Tinta Media: Narasi
Tampilkan postingan dengan label Narasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Narasi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 03 Februari 2024

Apakah Narasi Khilafah Benar-Benar Ancaman?


Tinta Media - Istilah khilafah diartikan sebagai sistem kepemimpinan umum bagi seluruh umat yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum Islam dan menyampaikan dakwah Islam ke seluruh alam. Pemimpinnya disebut khalifah yang bermakna pengganti nabi dalam melanjutkan kepemimpinannya terhadap umat.

Sistem pemerintahan ini bisa dianggap sebagai khilafah ketika di dalamnya menerapkan aturan-aturan Islam selaku ideologi atau cara pandang hidup yang berasaskan Islam dari akar hingga ke daun. Sistem ini meneladani bagaimana cara kepemimpinan Nabi Muhammad beserta Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan roda pemerintahan. 

Meskipun berbeda penguasa, tetapi sistem yang dijalankan tetap berpegang pada prinsip Islam yang menyatukan umat di seluruh belahan dunia, utamanya umat muslim. Namun, tidak menutup kemungkinan, penerapan sistem ini memberikan peluang bercampurnya masyarakat non-Islam.

Ini menjelaskan bahwa kehadirannya bukanlah sebuah problem, apalagi menjadi sebuah ancaman, karena keberadaan sistem Islam bertujuan untuk menyatukan umat, tanpa ada perbedaan serta mampu memberikan solusi problematika hidup yang terjadi di tengah gempuran hidup saat ini. Hal ini karena sistem Islam tidak berasal dari manusia. Nabi Muhammad adalah pelaksana pertama penerapan sistem Islam dalam tatanan kenegaraan.

Nyatanya, sistem Islam jelas terikat pada Allah dan bersumber dari-Nya sehingga menihilkan sangkaan bahwa sistem ini bersifat lemah.

Berbeda memang ketika sistem yang digunakan merupakan sistem yang dibentuk oleh manusia, yang didasari oleh rasa tak pernah puas. Maka, jelaslah bahwa kehidupan yang diatur oleh sistem buatan manusia ini akan berpihak kepada orang-orang yang memiliki kepentingan di dalamnya, sehingga menihilkan harapan keadilan, kesejahteraan, dan juga perdamaian.

Namun, dalam kabar yang disampaikan oleh Beritasatu.com dinyatakan bahwa ada bentuk seruan oleh Muhammad Iqbal Ahnaf dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, yang mengingatkan bahwa pemerintah dan masyarakat harus mewaspadai narasi-narasi kebangkitan khilafah. Narasi ini dianggap memanfaatkan momentum yang  bertepatan dengan 100 tahun runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah.

Ketakutan ini menunjukkan bahwa umat masih diombang-ambingkan oleh narasi-narasi kebencian, fobia dan sangkaan yang berlebihan terhadap sistem Islam, sehingga mereka mengambil kesimpulan sendiri tanpa mendalami historis serta seruan-seruan wajib yang dikabarkan Allah kepada umatnya.

Memang benar, keberadaan sistem Islam bagaikan utopia karena belum pernah dirasakan oleh umat sekarang ini. Namun, fakta keberadaannya di dalam sejarah yang mampu merombak peradaban buruk menjadi gemilang tak akan mungkin dimungkiri. 

Elon Musk berkata, "Ketika Roma runtuh, Islam bangkit. Anda memiliki kekhalifahan yang baik, sedangkan Roma buruk. Itu akhirnya menjadi sumber pelestarian pengetahuan dan banyak kemajuan ilmiah.”

Pernyataan ini menjadi gambaran bahwa keberadaan sistem Islam, yakni khilafah bukanlah ancaman, tetapi berkah. Keberadaannya telah dikabarkan dalam sebuah hadis. 

"Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw. diam.” (HR Ahmad; Shahih).

Bagaimana bisa, orang yang menyandang sebagai non-Islam saja yakin terkait gambaran kebaikan yang dibawa kekhilafahan, sedangkan kita yang mengaku sebagai muslim malah tidak yakin dan cenderung fobia dengan istilah-istilah keislaman? Wallahua'lam.


Oleh: Erna Nuri Widiastuti S.Pd 
(Aktivis Muslimah)

Senin, 29 Januari 2024

Benarkah Narasi Khilafah Perlu Diwaspadai?


Tinta Media - Sejarah panjang Khilafah Islam penuh dengan kesejahteraan dan keadilan bagi umat manusia. Untuk itu, umat harus berjuang mewujudkan kesejahteraan dan keadilan serta keamanan bagi manusia bersama partai ideologi yang ingin melangsungkan kembali kehidupan Islam melalui tegaknya Khilafah. Melihat jejak rekam lamanya sejarah Khilafah yang telah menguasai dunia selama 13 abad. Yaitu, Khilafah sebagai pemerintahan Islam, yang dipimpin oleh seorang Khalifah wajib adanya. Karena, sistem Khilafah diambil dari Wahyu Allah SWT, dan dalil-dalilnya sudah cukup jelas. 

Allah telah berfirman, Rasulullah bersabda:
"Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian Wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu. (TQS. Al Maidah {5} : 49). 

Rasulullah bersabda: 

"Sesungguhnya Imam/Kholifah itu laksana perisai,  tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. (HR. Muslim) 

Maka dari itu, saat ini menegakkan Khilafah menjadi mahkota kewajiban bagi kaum Muslim, untuk diperjuangkan. Khilafah tidak boleh dianggap sebagai ancaman, sebab Khilafah sudah membuktikan pada dunia bahwa umat dalam naungan Khilafah kesejahteraan dan keamanannya terjamin. Berbeda dengan hari ini yang justru tampak kerusakan nyata di berbagai bidang dengan penerapan Kapitalisme - Sekularisme.

Pemikiran sesat terus diaruskan oleh musuh Islam ke tengah-tengah masyarakat untuk mencegah kebangkitan Islam, bahkan mereka mewanti-wanti masyarakat dan pemerintah untuk mewaspadai narasi-narasi kebangkitan Khilafah dan ini muncul menjelang 100 tahun runtuhnya kekhilafahan Utsmaniyah, termasuk menyatakan ada ancaman ideologi transnasional, mengingat pada 2024 bertepatan dengan 100 tahun runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. 

Oleh: Reni Tresnawati
Sahabat Tinta Media

Senin, 30 Januari 2023

Inilah Dampak Ketika Negara Membangun Narasi Kebohongan Bahaya Radikal

Tinta Media - Ketika negara membangun sebuah narasi kebohongan akan bahaya radikal maka narasi tersebut, menurut Ketua LBH Pelita Umat sekaligus Mahasiswa Doktoral Chandra Purna Irawan, S.H, M.H. akan menimbulkan dampak kebencian, diskrimasi, dan prasangka (prejudice) yang dapat membawa seseorang berbuat kriminal (hate crime).

“Narasi kebohongan akan bahaya radikal yang dibangun negara akan menimbulkan dampak kebencian, diskrimasi, dan prasangka (prejudice) yang dapat membawa seseorang berbuat kriminal (hate crime),” tuturnya kepada Tintamedia.web.id, Jumat (27/1/2023).  
  
Narasi kebohongan akan bahaya radikal yang dimaksud adalah narasi kebohongan tentang ajaran Tuhan, yang menurut Chandra dinarasikan seolah-olah sebuah ideologi atau faham. Sementara di sisi lain negara mengadopsi ideologi atau paham kapitalisme.

Chandra mempertanyakan bagaimana mungkin negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, mengkriminalkan dan membangun narasi kebohongan terhadap ajaran Tuhan Yang Mahas Esa. “Ajaran Tuhan dituduh sebagai ideologi dan faham, kemudian pengikut Tuhan dikriminalisasi dengan tuduhan bertentangan dengan ideologi negara. Saya jadi teringat pada tokoh yang menyatakan negeri ini tidak maju karena Tuhan tidak ditakuti. Tantangan kita adalah bagaimana Tuhan ditakuti,” pungkasnya.[] Erlina 

Inilah Dampak Ketika Negara Membangun Narasi Kebohongan Bahaya Radikal

Tinta Media - Ketika negara membangun sebuah narasi kebohongan akan bahaya radikal maka narasi tersebut, menurut Ketua LBH Pelita Umat sekaligus Mahasiswa Doktoral Chandra Purna Irawan, S.H, M.H. akan menimbulkan dampak kebencian, diskrimasi, dan prasangka (prejudice) yang dapat membawa seseorang berbuat kriminal (hate crime).

“Narasi kebohongan akan bahaya radikal yang dibangun negara akan menimbulkan dampak kebencian, diskrimasi, dan prasangka (prejudice) yang dapat membawa seseorang berbuat kriminal (hate crime),” tuturnya kepada Tintamedia.web.id, Jumat (27/1/2023).  
  
Narasi kebohongan akan bahaya radikal yang dimaksud adalah narasi kebohongan tentang ajaran Tuhan, yang menurut Chandra dinarasikan seolah-olah sebuah ideologi atau faham. Sementara di sisi lain negara mengadopsi ideologi atau paham kapitalisme.

Chandra mempertanyakan bagaimana mungkin negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, mengkriminalkan dan membangun narasi kebohongan terhadap ajaran Tuhan Yang Mahas Esa. “Ajaran Tuhan dituduh sebagai ideologi dan faham, kemudian pengikut Tuhan dikriminalisasi dengan tuduhan bertentangan dengan ideologi negara. Saya jadi teringat pada tokoh yang menyatakan negeri ini tidak maju karena Tuhan tidak ditakuti. Tantangan kita adalah bagaimana Tuhan ditakuti,” pungkasnya.[] Erlina 

Sabtu, 31 Desember 2022

HENTIKAN NARASI PECAH BELAH, LEGAL OPINI ATAS PERNYATAAN YANG DISAMPAIKAN OLEH KH. DR. SAID AQIL SHIRAJ

Tinta Media - Beredar video di media sosial terkait pernyataan tokoh agama, dalam video tersebut tampak seperti KH. DR.Said Aqil Shiraj (Ketua LPOI), isi kutipannya pada pokoknya sebagai berikut:

"...Saya ingin mohon kepada Bapak Boy BNPT, agar BNPT mengusulkan pada pemerintah, agar pemerintah secara resmi melarang aliran Wahabi, Salafi, Khilafah HTI. Walaupun HTI secara resmi telah dicabut izinnya, tapi rekrutmen simpatisan masih berjalan pak. Buktinya tahu tahu ada bom di Bandung yang kita tidak sangka-sangka meledak ada bom. Oleh karena itu mohon kemudian Pak, BNPT mohon kepada Jokowi agar melakukan Inpres sebagai payung FKPT FKPT yang ada di daerah, gugus tugas yang ada di daerah, bukan hanya dipusat, bukan hanya di elit, tapi bagaimana di Kabupaten, Kota bahkan hingga sampai ke daerah daerah, ini butuh payung apa namanya, Inpres dari Presiden ..."

Berkaitan dengan hal tersebut diatas saya memberikan pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:

PERTAMA, bahwa sepatutnya kita semua, terlebih sebagai tokoh umat, mengendalikan diri untuk tidak melakukan atau menebarkan atau mendorong narasi pecah belah (indelingsbelust) melalui isu Wahabi dan Salafi. Narasi pecah belah ini sangat berbahaya, dikhawatirkan mendorong terjadinya konflik sosial diakar rumput, dan akan menjadi legitimasi bagi kelompok tertentu untuk melakukan tindakan persekusi terhadap individu dan kelompok lain;

KEDUA, bahwa saya mendesak Pemerintah untuk tidak menerbitkan regulasi apapun dalam bentuk peraturan perundang-undangan ataupun Inpres yang materiilnya mengandung narasi pecah belah atau pengkotak-kotakan yang semuanya dilakukan oleh dan menurut persepsi pemegang kekuasaan negara. Apabila ini terjadi hukum akan menjadi alat kekuasaan, yang berpotensi menggeser negara hukum menjadi negara kekuasaan yang mensponsori tindakan kekerasan;

KETIGA, bahwa sangat disayangkan jika tokoh agama mempersoalkan ajaran Islam yaitu Khilafah. Kalaupun ada perbedaan pendapat terkait Khilafah, kita mesti dewasa dalam menyikapi perbedaan itu. Mendorong untuk melakukan persekusi dan kriminalisasi atas perbedaan tersebut sangatlah tidak arif dan bijaksana;

Demikian.
IG @chandrapurnairawan

Kamis, 27 Oktober 2022

Narasi Mengancam, Buktikan Saja di Pengadilan

Tinta Media - Semua orang harusnya menghormati keputusan hukum dalam pengadilan yang adil, bukan hasil rekayasa penguasa. Hukum harus ditegakkan untuk semua orang, termasuk mereka yang berlindung di balik kekuasaan. Penguasa harusnya memberikan kebebasan pada rakyat untuk menyuarakan kebenaran, bukan menekan dan mengancam mereka yang berani menggugat di depan pengadilan. 

Merupakan kemunduran dalam persepektif hukum jika penguasa mengancam, bahkan menangkap rakyat yang berani menggugat kesalahan penguasa. Tidak usah panik atau tergesa-gesa menangkap siapa saja yang dianggap mengancam, karena bisa jadi kritikan dan masukan memang diperlukan untuk perbaikan. Bisa jadi, gugatan dari rakyat merupakan bentuk cinta pada pemimpinnya agar tidak tergelincir pada kesalahan yang membawanya pada kehancuran dan kehinaan.

Siapa yang paling memungkinkan berbuat zalim pada rakyat biasa? Lalu, untuk apa takut dengan gugatan rakyat, jika memang merasa benar?

Semua bisa dibuktikan di depan pengadilan yang bersih dari intervensi penguasa. Datang untuk menghadiri panggilan dan menunjukkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah, serta mendatangkan saksi yang meyakinkan adalah sikap terhormat dari seorang pemimpin, daripada mengumbar narasi-narasi mengecam dan mengancam di sosial media yang tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali.

Untuk apa sibuk membuat podcast yang membantah suara miring atau tuduhan kepadanya? Itu hanya membuat kegaduhan dan menghabiskan energi yang tidak berarti. Kalau memang merasa benar, untuk apa harus membayar buzzer guna mengintimidasi rakyat yang berani menyuarakan kebenaran? 

Sebagai pejabat publik, harusnya penguasa siap dikritik dan dituntut di pengadilan, jika memang dianggap salah. Pemimpin punya hak dan kewajiban yang sama dengan rakyat biasa di depan hukum. 

Kita teringat dengan keadilan hukum pada sistem Islam melalui kasus baju besi Khalifah Ali bin Abi Thalib. Beliau menemukan baju besinya di tangan seorang Yahudi yang menemukannya dan Ali lalu mengetahuinya.

Ali pun berkata, "Baju besiku jatuh dari untaku yang bernama Auraq (yang berwarna abu-abu)’. Si Yahudi berkata, ‘Ini baju besiku dan ada di tanganku’. Lalu si Yahudi berkata kepada Ali, ‘Kita bawa perkara ini kehadapan seorang hakim kaum muslimin!”

Meskipun seorang pemimpin nomor satu di suatu negara dan yakin bahwa tuduhannya benar, beliau tidak keberatan kasusnya dibawa  ke pengadilan. Beliau sangat menghargai keputusan hukum, meskipun lawannya adalah rakyat biasa. Beliau juga tidak marah atau memaksa hakim untuk memenangkan perkaranya, meskipun yakin bahwa baju besi itu miliknya. 

Tidak ada narasi mengancam di luar pengadilan pada siapa saja yang berani menyerang beliau. Khalifah Ali juga tidak marah saat hakim memutuskan untuk memenangkan rakyat biasa dengan menyatakan bahwa baju besi itu milik seorang Yahudi. 

Pemimpin besar sangat menghormati keputusan hukum, bukan membuat narasi mengancam agar rakyat bungkam dan tidak berani menyampaikan aspirasinya.

Sungguh, seorang pemimpin harus menjadi teladan bagi dan harus menghormati keputusan pengadilan. Meskipun punya kekuasaan luar biasa dan bisa mengintervensi keputusan hukum, pemimpin yang adil tidak boleh semena-mena menggunakan kekuasaannya agar bisa memenangkan perkaranya. 

Pengadilan harusnya juga terbuka sehingga rakyat bisa secara langsung menilai jalannya peradilan, apakah adil atau hanya skenario dan direkayasa untuk memenangkan penguasa. 

Kegaduhan di sosial media harus segera dihentikan. Narasi mengancam tidak boleh ada untuk membungkam siapa saja yang ingin menyuarakan aspirasinya yang dianggap benar.

Namun, begitulah kebanyakan pemimpin dalam sistem demokrasi. Mereka tidak mampu bersikap adil dengan kekuasaannya. Demokrasi hanya menciptakan pemimpin culas, pembohong, bermuka manis, tetapi menyimpan kebusukan.  mudah mengobral janji untuk mendapatkan simpati dan dukungan rakyat yang ujung-ujungnya untuk kekuasaan. 

Bahkan, seorang yang alim dan saleh akan kehilangan idealismenya saat berpolitik dalam sistem demokrasi karena kekuasaan menjadi tujuannya.   Tujuannya bukan untuk mengurusi rakyat, tetapi menggapai dan mempertahankan kekuasaan agar tetap dalam genggaman. 
Dalam sistem demokrasi, pemimpin bisa membuat hukum dan memainkan sesuai dengan kepentingan.  

Pemimpin yang baik harus bisa menjadi teladan dengan memberikan rasa aman, bukan narasi mengancam yang disebar melalui buzzer bayaran. Ingatlah, rakyat yang membayar dan jangan gunakan uang untuk memusuhi rakyat sendiri. 

Saatnya kita mengganti sistem kapitalisme demokrasi dengan Islam. Seorang pemimpin harus bersikap peduli agar rakyat merasa aman dan sejahtera. Sumber daya alam yang penting untuk memenuhi hajat hidup orang banyak tidak boleh dikuasai swasta. 

Negara tidak memberi jalan oligarki untuk menguasai negeri ini ketika Islam diterapkan secara kaffah. Keadilan hukum bisa dirasakan semua orang, baik rakyat biasa maupun penguasa. 

Pemimpin tidak memusuhi rakyat dengan menebar narasi mengancam dan menangkap siapa saja yang dianggap ancaman, tanpa proses pengadilan. Yang paling penting, akyat cinta pada pemimpin yang peduli dan mengurusi kepentingan mereka.

Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media

Kamis, 24 Maret 2022

Bahaya Moderat di Balik Narasi Kearifan Lokal

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1jtZwgSwhq-DocvZmIzvAqQnuGd6GqbHE

Tinta Media - Memang benar, penduduk Indonesia hingga kini masih kental dengan aliran kepercayaan atau animisme. Pemerintah bahkan melegalisasi animisme tersebut dan menjadikannya bagian dari keberagaman adat dan budaya di Indonesia. Keterlibatan pemerintah tersebut menjadikan rakyat Indonesia yang masih berpegang pada kepercayaan aninisme sulit untuk dipisahkan dari kepercayaan tersebut.

Hal tersebut menjadi kontras dengan realita Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Islam datang dan berkembang di Indonesia sejatinya untuk memberantas kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang sesat tersebut. Logikanya, banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang telah memeluk Islam seharusnya menjadikan paham animisme tak lagi berkembang dan tumbuh subur.

Namun, realitasnya tidaklah demikian, terlebih setelah pemerintah sendiri sebagai pengurus rakyat mencontohkan animisme tersebut. Ritual klenik dipertontonkan secara nyata. Kesyirikan dilakukan oleh pemimpin di negara yang katanya bercita-cita menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.

Praktik klenik kendi atas ritual yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo beserta 34 gubernur se-Indonesia di lokasi Ibu Kota Negara (IKN), Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur adalah salah satunya. Ritual yang disebut sebagai titik nol IKN Nusantara tersebut diisi dengan ritual menyatukan air dan tanah yang dibawa oleh para gubernur dari wilayahnya masing-masing ke dalam kendi. Ritual tersebut kemudian dinamakan ritual Kendi Nusantara.

Apa yang dilakukan oleh Jokowi tersebut mengundang banyak komentar dari khalayak. Pengamat Politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun misalnya memberi komentar sebagaimana dilansir Kompas.com (14/3). Ubedilah mengatakan bahwa praktik Kendi Nusantara tersebut merupakan sesuatu yang mengada-ada, tetapi diyakini sebagai sebuah hal yang mengandung pesan mistis.

Selain mengada-ada, klaim bahwa praktik klenik tersebut merupakan prosesi adat yang mengandung makna filosofis untuk mengenang selalu asal-muasal nenek moyang dan mempertahankan kearifan leluhur adalah sangat tidak masuk akal.

Sebab, jika yang dimaksud nenek moyang manusia adalah Nabi Adam alaihi salam, semua sumber literatur sepakat bahwa Nabi Adam tidak ada kaitannya dengan praktik klenik, juga tidak pernah mengajarkan ritual mistis seperti itu. Nabi Adam justru mengesakan Allah Swt. dan beribadah serta berdoa hanya kepada Allah Swt, tidak mempersekutukan Allah Swt. dengan sesuatu apa pun.

Jika yang dimaksud adalah warisan pendahulu Indonesia sebelum datangnya ajaran Islam, seharusnya cahaya Islam yang telah menerangi rakyat Indonesia me-nasakh (menghapus) praktik syirik yang diharamkan dalam Islam. Sebab, ajaran Islam mengharuskan pemeluknya yaitu kaum muslimin untuk menyembah hanya kepada Allah dan wajib meninggalkan segala macam aliran kepercayaan yang mempersekutukan Allah.

Belumlah hilang dari benak kaum muslimin atas praktik kesyirikan yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, muncul lagi praktik perdukunan lainnya yang lagi-lagi diinisiasi oleh pemerintah, bahkan viral ke mancanegara. Deorang wanita bernama Rara Istiati ditunjuk menjadi pawang hujan di Sirkuit Mandalika pada Minggu (20/3) berdasarkan usulan dari Menteri BUMN Erick Thohir. Dengan penuh keyakinan, pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara MotoGP Mandalika 2022 mempercayakan kepada Rara Istiati untuk mengendalikan hujan agar tak mengguyur Mandalika selama pertandingan berlangsung.

Lagi-lagi hal itu disebut sebagai bagian dari kearifan lokal. Hal tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKB, Maman Imanulhaq pada laman Detiknews.com (21/3)

Lucu memang, di era perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang canggih seperti saat ini, negeri yang katanya turut mengikuti perkembangan industri 5.0 masih mempercayai hal-hal yang tak masuk akal seperti itu.

Wajar jika tingkah si pawang hujan yang sempat menjadi bahan tertawaan pembalap asal luar negeri juga membuat Koordinator Laboratorium Pengelolaan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Budi Harsoyo juga ikut tergelitik. Dikutip dari Detiknews.com (21/3), Budi Harsoyo menjelaskan secara ilmiah bahwa sejak tanggal 18-20 Maret 2022, kaidah saintifik TMC sudah diminta untuk dioperasikan di Sirkuit Mandalika, yakni dengan melakukan penyemaian awan, di mana TMC melepaskan bahan semai awan dari unsur kimia yang mampu menjatuhkan hujan di seluruh area sirkuit. Sehingga, sebelum awan-awan hujan mendekat, TMC mencegat dan menjatuhkan hujannya di luar Mandalika.

Bisa disimpulkan bahwa pemerintah di lain sisi telah menggunakan teknologi yang secara ilmiah dapat melakukan pengalihan gerak awan. Dari sini muncul pertanyaan, lantas apa tujuan pemerintah menghadirkan sosok pawang hujan, bahkan aksinya seolah sengaja disorot kamera media?

Tak lain dan tak bukan, langkah pemerintah mulai dari menampilkan ritual kendi, bahkan menghadirkan sosok pawang hujan yang hanya menjadi sebatas gimmick adalah untuk melanggengkan paham moderat. Indonesia menjadi salah satu negeri muslim yang menjadikan isu moderasi beragama sebagai salah satu isu yang di back up oleh kekuatan politik.

Bukan tanpa tujuan, moderasi yang kian massif dipropagandakan melalui tangan-tangan penguasa menunjukkan dukungan penguasa negeri tersebut untuk menjalankan agenda negara-negara Barat untuk menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam yang kaffah.

Penting kiranya umat Islam memahami bahwa negara Barat, dalam hal ini Amerika Serikat (AS) telah menjadikan Islam sebagai musuhnya kini. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Samuel Huntington dalam buku berjudul Who Are We? The Challenges to America’s National Identity, 2004 yang berhasil meyakinkan George Bush dan pemimpin Barat lainnya bahwa Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama Amerika.

Dalam proposal Rand Corporation juga tercantum rencana busuk AS untuk menghancurkan Islam dengan cara mengotak-kotakkan umat Islam menjadi Islam tradisional, Islam moderat dan liberal, serta Islam fundamental dan radikal.

Indonesia menjadi salah satu negara yang diarahkan oleh AS untuk memelihara Islam Tradisional dan mengokohkan kekuatan Islam Moderat dan Liberal. Lantas, Islam Fundamental dan Radikal dibidik dan dibuatkan skenario fitnah keji. Kelompok Islam radikal lantas diletakkan di barisan ‘penjahat’ yang layak untuk dibenci dan dimusuhi, bahkan dihantam dengan kekuatan undang-undang dan militer.

Nahdatul Ulama (NU) lantas dipilih sebagai Ormas Islam terbesar dan tertua sebagai laskar pejuang untuk memerangi kelompok Islam yang dicap radikalisme. Said Aqil Siradj, saat masih menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di tahun 2021 mengatakan bahwa NU dilahirkan oleh KH Hasyim Asy’ari dengan prinsip Islam moderat dan toleran. NU anti radikalisme, anti ekstrimisme apalagi terorisme. (AntaraNews.com, 20/8/2021)

Praktik klenik dan perdukunan yang dibalut indah atas nama kearifan lokal sejatinya adalah paham moderat. Sebab, paham moderat mengarahkan agar umat Islam tetap mengakui dan bersikap toleran atas perbedaan agama, termasuk mau untuk tetap menjalankan ajaran  animisme sebagai bagian dari pemeliharaan adat istiadat yang ada di negeri ini.

Pemerintahan di bawah kepemimpinan Jokowi membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang mengemban Islam moderat. Padahal, paham moderat ini sangat berbahaya bagi akidah umat Islam. Bukannya melindungi akidah umat dari paham-paham menyesatkan, pemerintah justru memberi contoh praktik ritual yang menggerus akidah umat Islam di negeri ini.

Telah sangat jelas dalam Islam, bahwa perbuatan syirik adalah dosa besar yang tidak akan mendapat ampunan dari Allah kecuali dengan bertaubat dan meninggalkan aktivitas kesyirikan tersebut.

Allah Swt. berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik). Dan Dia mengampuni (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Ia kehendaki. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (AQ An-Nisa: 48)

Bisa dibayangkan rusaknya akidah umat jika paham moderat tersebut dibiarkan tetap ada dan umat dicekoki dengan paham sesat itu. Seharusnya, seorang pemimpin berkewajiban menjaga dan melindungi akidah umat, bukan justru mengambil peran menyebarkan paham moderat dan terlibat dalam mengobok-obok keimanan umat.

Namun, demikianlah wajah penguasa dalam sistem pemerintahan demokrasi. Demokrasi tegak di atas asas sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan, politik, hingga negara. Jangankan bisa menjadi wadah bagi tegaknya syariat Islam kaffah, demokrasi bahkan akan menghantam segala upaya untuk menegakkan Islam kaffah. Sebab demikianlah adanya, demokrasi sebagai produk pemerintahan negara Barat dijadikan alat untuk menghalangi kebangkitan Islam dan kaum muslimin.

Melihat realita di atas, sudah seharusnya umat Islam menyadari racun mematikan di balik paham moderat, sekaligus memahami bahwa demokrasi takkan pernah bisa melindungi keimanan mereka.

Hanya khilafah sajalah satu-satunya sistem pemerintahan yang berasaskan akidah Islam sehingga penjagaan terhadap akidah umat akan dilakukan. Segala pemikiran, aliran, paham, dan keyakinan yang mengancam akidah umat tidak akan dibiarkan masuk ke dalam benak kaum muslimin. Sebaliknya, penguatan akidah akan terus dilakukan melalui penyenggaraan pendidikan berbasis akidah Islam di segala jenjang. Sebab, tujuan dari khilafah adalah mewujudkan masyarakat yang taat kepada Allah Swt. secara totalitas serta tersebarnya cahaya Islam ke seluruh penjuru dunia.

Oleh: Suriani, S.Pd.I
Pemerhati Kebijakan Publik
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab