Tinta Media: Nusantara
Tampilkan postingan dengan label Nusantara. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nusantara. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 29 April 2023

Nicko Pandawa: Hubungan Khilafah dan Nusantara Sangat Erat!

Tinta Media - Sejarawan Nicko Pandawa menyatakan bahwa hubungan antara Khilafah Utsmaniyah dan Nusantara sangat erat. 

“Dulu, kaum pemuda yang ada di Nusantara tidak pernah memisahkan ikatan agamanya, bahkan dengan ikatan negara agamanya, yaitu Khilafah Utsmaniyah,” ujarnya dalam acara Bedah Media Pembebasan: Kekhilafahan dan Keindonesiaan, yang digelar PP Gema Pembebasan di kanal YouTube Gema Pembebasan pada Kamis (30/3/2023).

Ia menyampaikan, setidaknya ada dua bukti yang menunjukkan hubungan antara Khilafah Utsmaniyah dan Nusantara. 

Pertama adalah artefak, yaitu sebuah koin Dinar yang bukan buatan Indonesia tapi buatan Mesir. "Di atasnya tertulis nama Sultan Sulaiman bin Salim Khan alias Sulaiman Al Qanuni, yaitu Khalifah kedua dari Bani Utsmaniyah,” katanya.

Yang menjadi menarik, sambungnya, koin tersebut ditemukan di Aceh, bukan di Arab atau di India tapi di wilayah Nusantara. “Ketika kita melihat sejarah, ternyata pasukan-pasukan Utsmani yang membawa koin-koin ini, tidak saja beraktivitas di Aceh.” tambahnya.

Kedua, ada sebuah kitab yang menjadi dasar keilmuan orang-orang Nusantara. Kitabnya sangat tebal, berjudul Turjumanul Mustafid. "Kitab ini adalah sebuah kitab tafsir berbahasa Jawi Melayu yang ditulis oleh ulama dari Singkel, Aceh Barat. Namanya Syaikh Abdul Rauf," ungkapnya. 

 Istimewanya, kata Penulis Buku Khilafah dan Ketakutan Penjajah, ternyata cetakan yang kemudian disebarluaskan sangat masif di seluruh Nusantara ini dicetak dari Istanbul atas perintah Sultan Abdul Hamid Kedua.

“Kita berhutang sangat banyak, baik dari segi perjuangan maupun segi keilmuan yang membentuk cara berfikir Islam orang tua kita sehingga bisa mewariskannya sampai generasi kita,” pungkasnya.[] Azis Harda

Sabtu, 03 Desember 2022

Sarankan Sebar Islam Nusantara Jelang Pemilu, Gus Tuhu: Mereka Terjangkit Islamofobia Akut

Tinta Media - Menanggapi adanya Tokoh yang menyarankan agar pemerintah lebih agresif menyebarkan Islam Nusantara jelang pemilu 2024, Pengasuh Majelis Taklim Al-Mustanir Probolinggo Gus Tuhu menduga hal tersebut terjangkit penyakit islamofobia akut. 

“Jika dugaan ini benar, berarti mereka terjangkit penyakit Islamofobia yang akut,” tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (2/12/2022). 

Karena menurutnya, tidak ada hubungannya Islam Nusantara dengan pemilu, yang ada hanya munculnya ketakutan dari sejumlah kalangan kandidat Presiden, bakal ada yang menggunakan identitas Islam untuk meraih dukungan.

“Maka mereka ramai-ramai memunculkan slogan 'jangan gunakan politik identitas'. Mereka membenci semangat dan sentimen Islam muncul di permukaan. Dengan ide Islam Nusantara dianggap akan bisa membelokkan semangat dan sentimen keislaman tersebut,” jelasnya.

Pengasuh Majelis Taklim Al-Mustanir Probolinggo ini melanjutkan, Islam Nusantara adalah istilah baru mengada-ada untuk membelokkan Umat dari gambaran hakikat universalitas Islam, membelokkan kerahmatan Islam bagi seluruh alam, bersifat lokal pada Islam, hakikatnya menggiring Islam ke dalam fakta sempit kedaerahan.

“Ini sangat berbahaya, mengapa? Sebab hal ini akan merubah fakta Islam, sama saja dengan merubah agama Islam. Lalu diada-adakan pula gambaran tentang Islam Nusantara sebagai Islam khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat istiadat di tanah air. Jelas sekali dalam hal ini bukan Islam yang menjadi tolok ukur melainkan budaya lokal,” bebernya.

Dengan adanya Istilah Islam Nusantara, katanya, Islam mengharuskan sesuai adat istiadat lokal, sangat berbahaya bagi Umat dan jahat karena memoles Islam sedemikian rupa seolah-olah melahirkan semangat keislaman yang damai, toleran dan lebih manusiawi dibanding Islam di luar Nusantara.

“Tentu saja hal ini tidak benar, ide sesat ini tidak akan pernah melahirkan kebaikan karena pada hakikatnya ide ini adalah racun pemikiran Barat sebagai kelanjutan dari nasionalisme sempit. Ini adalah rekayasa Barat untuk membenturkan atau mengadu domba antar kaum muslimin,” tegasnya.

“Contoh kecil, mereka yang terpengaruh dengan ide Islam Nusantara ini akan membenci dari saudara mereka kaum muslimin yang "berpenampilan" ke arab-araban karena Arab bukan nusantara. Hal kecil seperti ini saja sudah menunjukkan fakta bahwa ide ini tidak mungkin melahirkan perdamaian,” tambahnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, Umat Islam harus sadar dan disadarkan bahwa hendaknya tidak boleh jatuh pada kesalahan berbahaya dengan mengikuti ide sesat apapun yang berasal dari Barat, yang hanya akan memecah belah umat.

“Umat Islam harus faham dan difahamkan bahwa Islam yang hakiki adalah Islam yang berasal dari Nabi saw bukan rekayasa manusia manapun. Islam yang berasal dari Nabi saw adalah Islam yang berlandaskan kitab suci Al Quran dan Hadits Rasul saw, bukan ujaran manusia manapun,” lanjutnya.

“Ajaran Islam yang murni sajalah yang akan melahirkan kebaikan, keadilan dan perdamaian hakiki bagi umat manusia di seluruh dunia” pungkasnya.[] Lukman Indra Bayu

Jumat, 02 Desember 2022

MMC: Acara Nusantara Bersatu Ini Gambaran Empati yang Terkikis

Tinta Media - Menanggapi acara Nusantara Bersatu yang digelar relawan Jokowi di tengah suasana duka gempa Cianjur, Narator Muslimah Media Center (MMC) menyatakan ini gambaran empati yang terkikis.

"Acara ini juga gambaran dari empati yang terkikis," tuturnya dalam Serba Serbi MMC: Bersuka Cita di Tengah penderitaan Rakyat Gempa Cianjur, Pantaskah? di kanal YouTube Muslimah Media Center, Selasa (29/11/2022).

Menurutnya, pertemuan dengan relawan pasti rawan ditunggangi dengan kepentingan pribadi dalam hal jabatan atau kekuasaan. Dugaan adanya penipuan kegiatan makin menguatkan hal tersebut. "Sudah menjadi tabiat penguasa dalam sistem kapitalisme yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dibanding urusan rakyatnya," ujarnya.

Ia menilai tabiat ini muncul karena paham kapitalisme, membuat penguasa hanya melihat manfaat sebagai orientasi kebijakannya. "Berbagai cara bisa dilakukan, mulai dari pencitraan mengunjungi korban bencana demi formalitas atau mengumpulkan massal dengan klaim itu relawan bagi penguasa," ungkapnya.

Ia mengatakan hal tersebut lebih penting dibanding mengurus korban bencana secara mutlak, karena politik demokrasi yang menjaga eksistensi kapitalisme mengharuskan seorang penguasa yang legal adalah yang memiliki suara mayoritas. Karena itu publik bisa menyaksikan ada penguasa yang melakukan pencitraan di tengah bencana, pandemi Covid, dan di tengah himpitan ekonomi. "Sangat berbeda dengan penguasa dalam sistem khilafah," terangnya.

Ia menjelaskan bahwa dalam pandangan Islam, penguasa dan rakyat harus saling menguatkan. Mengutip perkataan Kaab al-Akhbar rahimahumallah yang disampaikan Ibnu Qutaibah bahwa perumpamaan antara Islam, kekuasaan, dan rakyat laksana tenda besar. Tiang dan tali pengikat serta pasaknya. Tenda besarnya adalah Islam, tiangnya adalah kekuasaan, pasak dan tali pengikatnya adalah rakyat. Satu bagian tidak akan baik tanpa bagian yang lainnya. 

Hubungan seperti ini, lanjutnya, bisa terjalin sebagai bentuk ketaatan pada sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam: "Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum muslim, kemudian tidak bersungguh-sungguh mengurusi mereka dan tidak menasehati mereka kecuali dia tidak akan masuk surga bersama mereka (Shahih Muslim)," tukasnya.

Ia menambahkan dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam juga bersabda: "Imam yakni kepala negara adalah pengurus rakyat dan dia diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya. (Shahih al-Bukhari)," tambahnya.

Ahmad bin Muhammad bin Abdul Malik Al Qasthalani dalam Irsyad as-Sari Lil Syarh Shahih al-Bukhari menjelaskan makna ar-ra'i adalah al-Hafiz al-mu'tamar adalah penjaga, pemelihara, wali, pelindung, pengawal, pengurus, pengasuh yang diberi amanah. Penguasa atau pemimpin wajib mewujudkan kemaslahatan siapa saja yang berada di bawah kepemimpinannya. "Dalil-dalil sulthaniyah inilah yang menjadi cara pandang khilafah dalam mengurusi rakyatnya," paparnya.

"Maka ketika khilafah tegak berdiri selama 1300 tahun, kita akan menemukan banyak sekali penguasa yang begitu luar biasa memberikan perhatian terhadap urusan rakyatnya. Salah satu diantaranya adalah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab," bebernya.

Ia mengisahkan, pada masa kekuasaan Khalifah Umar pernah terjadi bencana paceklik pada akhir tahun ke-18 Hijriah tepatnya pada bulan Dzulhijjah selama 9 bulan. Masyarakat sudah mulai kesulitan, kekeringan melanda seluruh bumi hijau dan orang-orang mulai merasakan sangat kelaparan. Banyak dari mereka berbondong-bondong ke Madinah untuk mencari bantuan kepada Khalifah Umar. Sikap Amirul mukminin pun sigap dan tanggap mendirikan tungku-tungku dan posko-posko bantuan makanan yang dananya berasal dari Baitul Mal. Pada saat itu bantuan tersebut bisa mencukupi 6000 penduduk.

"Di tengah usaha kerasnya untuk tetap memenuhi kebutuhan rakyatnya, Al Faruq juga sangat tegas pada dirinya sendiri. Dia berkata, Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan," terangnya.

Ia melanjutkan bahwa pada masa itu Khalifah Umar hanya makan roti dan minyak sehingga kulitnya berubah menjadi hitam. Khalifah Umar rela untuk ikut menanggung rasa lapar, bahkan menolak makanan berupa daging dan hati Unta yang disiapkan untuknya. Justru malah menyuruh Aslam membagikan makanan tersebut kepada rakyat. 

"Inilah penguasa dalam khilafah. Mereka mengurus rakyatnya dengan sepenuh hati, bukan untuk kepentingan eksistensi kekuasaannya melainkan demi menjalankan kewajiban yang diberikan," pungkasnya.[] Ajira
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab