Senin, 04 November 2024
Jumat, 13 September 2024
Sudahkah Negeri Kita Merdeka?
Sabtu, 24 Agustus 2024
Ngeri, Aborsi Dilegalkan di Negeri Ini?
Minggu, 07 April 2024
Pengamat: Demokrasi Sudah Kandas
Selasa, 19 Desember 2023
Perundungan Terus Terjadi, Ada Apa dengan Pendidikan Negeri?
Minggu, 24 September 2023
MEWUJUDKAN NEGERI ‘RAYA’
Tinta Media - Gempita kemerdekaan di negeri ini masih terasa. Bendera, umbul-umbul dan nuansa merah putih lainnya masih menghiasi ruang gerak masyarakat. Lagu kebangsaan Indonesia Raya masih terngiang dinyanyikan dengan penuh takzim. Kenangan momentum proklamasi 78 tahun yang lalu membangkitkan semangat penduduk di negeri ini untuk kehidupan yang lebih baik.
Dalam sebuah diskusi online,
cendekiawan muslim Profesor Fahmi Lukman pernah mengungkapkan, ketika kita
menyanyikan lagu kebangsaan kita, pernahkah kita memiliki cita-cita bahwa
negeri ini menjadi sebuah negara yang ‘raya’? Sebuah negara yang berjaya di
dunia. Jika iya, apakah sudah tergambar bagaimana mewujudkannya?
Raya, menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti “besar (dalam pemakaian terbatas”, juga berarti “alam
(jagat)”. Jika sebuah negara memiliki karakter ‘raya’, maka otomatis dia
memiliki wawasan dunia, tidak tersekat oleh batas-batas tertentu yang
mengkerdilkan ke’raya’annya. Apakah negeri ini telah memiliki semangat ini?
Lebih penting lagi, bagaimana mewujudkannya?
Di bulan September 2023 ini,
bertepatan dengan momentum lahirnya Nabi Agung Muhammad SAW. Bukan saja
pribadinya yang istimewa, namun misi risalahnya yang juga berbeda dengan Nabi
dan Rasul sebelumnya. Jika nabi dan rasul sebelumnya diutus hanya untuk
kaum-kaum tertentu, Rasul SAW hadir untuk sekalian manusia (TQS [4]: 79) dan
membawa Islam rahmat lil ‘alamin (TQS [21]: 107).
Dengan wahyu yang telah
diturunkan oleh Alloh SWT, beliau berhasil menembus sekat-sekat klan/kabilah,
qoumiyah dan panji-panji ashabiyah yang membelenggu bangsa Arab saat itu. Walhasil, kekuatan Islam yang
direpresentasikan oleh tegaknya Daulah Islam di Madinah menjadi cikal-bakal
tegaknya peradaban baru di tengah kancah internasional.
Daulah Islam, yang pada
mulanya hanya menyatukan dua golongan, yakni Muhajirin dan Anshor di kemudian
hari berubah menjadi entitas peradaban yang menyatukan seluruh umat manusia.
Bahkan 10 (sepuluh) tahun pasca wafatnya Rasul SAW, peradaban ini berhasil
mengalahkan peradaban Persia yang telah berusia sekira 1.200 tahun dengan
bentangan wilayah empat kali luas Indonesia. Suatu prestasi yang belum pernah
ditorehkan oleh peradaban lain.
Apa ibrah yang bisa diambil
oleh rakyat di negeri ini? Momentum kemerdekaan dilanjutkan dengan momentum
Maulid Nabi Muhammad SAW bisa menjadi tonggak perubahan ke arah yang lebih
baik.
Indonesia, negeri muslim terbesar di dunia dengan kekuatan imannya tentu mampu mewujudkan ke’raya’annya jika mau melepaskan belenggu nasionalisme dan kapitalismenya. Menggantiya dengan visi dan misi yang mendunia dengan tuntunan syariat dari Alloh SWT. Bentangan wilayah yang luas, letak geopolitik yang strategis dan sumber daya alam yang ditopang muslim-muslim yang sadar akan kekuatan mabda’ Islam akan mampu mewujudkan Indonesia magnet peradaban baru menggantikan peradaban kapitalisme yang rusak dan merusak ini.
Inilah Indonesia Raya, yang menerapkan
Islam secara kaaffah, kemudian menyatukan negeri-negeri Islam yang lain dengan
cara mengoyak sekat nasionalisme dan menggantinya dengan peradaban dalam
naungan Khilafah Islamiiayah ‘ala manhaj nubuwwah. Insya Alloh.
Oleh: Yung Eko Utomo
Sahabat Tinta Media
Selasa, 08 Agustus 2023
Pamong Institute: Negeri Ini Sedang Banyak Masalah
Tinta Media - Direktur Pamong Institute, Drs. Wahyudi al-Maroky, M.Si. mengatakan negeri ini sedang banyak masalah.
“Negeri ini sedang banyak masalah akibat penerapan praktek sistem kapitalisme sekular, serta kedekatan dengan sosialisme komunisme yang juga sekularistik,” ungkapnya di acara Perspektif: Membincang Khilafah sebagai Solusi di Era Pemilu 2024, melalui kanal Youtube PKAD Sabtu (5/8/2023).
Dari sini, ucapnya, ada dua kemungkinan. Kalau basis politiknya kapitalisme akan lahir pemisahan agama dalam praktek bernegara, dalam hal ini mengambil pemerintahan demokrasi.Kalau sistem komunis, lanjutnya, menolak peran agama dalam bernegara dan memunculkan pemerintahan otoriter atau praktek diktator.
“Ini yang sedang terjadi di negeri ini. Pertama kita sedang menjalankan sistem demokrasi sekuler dari ideologi kapitalisme, dan sedang mendekat ke arah komunisme. Negara yang mewakili ideologi komunisme saat ini adalah Cina,” bebernya.
Dalam praktek bernegara di Indonesia, lanjutnya, saat ini Cina lebih banyak diundang untuk berinvestasi dan memberi pinjaman utang.
Dua Praktek
Wahyudi menilai, terjadi dua praktek pengelolaan negara di negeri ini. Kapitalisme dengan sistem demokrasinya yang memisahkan agama dari bernegara,tapi juga mendekat kepada Cina yang berbasis komunisme, yang dua-duanya berefek pada politik maupun sosial.
“Kalau mendekat kepada komunisme, resiko yang diambil mencontoh sistem otoritarian. Makanya kalau kita lihat bandul sistem pemerintahan kita menuju kearah pemerintahan otoriter. Ini dibuktikan dengan banyaknya undang-undang yang lahir cenderung berkiblat pada kepentingan-kepentingan segelintir orang sehingga banyak undang-undang yang diPERPUkan,” ulasnya.
Ia melihat, PERPU yang muncul di era Jokowi menunjukkan bahwa praktik sistem pemerintahan demokrasi bergeser bandulnya ke arah sistem otoriter yang terpancar dari ideologi komunisme.
Menurutnya, dua praktek sistem politik pemerintahan yang berlaku di negeri ini dua-duanya menimbulkan berbagai persoalan baik di bidang ekonomi, politik, budaya, sosial dan seterusnya.
“Kita melihat dua-duanya sama-sama membahayakan bagi kehidupan kita di negeri ini, apalagi dalam konteks negeri ini mayoritasnya umat Islam,” nilainya.
Ia kemudian memberikan contoh dampak penerapan dua ideologi itu. “Kekayaan alam yang melimpah dikuras oleh perusahaan asing dan aseng melalui korporasi internasional, hutang menggunung, rakyat dibebani dengan berbagai macam pungutan. Uang yang ada di saku rakyat pun dihisap,” bebernya.
Di bidang sosial, sambungnya, negeri ini dijajah oleh berbagai budaya asing termasuk L68T. Di bidang kemananan juga mengerikan. “Begal berkeliaran, negara terancam disintegrasi,” tambahnya.
Wahyudi merasa geram, karena dua ideologi yang merusak negeri ini justru keduanya menuding bahwa Islam dengan ajaran Islamnya sebagai sumber masalah.
“Mereka menuding Islam dengan ajaran Islamnya sebagai bahaya sehingga muncullah praktek-praktek program deradikalisme, islamophobia, pernyataan-pernyataan pejabat yang memproduksi narasi-narasi kebencian terhadap agama dan tentu orang-orang yang mengajak kepada Islam di tuding radikal dan seterusnya,” sesalnya.
Berbagai produksi narasi negatif itu, katanya, diproduksi untuk memojokkan peran agama. Padahal yang memproduksi masalah adalah dua ideologi yang sedang berlaku yaitu kapitalisme dan komunisme. “Islam difitnah oleh dua ideologi ini, umatnya, ulama-ulamanya maupun aktivisnya di kriminalisasi,” sedihnya.
Membandingkan
Oleh karena itu menurut Wahyudi, jika negeri ini akan mencari solusi, harus membandingkan antara solusi kapitalisme, komunisme dan Islam mana yang paling ideal untuk menjadi solusi.
Ia mengambil satu contoh perbandingan di bidang ekonomi. “Ketika menggunakan syariat islam kekayaan yang melimpah yang saat ini dikuasai asing dan aseng harus dikembalikan sebagai milik umat. Kalau ini digunakan tidak ada rakyat Papua yang kelaparan di atas tanah yang kekayaannya melimpah,” ujarnya.
Untuk membangun kesadaran umat, menurut Wahyudi ada dua hal yang mesti jadi perhatian. Pertama, dari politisi dan penguasa yang ingin mempertahankan posisi untuk menikmati buah praktek kapitalisme.
“Mereka yang menguasai berbagai barang tambang dan sumber daya alam kita, akan bertahan sekuat tenaga dengan membuat undang-undang yang melindungi mereka, menempatkan orang yang bisa menjaga kepentingan mereka, mendorong pejabat yang bisa duduk di kursi jabatannya untuk membuat kebijakan yang menguntungkan mereka dan seterusnya. Orang-orang ini, tidak akan setuju diterapkannya syariat islam,” bebernya.
Kedua, sebutnya, dari masyarakat sendiri yang sebagian besar belum memahami betul bahaya dari praktek kapitalisme global seperti sekarang ini, dan bahaya dekat-dekat dengan investor yang dari ideologi komunis seperti negara Cina.
“Dua pihak ini harus dihadapi bersama, diberikan pemahaman bahwa ada sistem alternatif yang bisa menggantikan dua sistem tersebut yaitu sistem Islam. Diberikan penjelasan dengan baik, dengan cara yang ahsan, dengan cara dialektika yang bisa merubah pemahaman dengan kesadaran baru,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.