Tinta Media: Negeri
Tampilkan postingan dengan label Negeri. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Negeri. Tampilkan semua postingan

Jumat, 13 September 2024

Sudahkah Negeri Kita Merdeka?



Tinta Media - Upacara Hari Ulang Tahun ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia beberapa waktu lalu berlangsung dengan penuh khidmat di Lapangan Upakarti, Komplek Pemerintahan Kabupaten Bandung. Ribuan masyarakat turut hadir menyaksikan jalannya upacara.

Bupati Bandung Dadang Supriatna bertindak sebagai inspektur upacara mengenakan pakaian adat. Ini bukan hanya sekadar seremonial, tetapi sebagai bentuk penghargaan terhadap keberagaman budaya dan kearifan lokal yang menjadi identitas bangsa. 

Dalam upacara yang mengusung tema “Nusantara Baru, Indonesia Maju” tersebut, Bupati Bandung menyampaikan bahwa usia 79 tahun Indonesia harus menjadi momentum untuk introspeksi sekaligus memacu semangat kerja demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, tetapi alat untuk menyusun tata kehidupan yang lebih baik, terutama dalam menghadapi isu-isu sentral seperti kemiskinan ekstrem, stunting, inflasi, pengangguran, dan ketahanan pangan.

Pada momen Kemerdekaan RI ini, Bupati Bandung mengajak seluruh masyarakat Kabupaten Bandung ikut berkontribusi mengisi kemerdekaan dengan mewujudkan Kabupaten Bandung yang lebih maju dan siap menyongsong Indonesia Emas 2045. Salah satu upaya tersebut adalah peningkatan kualitas SDM, yakni melalui program Beasiswa Ti Bupati (BESTI). 

Semangat kemerdekaan di negeri ini memang tinggi. Mulai dari rakyat jelata hingga istana, semua ikut terlibat dalam euforia pesta rakyat dengan berbagai perhelatan yang beragam, hingga  dijadikan momen yang mendorong mereka untuk bekerja keras dan cerdas dalam membangun bangsa.

Akan tetapi, benarkah kita telah merdeka? Menurut KBBI, merdeka berarti bebas dari belenggu penjajahan. Merdeka juga bisa berarti tidak terkena atau lepas dari berbagai tuntutan, tidak terikat, tidak bergantung pada pihak tertentu dan leluasa. 

Secara kasat mata, kemerdekaan yang selama ini diperingati setiap tahun hanyalah kemerdekaan semu. Indonesia hanya sedang beralih dari penjajahan fisik menjadi penjajahan sistemik. Ini terlihat dari campur tangan serta peran bangsa penjajah di negeri ini. 

Tampak jelas terlihat bahwa Indonesia berada dalam cengkeraman kapitalisme-sekuler. Aroma kapitalisme-sekuler telah menjadi tatanan pendidikan di negeri ini. Dampak dari sistem pendidikan kapitalisme-sekuler adalah rusaknya generasi bangsa dan jauhnya mereka dari nilai-nilai agama. 

Generasi muda sekarang banyak yang pragmatis. Mereka terjebak pada kesenangan dunia yang sifatnya sesaat. Semua ini merupakan bukti nyata hasil pendidikan ala kapitalisme-sekuler.

Dari aspek hukum, ekonomi, dan politik, tidak dimungkiri bahwa negeri ini berkiblat pada negara penjajah. Kebijakan yang ada lebih memihak pada konglomerat asing dan aseng daripada rakyat kecil. Justru rakyat semakin menderita dengan berbagai UU dan kebijakan tersebut. 

Lebih dari itu, ternyata negeri ini sedang menjadi rebutan aseng dan asing sehingga makin memperparah kerusakan negeri ini. Ideologi kapitalisme dan komunisme keduanya bersama-sama mencengkeram negeri tercinta ini. Cina dengan mega proyeknya, sementara Amerika dengan utang ribawinya semakin mencekik Indonesia. 

Ini semua membuktikan bahwa secara dejure Indonesia telah merdeka, tetapi secara defacto Indonesia sesungguhnya belum merdeka. Lalu, sebenarnya seperti apa kemerdekaan secara hakiki itu?

Menurut pandangan Islam, merdeka adalah penyerahan kekuasaan untuk menentukan hukum halal dan haram kepada Allah semata, menghamba hanya kepada Allah Yang Maha Kuasa, pemilik alam semesta, bukan kepada makhluk yang terbatas. Dengan kata lain, makna kemerdekaan hakiki adalah membebaskan diri dari penghambaan sesama makhluk dan manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah dan membebaskan manusia dari perbudakan hawa nafsu. 

Keselamatan dan kebahagiaan seorang muslim adalah ketika ia bisa menundukkan hawa nafsunya kepada aturan Allah. Jika diterapkan pada sebuah negara, tentunya negara yang merdeka adalah negara yang bebas dari belenggu negara penjajah dalam bentuk apa pun. 

Kemerdekaan hakiki tersebut tidak akan mampu diraih oleh sebuah negara jika masih menerapkan sistem/aturan kafir penjajah. Kemerdekaan akan diraih jika negara tersebut menerapkan sistem dan aturan yang bersumber dari Allah Swt. yaitu syariat Islam kaffah dalam bingkai khilafah, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasullullah saw.

Oleh karenanya, sudah selayaknya negeri ini mengambil alih segala hal yang berada di bawah tekanan penjajah, mewujudkan kemerdekaan hakiki seperti yang di contohkan oleh Rasullullah saw. 

Untuk meraih kemerdekaan ini, tidak lain adalah dengan kembali kepada ajaran Islam, yaitu menerapkan Islam secara kaffah. Hanya dengan jalan ini penghambaan manusia kepada Allah Swt. akan sempurna. dengan kata lain, hanya dengan khilafah kemerdekaan hakiki benar-benar akan terwujud.
Wallahualam bissawab.




Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 24 Agustus 2024

Ngeri, Aborsi Dilegalkan di Negeri Ini?



Tinta Media - UU nomor 17 Tahun 2023 yang membolehkan tenaga medis untuk melakukan tindakan aborsi terhadap perempuan hamil karena pemerkosaan dan tindakan pidana kekerasan seksual.(Tirto.id 30-07-2024)

Sungguh tidak habis pikir, bagaimana mungkin tindakan aborsi bisa dilegalisasi, sementara aborsi merupakan tindakan menghilangkan nyawa yang ada dalam rahim seorang ibu? Apa yang sebenarnya melanda negeri ini?

Ketika ditelisik, masalah legalisasi aborsi yang dianggap sebagai salah satu solusi untuk korban pemerkosaan, sungguh membuat kita miris. Justru layanan aborsi 'aman' makin gencar dengan berlindung di balik UU kesehatan.

Adanya legalisasi aborsi 'aman' seolah-olah menjadi solusi untuk para korban pemerkosaan, bahkan dianggap dapat menghilangkan kehamilan tidak diinginkan akibat pergaulan bebas maupun tindak pemerkosaan. Padahal, sejatinya tindakan aborsi akan menambah beban korban karena akan menimbulkan banyak risiko.

Karena itu, merupakan keniscayaan jika legalisasi aborsi ini dijadikan suatu jalan untuk semakin memuluskan upaya liberalisasi perilaku seksual bebas. Apalagi, ada hak asasi yang mendewakan kebebasan berperilaku.

Di samping itu, banyaknya kasus pemerkosaan di negeri ini sejatinya menunjukan bahwa negara abai terhadap keamanan perempuan. Inilah buah pahit ketika sistem kapitalisme sekuler diterapkan saat ini.

Ketika merujuk pada aturan yang ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa, Islam mewajibkan penghormatan atas kehidupan meski pada janin hasil pemerkosaan sekalipun. Dari sini jelas, aborsi bertentangan dengan Islam yang mewajibkan setiap pemeluknya untuk terikat dengan aturan Allah Swt. 

Secara fikih, aborsi dibolehkan jika umur kehamilan belum 40 hari demi menyelamatkan ibu bila dalam kondisi yang membahayakan nyawanya.
Namun, negara akan memberikan pengawasan yang ketat dalam aborsi pada kasus tertentu.

Islam mewajibkan negara mengurusi rakyat dengan menyediakan layanan dan sarana kesehatan yang berkualitas. Apabila terjadi pemerkosaan, negara akan menjamin kehidupan korban, termasuk bila terjadi kehamilan. Penguasa akan menghukum pelaku pemerkosaan dengan hukum pelaku zina.

Islam juga memiliki serangkaian aturan untuk mencegah hal itu terjadi, terlebih keimanan yang menjadi asas negara, sehingga akan mencegah setiap individu melakukan aborsi apalagi menjadikan aborsi sebagai solusi. Wallahu alam bishawab.


Oleh: Farida
Muslimah Peduli Generasi

Minggu, 07 April 2024

Pengamat: Demokrasi Sudah Kandas



Tinta Media - Pengamat Politik Dr. M. Riyan, M. Ag. mengatakan, demokrasi di negeri ini sebenarnya sudah kandas. “Demokrasi di negeri ini sebenarnya sudah kandas,” tuturnya dalam Kabar Petang: Demokrasi Bikin Negeri Bangkrut? Di kanal Youtube Khilafah News, Rabu (3/4/2024).

Ia menjelaskan, kandas dalam pengertian sudah bergerak menuju kepada apa yang disebut dengan korporatokrasi, yakni segelintir pengusaha berkolaborasi dengan sejumlah politisi.

“Tentu ini pengusaha dan politisi yang niretika atau tuna etika,” terangnya.

Ia menilai, demokrasi itu sudah tidak ada, sudah mati. “Demokrasi pada akhirnya tidak mengenal benar salah. Yang dikenal kalau legal dilakukan, kalau tidak legal mungkin akan siasati (supaya legal),” imbuhnya. 

Menurutnya, dalam konteks Pemilu 2024, Indonesia membutuhkan alternatif, karena negeri ini masalahnya sudah demikian parah. 

“Politik demokrasi penuh dengan berbagai manipulasi. Ekonominya juga semakin memiskinkan rakyat,” tandasnya. 

Alternatif dimaksud menurutnya adalah, pertama, orang yang baik. “Orang baik tentu saja orang yang mau taat kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya,” bebernya.

Kedua, sambungnya, sistem yang baik. “Sistem yang baik adalah sistem yang berasal dari Zat yang Mahabaik yaitu Allah Swt.,” tegasnya. 

Dengan kata lain, ucapnya, Indonesia membutuhkan orang yang baik dan sistem yang baik yaitu sistem Islam Kafah dalam pemerintahan yang disebut dengan Khilafah.[] Muhammad Nur

Selasa, 19 Desember 2023

Perundungan Terus Terjadi, Ada Apa dengan Pendidikan Negeri?



Tinta Media - Perundungan dan kekerasan di antara sesama teman sekolah masih saja terus terjadi, tidak sedikit kasus yang berulang di berbagai sekolah negeri. Baik itu sekolah dasar, menengah, ataupun sekolah menengah atas, juga di Perguruan tinggi. Dan ini hal yang lumrah terjadi dalam sistem kapitalis. Ketika kebebasan berekspresi menjadi salah satu pendukung terkuatnya. 

Seperti yang terjadi di Medan, polisi akhirnya menangkap satu orang lagi pelaku bullying dan penganiayaan terhadap siswa MAN 1 Medan, berinisial MH  14 th. Kasat Reskrim Polrestabes Medan, Kompol Teuku Fatir Mustafa, mengatakan, pelaku yang diamankan ini bernama Ahmad, seorang mahasiswa. Satu pelaku lagi sudah kita amankan, namanya Ahmad (mahasiswa), kata Fatir kepada Tribune Medan, Selasa 28/11/2023. 

Petugas telah mengamankan dua orang pelaku, sebelumnya polisi juga telah menangkap pelaku berinisial MAS (14th) yang merupakan teman sekolah korban. Jadi total pelaku ada empat orang, status nya semua tersangka. Dan polisi masih mengejar dua pelaku lainnya.


Dosa Besar Pendidikan 

Dari berbagai kasus bullying yang terjadi, seharusnya membuka mata kita bahwa ini bukan sekedar kasus biasa, tapi ini sudah menjadi kasus atau kejadian luar biasa, apalagi kasus bullying ini sampai memakan korban, seperti yang terjadi pada siswa Sekolah Dasar di bekasi, berinisial F (12), yang menjadi korban bullying hingga meninggal. 

Kementerian PPPA yang diwakili plt Asisten Deputi bidang pelayanan anak yang memerlukan perlindungan khusus ( AMPK ), Atwirlany Ritonga, beserta staf turut melayat ke rumah duka. Dan memberikan penguatan kepada orang tua dan keluarga besar yang ditinggalkan, (Jumat , 8/12/2023). 

Miris, kita menyekolahkan anak kita supaya mendapatkan pendidikan, bukan untuk menjadi korban ataupun pelaku dari perundungan atau bullying, namun kenyataannya saat ini, anak tidak mendapatkan tempat yang aman baik itu di sekolah ataupun lingkungan sekitar rumah. 

Meskipun sudah dibentuk satgas di berbagai satuan pendidikan, nyatanya hingga saat ini kasus bullying belum berhenti, layanan sahabat perempuan dan anak (SAPA 129) adalah salah satu upaya yang di lakukan oleh lembaga satuan Pendidikan, yang melakukan pendampingan terhadap korban dan keluarganya, juga melakukan koordinasi dengan polres setempat, untuk memastikan proses hukum terus berjalan. 

Mengapa Masih Terjadi? 

Hal ini menunjukkan adanya kesalahan cara pandang kehidupan, dan akar masalah persoalan, cara pandang hidup saat ini dipengaruhi oleh sistem yang jauh dari fitrah manusia sebagai seorang hamba, hamba yang diciptakan oleh sang Maha pengatur yaitu Allah SWT, saat ini diganti oleh cara pandang hidup dalam sistem tidak memanusiakan manusia, kebebasan berekspresi menjadi salah satu penunjangnya, seorang anak atau siswa-siswi mereka bebas melakukan hal apa pun yang mereka sukai meskipun melanggar aturan. 

Faktor penunjang lain saat ini adalah gadget dan juga tayangan yang tidak mendidik, yang menjadi tuntunan, mereka bisa meniru dan mengakses video-video kekerasan yang di perankan dalam game online, yang sangat mempengaruhi mindset anak, emosi yang tidak terkontrol dan siapa saja yang ada di sekitarnya bisa menjadi sasaran pelampiasannya. Termasuk kepada teman yang dianggap lemah dan tak berdaya. 

Dan yang lebih parah lagi, kesenjangan di antara murid lama dan murid baru seakan menjadi rantai bullying yang tidak pernah putus di sekolah, mereka siswa senior bebas melakukan apa pun terhadap juniornya, termasuk melakukan tindakan kekerasan fatal, dan itu akan di lakukan oleh siswa yang mendapatkan hal tersebut kepada siswa baru ke bawah nya. Inilah yang seharusnya diputus, peran sekolah, guru dan orang tua harus menghentikan kebiasaan buruk yang terjadi di lingkungan sekolah. Juga penerapan sanksi tegas yang di lakukan pihak sekolah yang masih membiarkan hal tersebut terus terjadi. 

Buruknya Sistem Pendidikan Sekuler 

Sekularisme merupakan faktor yang menyebabkan rusaknya generasi, akidah yang seharusnya menjadi pokok dan pembentukan karakter tidak diterapkan, saat ini agama hanya di jadikan sebagai aktivitas ritual saja, yang mengatur hubungan antara dirinya dan Tuhan-nya, sedangkan kehidupan lainnya tidak diatur. 

Sistem pendidikan saat ini hanya berupa transfer ilmu, anak tidak diberikan pendidikan akidah yang menjadi pondasi pokok, output pendidikan hanya pada lulusan akademis yang bisa menghasilkan uang, bukan pada pendidikan karakter yang memanusiakan manusia, dan peduli terhadap sesama, generasi semacam ini banyak di temukan dalam sistem saat ini. Bahkan mereka tidak mengetahui tujuan mereka hidup dan di ciptakan oleh Allah SWT. 

Pendidikan Islam yang Terbaik 

Sedangkan pendidikan di dalam Islam, Islam memiliki sistem pendidikan terbaik, berasaskan akidah Islam, akidah merupakan pondasi yang di bangun sejak dini, mereka di ajak untuk mengenali dirinya sendiri, untuk apa dia hidup dan akan kemana setelah kehidupan, yang meyakini adanya hari pembalasan. 

Dengan keyakinan tersebut maka akan mencegah adanya kejahatan, karena mereka yakin bahwa setiap perbuatan akan di hisab dan di minta pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. Dengan demikian segala bentuk perbuatan baik itu perundungan atau bullying tidak akan terjadi, karena negara pun  akan senantiasa mengawasi dan menindak setiap pelanggaran yang di lakukan oleh siapa pun baik itu pelajar, mahasiswa ataupun masyarakat umum. Dan semua itu bisa terwujud hanya di dalam sistem Islam, yaitu Islam yang di terapkan dalam sebuah negara yaitu khilafah a'laa minhajjin nubuwwah.
Wallahu'alam bishowab 

Oleh : Ummu Ghifa 
Sahabat Tinta Media

Minggu, 24 September 2023

MEWUJUDKAN NEGERI ‘RAYA’

Tinta Media - Gempita kemerdekaan di negeri ini masih terasa. Bendera, umbul-umbul dan nuansa merah putih lainnya masih menghiasi ruang gerak masyarakat. Lagu kebangsaan Indonesia Raya masih terngiang dinyanyikan dengan penuh takzim. Kenangan momentum proklamasi 78 tahun yang lalu membangkitkan semangat penduduk di negeri ini untuk kehidupan yang lebih baik.

Dalam sebuah diskusi online, cendekiawan muslim Profesor Fahmi Lukman pernah mengungkapkan, ketika kita menyanyikan lagu kebangsaan kita, pernahkah kita memiliki cita-cita bahwa negeri ini menjadi sebuah negara yang ‘raya’? Sebuah negara yang berjaya di dunia. Jika iya, apakah sudah tergambar bagaimana mewujudkannya?

Raya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “besar (dalam pemakaian terbatas”, juga berarti “alam (jagat)”. Jika sebuah negara memiliki karakter ‘raya’, maka otomatis dia memiliki wawasan dunia, tidak tersekat oleh batas-batas tertentu yang mengkerdilkan ke’raya’annya. Apakah negeri ini telah memiliki semangat ini? Lebih penting lagi, bagaimana mewujudkannya?

Di bulan September 2023 ini, bertepatan dengan momentum lahirnya Nabi Agung Muhammad SAW. Bukan saja pribadinya yang istimewa, namun misi risalahnya yang juga berbeda dengan Nabi dan Rasul sebelumnya. Jika nabi dan rasul sebelumnya diutus hanya untuk kaum-kaum tertentu, Rasul SAW hadir untuk sekalian manusia (TQS [4]: 79) dan membawa Islam rahmat lil ‘alamin (TQS [21]: 107).

Dengan wahyu yang telah diturunkan oleh Alloh SWT, beliau berhasil menembus sekat-sekat klan/kabilah, qoumiyah dan panji-panji ashabiyah yang membelenggu bangsa Arab saat itu.  Walhasil, kekuatan Islam yang direpresentasikan oleh tegaknya Daulah Islam di Madinah menjadi cikal-bakal tegaknya peradaban baru di tengah kancah internasional.

Daulah Islam, yang pada mulanya hanya menyatukan dua golongan, yakni Muhajirin dan Anshor di kemudian hari berubah menjadi entitas peradaban yang menyatukan seluruh umat manusia. Bahkan 10 (sepuluh) tahun pasca wafatnya Rasul SAW, peradaban ini berhasil mengalahkan peradaban Persia yang telah berusia sekira 1.200 tahun dengan bentangan wilayah empat kali luas Indonesia. Suatu prestasi yang belum pernah ditorehkan oleh peradaban lain.

Apa ibrah yang bisa diambil oleh rakyat di negeri ini? Momentum kemerdekaan dilanjutkan dengan momentum Maulid Nabi Muhammad SAW bisa menjadi tonggak perubahan ke arah yang lebih baik.

Indonesia, negeri muslim terbesar di dunia dengan kekuatan imannya tentu mampu mewujudkan ke’raya’annya jika mau melepaskan belenggu nasionalisme dan kapitalismenya. Menggantiya dengan visi dan misi yang mendunia dengan tuntunan syariat dari Alloh SWT. Bentangan wilayah yang luas, letak geopolitik yang strategis dan sumber daya alam yang ditopang muslim-muslim yang sadar akan kekuatan mabda’ Islam akan mampu mewujudkan Indonesia magnet peradaban baru menggantikan peradaban kapitalisme yang rusak dan merusak ini. 

Inilah Indonesia Raya, yang menerapkan Islam secara kaaffah, kemudian menyatukan negeri-negeri Islam yang lain dengan cara mengoyak sekat nasionalisme dan menggantinya dengan peradaban dalam naungan Khilafah Islamiiayah ‘ala manhaj nubuwwah. Insya Alloh.     

Oleh: Yung Eko Utomo

Sahabat Tinta Media 

Selasa, 08 Agustus 2023

Pamong Institute: Negeri Ini Sedang Banyak Masalah


Tinta Media - Direktur Pamong Institute, Drs. Wahyudi al-Maroky, M.Si. mengatakan negeri ini sedang banyak masalah.
 
“Negeri ini sedang banyak masalah akibat penerapan praktek sistem kapitalisme sekular, serta kedekatan dengan sosialisme komunisme yang juga sekularistik,” ungkapnya di acara Perspektif: Membincang Khilafah sebagai Solusi di Era Pemilu 2024, melalui kanal Youtube  PKAD Sabtu (5/8/2023). 
 
Dari sini, ucapnya, ada dua kemungkinan. Kalau basis politiknya kapitalisme akan lahir pemisahan agama dalam praktek bernegara, dalam hal ini mengambil pemerintahan demokrasi.Kalau sistem komunis, lanjutnya, menolak peran agama dalam bernegara dan memunculkan pemerintahan otoriter atau praktek diktator.
 
“Ini yang sedang terjadi di negeri ini. Pertama kita sedang menjalankan sistem demokrasi sekuler  dari ideologi kapitalisme, dan sedang mendekat ke arah komunisme. Negara yang mewakili ideologi komunisme saat ini adalah Cina,” bebernya.
 
Dalam praktek bernegara di Indonesia, lanjutnya, saat ini Cina lebih banyak diundang untuk berinvestasi dan memberi pinjaman utang.
 
Dua Praktek
 
Wahyudi menilai, terjadi  dua praktek  pengelolaan negara di negeri ini. Kapitalisme dengan sistem demokrasinya yang memisahkan agama dari bernegara,tapi juga mendekat kepada Cina yang berbasis komunisme, yang dua-duanya berefek pada politik maupun sosial.
 
“Kalau mendekat kepada komunisme, resiko yang diambil mencontoh sistem otoritarian. Makanya kalau kita lihat bandul sistem pemerintahan kita menuju kearah pemerintahan otoriter. Ini dibuktikan dengan banyaknya undang-undang yang lahir cenderung berkiblat pada kepentingan-kepentingan segelintir orang  sehingga banyak undang-undang yang diPERPUkan,” ulasnya.
 
Ia melihat, PERPU yang muncul di era Jokowi menunjukkan bahwa praktik sistem pemerintahan demokrasi bergeser bandulnya ke arah sistem otoriter yang terpancar dari ideologi komunisme.
 
Menurutnya, dua praktek sistem politik pemerintahan yang berlaku di negeri ini dua-duanya menimbulkan berbagai persoalan baik di  bidang  ekonomi, politik, budaya, sosial dan seterusnya.
 
“Kita melihat dua-duanya sama-sama membahayakan bagi kehidupan kita di negeri ini, apalagi dalam konteks negeri ini mayoritasnya umat Islam,” nilainya.
 
Ia kemudian memberikan contoh dampak penerapan dua ideologi itu. “Kekayaan alam yang melimpah dikuras oleh perusahaan asing dan aseng melalui korporasi internasional, hutang menggunung, rakyat dibebani dengan berbagai macam pungutan. Uang yang ada di saku rakyat pun dihisap,” bebernya.
 
Di bidang sosial, sambungnya, negeri ini dijajah oleh berbagai budaya asing termasuk L68T. Di bidang kemananan juga mengerikan. “Begal berkeliaran, negara terancam disintegrasi,” tambahnya.
 
Wahyudi merasa geram, karena dua ideologi yang merusak negeri ini justru keduanya menuding bahwa Islam dengan ajaran Islamnya sebagai sumber masalah.
 
“Mereka menuding Islam dengan ajaran Islamnya sebagai bahaya sehingga muncullah praktek-praktek program deradikalisme, islamophobia,  pernyataan-pernyataan pejabat yang memproduksi narasi-narasi kebencian terhadap agama dan tentu orang-orang yang mengajak kepada Islam di tuding radikal dan seterusnya,” sesalnya.
 
 Berbagai produksi narasi negatif itu, katanya,  diproduksi untuk memojokkan peran agama. Padahal  yang memproduksi masalah adalah dua ideologi yang sedang berlaku yaitu kapitalisme dan komunisme. “Islam difitnah oleh dua ideologi ini, umatnya, ulama-ulamanya maupun aktivisnya di kriminalisasi,” sedihnya.
 
Membandingkan
 
Oleh karena itu menurut Wahyudi,  jika negeri ini akan mencari solusi, harus membandingkan antara solusi kapitalisme, komunisme dan Islam mana yang paling ideal untuk menjadi solusi.
 
Ia mengambil satu contoh perbandingan di bidang ekonomi. “Ketika menggunakan syariat islam kekayaan yang melimpah yang saat ini dikuasai asing dan aseng harus dikembalikan sebagai milik umat. Kalau ini digunakan tidak ada rakyat Papua yang kelaparan di atas tanah yang  kekayaannya melimpah,” ujarnya.
 
Untuk membangun kesadaran umat, menurut Wahyudi ada dua hal yang mesti jadi perhatian. Pertama, dari politisi dan penguasa yang ingin mempertahankan posisi untuk menikmati buah praktek kapitalisme.
 
“Mereka yang menguasai berbagai barang tambang dan sumber daya alam kita, akan bertahan sekuat tenaga dengan membuat undang-undang yang melindungi mereka, menempatkan orang yang bisa menjaga kepentingan mereka, mendorong pejabat yang bisa duduk di kursi jabatannya untuk membuat kebijakan yang menguntungkan mereka dan seterusnya. Orang-orang ini, tidak akan setuju diterapkannya syariat islam,” bebernya.
 
Kedua, sebutnya, dari masyarakat sendiri yang sebagian besar belum memahami betul bahaya dari praktek kapitalisme global seperti sekarang ini, dan bahaya dekat-dekat dengan investor yang dari ideologi komunis seperti negara Cina.
 
“Dua pihak ini harus dihadapi bersama, diberikan pemahaman bahwa ada sistem alternatif yang bisa menggantikan dua sistem tersebut yaitu sistem Islam. Diberikan penjelasan dengan baik, dengan cara yang ahsan, dengan cara dialektika yang bisa merubah pemahaman dengan kesadaran baru,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.

Sabtu, 22 Oktober 2022

Mayoritas Negeri Islam Tak Mau Bela Muslim Uighur, Pengamat: Sungguh Terlalu!

Tinta Media - Pengamat Kebijakan Publik dari Indonesia Justice Monitor (IJM) Dr. Erwin Permana mengkritik sikap mayoritas negeri Islam yang memilih tidak mau mendukung mosi bela Uighur. 

“Sungguh keterlaluan, mayoritas negeri muslim di dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB mati kutu, membela Uighur sebagai sesama muslim milih tidak mau,” kritiknya dalam Live Program Aspirasi Rakyat: RI Tolak Debat Isu Muslim Uighur, Takut Cina Baper? Jumat (16/10/2022) di kanal Youtube Justice Monitor. 

Menurutnya, mosi ditolak ini disebabkan sikap para penguasa muslim yang dinilai sebagian pihak tidak peduli terhadap kondisi kaum muslim Uighur yang ditindas oleh rezim komunis Cina. 

“Alih-alih bersikap tegas, penguasa muslim malah menjalin hubungan erat dengan Cina, dengan alasan kepentingan ekonomi,” ujarnya. 

Sikap ini bukan saja terjadi pada Indonesia tapi juga negara-negara Arab termasuk Pakistan dengan alasan itu urusan dalam negeri Cina. 

“Padahal dalam perspektif Islam tidak boleh mengatakan ini urusan dalam negeri Cina karena setiap urusan kaum muslim menjadi urusan kaum muslim lainnya di mana pun mereka berada,” ucapnya. 

Terbukti dalam pemungutan suara di dewan HAM PBB yang beranggotakan 47 negara, sebanyak 17 negara mendukung draf mosi untuk membahas dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang. Sementara itu 19 negara menentang mosi. Alhasil mosi tersebut gagal disepakati. 

“Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Jepang dan Belanda mendukung mosi ini, dan yang menentang selain Cina, ada 9 negara berpenduduk mayoritas muslim ikut menolak, yakni Indonesia, Pakistan, Qatar, Uni Emirat Arab, Uzbekistan, Kazakhstan, Mauritania, Sudan, dan Senegal. Hanya Somalia negeri muslim yang mendukung pembahasan isu Uighur,” tuturnya. 

Erwin mengungkap keengganan mayoritas negeri muslim dalam membela Uighur karena ikatan akidah Islam di antara negeri-negeri muslim telah tumpul dan berkarat. 

“Nyata ikatan akidah Islam mereka telah tumpul dan berkarat. Sikap itu sangat memalukan dan menegaskan betapa kejinya sekat negara-negara akibat nasionalisme akut lagi sesat,” ungkapnya. 

Negara-negara muslim itu tidak peduli dengan nasib muslim Uighur kendati saudara seakidah. “Hanya karena wilayah Uighur saat ini masuk dalam kekuasaan Cina, padahal Cina adalah negara imperialis,” ujarnya. 

Ia melanjutkan bahwa negeri-negeri muslim itu tampak lebih memilih cari aman daripada harus melawan Cina meskipun harus membiarkan muslim Uighur terus dihancurkan oleh Cina. 

Kondisi ini menurutnya dimanfaatkan oleh negara-negara Barat untuk mengambil panggung, tampil menonjol di hadapan dunia sebagai pahlawan kesiangan. 

“Negara-negara Barat hadir sebagai pahlawan kesiangan pembela HAM bagi Uighur atas pelanggaran yang China lakukan di Xinjiang,” tuturnya. 

Baginya dalam mekanisme kerja sama politik Barat tidak ada makan siang gratis. Pembelaan mereka pastinya ada udang dibalik batu. 

“Selain sebagai serangan politik Barat terhadap Cina juga untuk memojokkan Cina. Tidaklah kita ragukan tampilnya Barat sebagai juru penyelamat Uighur justru memosisikan Uighur lepas dari mulut buaya masuk ke mulut harimau,” bebernya. 

Rangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa besarnya jumlah kaum muslim itu telah bercerai-berai dalam sekat nasionalisme hasil imperialisasi dan kolonialisasi Barat. 

“Tidak heran kaum muslim begitu mudah dihina kaum durjana, yang mengingkari Allah dan rasul-Nya beserta segala aturannya,” ucapnya. 

“Bukti lainnya Indonesia dan OKI tidak bernyali mengungkap pelanggaran HAM Cina terhadap Uighur hanya karena Cina tidak menghendaki adanya intervensi urusan domestik negeri,” kritiknya. 

Ia menegaskan kondisi ini tidak bisa dibiarkan. Uighur membutuhkan bantuan dari sebuah institusi yang setara dengan politik Cina dan pengaruh Barat. 

“Bagaimanapun Uighur membutuhkan suatu institusi yang setara untuk menembus politik Cina sekaligus memblokade pengaruh Barat sehingga identitas Uighur terjaga sebagai entitas muslim,” tegasnya. 

Erwin mengakhirinya dengan mengatakan nasionalisme telah mengamputasi peran tersebut. 

“Sayangnya sekularisme yang menjadi wasilahnya nasionalisme telah mengamputasi peran itu, akibatnya negeri-negeri muslim begitu egois, hanya memikirkan kemaslahatan bangsa dan negerinya sendiri, kepentingan kaum muslim negeri lain tidak dianggap sebagai urusannya juga. Sungguh terlalu,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Selasa, 23 Agustus 2022

Di Negeri yang Amburadul Ini Kita Pernah Berjaya

Tinta Media - Negeri ini sekarang tidak sedang baik-baik saja. Semua bidang kehidupan sedang amburadul. Politik dan ekonomi amburadul karena dikendalikan oleh oligarki. Sosial budaya, hamkam, pendidikan dan kesehatan juga amburadul karena sebab yang sama. Semua diatur mengabdi kepada kepentingan segelintir orang yang super kaya. Hingga bisa mengendalikan eksekutif, legislatif bahkan yudikatif. 

Rakyat hanya ada pada saat ritual demokrasi 5 tahunan. Yakni saat para penguasa minta stempel mereka. Saat palu diketuk... Sah!. Maka rakyat harus turun panggung menunggu dipanggil 5 tahun lagi. 

Begitu pula nasib umat Islam di negeri ini. Menjadi obyek proyek-proyek penjajah. Mulai proyek sekularisasi, liberalisasi, war on terorisme, deradikalisasi hingga yang terbaru moderasi beragama. 

Umat Islam hidup tersingkirkan dari peran utama baik di bidang politik maupun ekonomi. Makin lama makin jelas bahwa kebijakan politik dan ekonomi khususnya tak berpihak kepada Umat Islam. Bahkan tak jarang ulama dan umat Islam dikriminalisasi. Suara suara ulama seolah dibungkam dengan berbagai ancaman pidana yang bisa menjerat kapan saja semau penguasa. Benar benar umat dalam keadaan terpuruk. 

Namun dulu, kita umat Islam, pernah berjaya di negeri besar ini. Pada jaman Islam diterapkan sebagai sistem pemerintahan di berbagai pelosok nusantara. Terbentang mulai dari Campa di Vietnam, Pattani di Thailand, Manila di Filipina hingga Malaysia dan Indonesia. Ratusan Kesultanan berdiri silih berganti mengatur kehidupan umat Islam dengan hukum Islam. Mengembangkan dakwah Islam hingga ke seluruh pelosok negeri. 

Para ulama dari berbagai negeri Islam hadir di Nusantara untuk berdakwah. Sebagiannya bahkan dikirim langsung oleh kholifah di Turki. Rakyat negeri ini hidup makmur dalam naungan Islam yang Agung. Di bawah kawalan para penguasa Muslim yang melaksanakan Islam atas mereka. 

Namun semua berubah saat para penjajah kafir mulai berdatangan ke negeri ini. Satu persatu Kesultanan itu dihancurkan dengan segala muslihat licik penjajah. Portugis, Spanyol, Inggris dan khususnya Belanda menjajah negeri ini. Sejak itulah umat Islam hidup dalam penjajahan hingga sekarang. 

Umat terjebak dalam kemerdekaan semu. Sebagai peralihan bentuk gaya penjajahan dari gaya lama kepada gaya baru. 

Umat ini hanya akan kembali hidup aman dan sejahtera hanya jika kembali kepada sistem Islam yang menerapkan Islam kaffah. Sistem yang dulu pernah membuat kita berjaya di negeri ini.[]

Ustaz Abu Zaid 
Tabayyun Center 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab