Tinta Media: Nasdem
Tampilkan postingan dengan label Nasdem. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Nasdem. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 20 Mei 2023

TURBULENSI POLITIK NASDEM, BERDAMPAK PADA PENCAPRESAN ANIES?

Tinta Media - Sulit untuk menampik suasana kegalauan NasDem pasca penetapan tersangka Johny G Plate dalam kasus korupsi BTS 4 oleh Kejaksaan Agung. Surya Paloh sendiri, mengaku sedih dan tak dapat menyembunyikan kesedihannya dalam perkara ini.

Ketua Umum NasDem itu menggambarkan kesedihan yang bercampur dengan rasa kemarahan, dengan ungkapan "terlalu mahal, Johny G Plate diproses dalam perkara ini". Meski berusaha menutupi rasa kecurigaan atas adanya intervensi kekuasaan dan politik dalam perkara ini, Paloh malah secara implisit justru memberikan sinyal kasus ini tidak lepas dari intervensi kekuasaan dan politik.

Kasus ini, tentu saja mengakibatkan turbulensi politik di tubuh NasDem. Untuk meminimalisir keguncangan, Surya Paloh berusaha menetralisirnya dengan tiga langkah:

*Pertama,* menyatakan menghormati proses hukum terhadap Johny G Plate. Meskipun, ada kegelisahan, kesedihan, dan bahkan 'rasa marah' yang menyertai, karena merasa diperlakukan tidak adil, tidak profesional bahkan tidak bermoral.

Mungkin saja, Surya Paloh tahu banyak dan detail borok-borok kekuasaan dari partai lainnya, yang dia juga memberikan permakluman karena menjaga etika dan moral. Tapi hal itu, tidak berlaku bagi partainya. Tentu saja, itu dianggap sebagai tindakan yang tidak adil, tidak bermoral dan tidak profesional.

Semestinya, proses hukum berlaku bagi semua politisi dari partai apapun. Tidak kemudian ada perlakuan 'Lex Spesialis' dalam pengertian pemberian privilege tertentu.

*Kedua,* memerintahkan kepada seluruh jajaran partai NasDem, dari DPP hingga DPD, semua organ struktural dan fungsional NasDem agar bekerja seperti biasa, tidak terhasut dan termakan adu domba. Nampaknya, Paloh sadar betul kasus ini akan mempengaruhi psikologi dan mental kadernya.

Apalagi, ini adalah kali kedua Sekjen NasDem tersangkut kasus korupsi. Persepsi publik yang terbangun bisa saja menyimpulkan NasDem partai gembongnya korupsi, sehingga persepsi ini jelas akan mempengaruhi mental dan psikologi kader NasDem.

*Ketiga,* segera menetapkan Hermawi Taslim sebagai Plt Sekjen NasDem menggantikan Johny G Plate. Sebagai Nahkoda, Paloh memang harus segera menunjuk Sekjen untuk melanjutkan perjalanan politik kapal NasDem.

Namun, ada gestur yang keliru ditampakkan oleh kader NasDem. Saat Paloh memberikan arahan dengan narasi kesedihan dam rasa marah, namun saat nama Hermawi Taslim disebut sebagai Plt Sekjen, Taslim dan sejumlah kader lainnya malah mengumbar senyum dan tawa, diikuti riuh tepuk tangan. Sikap yang secara tidak sadar meruntuhkan narasi menyatukan kohesi internal NasDem yang dibangun Paloh.

Publik kemudian dapat menilai, ternyata terlepas ada kesedihan atas penetapan tersangka Johny G Plate, ada kegembiraan dan rasa bahagia atas penunjukan Hermawi Taslim sebagai Plt Sekjen NasDem. 

Semestinya, Hermawi Taslim dan kader lainnya dapat menahan ekspresi kebahagiaan dengan tetap diam berkhidmat mendengar penyampaian penunjukan oleh Ketum NasDem. Sebab, jabatan Sekjen ini bukan diperoleh dari proses kongres yang dapat dirayakan dengan rasa gembira, senyuman dan tepuk tangan.

Kasus ini jelas mengguncang NasDem. Namun, apakah akan berdampak pada pencapresan Anies Baswedan? 

Pasca kasus ini bergulir, Anies langsung mengunjungi Surya Paloh. Dampak yang mungkin terjadi, belum dapat dihitung secara pasti.

Bisa saja, kasus ini adalah warning agar NasDem mundur dari mencalonkan Anies. Bisa juga, NasDem semakin marah kepada rezim dan mengambil posisi mendukung penuh pencapresan Anies Baswedan. Siap ajur ajuran.

Sayangnya, NasDem tidak mungkin mengkapitalisasi kasus ini sebagai kasus kriminalisasi. NasDem sulit untuk _taking benefit politik_ dengan modus _playing victim_. Sebab, semua rakyat juga tahu semua pejabat dari semua parpol itu korup. Ada yang mau bantah pernyataan saya ini ? [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Sabtu, 18 Februari 2023

Pengamat: Nasdem Sedang Berselancar Narasi Politik

Tinta Media - Menanggapi tuduhan Sekjen Nasdem Hermawi Taslim terkait posisi HT1 dan FP1, pengamat kebijakan publik Agus Kiswantono mengungkapkan bahwa Nasdem berselancar narasi politik. 

"Nasdem berselancar narasi politik," tuturnya dalam acara Analisis Hukum : NasDem Lakukan Penyesatan Politik dan Fitnah Pada HT1 dan FP1, Sabtu (29/1/2023), di kanal Youtube LBH Pelita Umat Jawa Timur. 

Menurutnya, dikatakan berselancar narasi politik, karena yang pertama, yang perlu diluruskan terkait dengan HT1.

Pertama, terkait dengan HT1, sesuai dengan amar putusan, baik amar putusan level TUN (Tata Usaha Negara), PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara), kemudian MA (Mahkamah Agung). "Jadi gugatan terkait dengan Nomor AHU yang itu Nomor 30.A.01.08 Tahun 2017, HT1 itu hanya dicabut Badan Hukumnya. Badan Hukumnya saja yang dicabut," tegasnya. 

Diawali pada saat kronologi terkait dengan pencabutan itu, munculnya Perpu Nomor 2 Tahun 2017 terkait dengan Undang-Undang Ormas yang mana Undang-Undang Ormas ini sebetulnya, awalnya itu terkait dengan bukti-bukti hukum seperti apa pelanggaran HT1, itu tidak ada sama sekali. 

"Memang kalau pembuktian hukum ini kan sebenarnya kalau sudah amar putusan itu sudah mengikat, sama-sama mengikat," ujarnya. 

Menurutnya,  Hermawi Taslim sebagai seorang intelektual  "kudet" (kurang update ) informasi terkait statement, dan itu berbahaya sekali. Jadi statement tanpa mendasarkan kepada data hukum, fakta hukum dan logika hukum, dan ini kalau sebenarnya baku sangat merugikan, itu bisa kena somasi. 

"Kenapa? Karena bahasa Hermawi Taslim itu sudah melakukan provokasi atau kalau dalam bahasa kita fitnah provokasi. Fitnah provokasi. Jadi seakan-akan Nasdem itu sudah besar, seakan-akan Nasdem itu pemenang. Padahal Nasdem itu kan partai kecil. Jadi ini adalah bagian untuk melakukan provokasi sekaligus melakukan justifikasi yang tidak mendasar," kesalnya. 

Kedua, terkait dengan pencabutan Badan Hukum Hizbut Tahrir, maka apapun kalau tidak mengacu pada amar putusan yang itu dikuatkan dengan Mahkamah Agung. "Tidak ada satu statement apapun dari eksternal itu yang mengatakan Hizbut Tahrir Indonesia itu adalah terlarang," katanya. 

Ketiga, oleh karena itu, seluruh anggota, baik itu simpatisan juga tetap memiliki hak konstitusi untuk mengajarkan, mendakwahkan, kemudian menyebarkan ajaran Islam. Karena tidak ada larangan masalah  khilafah. "Khilafah adalah ajaran Islam. Khilafah itu bukan ideologi. Term, narasi khilafah adalah ideologi itu tidak sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia, ini terkait dengan fetakompli narasi sekaligus provokasi dari Hermawi Taslim," jelasnya. 

Adapun terkait dengan FP1, pengamat kebijakan publik ini menyampaikan bahwa ada satu fetakompli di sini yang itu tidak berdasar pada fakta, data, dan logika hukumnya. 

"Faktanya itu juga tidak sesuai, datanya apalagi juga tidak sesuai, otomatis logika hukumnya itu juga akan berantakan kalau kita bicara masalah diskusi hukum," pungkasnya.[]' Aziimatul Azka

Jumat, 17 Februari 2023

NASDEM SALAH PERHITUNGAN DAN AKAN TINGGALKAN ANIES BASWEDAN?

"Menurut saya Bang Surya memberikan pesan kepada istana, dan memberikan pesan kepada Demokrat dan PKS siap-siap aja lu, lu gue tinggal lama-lama, dan paling nyaman memang maksudnya gabung dengan KIB (Koalisi Indonesia Bersatu),

[Mantan Ketua Umum Nasdem, Patrice Rio Capella, 4/2]


Partai Nasdem disebut salah perhitungan mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres). Mantan Ketua Umum Nasdem, Patrice Rio Capella, melontarkan pandangan tersebut.
 
Rio Capella menilai orang-orang disekitar Surya Paloh sebagai Ketua Umum Nasdem, tidak memberikan masukan yang tepat perihal pengusungan Anies Baswedan.
 
_"Ada salah hitung dalam persoalan Anies yang dilakukan Nasdem. Saya pikir orang yang ada di sekitar Bang Surya tidak memberikan nasihat yang betul atau memberikan masukan ke Bang Surya,"_ Demikian ungkapnya, dalam podcast Youtube milik Akbar Faizal, Akbar Faizal Uncensored dikutip Minggu, 5 Februari 2023. 
 
Rio bahkan memberikan prediksi, bisa saja NasDem nantinya akan meninggalkan Demokrat dan PKS, dan batal mengusung Anies Baswedan. Hal itu dilatarbelakangi oleh karena NasDem akan lebih nyaman bergabung dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama Golkar, PAN & PKB, ketimbang mempertahankan Koalisi Perubahan.

Rio sangat paham, bahwa NasDem agak 'mustahil' berpisah dari Jokowi apalagi mengambil peran oposisi. Rio juga paham, NasDem tidak akan mungkin ikhlas melepaskan tiga kursi menterinya hanya untuk konsisten membela dan mengusung Anies Baswedan.

Nasdem sendiri, sebelumnya adalah partai 'Die Hard' nya Jokowi. Irma Chaniago, loyalis NasDem yang dikenal keras mewakili NasDem membela Jokowi dan keras mengkritik Anies dan kontra kelompok Islam dan gerakan 212.

Secara teori, NasDem memang bisa saja setiap saat meninggalkan Anies Baswedan dan kembali ke kubu Jokowi atau berhimpun pada koalisi lainnya. Sebab, sebelum mendaftarkan Capres ke KPU, pada dasarnya belum ada koalisi dan belum ada Capres yang didukung.

Sebagaimana NasDem, PKS dan Demokrat juga bisa balik arah. Meskipun keduanya juga sudah mengungkap dukungannya kepada Anies. Lagi-lagi, karena belum didaftarkan ke KPU, konstelasi politik masih sangat cair, semua prediksi menjadi sangat serba mungkin.

Saat ini, gerakan mendukung Capres tertentu dapat saja menjadi tidak bermakna, saat partai yang punya tiket Capres membatalkan dukungannya. Suara-suara relawan Capres, hanya akan menjadi angin lalu karena yang punya wewenang mencalonkan ada pada Partai.

Tentang prediksi Rio yang mengungkap bisa saja nantinya -bahkan di injury time- NasDem meninggalkan Demokrat dan PKS, adalah prediksi yang mungkin terjadi. Apalagi, hingga saat ini tiga menteri NasDem masih tetap dipertahankan Jokowi. Padahal, Jokowi sangat tidak setuju NasDem mencalonkan Anies.

Saat NasDem hengkang dari Koalisi Perubahan, praktis koalisi ini runtuh dan tidak bisa mencalonkan Anies sebagai Capres karena terkendala oleh Presidential Treshold. Jadi, sangat mungkin NasDem balik badan, meninggalkan PKS dan Demokrat yang maknanya dapat berujung pada batalnya pencapresan Anies Baswedan. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Rabu, 15 Februari 2023

MEWASPADAI MOTIF POLITIK DIBALIK MANUVER NASDEM YANG MENDUKUNG ANIES BASWEDAN

Tinta Media - Sejak awal, NasDem selalu berseberangan dengan posisi umat Islam. NasDem termasuk yang mendukung Ahok, dan 'Koalisi Sejati Bagi Jokowi'.

NasDem termasuk yang difatwakan haram dipilih, partai pro penista agama, sebagaimana telah diumumkan Habib Rizieq Shihab. NasDem termasuk partai yang anti gerakan 212.

Hingga saat ini, NasDem tetap mendapat jatah 3 Menteri di kabinet Jokowi. Padahal, infonya Jokowi marah NasDem mengusung Anies Baswedan. Tetapi kenapa Menteri NasDem tidak segera didepak dari Kabinet?

Apakah, kemarahan Jokowi kepada NasDem hanya sandiwara? Apakah, Jokowi sejatinya juga mendukung Anies Baswedan? Atau, apakah ini hanya strategi NasDem untuk meningkatkan perolehan suara di Pemilu 2024?

Realitas politik ini tentu menimbulkan pertanyaan, apakah NasDem murni mengusung Anies Baswedan atau punya motif politik lain. Maksudnya, bisa saja NasDem berdiri didua kaki. Bisa saja, dukungan kepada Anies juga atas restu Jokowi.

Hal ini terlihat, pada komitmen NasDem yang akan tetap mempertahankan legacy kezaliman pada HTI & FPI. NasDem berulangkali menyatakan akan tetap mempertahankan status 'terlarang' bagi HTI & FPI.

Lagipula, dukungan NasDem (termasuk parpol lainnya) kepada Anies Baswedan bisa dicabut setiap saat. NasDem bisa saja mencabut dukungan sehari sebelum pendaftaran Capres di KPU. Jika hal ini terjadi, maka Anies akan gagal nyapres. Suara PKS & Demokrat tidak mencukupi untuk membeli tiket pencapresan Anies.

Komitmen pencapresan, belum dapat dipercaya sebelum pendaftaran di KPU. Bagaimana jika ternyata ini strategi NasDem untuk menggembosi Anies dari dalam?

Pertama, menggembosi dukungan untuk Anies dari basis suara umat Islam. Narasi 'permusuhan' NasDem terhadap HTI & FPI bisa memelototi elektabilitas Anies Baswedan.

Kedua, menggagalkan pencapresan Anies. Yakni, ketika menjelang pendaftaran Capres di KPU, NasDem bisa secara sepihak mencabut dukungan dan gagal lah pencapresan Anies.

Atau, kita juga khawatir. NasDem adalah kepanjangan tangan Jokowi dan oligarki. Sehingga, kelak jika Anies menjadi Presiden tetap harus tunduk pada Jokowi dan oligarki. Bagaimana coba? [].

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Rabu, 01 Februari 2023

SINGGUNG HT1 DAN FP1 TERLARANG, NASDEM BUNUH DIRI POLITIK?

Tinta Media - Apa yang dikatakan oleh  Wasekjen NasDem Hermawi Taslim,  bahwa organisasi terlarang seperti HTI dan FPI akan tetap terlarang jika Anies Baswedan terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2024. Taslim mengatakan hal itu katanya sudah menjadi komitmen bersama menujukkan setidaknya dua hal.

 

Pertama,  wasekjen Nasdem nampaknya tidak memahami konstitusi negeri ini terutama putusan Mahkamah Konstitusi No 82 tahun 2013 bahwa ormas yang dicabut badan hukumnya atau tak memiliki SKT, bukan berarti terlarang. Dalam putusan PTUN dan kasasi di mahkamah agung tidak pernah menyebut HTI dan FPI sebagai organisasi terlarang. Produk hukum ini menguatkan keputusan menteri no 30 tahun 2017 yang mencabut SK Menteri hukum dan HAM 282 tahun 2014 tentang perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia.

 

Sementara di SK Menteri no 30 tahun 2017 yang diperkuat dengan tiga tingkat pengadilan memang mencabut BHP HTI, namun bukan berarti HTI jadi ormas terlarang. Di pasal 80 A UU No 16 tahun 2017 yang dulu perpu, telah memotong jalur proses peradilan yang menempatkan semua warga sama haknya di hadapan hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan perpu, negara seolah menempatkan diri sebagai lembaga penilai tunggal atas kebenaran dan kesalahan hukum. Alhasil dengan perpu itu, HTI dinyatakan bubar, tapi tidak dinyatakan terlarang. Yang tidak boleh menurut nomenklatur hukum adalah melakukan berbagai kegiatan atas nama HTI, itu saja.

 

Kedua, wasekjen Nasdem tengah melakukan bunuh diri politik dengan ucapan itu. Mungkin umat Islam yang tadinya mendukung Anies akan segera meninggalkan dukungannya, karena ucapan itu selain salah, juga memberikan konfirmasi bahwa Nasdem diduga kuat anti ideologi Islam. Padahal HTI dan FPI hanyalah medakwahkan ajaran Islam, bukan mengjarkan paham komunis yang dilarang di negeri ini. 


Jika ormas seperti FPI, tidak diperpanjang SKT, bukan berarti dilarang, hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 bahwa ormas tidaklah masalah tidak memiliki SKT atau berbadan hukum. Kalau mau mengajukan ke kementerian hukum dan HAM agar ormas berbadan hukum atau bisa juga terdaftar di kementerian dalam negeri yang namanya SKT.  

 

FPI dulu melakukan yang kedua. Hal ini menegaskan bahwa FPI itu tidak terlarang, namun yang jadi persoalan adalah adanya ketidakadilan yang namanya SKB 6 menteri yang membubarkan FPI yang konskuensinya pelarangan kegiatan atas nama FPI, larangan penggunaan atribut, dan penghentian kegiatan FPI. Pembubaran ini lebih cenderung sebagai produk politik, dibandingkan dengan persoalan hukum. FPI sendiri dalam persidangan tidak terbukti melanggar hukum dalam putusan peradilan, terutama saat dikaitkan dengan terorisme.

 

Front Pembela Islam sebagai ormas yang dipimpin HRS telah banyak berkiprah di negeri ini, baik kaitanya dengan dakwah membela kebenaran maupun berbagai kegiatan sosial, seperti tanggap bencana alam. FPI terbukti sangat dicintai oleh umat, bahkan umat agama lainnya. Meski jarang diliput media, namun umat Islam di Indonesia melihat bahwa FPI adalah ormas yang memiliki andil besar di negeri ini.

Begitupun dengan HTI setelah dicabut BHPnya, bukan lantas menjadi organisasi terlarang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 tadi. HTI adalah ormas legal yang sejak lama berdiri di Indonesia dan memiliki kiprah positif bagi kesadaran keislaman bangsa ini. Sebab HTI sama dengan ormas Islam lainnya merupakan organisasi dakwah yang mendakwahkan ajaran Islam dari A sampai Z. Namun, oleh pemerintah, HTI kemudian dipersoalkan hingga dicabut legalitas badan hukumnya dengan didasarkan oleh berbagai asumsi yang dikonstruk pemerintah tanpa melalui proses peradilan. Namun bukan berarti HTI menjadi ormas terlarang setelah pencabutan BHP. Bahkan HTI itu terbukti tidak melanggar hukum. Pencabutan BHP HTI juga merupakan produk politik.

 

HTI hanya dicabut Badan Hukum Perkumpulannya. FPI hanya ditolak penerbitan SKT-nya. Keduanya, hanya mendapat tindakan dari badan atau pehabat TUN (Tata Usaha Negara), berupa keputusan TUN (Beshicking). HTI & FPI berbeda dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). HTI dan FPI mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, tidak seperti PKI yang menyebarkan paham Karl Marx. Jika ada orang menganggap HTI dan FPI sebagai organisasi terlarang dan menyamakan dengan PKI, maka orang itu tengah melangalami virus kedunguan tingkat tinggi, jika ada orang yang seperti itu loh....

 

Taslim menambahkan bahwa pelarangan HTI dan FPI adalah bagian dari perjuangan NasDem. Selain itu, Taslim mengatakan bahwa NasDem juga akan meneruskan program Presiden Jokowi yang dianggap baik. Ucapan ini menunjukkan bahwa Nasdem telah menjadi salah satu partai yang mengidap islamopobia. Sebab FPI dan HTI itu tidaklah berbahaya sama sekali bagi bangsa ini. Justru sebaliknya, FPI dan HTI telah memberikan konstribusi positif bagi negeri ini.

 

HTI dengan dakwah pemikirannya, telah memberikan pencerahan tingkat tinggi bagi kesadaran politik umat Islam bahkan bangsa Indonesia pada umumnya. HTI mencintai negeri ini dengan memberikan kesadaran bahwa negeri ini tengah dijajah oleh kapitalisme sekuler dibawah kendali oligarki yang menjadikan rakyat semakin miskin dan sengsara.

 

Mengapa islamopobia semakin marak di negeri ini ?. Di satu sisi pemerintah gencar berbicara soal toleransi antar umat beragama, namun disisi lain justru penghinaan atas Islam ini semakin marak dan menggila. Lebih ironis lagi seringkali pelakunya adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Misal gerombolan buzzeRp yang justru sengaja melakukan berbagai tindakan dan ucapan yang mengarah kepada ujaran kebencian, pecah belah bangsa, intoleransi dan penistaan atas Islam dan ajarannya. Namun, sayangnya mereka seolah kebal terhadap hukum. mereka terus melenggang tanpa ada sentuhan hukum, meski telah dilaporkan ke pihak kepolisian.

 

Paradoks kedua adalah di saat dunia Barat telah menyatakan anti Islamophobia yang oleh PBB telah dinyatakan dengan tegas bulan Maret 2022, namun ironisnya di negeri ini seolah baru mulai dan semakin meninggi tensinya. Padahal negeri ini adalah negeri mayoritas muslim, namun Islam dan ajarannya selalu dianggap sebagai masalah. Umat Islam yang mencoba menjalankan agamanya dengan kaffah justru dituduh dengan berbagai tuduhan yang menyakitkan seperti radikal, fundamnetalis dan bahkan teroris. Sangat menyedihkan memang.

 

Secara genealogis, islamopobia memang berawal dari dunia Barat yang memang anti Islam, lantas menjalar sampai negeri-negeri pembebeknya, seperti Indonesia. Islamophobia bisa dikatakan sebagai kejahatan politik Barat dikarenakan permusuhan kepada Islam disatu sisi, dan disisi lain, umat Islam juga tengah mengalami kebangkitan dimana-mana. Narasi Islamophobia itu muncul di Barat yang nyata-nyata anti kepada Islam. Berbagai tindakan Barat yang anti Islam terus dilakukan melalui berbagai strategi. Narasi Islam moderat atau moderasi agama justru dibuat sebagai pertanda bahwa Barat anti Islam. Islam anti Islam karena melihat gejala kebangkitan Islam dimana-mana. Program moderasi beragama disetting Barat sebagai upaya untuk menghadang kebangkitan Islam.

Dunia Barat tidak menginginkan kebangkitan Islam dengan cara selalu memojokkan Islam dan menfitnah Islam. Indonesia sendiri sebagai negara bukan utama seringkali mengikuti narasi yang dibangun oleh negara adi daya. Alhasil, Indonesia meski mayoritas muslim, namun ajaran Islam selalu diframing berbahaya bagi bangsa ini, bahkan para ulama banyak yang dikriminalisasi. Narasi islamophobia itu lahir dari ideologi sekulerisme. Negara-negara yang menerapkan sistem sekulerisme selalu menempatkan Islam sebagai halangan dan ancaman. Dari sini, kebijakan deradikalisasi bisa dipahami alurnya.

 

Tentu saja umat Islam harus semakin yakin bahwa ideologi kapitalisme sekuler dengan politik demokrasi terbukti menolak Islam. Secara filosofis, demokrasi berpaham antroposentrisme dimana manusia dijadikan sebagai sumber segalanya. Istilah manusia sebagai pusat edar kehidupan berasal dari ungkapan Plato. Dengan pemahaman sederhana, bahwa demokrasi menjadikan manusia sebagai sumber kebenaran. Dengan arti lain, sejak awal lahir, demokrasi adalah ideologi anti tuhan, anti agama dan anti Islam.

 

Bahkan demokrasi juga berpaham antropomorpisme dimana manusia berdaulat atas penyusunan hukum dan perundang-undangan. Melalui model trias politica, maka demokrasi menyumberkan konstruksi hukum dan undang-undangnya disusun oleh manusia juga. Kedaulatan hukum ada di tangan manusia dan mengabaikan hukum-hukum Allah adalah perkara aqidah bagi seorang muslim. Sebab aqidah seorang muslim adalah keterikatan dirinya dengan hukum Allah.

 

Jadi ucapan Wasekjen Nasdem ada hikmah dan pelajaran bagi umat Islam mayoritas di negeri ini untuk menolak demokrasi dan istiqomah tetap memperjuangkan Islam di negeri ini untuk agar negeri ini semakin menjadi lebih baik. Sebab Indonesia adalah milik Allah dan hanya hukum Allah yang paling layak mengatur negeri ini. Soal Nasdem dan Anies, maka umat harus semakin cerdas, apakah masih ingin mendukung partai ini ?.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan,19/01/23 : 10.00 WIB)


Oleh: Dr. Ahmad Sastra 

Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

 

SINGGUNG HT1 DAN FP1 TERLARANG, NASDEM BUNUH DIRI POLITIK?

Tinta Media - Apa yang dikatakan oleh  Wasekjen NasDem Hermawi Taslim,  bahwa organisasi terlarang seperti HTI dan FPI akan tetap terlarang jika Anies Baswedan terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2024. Taslim mengatakan hal itu katanya sudah menjadi komitmen bersama menujukkan setidaknya dua hal.

 

Pertama,  wasekjen Nasdem nampaknya tidak memahami konstitusi negeri ini terutama putusan Mahkamah Konstitusi No 82 tahun 2013 bahwa ormas yang dicabut badan hukumnya atau tak memiliki SKT, bukan berarti terlarang. Dalam putusan PTUN dan kasasi di mahkamah agung tidak pernah menyebut HTI dan FPI sebagai organisasi terlarang. Produk hukum ini menguatkan keputusan menteri no 30 tahun 2017 yang mencabut SK Menteri hukum dan HAM 282 tahun 2014 tentang perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia.

 

Sementara di SK Menteri no 30 tahun 2017 yang diperkuat dengan tiga tingkat pengadilan memang mencabut BHP HTI, namun bukan berarti HTI jadi ormas terlarang. Di pasal 80 A UU No 16 tahun 2017 yang dulu perpu, telah memotong jalur proses peradilan yang menempatkan semua warga sama haknya di hadapan hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dengan perpu, negara seolah menempatkan diri sebagai lembaga penilai tunggal atas kebenaran dan kesalahan hukum. Alhasil dengan perpu itu, HTI dinyatakan bubar, tapi tidak dinyatakan terlarang. Yang tidak boleh menurut nomenklatur hukum adalah melakukan berbagai kegiatan atas nama HTI, itu saja.

 

Kedua, wasekjen Nasdem tengah melakukan bunuh diri politik dengan ucapan itu. Mungkin umat Islam yang tadinya mendukung Anies akan segera meninggalkan dukungannya, karena ucapan itu selain salah, juga memberikan konfirmasi bahwa Nasdem diduga kuat anti ideologi Islam. Padahal HTI dan FPI hanyalah medakwahkan ajaran Islam, bukan mengjarkan paham komunis yang dilarang di negeri ini. 


Jika ormas seperti FPI, tidak diperpanjang SKT, bukan berarti dilarang, hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 bahwa ormas tidaklah masalah tidak memiliki SKT atau berbadan hukum. Kalau mau mengajukan ke kementerian hukum dan HAM agar ormas berbadan hukum atau bisa juga terdaftar di kementerian dalam negeri yang namanya SKT.  

 

FPI dulu melakukan yang kedua. Hal ini menegaskan bahwa FPI itu tidak terlarang, namun yang jadi persoalan adalah adanya ketidakadilan yang namanya SKB 6 menteri yang membubarkan FPI yang konskuensinya pelarangan kegiatan atas nama FPI, larangan penggunaan atribut, dan penghentian kegiatan FPI. Pembubaran ini lebih cenderung sebagai produk politik, dibandingkan dengan persoalan hukum. FPI sendiri dalam persidangan tidak terbukti melanggar hukum dalam putusan peradilan, terutama saat dikaitkan dengan terorisme.

 

Front Pembela Islam sebagai ormas yang dipimpin HRS telah banyak berkiprah di negeri ini, baik kaitanya dengan dakwah membela kebenaran maupun berbagai kegiatan sosial, seperti tanggap bencana alam. FPI terbukti sangat dicintai oleh umat, bahkan umat agama lainnya. Meski jarang diliput media, namun umat Islam di Indonesia melihat bahwa FPI adalah ormas yang memiliki andil besar di negeri ini.

Begitupun dengan HTI setelah dicabut BHPnya, bukan lantas menjadi organisasi terlarang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 tadi. HTI adalah ormas legal yang sejak lama berdiri di Indonesia dan memiliki kiprah positif bagi kesadaran keislaman bangsa ini. Sebab HTI sama dengan ormas Islam lainnya merupakan organisasi dakwah yang mendakwahkan ajaran Islam dari A sampai Z. Namun, oleh pemerintah, HTI kemudian dipersoalkan hingga dicabut legalitas badan hukumnya dengan didasarkan oleh berbagai asumsi yang dikonstruk pemerintah tanpa melalui proses peradilan. Namun bukan berarti HTI menjadi ormas terlarang setelah pencabutan BHP. Bahkan HTI itu terbukti tidak melanggar hukum. Pencabutan BHP HTI juga merupakan produk politik.

 

HTI hanya dicabut Badan Hukum Perkumpulannya. FPI hanya ditolak penerbitan SKT-nya. Keduanya, hanya mendapat tindakan dari badan atau pehabat TUN (Tata Usaha Negara), berupa keputusan TUN (Beshicking). HTI & FPI berbeda dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). HTI dan FPI mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, tidak seperti PKI yang menyebarkan paham Karl Marx. Jika ada orang menganggap HTI dan FPI sebagai organisasi terlarang dan menyamakan dengan PKI, maka orang itu tengah melangalami virus kedunguan tingkat tinggi, jika ada orang yang seperti itu loh....

 

Taslim menambahkan bahwa pelarangan HTI dan FPI adalah bagian dari perjuangan NasDem. Selain itu, Taslim mengatakan bahwa NasDem juga akan meneruskan program Presiden Jokowi yang dianggap baik. Ucapan ini menunjukkan bahwa Nasdem telah menjadi salah satu partai yang mengidap islamopobia. Sebab FPI dan HTI itu tidaklah berbahaya sama sekali bagi bangsa ini. Justru sebaliknya, FPI dan HTI telah memberikan konstribusi positif bagi negeri ini.

 

HTI dengan dakwah pemikirannya, telah memberikan pencerahan tingkat tinggi bagi kesadaran politik umat Islam bahkan bangsa Indonesia pada umumnya. HTI mencintai negeri ini dengan memberikan kesadaran bahwa negeri ini tengah dijajah oleh kapitalisme sekuler dibawah kendali oligarki yang menjadikan rakyat semakin miskin dan sengsara.

 

Mengapa islamopobia semakin marak di negeri ini ?. Di satu sisi pemerintah gencar berbicara soal toleransi antar umat beragama, namun disisi lain justru penghinaan atas Islam ini semakin marak dan menggila. Lebih ironis lagi seringkali pelakunya adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Misal gerombolan buzzeRp yang justru sengaja melakukan berbagai tindakan dan ucapan yang mengarah kepada ujaran kebencian, pecah belah bangsa, intoleransi dan penistaan atas Islam dan ajarannya. Namun, sayangnya mereka seolah kebal terhadap hukum. mereka terus melenggang tanpa ada sentuhan hukum, meski telah dilaporkan ke pihak kepolisian.

 

Paradoks kedua adalah di saat dunia Barat telah menyatakan anti Islamophobia yang oleh PBB telah dinyatakan dengan tegas bulan Maret 2022, namun ironisnya di negeri ini seolah baru mulai dan semakin meninggi tensinya. Padahal negeri ini adalah negeri mayoritas muslim, namun Islam dan ajarannya selalu dianggap sebagai masalah. Umat Islam yang mencoba menjalankan agamanya dengan kaffah justru dituduh dengan berbagai tuduhan yang menyakitkan seperti radikal, fundamnetalis dan bahkan teroris. Sangat menyedihkan memang.

 

Secara genealogis, islamopobia memang berawal dari dunia Barat yang memang anti Islam, lantas menjalar sampai negeri-negeri pembebeknya, seperti Indonesia. Islamophobia bisa dikatakan sebagai kejahatan politik Barat dikarenakan permusuhan kepada Islam disatu sisi, dan disisi lain, umat Islam juga tengah mengalami kebangkitan dimana-mana. Narasi Islamophobia itu muncul di Barat yang nyata-nyata anti kepada Islam. Berbagai tindakan Barat yang anti Islam terus dilakukan melalui berbagai strategi. Narasi Islam moderat atau moderasi agama justru dibuat sebagai pertanda bahwa Barat anti Islam. Islam anti Islam karena melihat gejala kebangkitan Islam dimana-mana. Program moderasi beragama disetting Barat sebagai upaya untuk menghadang kebangkitan Islam.

Dunia Barat tidak menginginkan kebangkitan Islam dengan cara selalu memojokkan Islam dan menfitnah Islam. Indonesia sendiri sebagai negara bukan utama seringkali mengikuti narasi yang dibangun oleh negara adi daya. Alhasil, Indonesia meski mayoritas muslim, namun ajaran Islam selalu diframing berbahaya bagi bangsa ini, bahkan para ulama banyak yang dikriminalisasi. Narasi islamophobia itu lahir dari ideologi sekulerisme. Negara-negara yang menerapkan sistem sekulerisme selalu menempatkan Islam sebagai halangan dan ancaman. Dari sini, kebijakan deradikalisasi bisa dipahami alurnya.

 

Tentu saja umat Islam harus semakin yakin bahwa ideologi kapitalisme sekuler dengan politik demokrasi terbukti menolak Islam. Secara filosofis, demokrasi berpaham antroposentrisme dimana manusia dijadikan sebagai sumber segalanya. Istilah manusia sebagai pusat edar kehidupan berasal dari ungkapan Plato. Dengan pemahaman sederhana, bahwa demokrasi menjadikan manusia sebagai sumber kebenaran. Dengan arti lain, sejak awal lahir, demokrasi adalah ideologi anti tuhan, anti agama dan anti Islam.

 

Bahkan demokrasi juga berpaham antropomorpisme dimana manusia berdaulat atas penyusunan hukum dan perundang-undangan. Melalui model trias politica, maka demokrasi menyumberkan konstruksi hukum dan undang-undangnya disusun oleh manusia juga. Kedaulatan hukum ada di tangan manusia dan mengabaikan hukum-hukum Allah adalah perkara aqidah bagi seorang muslim. Sebab aqidah seorang muslim adalah keterikatan dirinya dengan hukum Allah.

 

Jadi ucapan Wasekjen Nasdem ada hikmah dan pelajaran bagi umat Islam mayoritas di negeri ini untuk menolak demokrasi dan istiqomah tetap memperjuangkan Islam di negeri ini untuk agar negeri ini semakin menjadi lebih baik. Sebab Indonesia adalah milik Allah dan hanya hukum Allah yang paling layak mengatur negeri ini. Soal Nasdem dan Anies, maka umat harus semakin cerdas, apakah masih ingin mendukung partai ini ?.

 

(Ahmad Sastra, Kota Hujan,19/01/23 : 10.00 WIB)


Oleh: Dr. Ahmad Sastra 

Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

 

Fitnah FP1 dan HT1 Ormas Terlarang, Advokat: Nasdem Tak Paham Status Hukum

Tinta Media - Menanggapi Fitnah yang dituduhkan Wasekjen Nasdem Hermawi Taslim bahwa FP1 dan HT1 ormas terlarang, Advokat Ahmad Khozinudin menjelaskan status hukum FP1 dan HT1.

"Saya terus terang sangat menyayangkan bahkan agak kaget pula kalau petinggi partai dengan jabatan wasekjen tidak paham status hukum dari ormas yang oleh pemerintah dulu dicabut Badan Hukum Perkumpulannya yakni HT1, dan tidak diterbitkannya perpanjangan Surat Keterangan Terdaftarnya, yakni FP1," tuturnya dalam acara Rubrik Dialogika : FP1- HT1 Korban Politik? Sabtu (21/01/2023) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.

Menurutnya, FP1 itu bukan dicabut Surat Keterangan Terdaftarnya, tapi tidak diperpanjang Surat Keterangan Terdafarnya, karena Surat Keterangan Terdaftar itu punya masa kadaluwarsa 5 tahun. "Jadi setiap 5 tahun harus diperpanjang," terangnya.

Ahmad menjelaskan, saat 2019 yang lalu FP1 mau memperpanjang SKTnya itu, namun tidak dikeluarkan oleh pemerintah. Sekarang FP1 tidak memiliki SKT (Surat Keterangan Terdaftar). Hizbut Tahrir Indonesia, lanjut Ahmad punya status Badan Hukum di Kementrian Hukum dan HAM, lalu dicabut melalui keputusan atau beschikking dari Kementrian Hukum dan HAM.

Ia memandang pembahasan status hukum FP1 dan HT1 harus diawali dari Undang-Undang Ormas.

Ahmad menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, Undang-Undang Ormas itu adalah satu keputusan negara yang mengejawantahkan hak konstitusional warga negara dalam hal berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.

"Jadi, Undang-Undang Ormas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 ini merupakan implementasi dari pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 di mana konstitusi kita telah memberikan jaminan hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat," jelasnya.

Menurutnya, Undang-Undang Ormas itu untuk menegaskan bahwa aktivitas organisasi kemasyarakatan itu adalah aktivitas yang legal dan konstitusional.

"Nah, kemudian negara membuat aturan. Dalam aturan di Undang-Undang Ormas ditinjau di pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan seterusnya, itu memang diatur bahwa ormas itu bisa berbadan hukum dan bisa juga tidak berbadan hukum. Yang berbadan hukum itu bisa berbasis anggota, nanti masuknya Badan Hukum Perkumpulan. Yang tidak berbadan hukum tapi tidak berbasis anggota itu masuk ke yayasan," paparnya.

Ahmad menerangkan bahwa ormas yang tidak berbadan hukum itu ada dua. 
Ada yang terdaftar dan mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Kemendagri. Masa atau jangka waktu keberlakuan SKT itu 5 tahun. Sehingga setiap 5 tahun sekali itu harus diperpanjang.

"Kalau Surat Keputusan yaysan itu, begitu disahkan oleh KemenkumHAM termasuk SK Badan Hukum Perkumpulan, begitu disahkan oleh KemenkumHAM, maka selamanya dia akan aktif sebagai ormas yang memiliki badan hukum atau yayasan," terangnya.

Ahmad memandang, dalam kasus HT1 itu, di tahun 2017 muncul narasi HT1 dianggap melanggar aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dianggap memiliki kesalahan, tapi pemerintah tidak dapat memberikan penjelasan detil sekaligus bukti kesalahan HT1 itu apa?. 

"Dan pemerintah juga saat itu tidak berani mengikuti prosedur dan tata cara pencabutan Badan Hukum Perkumpulan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas di mana proses pencabutan Badan Hukum Perkumpulan ormas ketika itu harus dilakukan dengan pemanggilan, mediasi, SP 1, SP 2, SP 3 begitu, baru penghentian kegiatan sementara selama 6 bulan oleh Jaksa Agung," sesalnya.

Setelah itu, Ahmad melanjutkan baru kemudian Jaksa Agung selaku wakil negara melakukan proses permohonan pencabutan Badan Hukum Perkumpulan ormas yang dianggap tidak bisa diperbaiki, tidak bisa dibina melalui Pengadilan Negeri di mana domisili hukum ormas itu berada.

"Saat itu saya diskusi dengan sejumlah elemen masyarakat bagaimana ini kalau pemerintah mau mencabut Badan Hukum Perkumpulan HT1?
 Saya bilang ya, silakan saja, tapi akan panjang dan melelahkan bagi pemerintah karena prosesnya dari sejak mediasi sampai inkracht (berkekuatan hukum yang tetap) ya keputusan pengadilan," ujarnya.

Menurutnya, keputusan pengadilan itu langsung kasasi tidak ada banding.
"Itu, saya hitung paling enggak sekitar 425 hari, satu tahun lebihlah..satu tahun setengah. Nah kemungkinan pemerintah waktu itu mau ngotot akan short cut, yaitu menggunakan dua pendekatan," ucapnya

Pertama, diterbitkan Kepres. Yang kedua terbitkan PERPU.

"Cuman, kalau Kepres itu dampaknya bisa ke presiden. Kalau salah, presiden bisa dimakzulkn. Kalau PERPU itu bisa berdalih bahwa ini kebijkan umum tidak hanya untuk HT1 saat itu kan. Dan akhirnya terbitlah PERPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas di mana diantara perubahan Undang-Undang oleh PERPU tadi diubahlah klausula pencabutan Badan Hukum Perkumpulan, kalau tadinya harus melalui pengadilan, melalui PERPU itu pemerintah menempuh jalan short cut, potong kompas dengan dalih menggunakan asas contrarius actus (asas yang menyatakan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang menerbitkan keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya)," pungkasnya. 
[] 'Aziimatul Azka

Fitnah FP1 dan HT1 Ormas Terlarang, Advokat: Nasdem Tak Paham Status Hukum

Tinta Media - Menanggapi Fitnah yang dituduhkan Wasekjen Nasdem Hermawi Taslim bahwa FP1 dan HT1 ormas terlarang, Advokat Ahmad Khozinudin menjelaskan status hukum FP1 dan HT1.

"Saya terus terang sangat menyayangkan bahkan agak kaget pula kalau petinggi partai dengan jabatan wasekjen tidak paham status hukum dari ormas yang oleh pemerintah dulu dicabut Badan Hukum Perkumpulannya yakni HT1, dan tidak diterbitkannya perpanjangan Surat Keterangan Terdaftarnya, yakni FP1," tuturnya dalam acara Rubrik Dialogika : FP1- HT1 Korban Politik? Sabtu (21/01/2023) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.

Menurutnya, FP1 itu bukan dicabut Surat Keterangan Terdaftarnya, tapi tidak diperpanjang Surat Keterangan Terdafarnya, karena Surat Keterangan Terdaftar itu punya masa kadaluwarsa 5 tahun. "Jadi setiap 5 tahun harus diperpanjang," terangnya.

Ahmad menjelaskan, saat 2019 yang lalu FP1 mau memperpanjang SKTnya itu, namun tidak dikeluarkan oleh pemerintah. Sekarang FP1 tidak memiliki SKT (Surat Keterangan Terdaftar). Hizbut Tahrir Indonesia, lanjut Ahmad punya status Badan Hukum di Kementrian Hukum dan HAM, lalu dicabut melalui keputusan atau beschikking dari Kementrian Hukum dan HAM.

Ia memandang pembahasan status hukum FP1 dan HT1 harus diawali dari Undang-Undang Ormas.

Ahmad menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, Undang-Undang Ormas itu adalah satu keputusan negara yang mengejawantahkan hak konstitusional warga negara dalam hal berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.

"Jadi, Undang-Undang Ormas, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 ini merupakan implementasi dari pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 di mana konstitusi kita telah memberikan jaminan hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta menyampaikan pendapat," jelasnya.

Menurutnya, Undang-Undang Ormas itu untuk menegaskan bahwa aktivitas organisasi kemasyarakatan itu adalah aktivitas yang legal dan konstitusional.

"Nah, kemudian negara membuat aturan. Dalam aturan di Undang-Undang Ormas ditinjau di pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, dan seterusnya, itu memang diatur bahwa ormas itu bisa berbadan hukum dan bisa juga tidak berbadan hukum. Yang berbadan hukum itu bisa berbasis anggota, nanti masuknya Badan Hukum Perkumpulan. Yang tidak berbadan hukum tapi tidak berbasis anggota itu masuk ke yayasan," paparnya.

Ahmad menerangkan bahwa ormas yang tidak berbadan hukum itu ada dua. 
Ada yang terdaftar dan mendapatkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Kemendagri. Masa atau jangka waktu keberlakuan SKT itu 5 tahun. Sehingga setiap 5 tahun sekali itu harus diperpanjang.

"Kalau Surat Keputusan yaysan itu, begitu disahkan oleh KemenkumHAM termasuk SK Badan Hukum Perkumpulan, begitu disahkan oleh KemenkumHAM, maka selamanya dia akan aktif sebagai ormas yang memiliki badan hukum atau yayasan," terangnya.

Ahmad memandang, dalam kasus HT1 itu, di tahun 2017 muncul narasi HT1 dianggap melanggar aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dianggap memiliki kesalahan, tapi pemerintah tidak dapat memberikan penjelasan detil sekaligus bukti kesalahan HT1 itu apa?. 

"Dan pemerintah juga saat itu tidak berani mengikuti prosedur dan tata cara pencabutan Badan Hukum Perkumpulan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas di mana proses pencabutan Badan Hukum Perkumpulan ormas ketika itu harus dilakukan dengan pemanggilan, mediasi, SP 1, SP 2, SP 3 begitu, baru penghentian kegiatan sementara selama 6 bulan oleh Jaksa Agung," sesalnya.

Setelah itu, Ahmad melanjutkan baru kemudian Jaksa Agung selaku wakil negara melakukan proses permohonan pencabutan Badan Hukum Perkumpulan ormas yang dianggap tidak bisa diperbaiki, tidak bisa dibina melalui Pengadilan Negeri di mana domisili hukum ormas itu berada.

"Saat itu saya diskusi dengan sejumlah elemen masyarakat bagaimana ini kalau pemerintah mau mencabut Badan Hukum Perkumpulan HT1?
 Saya bilang ya, silakan saja, tapi akan panjang dan melelahkan bagi pemerintah karena prosesnya dari sejak mediasi sampai inkracht (berkekuatan hukum yang tetap) ya keputusan pengadilan," ujarnya.

Menurutnya, keputusan pengadilan itu langsung kasasi tidak ada banding.
"Itu, saya hitung paling enggak sekitar 425 hari, satu tahun lebihlah..satu tahun setengah. Nah kemungkinan pemerintah waktu itu mau ngotot akan short cut, yaitu menggunakan dua pendekatan," ucapnya

Pertama, diterbitkan Kepres. Yang kedua terbitkan PERPU.

"Cuman, kalau Kepres itu dampaknya bisa ke presiden. Kalau salah, presiden bisa dimakzulkn. Kalau PERPU itu bisa berdalih bahwa ini kebijkan umum tidak hanya untuk HT1 saat itu kan. Dan akhirnya terbitlah PERPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas di mana diantara perubahan Undang-Undang oleh PERPU tadi diubahlah klausula pencabutan Badan Hukum Perkumpulan, kalau tadinya harus melalui pengadilan, melalui PERPU itu pemerintah menempuh jalan short cut, potong kompas dengan dalih menggunakan asas contrarius actus (asas yang menyatakan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang menerbitkan keputusan TUN dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya)," pungkasnya. 
[] 'Aziimatul Azka

Sabtu, 21 Januari 2023

NASDEM TERLALU SIBUK MEMBELA DIRI

Tinta Media - Anies Baswedan berpotensi terkena upaya pembingkaian (framing) politik identitas, radikal radikul. Pola-pola stigmatisasi, hingga mobilisasi politik framing, stigmatisasi biasanya menjadi modus dalam komodifikasi (perubahan fungsi) dengan target untuk mendistorsi opini publik dan memberikan label negatif pada figur yang disasar. Aksi politik tersebut, digelar secara terpola, sistematis, dan sulit dipungkiri adanya rancangan politik tertentu di balik itu.

Partai Nasdem yang mengusung Anies Baswedan tak luput dari framing tersebut, tampak kewalahan menghadapi framing politik tersebut hingga akhirnya menyibukkan Nasdem untuk melakukan pembelaan diri. Misalnya sibuk membela diri atas framing politik identitas, padahal Tidak ada yang salah dengan politik identitas selama disampaikan secara damai, intelektual, adu gagasan, dialektika, tanpa kekerasan dan tanpa pemaksaan. Jika politik identitas dilarang, maka ini akan menjadi paradoks atau pertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Misalnya dalam konteks agama Islam, Islam memiliki ajaran konsep tentang kepemimpinan, pemimpin atau penguasa dan menjalankan pemerintahan. Berdasarkan prinsip _Non-Derogability_ yaitu Negara tidak boleh mengurangi kebebasan beragama atau berkeyakinan dalam keadaan apapun. 

Kemudian sibuk membela diri atas framing Anies Baswedan mendukung Khilafah, akhirnya Nasdem sibuk membela diri atas framing tersebut, padahal khilafah adalah bagian dari ajaran Islam yang siapapun tidak boleh melakukan stigmatisasi dan monsterisasi.

Selanjutnya terkait framing Anies Baswedan didukung oleh FPI Dan HTI, akhirnya Nasdem sibuk membela diri bahwa jika Anies Baswedan sebagai Presiden FPI dan HTI tetap dilarang. Padahal FPI dan HTI adalah organisasi dakwah Islam yang damai dan memiliki basis massa besar. Lantas bagaimana cara Nasdem ingin memenangkan pemilu jika sibuk membela diri dan memukul pihak-pihak organisasi dan tokoh tertentu.

Sayangnya pembelaan diri tersebut kemudian memukul pihak-pihak yang bahkan dapat menjadi basis dukungan massa atau masyarakat dalam kontestasi politik. Saya menyebutnya "apologetic defensive".

Sebaiknya Nasdem melawan framing, stigmatisasi politik tersebut harus dilawan dengan cerdas, merangkul semua pihak bukan memukul.

Demikian 
IG @chandrapurnairawan

Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
Ketua LBH PELITA UMAT dan Mahasiswa Doktoral

MELANGGENGKAN LEGACY KEBIJAKAN ANTI ISLAM JOKOWI, NASDEM MENGGERUS ELEKTABILITAS ANIES BASWEDAN

Tinta Media - Terus terang, diantara sebab preferensi politik umat Islam lebih condong kepada Anies Baswedan adalah karena Anies dekat dengan umat Islam dan pro arus perubahan. Semangat perubahan itulah, yang membuat PKS, PARTAI DEMOKRAT & PARTAI NASDEM membentuk Koalisi Perubahan, meskipun belum secara bersama-sama mengadakan deklarasi.

Namun sayang, dukungan umat Islam, semangat arus perubahan itu telah dirusak oleh Partai NasDem. Wasekjen Partai NasDem Hermawi Taslim memastikan bahwa organisasi HTI & FPI akan tetap terlarang jika Anies Baswedan terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2024. Taslim bahkan mengatakan hal itu sudah menjadi komitmen bersama.

"Kalau tentang FPI dan HTI dan segala macam itu kan sudah komitmen kita bersama. Jangan pun Anies, orang lain pun yang jadi menteri, yang jadi presiden NasDem akan pasang badan supaya organisasi-organisasi terlarang itu tetap dilarang,"

Ungkap Taslim dalam acara Adu Perspektif kolaborasi detikcom dengan Total Politik bertema 'Koalisi Partai: Makin Erat atau bubar', Senin (16/1/2023).

Sikap politik NasDem ini telah mencederai umat Islam sekaligus khianat pada komitmen akan perubahan. NasDem telah merusak kohesi sosial dan ikatan kesatuan pandangan politik umat Islam, yang sebelumnya mendukung NasDem yang mengusung Anies Baswedan, disebabkan:

*Pertama,* HTI dan FPI adalah ormas Islam, bagian dari umat Islam. HTI dan FPI selama ini telah ada, dan selalu membersamai umat Islam dalam setiap aktivitas dakwahnya, baik yang berkaitan dengan dakwah amar ma'ruf nahi munkar, maupun aktivitas sosial ditengah-tengah umat.

Komitmen memastikan HTI dan FPI terlarang, jelas sangat menyakiti hati umat Islam karena semua juga paham HTI dan FPI adalah korban kezaliman rezim Jokowi. Tidak ada satupun kesalahan HTI maupun FPI. Justru rezim lah yang telah bertindak zalim pada HTI dan FPI.

*Kedua,* menyebut HTI dan FPI terlarang adalah penyesatan politik yang sangat jahat. Karena tidak ada satupun dasar hukum maupun putusan pengadilan yang menyatakan HTI dan/atau FPI terlarang.

Bisa juga, hal ini mengkonfirmasi kebodohan Nasdem yang tidak paham nomenklatur hukum. Kasihan, jika politisi bodoh terus memimpin negeri ini.

HTI hanya dicabut BHP-nya. FPI hanya tidak diterbitkan SKT-nya. Tidak ada satupun putusan pengadilan yang menyatakan HTI dan/atau FPI terlarang.

*Ketiga,* semangat perubahan yang digaungkan Nasdem menjadi tidak bernilai, karena NasDem malah mempertahankan legacy kezaliman Jokowi. Mencabut BHP HTI dan tidak menerbitkan SKT FPI tanpa kesalahan adalah kezaliman, dan malah akan terus dipertahankan.

Bahkan, lebih jauh NasDem memberikan garansi akan tetap mempertahankan keputusan zalim Jokowi. Dimana letak mau berubahnya?

Penulis jadi tertarik komentar Aziz Yanuar, yang mengatakan "Bagaimana mau merestorasi Indonesia jika mentalnya masih seperti inlander begitu sesama anak bangsa?". Ya, jargon restorasi NasDem menjadi hanya basa-basi karena faktanya NasDem inlander, masih terus berada dibawah ketiak Jokowi.

Sikap NasDem ini tentu saja membuat umat Islam khawatir mau memilih Anies Baswedan sebagai Capres. Alih-alih mau melakukan perubahan, umat Islam khawatir kelak Anies setelah menjadi Presiden akan dikendalikan NasDem yang mempertahankan kebijakan politik anti Islam yang diwariskan oleh rezim Jokowi. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Pejuang Syariah & Khilafah

Jumat, 20 Januari 2023

Singgung HT1 dan FP1, Ketua FDMPB: Nasdem Bunuh Diri Politik?

Tinta Media - Apa yang dikatakan oleh Wasekjen NasDem Hermawi Taslim, bahwa organisasi terlarang seperti HT1 dan FP1 akan tetap terlarang jika Anies Baswedan terpilih menjadi presiden pada Pilpres 2024 sudah menjadi komitmen bersama, menurut Ketua Forum Muslim Peduli Bangsa(FDMPB) Dr. Ahmad Sastra, M.M. dinilai tengah melakukan bunuh diri politik.

“Wasekjen Nasdem tengah melakukan bunuh diri politik dengan ucapan itu,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (19/01/2023).

Hal ini, menurutnya, memungkinkan umat Islam yang tadinya mendukung Anies akan segera meninggalkan dukungannya, karena ucapan itu selain salah, juga memberikan konfirmasi bahwa Nasdem anti Islam. “Sementara selama ini Anies dianggap mewakili suara umat Islam,” jelasnya. 

Selain itu, ia melihat bahwa Wasekjen Nasdem tidak memahami konstitusi negeri ini terutama putusan Mahkamah Konstitusi No 82 tahun 2013. “Bahwa ormas yang dicabut badan hukumnya atau tak memiliki SKT, bukan berarti terlarang,” paparnya.

Jika ormas seperti FPI, tidak diperpanjang SKT, bukan berarti dilarang, hal ini ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 bahwa ormas tidaklah masalah tidak memiliki SKT atau berbadan hukum. “Kalau mau mengajukan ke kementerian hukum dan HAM agar ormas berbadan hukum atau bisa juga terdaftar di kementerian dalam negeri yang namanya SKT,” terangnya.  

Diungkapkannya FPI dulu melakukan yang kedua. Hal ini menegaskan bahwa FPI itu tidak terlarang, namun yang jadi persoalan adalah adanya ketidakadilan yang namanya SKB menteri yang membubarkan FPI. “Pembubaran ini lebih cenderung sebagai produk politik, dibandingkan dengan persoalan hukum,” ungkapnya.
 
“FPI sendiri dalam persidangan tidak terbukti melanggar hukum dalam putusan peradilan, terutama saat dikaitkan dengan terorisme,” ungkapnya lebih lanjut. 

Menurutnya, Front Pembela Islam sebagai ormas yang dipimpin HRS telah banyak berkiprah di negeri ini, baik kaitannya dengan dakwah membela kebenaran maupun berbagai kegiatan sosial, seperti tanggap bencana alam. FPI terbukti sangat dicintai oleh umat, bahkan umat agama lainnya. “Meski jarang diliput media, namun umat Islam di Indonesia melihat bahwa FPI adalah ormas yang memiliki andil besar di negeri ini,” paparnya.
 
Begitupun dengan HTI, ia menjelaskan setelah dicabut BHPnya, bukan lantas menjadi organisasi terlarang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi no 82 tahun 2013 tadi. “HTI adalah ormas legal yang sejak lama berdiri di Indonesia dan memiliki kiprah positif bagi kesadaran keislaman bangsa ini. Sebab HTI sama dengan ormas Islam lainnya merupakan organisasi dakwah yang mendakwahkan ajaran Islam dari A sampai Z,” jelasnya.

Namun, oleh pemerintah, HTI kemudian dipersoalkan hingga dicabut legalitas badan hukumnya dengan didasarkan oleh berbagai asumsi yang dikonstruk pemerintah tanpa melalui proses peradilan. “Namun bukan berarti HTI menjadi ormas terlarang setelah pencabutan BHP. Bahkan HTI itu terbukti tidak melanggar hukum. Pencabutan BHP HTI juga merupakan produk politik,” tegasnya. 

Menurutnya, HTI hanya dicabut Badan Hukum Perkumpulannya. FPI hanya ditolak penerbitan SKT-nya. Keduanya, hanya mendapat tindakan dari badan atau pejabat TUN (Tata Usaha Negara), berupa keputusan TUN (Beshicking). “HTI & FPI berbeda dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). HTI dan FPI mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, tidak seperti PKI yang menyebarkan paham Karl Marx,” jelasnya.

*Nasdem Mengidap Islamofobia?* 

Taslim menambahkan bahwa pelarangan HTI dan FPI adalah bagian dari perjuangan NasDem. Selain itu, Taslim mengatakan bahwa NasDem juga akan meneruskan program Presiden Jokowi yang dianggap baik. Menurut Dr. Ahmad Sastra, ucapan ini menunjukkan bahwa Nasdem telah menjadi salah satu partai yang mengidap islamopobia. “Sebab FPI dan HTI itu tidaklah berbahaya sama sekali bagi bangsa ini. Justru sebaliknya, FPI dan HTI telah memberikan konstribusi positif bagi negeri ini,” tuturnya.

Dijelaskannya bahwa HTI dengan dakwah pemikirannya, telah memberikan pencerahan tingkat tinggi bagi kesadaran politik umat Islam bahkan bangsa Indonesia pada umumnya. “HTI mencintai negeri ini dengan memberikan kesadaran bahwa negeri ini tengah dijajah oleh kapitalisme sekuler dibawah kendali oligarki yang menjadikan rakyat semakin miskin dan sengsara,” jelasnya. 

“Mengapa islamofobia semakin marak di negeri ini?” tanyanya kemudian.
 
Ia melihat di satu sisi pemerintah gencar berbicara soal toleransi antar umat beragama, namun disisi lain justru penghinaan atas Islam ini semakin marak dan menggila. Lebih ironis lagi seringkali pelakunya adalah orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Misal gerombolan buzzeRp yang justru sengaja melakukan berbagai tindakan dan ucapan yang mengarah kepada ujaran kebencian, pecah belah bangsa, intoleransi dan penistaan atas Islam dan ajarannya. 
“Namun, sayangnya mereka seolah kebal terhadap hukum. mereka terus melenggang tanpa ada sentuhan hukum, meski telah dilaporkan ke pihak kepolisian,” sesalnya. 

Paradoks kedua menurutnya adalah di saat dunia Barat telah menyatakan anti Islamophobia yang oleh PBB telah dinyatakan dengan tegas bulan Maret 2022, namun ironisnya di negeri ini seolah baru mulai dan semakin meninggi tensinya. Padahal negeri ini adalah negeri mayoritas muslim, namun Islam dan ajarannya selalu dianggap sebagai masalah. “Umat Islam yang mencoba menjalankan agamanya dengan kaffah justru dituduh dengan berbagai tuduhan yang menyakitkan seperti radikal, fundamnetalis dan bahkan teroris. Sangat menyedihkan memang,” ungkapnya. 

Diterangkannya secara genealogis, islamofobia memang berawal dari dunia Barat yang memang anti Islam, lantas menjalar sampai negeri-negeri pembebeknya, seperti Indonesia. Islamophobia bisa dikatakan sebagai kejahatan politik Barat dikarenakan permusuhan kepada Islam disatu sisi, dan disisi lain, umat Islam juga tengah mengalami kebangkitan dimana-mana. Narasi Islamophobia itu muncul di Barat yang nyata-nyata anti kepada Islam. Berbagai tindakan Barat yang anti Islam terus dilakukan melalui berbagai strategi. Narasi Islam moderat atau moderasi agama justru dibuat sebagai pertanda bahwa Barat anti Islam. Islam anti Islam karena melihat gejala kebangkitan Islam dimana-mana. “Program moderasi beragama disetting Barat sebagai upaya untuk menghadang kebangkitan Islam,” terangnya. 

Faktanya, ia melihat dunia Barat tidak menginginkan kebangkitan Islam dengan cara selalu memojokkan Islam dan menfitnah Islam. Indonesia sendiri sebagai negara bukan utama seringkali mengikuti narasi yang dibangun oleh negara adi daya. “Alhasil, Indonesia meski mayoritas muslim, namun ajaran Islam selalu diframing berbahaya bagi bangsa ini, bahkan para ulama banyak yang dikriminalisasi,” jelasnya.

Narasi islamofobia itu dikatakannya lahir dari ideologi sekulerisme. Negara-negara yang menerapkan sistem sekulerisme selalu menempatkan Islam sebagai halangan dan ancaman. “Itulah mengapa, kebijakan rezim jokowi periode kedua dengan tegas mengusung program utama deradikalisasi,” paparnya.

*Sikap Umat Islam*

Dr. Ahmad Sastra mengingatkan, umat Islam harus semakin yakin bahwa ideologi kapitalisme sekuler dengan politik demokrasi terbukti menolak Islam. Secara filosofis, demokrasi berpaham antroposentrisme dimana manusia dijadikan sebagai sumber segalanya. Istilah manusia sebagai pusat edar kehidupan berasal dari ungkapan Plato. Dengan pemahaman sederhana, bahwa demokrasi menjadikan manusia sebagai sumber kebenaran. “Dengan arti lain, sejak awal lahir, demokrasi adalah ideologi anti tuhan, anti agama dan anti Islam,” jelasnya. 

Bahkan menurutnya demokrasi juga berpaham antropomorpisme dimana manusia berdaulat atas penyusunan hukum dan perundang-undangan. Melalui model trias politica, maka demokrasi menyumberkan konstruksi hukum dan undang-undangnya disusun oleh manusia juga. “Kedaulatan hukum ada di tangan manusia dan mengabaikan hukum-hukum Allah adalah perkara aqidah bagi seorang muslim. Sebab aqidah seorang muslim adalah keterikatan dirinya dengan hukum Allah,” terangnya.

Jadi ia katakan bahwa ucapan Wasekjen Nasdem ada hikmah dan pelajaran bagi umat Islam mayoritas di negeri ini untuk menolak demokrasi dan istiqomah tetap memperjuangkan Islam di negeri ini untuk agar negeri ini semakin menjadi lebih baik. “Sebab Indonesia adalah milik Allah dan hanya hukum Allah yang paling layak mengatur negeri ini," pungkasnya.[] Raras

Kamis, 19 Januari 2023

Advokat: Sikap Politik NasDem Cederai Umat Islam dan Khianati Komitmen Perubahan

Tinta Media - Pernyataan sikap politik Wasekjen NasDem, Hermawi Taslim yang menyebut bahwa FP1-HT1 tetap menjadi organisasi terlarang walaupun Anies menjadi Presiden, dinilai Advokat Ahmad Khozinudin telah mencederai umat Islam. "Sikap politik NasDem ini telah mencederai umat Islam sekaligus khianat pada komitmen akan perubahan," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (17/1/2023). 

Ia pun menyatakan bahwa NasDem telah merusak kohesi sosial dan ikatan kesatuan pandangan politik umat Islam. "Yang sebelumnya mendukung NasDem dan mengusung Anies Baswedan," imbuhnya.

Khozinudin pun menguraikan tiga hal penyebab kerusakan tersebut.

Pertama, HTI dan FPI adalah ormas Islam, bagian dari umat Islam. "HTI dan FPI selama ini telah ada, dan selalu membersamai umat Islam dalam setiap aktivitas dakwahnya, baik yang berkaitan dengan dakwah amar ma'ruf nahi munkar, maupun aktivitas sosial ditengah-tengah umat," jelasnya.

Komitmen yang memastikan HTI dan FPI terlarang, lanjutnya, jelas sangat menyakiti hati umat Islam karena semua juga paham HTI dan FPI adalah korban kezaliman rezim Jokowi. "Tidak ada satu pun kesalahan HTI maupun FPI. Justru rezim lah yang telah bertindak zalim pada HTI dan FPI," tegasnya.

Kedua, menyebut HTI dan FPI terlarang adalah penyesatan politik yang sangat jahat. "Karena tidak ada satupun dasar hukum maupun putusan pengadilan yang menyatakan HTI dan/atau FPI terlarang," tambahnya.

Ia menguraikan bahwa bisa juga hal ini mengkonfirmasi kebodohan Nasdem yang tidak paham nomenklatur hukum. "Kasihan, jika politisi bodoh terus memimpin negeri ini," sesalnya.

Khozinudin menjelaskan bahwa HTI hanya dicabut BHP-nya. FPI hanya tidak diterbitkan SKT-nya. "Tidak ada satupun putusan pengadilan yang menyatakan HTI dan/atau FPI terlarang," tandasnya.

Ketiga, bahwa semangat perubahan yang digaungkan Nasdem menjadi tidak bernilai, karena NasDem malah mempertahankan legacy kezaliman Jokowi. "Mencabut BHP HTI dan tidak menerbitkan SKT FPI tanpa kesalahan adalah kezaliman, dan malah akan terus dipertahankan," ungkapnya.

"Bahkan, lebih jauh NasDem memberikan garansi akan tetap mempertahankan keputusan zalim Jokowi. Dimana letak mau berubahnya?" tanyanya heran.

Khozinudin pun mengutip komentar Aziz Yanuar, yang mengatakan "Bagaimana mau merestorasi Indonesia jika mentalnya masih seperti inlander begitu sesama anak bangsa?". "Ya, jargon restorasi NasDem menjadi hanya basa-basi karena faktanya NasDem inlander, masih terus berada dibawah ketiak Jokowi," bebernya.

Ia menyayangkan bahwa sikap NasDem ini tentu saja membuat umat Islam khawatir, ketika mau memilih Anies Baswedan sebagai Capres. Alih-alih mau melakukan perubahan. "Umat Islam khawatir kelak Anies setelah menjadi Presiden akan dikendalikan NasDem yang mempertahankan kebijakan politik anti Islam, yang diwariskan oleh rezim Jokowi," pungkasnya.[] Nita Savitri
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab