REFLEKSI HUKUM 2022, NORMA KUHP BARU BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI & ANCAMAN TERHADAP KEBEBASAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT
Tinta Media - Tulisan-tulisan saya terkait refleksi hukum 2022 akan difokuskan pada produk politik yang baru yaitu Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) disahkan menjadi Undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP, Selasa (06/12/2022).
Tulisan ke-1 refleksi hukum 2022, akan membahas Pasal 188 ayat (1) KUHP Baru, yang berbunyi:
(1)"Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apa pun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun."
KUHP baru memuat ketentuan yang dapat digunakan secara semena-mena untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Pasal 188 KUHP yang mengkriminalisasi “penyebaran dan perkembangan” ideologi atau paham yang bertentangan dengan “Pancasila”. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana penjara sampai 7 tahun.
Pasal 188 bertentangan dengan doktrin sistem hukum pidana “principle of legality” yaitu Pertama, konsep lex scripta. Setiap orang hanya dapat dituntut pidana apabila tercantum/tertulis didalam undang-undang, yang mengharuskan UU dirancang secara jelas, dituliskan secara terang paham yang dimaksud dan tepat agar memungkinkan digunakan untuk mengatur perilaku setiap orang.
Kedua, konsep lex stricta. Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh didasarkan pada analogi/multitafsir. Sedangkan pasal 188 KUHP Baru, tidak menyebutkan secara jelas, terang dan tanpa ada keraguan (expresive verbis) paham apa yang dimaksud.
Saya khawatir norma “...paham lain yang bertentangan dengan Pancasila...” menjadi criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang, sebagaimana yang pernah terjadi pada Romawi Kuno.
Pasal ini sangat bermasalah. Tidak ada penjelasan dengan apa yang dimaksud dengan “paham yang bertentangan dengan pancasila”, siapa yang berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan pancasila. Pasal ini berpotensi mengkriminalisasi setiap orang terutama pihak oposisi pemerintah karena tidak ada penjelasan terkait “paham yang bertentangan dengan Pancasila”. Pasal ini akan menjadi pasal karet dan dapat menghidupkan konsep pidana subversif seperti yang terjadi di era orde baru.
Pasal karet berpotensi akan ditafsirkan oleh Penguasa, hal ini pernah terjadi pada zaman romawi kuno yaitu hukum memberi kebebasan luas bagi penguasa memaknai apa itu perbuatan jahat (crimina stellionatus) itu. Akibatnya, penguasa dapat menjatuhkan sanksi pidana kepada siapapun yang tidak ia sukai dengan dalih yang bersangkutan telah melakukan perbuatan jahat. Para penguasa/ raja di masa itupun sangat berpeluang menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Oleh sebab itu, sangat diperlukan pemikiran bahwa perbuatan-perbuatan jahat yang dapat dipidana selayaknya harus sudah ter-cover dalam ketentuan perundang-undangan yang ada
Kemudian tampak ada pertentangan antara Pasal 188 KUHP Baru dengan UUD 1945 yaitu pasal 28, yang menetapkan bahwa hak warga negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan, dan sebagainya, syarat-syarat akan diatur dalam undang-undang. Sedangkan Pasal 28E ayat (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
Menutup tulisan ini, saya mengajak kepada seluruh masyarakat “saatnya Anda Peduli dan bersuara”.
Demikian.
Oleh: Chandra Purna Irawan., S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT