaffah di dalam negeri dan melakukan dakwah dan jihad ke luar negeri.  

Melalui metode baiat, akad antara pemimpin (khalifah) dengan umat mengandung konsekuensi bagi khalifah untuk menjalankan akad tersebut, dan konsekuensi bagi umat untuk sami'na wa atha'na terhadap khalifah, taat terhadap segala kebijakannya yang sesuai dengan syariat Islam, dan siap melakukan koreksi terhadap khalifah ketika menyalahi hukum syara. Artinya, rakyat (umat) yang memilih harus berakal, memahami konsekuensi dari sebuah pilihan. Rakyat wajib menasihati penguasa agar tidak menyimpang dari sistem Islam. Seperti dalam sistem saat ini yang memberi hak pada ODGJ untuk menyoblos. 

Islam mengakui ODGJ sebagai makhluk Allah yang wajib dipenuhi kebutuhannya, tetapi tidak mendapatkan beban amanah, seperti tidak wajib menjalankan ibadah, dan amanah memilih pemimpin. 

Dalam Islam, kepemimpinan tidak bertujuan meraih kekuasaan untuk keuntungan pribadi dan golongan seperti dalam sistem kapitalis. Akan tetapi, kekuasaan adalah amanah untuk melayani  kemaslahatan umat, menjaga, menerapkan, dan mendakwahkan Islam, serta bertanggung jawab dunia akhirat untuk mengurus rakyat dengan hukum-hukum Islam. Karena itu, penerapan aturan Islam akan mendatangkan rahmat bagi manusia dan alam semesta, tidak seperti sistem saat ini yang menerapkan aturan rusak sehingga mendatangkan banyak ketidakadilan dan kezaliman. Manusia menjadi rusak. Salah satunya adalah dengan munculnya banyak ODGJ. 

Untuk itu, saatnya beralih ke sistem yang sahih yang berasal dari Allah Swt. yang akan membentuk pemimpin yang saleh, amanah dalam memimpin dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, yaitu khilafah. Wallahu alam bis shawab.


Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media 

Senin, 01 Januari 2024

Ketika Suara Orang Waras Setara dengan ODGJ


Tinta Media - ODGJ diberi hak untuk memberikan suaranya dalam Pemilu. Artinya, suara orang waras disamakan dengan suara  ODGJ. Hal tersebut di sampaikan oleh ketua KPU di Jakarta. 

Ketua KPU Hasyim Asy'ari menjelaskan teknis keterlibatan masyarakat dalam pemilihan umum atau Pemilu 2024, khususnya pemilih ODGJ. 

“Kalau dulu ada ketentuan bahwa ada orang yang sedang terganggu jiwanya tidak diberikan hak pilih, tetapi di undang-undang sudah direvisi bahwa tidak ada kategorisasi seperti itu lagi," kata Hasyim kepada awak media di kantornya, Menteng, Jakarta. (Viva.co.id, Kamis, 21/12/2023) 

ODGJ adalah orang yang terkena gangguan mental. Artinya, ada masalah dengan kejiwaannya. Dengan kondisi demikian tentu orang tersebut tidak bisa berpikir dengan baik dan jernih, sangat aneh jika diberi hak nyoblos untuk memberikan suaranya dalam pemilu. Yang lebih aneh lagi, kenapa keluar  keputusan yang tak masuk akal seperti itu? 

Pertama, politik demokrasi kapitalisme yang saat ini diterapkan asasnya adalah sekularisme, tidak terikat dengan aturan agama. Aturan yang dijalankan lahir dari manusia dengan jalan kesepakatan, tidak ada lagi halal atau haram, benar atau salah. Tentu saja aturannya bisa berubah setiap waktu dan tarik ulur sesuai kepentingan para pembuatnya. Wajar jika kemudian yang benar dianggap salah atau yang jelek di anggap baik. 

Kedua, menjadikan suara bak dewa. Tanpa suara, tidak akan didapatkan kursi kekuasaan. Maka, jalan apa saja akan ditempuh agar suara bisa dikantongi. Para pelaku demokrasi tidak memakai pertimbangan. Yang dipentingkan adalah bagaimana tujuan tercapai, meski sering menabrak rambu yang mereka buat sendiri. ODGJ dimanfaatkan demi mendulang suara, sungguh keanehan yang nyata. 

Ketiga, meskipun ada pendapat ODGJ tidak selalu orang gila karena bisa jadi stres ringan dan masih bisa berpikir, maka harus ada dokter atau ahli yang bisa menentukan apakah mereka pada saat itu sehat atau tidak sehingga bisa memberikan suaranya. Namun, hal ini masih menyisakan pertanyaan, apakah si ahli bebas kepentingan sehingga bisa mengeluarkan rekomendasi bahwa ODGJ tersebut bisa atau tidak memberikan suara. 

Terlepas dari keanehan di atas, seharusnya yang difokuskan adalah kenapa banyak orang yang terkena gangguan mental atau ODGJ? 

ODGJ harus diurus oleh negara, mengingat kebutuhan mereka sangat banyak dengan biaya yang tidak sedikit. Negara tentu berkepentingan untuk menyembuhkan ODGJ serta menutup celah agar tidak ada lagi  masyarakat yang terkena gangguan mental karena tugas pemimpinlah membuat rakyat hidup sehat dan tenang. 

Namun, mungkinkah semua itu terlaksana, mengingat saat ini ada pemimpin, tetapi seperti tidak ada? Setelah meraih jabatan, para penguasa hanya memperhatikan pengusaha yang memodali mereka sewaktu mencalonkan diri menuju kursi kekuasaan. Hasilnya, rakyat berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

Beban hidup yang sudah berat, ditambah harga kebutuhan pokok setiap tahun terus melonjak tak terkendali tentu membuat masyarakat mudah stres, depresi, hingga terkena gangguan mental atau menjadi ODGJ, bahkan banyak yang bunuh diri, ngeri. 

Tidak ada kebaikan yang dirasakan masyarakat dengan penerapan sistem ini. Masyarakat diperhatikan hanya lima tahunan menjelang pemilu demi mendulang suara. Setelah itu, mereka ditinggalkan begitu saja. Tentu orang waras tidak mau disamakan dengan ODGJ, karena yang akalnya sehat sudah muak dengan sistem demokrasi penyebab semua kerusakan ini. Bisa jadi, yang masih mau menerima adalah mereka yang terkena gangguan jiwa.
Alllahu a’lam.

Oleh: Umi Hanifah 
(Aktivis Muslimah Jember)

Jumat, 29 Desember 2023

ODGJ Ikut Pemilu, Apa Perlu?



Tinta Media - Apa pendapat Anda jika orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mendapatkan kesempatan untuk memilih pemimpin? Tentu hal ini akan menjadi buah simalakama. Di satu sisi, mereka adalah rakyat Indonesia yang mempunyai hak suara. Di sisi lain, mereka mengalami gangguan kejiwaan yang tingkah mereka tak bisa dipertanggungjawabkan. Lantas harus bagaimana? 

Ada Pendampingan 

Hak pilih ODGJ dijamin oleh beberapa peraturan, seperti UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas, Pasal 5 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan dikukuhkan didata sebagai pemilih dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XIII/2015. Beberapa aturan itulah yang membuat ODGJ mendapatkan kesempatan dalam pemilu 2019 dan pemilu yang akan datang. Berdasarkan kebijakan itu, 22.871 ODGJ di Jakarta akan mengikuti pemilu 2024 (Kompas, 20-12-2023). 

Ketua KPU, Hasyim Asy'ari menyampaikan bahwa para penyandang disabilitas mental akan mendapatkan hak yang sama. Agar memudahkan proses pemilihan, mereka akan mendapatkan pendampingan dari para perawatnya. Selain itu, para dokter akan memberikan surat pernyataan bahwa ODGJ tersebut bisa ikut pemilihan (Tirto, 21-12-2023). 

Prihatin 

Keputusan ini tentu menimbulkan keprihatinan. Kita pasti masih ingat, sebelumnya, ketika ada tindakan penyerangan terhadap ulama atau membuat keonaran di masjid, para penegak hukum mengidentifikasi mereka sebagai orang gila. Karena itu, segala perbuatan mereka tidak melanggar hukum dengan alasan kejiwaan.
Namun, ketika angka golput mulai mencapai 30,8 persen di tahun 2014, keberadaan mereka mulai diperhitungkan. Dengan alasan, mereka juga warga negara Indonesia yang mempunyai hak memilih. Akhirnya, aturan itu gol dua tahun kemudian. 

Konsekuensinya, pada pemilu 2019, suara mereka mulai diakui. Keputusan itu pun berlanjut hingga pemilu tahun depan. Kondisi ini tentu membuat kita _orang yang waras_ merasa prihatin. Ada ketimpangan pengambilan keputusan dalam masalah ini. Jangan salahkan masyarakat jika menganggap hal ini terjadi karena kepentingan. 

Padahal, kalau kita perhatikan lebih dalam, para ODGJ tersebut bisa jadi tidak mengenal calon wakilnya. Mereka ada di RSJ, dalam keadaan sakit mental dan sedang menjalani proses penyembuhan. Para perawat dan dokter merawat mereka, membantu mengurusi kebutuhan sehari-hari, mulai makan, ke kamar mandi hingga urusan tidur pun dibantu. 

Jadi, rasanya janggal jika mereka mendapat hak pilih. Ketika mereka ada di dalam kotak suara, dengan banyaknya gambar, mereka bisa saja asal coblos, atau lebih parahnya dicoblosi semua karena dikira permainan. Bahkan, bisa saja mereka memilih gambar yang paling unik, aneh, tua, tampan atau cantik. Lebih parah lagi, jika ada yang memanfaatkan suara mereka untuk keperluan golongan tertentu agar mendapatkan suara besar. 

Lemahnya Demokrasi 

Inilah pemilu dalam demokrasi, apa pun dapat terjadi. Dengan standar untung dan rugi, aturan bisa berubah-ubah sesuai kondisi. Pemilu dalam demokrasi bertujuan untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak, dialah yang menang. 

Artinya, jumlah pemilih adalah hal yang sangat diperhatikan. Ketika penguasa menemukan kecenderungan warga memilih golput di tahun 2014, mereka perlu melakukan sesuatu agar jumlah pemilih bertambah. Jika yang menang golput, ini menandakan matinya demokrasi. 

Kebolehan ODGJ untuk memberikan hak suara justru menunjukkan kelemahan demokrasi. Ini memperlihatkan bahwa aturan dalam demokrasi dapat berubah sesuai kondisi atau kepentingan. Selain itu, demokrasi juga memberikan peluang pada pihak-pihak tertentu untuk melakukan trik agar mereka menang. Beginilah jika aturannya bersandar pada akal manusia, sering tidak masuk akal. 

Kedudukan dalam Islam 

Orang yang terganggu kejiwaannya memiliki kedudukan khusus dalam Islam. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. yang berbunyi, 

"Dari Aisyah, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, 'Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh (mimpi basah), dan orang gila hingga berakal.'” (HR Ahmad, Ad Darimi dan Ibnu Khuzaimah). 

Hadis di atas jelas menunjukkan bahwa orang gila, baik gila permanen atau sementara tidak dicatat amalnya. Dari sini terlihat jelas bahwa Islam sangat memperhatikan akal. Hal ini karena akal akan mengantarkan seseorang dapat memilih mana yang benar dan salah sesuai pandangan Islam. 

ODGJ tidak dapat menentukan perilakunya benar atau salah, karena akalnya terganggu. Jadi, Islam tidak memberikan beban hukum pada ODGJ. Islam justru mewajibkan negara mengurusi dan mengobati para ODGJ. 

Berkaitan pemilihan suara atau pemilu, memilih wakil rakyat atau pemimpin hukumnya adalah boleh. Namun, menjadi pemimpin itu bukanlah hal sepele. Ia harus mengurusi kebutuhan rakyat. Tidak hanya itu, pemimpin dalam Islam wajib menerapkan aturan Islam secara menyeluruh. Oleh karena itu, memilih calon pemimpin yang seperti ini tidak bisa asal-asalan. 

Oleh karena itu, Islam memiliki metode sendiri dalam memilih pemimpin. Metode ini tidak menghabiskan waktu, tenaga, dan dilakukan secara sederhana dan masuk akal. Semua dilakukan hanya bertujuan untuk menerapkan aturan Allah karena nantinya akan dimintai pertanggungjawaban.

Oleh: Asy-Syifa Ummu Shiddiq
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 04 Januari 2023

Jutaan Remaja Menderita ODGJ, MMC: Akibat Penerapan Sistem Sekuler Kapitalis

Tinta Media - Temuan Tim risert I-NAMHS yang menyebut  satu dari 20 remaja di Indonesia atau setara dengan 2,45 juta remaja memiliki gangguan mental yang terkategori ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa), dinilai Muslimah Media Center (MMC) berpangkal pada penerapan sistem sekuler kapitalis.

“Problem ini sejatinya berpangkal pada penerapan sistem sekuler kapitalis yang rusak tidak sesuai dengan fitur manusia dan kering dari nilai-nilai agama,” ujar narator pada rubrik serba-serbi MMC: Fenomena Gangguan Mental pada Pemuda, Butuh Solusi Sistemik, Ahad (25/12/2022) di kanal YouTube Muslimah Media Center (MMC).

Penerapan sistem ekonomi kapitalis di negeri ini, menurut narator, telah menjadikan angka kemiskinan tinggi. “Pemenuhan kebutuhan hidup semakin sulit dan persaingan hidup untuk mencari materi dan kenikmatan juga semakin keras,” paparnya.

Dalam memenuhi kebutuhan hidup tidak cukup seorang ayah saja yang bekerja untuk mencari nafkah. Tapi kondisi ini juga menyeret kaum Ibu berperan sebagai ibu rumah tangga dan penopang ekonomi keluarga. Anak-anak akan tumbuh dan berkembang tanpa pengawalan dan pendampingan. “Sehingga terjadilah disharmonisasi diantara keluarga, relasi atau hubungan yang terjadi di antara keluarga penuh dengan tekanan sehingga anak-anak berguru pada lingkungan yang buruk,” jelas narator.
 
Dalam kondisi ini, narator melihat negara juga merusak para remaja dengan kebijakan media yang sangat longgar. "Pornografi, kekerasan, pencabulan, perilaku menyimpang dan yang lainnya sangat mudah didapatkan oleh remaja dari media. Tak heran remaja dalam sistem kapitalisme begitu rentan dengan gangguan kesehatan mental,” tukasnya.

Kondisi ini, dinilainya berbeda dengan Islam. Islam sebagai din yang sempurna sekaligus sebagai ideologi yang berasal dari Allah dinilai mampu menyelesaikan setiap persoalan manusia tak terkecuali masalah remaja. “Dengan sistem yang komprehensif Islam memberikan solusi untuk mencegah gangguan kesehatan mental pada remaja diantaranya pertama menanamkan akidah yang kuat bahwa tujuan hidup yang hakiki di dunia ini adalah untuk beribadah meraih Ridho Allah dan surga di akhirat,” nilainya.  

Menurut narator, dunia adalah ladang untuk mencari akhirat. Maka semua amalan-amalan yang dilakukan seorang hamba di dunia ini adalah dalam rangka menyiapkan kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. “Penanaman akidah yang kuat juga harus disertai dengan adanya sikap yang benar dalam menerima qada Allah dengan rida dan sabar,” jelasnya. 

Adapun bentuk tubuh yang diciptakan oleh Allah, menurutnya, haruslah disyukuri oleh manusia bukan untuk dihina atau dijadikan sumber depresi. “Dengan sikap seperti ini seorang muslim akan menjadi tenang tanpa adanya tekanan dan depresi,” tuturnya.

Solusi kedua, menurut narator yaitu adanya optimasi dari peran negara. “Negara harus menjalankan perannya sebagai riayatus syu’unil ummah atau pelayan terhadap semua urusan umat dalam segala aspek kehidupan,” terangnya. 

Dalam aspek ekonomi, ia berpendapat negara berkewajiban memenuhi semua kebutuhan rakyatnya individu per individu, sehingga tidak ada satupun orang dari warga negara yang kesulitan mencari nafkah kesulitan bertahan hidup atau mendapatkan pekerjaan yang layak. 

Dalam aspek pergaulan, negara wajib menciptakan iklim yang aman dari segala bentuk kemaksiatan, tindakan asusila, kejahatan seksual, perudungan, atau yang lainnya. "Dalam aspek pendidikan, negara akan memberikan biaya yang gratis tanpa memungut sepeser pun dari rakyat. Negara akan memberlakukan kurikulum yang sesuai dengan tumbuh kembang anak sehingga tidak ada satupun peserta didik yang depresi karena kurikulum yang terlalu berat," terangnya. 

Dari aspek kesehatan negara akan memberikan pelayanan kesehatan yang gratis dan berkualitas. “Negara akan memberikan rehabilitasi medis dan non medis bagi orang-orang yang mengalami gangguan mental melalui ahli-ahli yang kompeten,” papar narator.

Narator menyebutkan dalam sejarah kedokteran, Abu Bakar ar-Razi adalah orang muslim pertama yang meletakkan dasar-dasar pengobatan jiwa. Beliau mengarang sebuah kitab yang berjudul ‘Aktif ar-Ruhani’ atau pengobatan jiwa. Sementara pada saat yang sama di Eropa orang dengan gangguan jiwa masih diperlakukan layaknya pelaku kriminal. Mereka dipenjara dan disiksa karena orang-orang Eropa menganggap bahwa penyakit jiwa merupakan laknat dari langit yang ditimpakan kepada pengidapnya sebagai siksa atas dosa yang dilakukannya. Dan kondisi ini terjadi hingga pada akhir abad ke-18 masehi. 

Dari aspek hukum, lanjutnya, negara akan memberikan sanksi yang menjeratkan kepada setiap perilaku kriminal. Sehingga tidak ada pelaku kejahatan yang menyebabkan orang lain mengalami gangguan jiwa. “Demikianlah solusi sistemik Islam dalam mengatasi masalah gangguan mental pada rakyat termasuk remaja,” jelasnya.

“Solusi tersebut hanya bisa terlaksana ketika negara memberlakukan sistem syariat Islam secara kaffah dalam naungan khilafah,” tandasnya.[] Raras

Jumat, 21 Oktober 2022

2,45 Juta ODGJ, Pakar Parenting: Remaja Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja

Tinta Media - Hasil Riset yang menyebut 2,45 Juta Remaja termasuk ODGJ, menunjukkan remaja Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

“Hasil riset ini membuka mata kita bagaimana kondisi mental remaja di negeri ini. Remaja di negeri ini sedang tidak baik-baik saja,” ujar Pakar Parenting sekaligus Penulis Buku The Model for Smart Parents Nopriadi Hermani, Ph.D. dalam wawancara eksklusif dengan Tinta Media, Rabu (19/10/2022).

Mestinya menjadi prihatin dan risau, karena 2,45 juta remaja di Indonesia memiliki masalah dalam kesehatan mental. Di antara remaja kita yang usianya 10-17 tahun banyak yang memiliki gangguan gangguan kecemasan(sekitar 3,7%), gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pascatrauma dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) yang masing-masing diderita oleh 0,5% oleh populasi. “Ini bukan angka yang kecil. Bukan masalah sepele,” nilai Nopriadi. 

“Masih sangat muda sudah mengalami masalah kesehatan mental,” tambahnya.

Akar masalah

Secara penelitian, menurut Nopriadi akar masalah gangguan mental pada remaja bisa bermacam-macam. “Di usia tersebut hormon reproduksi terus aktif, perkembangan otak terus berlangsung dan biasanya masih ada proses pembentukan identitas diri,” paparnya.

Semua itu biasanya disertai dengan ketidakstabilan emosi atau pengambilan keputusan yang sering kali impulsif. “Penelitian lain menunjukkan banyaknya remaja Indonesia, di periode transisi ini, mengalami tantangan adaptasi terhadap kehidupan yang mulai berubah, kesulitan mereka mengatur waktu dan keuangan pribadi,” jelasnya. 

Ia menambahkan juga ada yang mengalami rasa kesepian saat belajar dan merantau di kota yang jauh dari tempat tinggal. “Namun, semua ini bukanlah faktor utama,” ujarnya.
 
Faktor utamanya menurut Nopriadi adalah fenomena matang semu. “Apa itu? Secara biologis mereka tumbuh dewasa, tapi secara psikologis mereka masih mentah, tidak tumbuh normal,” jelasnya.

Seharusnya ketika baligh mereka sudah memiliki kematangan kepribadian yang cukup dalam menghadapi perubahan dan tantangan kehidupan. “Kematangan kepribadian ini bisa dilihat dari mentalitas (mentality) dan tingkah laku (behaviour) mereka yang terbentuk dengan standar yang jelas,” ungkapnya.

Bagi remaja muslim, kata Nopriadi standarnya adalah Islam. “Matangnya pribadi mereka adalah buah dari penanaman keimanan yang baik, pembiasaan prilaku yang sesuai dengan syariat Islam dan pembangunan budaya pribadi yang amanah akan segala tanggungjawab,” terangnya.

Tanggung Jawab Siapa?

Menurut Nopriadi, banyak yang bertanggung jawab dalam kerusakan mentalitas generasi muda ini, dari keluarga sampai negara. “Pertama yang kita lihat adalah orangtua,” tuturnya.

“Orang tua, terutama ayah, memiliki tanggung jawab utama dalam menjaga keluarganya,” jelasnya lebih lanjut.
 
Dalam Al-Qur’an surah At-Tahrim ayat 66 Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”

Dari ayat tersebut dijelaskannya bahwa Allah mewajibkan para ayah menjaga anak-anak mereka agar selamat dan memiliki kehidupan yang baik di akhirat. Tidak hanya akhirat, tapi Ayah bertanggungjawab untuk kebaikan anak-anak mereka di dunia. “Tidak hanya mencari nafkah, tapi juga mendidik mereka agar memiliki kepribadian yang matang sesuai dengan perkembangan usia mereka,” jelasnya.

“Disamping ayah, tentu saja ada bunda yang mendampingi,” tambahnya.
 
Cuma Nopriadi menilai bahwa hari ini banyak orang tua yang tak siap menjalani peran sebagai ayah-bunda. “Coba bayangkan, untuk menjalankan profesi sebagai dokter saja seseorang memerlukan sekolah paling tidak 3,5 tahun untuk mendapatkan sarjana kedokteran, lalu 2 tahun koas (co-assistant) dan 1 tahun magang di rumah sakit atau puskesmas,” bebernya.
 
Semua harus dilewati sehingga dia sudah dikatakan cukup ilmu, keterampilan dan pengalaman untuk praktik sendiri. Butuh minimal 6,5 tahun bagi seorang calon dokter untuk bisa menangani manusia (pasien). Bila tidak memenuhi standar ini maka dokter tersebut melakukan malpraktik.

“Nah, kebanyakan kita menjalankan peran sebagai orang tua bukan karena sudah lulus sekolah dengan kesiapan ilmu, keterampilan dan pengalaman sebagaimana para dokter. Kita menjadi orangtua hanya gara-gara punya anak. Gara-gara punya anak kita langsung praktik. Gara-gara punya anak kita harus menangani manusia sejak bayi, anak-anak, remaja hingga dewasa,” terangnya.

Tanpa ilmu, keterampilan dan pengalaman yang cukup, kata Nopriadi orangtua akan melakukan malpraktik dalam mendidik anak. “Jadi, kalau kita lihat rumah-rumah di sekitar kita kebanyakan terjadi malpraktik yang dilakukan orang tua pada anak-anak mereka,” ucapnya.

Tanggung jawab berikutnya menurut Nopriadi adalah sekolah, masyarakat dan terutama negara. Perlu dicatat massifnya gangguan kesehatan mental pada anak remaja menunjukkan bahwa problem ini bukan problem pribadi satu dua orang. Bukan problem satu dua keluarga, tapi ini problem yang bersifat sistemik. “Seolah-olah ada mesin yang memproduksi sakit mentalnya para remaja,” nilainya.

Sikap Masyarakat

“Tugas kita adalah menyehatkan mentalitas keluarga kita dan juga masyarakat kita,” ujar Nopriadi.

Menyebarluaskan dan menanamkan konsep-konsep keimanan pada keluarga dan masyarakat. Mendakwahkan Islam sebagai cara hidup. Membiasakan orang-orang yang menjadi tanggung jawab agar hidup sesuai dengan syariat Islam. “InsyaAllah dengan menyuntikkan Islam dalam pribadi mereka (anak-anak) maka mereka akan memiliki kepribadian matang yang sesuai dengan Islam,” tukasnya.

“Mereka akan hidup dengan konsep Islam yang membuat mereka mampu menyikapi segala persoalan hidup dengan tepat,” tegasnya.
 
Menurutnya, dengan Islam mereka akan memiliki cara hidup yang tertata sesuai dengan panduan-Nya. “Tertata pikirannya, tertata perasaannya, tertata kata-katanya, tertata sikap prilakunya, dan tertata kehidupannya,” tuturnya.
 
Dijelaskannya bahwa mereka yang hidup dengan Islam ini akan memiliki kehidupan yang baik. “Kehidupan baik ini Insya Allah akan jauh dari segala masalah penyakit mental,” jelasnya.
 
Dia menyampaikan firman Allah SWT dalam Q.S An-Nahl: 97, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”

Peran Negara

Susah, Nopriadi membayangkan apa yang harus dilakukan negara, menurut Islam, ketika masalah sistemik ini dihasilkan oleh kehidupan yang jauh berpaling dari Islam. “Tadi saya sampaikan masalah penyakit mental remaja kita adalah masalah sistemik,” ujarnya.

“Masalah ini terus diproduksi secara sistemik selama sistemnya tidak berubah. Sistem bermasalah hanya menghasilkan kehidupan yang bermasalah. Sistem bermasalah terjadi ketika Islam tidak dijadikan sebagai panduan dalam menata sistem kehidupan,” paparnya.
 
“Kalau seandainya nih kita membayangkan Islam sebagai panduan dalam membangun sistem kehidupan, maka kita akan menyaksikan pribadi-pribadi bertakwa yang sehat mentalitasnya dan baik cara hidupnya,” paparnya selanjutnya.
 
Menurutnya, pribadi-pribadi yang jauh dari masalah mental, baik muslim maupun non-muslim. “Kita juga akan menyaksikan keluarga sakinah mawaddah warahmah dimana suami istri dan anak-anak hidup dalam suasana terbaik yang saling membahagiakan,” ungkapnya. 

“Anggota keluarga yang menunaikan tanggungjawabnya sehingga mereka hidup bahagia dan penuh ketenteraman,” imbuhnya. 

Dengan Islam pula kata Nopriadi akan menyaksikan masyarakat amar ma’ruf nahi munkar yang saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaatan. Masyarakat yang sangat kondusif untuk hadirnya para remaja muslim yang sehat mentalnya, bahagia jiwanya, dan produktif hidupnya. “Dengan Islam pula kita akan menyaksikan negara yang adil yang memenuhi segala kebutuhan warga negaranya. Negara dimana para pemimpin sangat takut pada Allah SWT bila tidak menunaikan amanah kepemimpinannya,” paparnya. 

“Dengan Islam kita membayangkan sebuah sistem kehidupan yang mampu menjaga agama (al-din), jiwa (al-nafs), keturunan (an-nasl), harta (al-mal) dan aqal (al-aql),” pungkasnya.[] Raras

Minggu, 16 Oktober 2022

2,45 Juta Remaja ODGJ, Siyasah Institute: Ini Peringatan bagi Keluarga dan Pemerintah

Tinta Media - Menanggapi hasil riset 2,45 juta remaja di Indonesia tergolong orang dengan gangguan jiwa, Direktur Siyasah Institute Ustadz Iwan Januar menilai bahwa ini menjadi peringatan bagi keluarga dan pemerintah.

"Ini peringatan untuk banyak keluarga di tanah air, juga untuk pemerintah bahwa ada masalah dalam lingkungan sosial dan pendidikan anak-anak dan remaja kita," tuturnya dalam wawancara eksklusif bersama Tinta Media, Sabtu (15/10/2022).

Menurutnya, para remaja akan sehat mentalnya bila hidup dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang sehat. "Punya pandangan hidup yang benar, nilai-nilai sosial yang benar serta punya support yang kuat dari lingkungan dan negara," imbuhnya.

Menurutnya, yang menjadi akar masalah itu karena remaja tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarga, berarti ada persoalan dalam lingkungan keluarga mereka. Bisa karena orang tua yang tidak berfungsi sebagai pendidik, "Atau karena nilai-nilai yang ditanamkannya keliru seperti kebahagiaan materi alias hedonisme," ujarnya 

Ia melanjutkan bahwa remaja juga hidup di lingkungan masyarakat termasuk dunia maya. Hari ini masyarakat minim nilai sosial yang benar dan sehat, serta semakin individualistis. "Tidak memberi support sosial yang membantu remaja," paparnya.

Ustaz Iwan Januar melihat bahwa yang seharusnya bertanggung jawab dalam kasus ini adalah keluarga, masyarakat, dan negara yang berkewajiban melindungi masyarakat dan menjaga nilai-nilai sosial yang benar dan sehat. 

Dengan demikian lanjutnya, masyarakat harus punya kepedulian seperti melakukan amar maruf nahi munkar pada remaja, juga memberikan support system yang baik, "Sehingga remaja merasa aman dan nyaman agar mental mereka sehat," tukasnya.

Ia menjelaskan bahwa negara dalam Islam berkewajiban menjaga akal dan kehormatan serta keamanan masyarakat. Untuk itu, pemerintah harus menjaga jangan sampai budaya liberal, hedonisme, individualistis masuk ke dalam lingkungan. 

"Negara juga harus bekerja keras mendidik warga agar bisa membangun keluarga yang sehat sesuai nilai-nilai Islam", ungkapnya.

"Selain, itu negara harus memiliki sistem dan juga institusi yang dapat melakukan recovery mental bila remaja mengalami gangguan kesehatan mental," pungkasnya.[] Ajira
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab