Tinta Media: Munzirul Qoum
Tampilkan postingan dengan label Munzirul Qoum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Munzirul Qoum. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 Januari 2023

PARADIGMA TAFAQQUH FIDDIN DAN MUNZIRUL QOUM DAN IMPLEMENTASINYA DI PESANTREN

Tinta Media - Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (QS At Taubah : 122)

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.(QS Al Ghasyiyah : 17-21)

Dua ayat di atas menunjukkan dua perkara sangat penting dalam Islam, yakni tradisi ilmu dan spirit dakwah amar ma’ruh nahi munkar. Tujuan mendalami ilmu-ilmu agama dan tidak ikut serta berperang adalah agar dengan aktivitas tafaqquh fiddin dapat mengetahui apa yang terbaru dari hukum-hukum agama Allah dan wahyu yang diturunkan pada rasulNya, agar mereka nanti memperingatkan kaum mereka dengan ilmu yang mereka pelajari tatkala mereka kembali kepada kaumnya itu. Dengan demikian tuntutan Islam dalam ayat ini bukan sebatas untuk menjadi ulama, ilmuwan, namun umat Islam juga harus menjadi seorang pendakwah.

Mereka yang tidak ikut berjihad, tugasnya menemani Rasulullah SAW dan memperdalam ilmu agama melalui ayat-ayat Al-Qur`ān dan ketentuan-ketentuan hukum syariat yang mereka dengar dari Rasulullah SAW, kemudian mereka bisa mengajarkan ilmu yang telah mereka pelajari kepada kaum mereka setelah kembali ke rumah mereka, agar mereka dapat menghindari azab dan hukuman Allah dengan cara menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Tidak sebagaimana dahulu pada zaman keemasan Islam, tradisi ilmu umat Islam begitu kuat dan mendunia. Para ulama mazhab dan ilmuwan sains memiliki taraf berpikir sangat tinggi dan ditopang oleh keimanan yang meyakinkan. Namun, ketika zaman keemasan itu tak lagi dimiliki umat Islam, kini taraf berpikir umat Islam rendah dan bahkan telah bercampur oleh virus-virus pemikiran sekuler yang gelap. Tugas umat hari ini sungguh berat, yakni mengembalikan tradisi ilmu dan mewujudkan kembali peradaban Islam yang telah hilang.  

Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah mengatakan, substansi peradaban Islam terletak pada ilmu. Semua peradaban besar dalam sejarah selalu diawali dengan kebangkitan tradisi ilmu. Jika menilik tradisi pendidikan Islam sejak masa Rasulullah, ada satu fondasi dasar yang wajib dibangun lebih dulu sebelum memasukkan berbagai ilmu-ilmu modern. Dasar itu adalah ilmu Alquran.

Seperti kata Imam Syafi'i dalam Diwan al-Imam as-Syafi'i, Demi Allah, hakikat seorang pemuda adalah dengan ilmu dan takwa. Jika kedua hal itu tiada padanya, tak bisa disebut pemuda. Terkait kesungguhan mencari ilmu, Imam Syafi’i pernah berpesan,’ Tidakkah aku berdiskusi dengan seseorang, melainkan aku sangat ingin yang bersangkutan bisa menunjukkan kesalahanku. Dan jika hatiku tidak memiliki solusi suatu permasalahan, aku berharap agar pendapat mitra diskusiku diterima setiap orang’.

Tradisi ilmu itu dilakoni langsung oleh Imam Syafi'i semasa muda. Imam Syafi'i telah menghafal Alquran pada usia sembilan tahun. Setahun kemudian, ia telah hafal kitab al-Muwatha karangan Imam Malik. Imam Syafi'i juga menekuni bahasa dan sastra Arab. Kecerdasan inilah yang membuat Imam Syafi'i dalam usia belasan tahun telah duduk di kursi mufti Kota Makkah. Ia menjadi rujukan dalam berbagai persoalan umat sejak muda.

Imam Syafi’i banyak mendalami sastra Arab dari suku Huzhail dan banyak menghafal puisi dari bangsa Arab serta gramatikanya. Banyak menghafalkan hadist dan pembahasan masalah dari para gurunya di Masjidil Haram. Beliau belajar keilmuwan dari Syaikh Muslim bin Khalid az Zanji dan belajar hadist dari mahaguru hadist bernama Sufyan bin Uyainah. Karena kemiskinan, setelah menghafal al Qur’an, Imam Syafi’i menghafal hadist dan menuliskannya di tulang-belulang sebagai media untuk menulis periwayatan hadis dan masalah-masalah agama lainnya.

Setelah semua tulang belulang telah habis, Imam Syafi’i menuliskan ilmu di tempayan tua milik ibunya. Rumah Imam Syafi’i dipenuhi oleh tulang belulang yang berserakan yang bertuliskan berbagai ilmu yang dimilikinya. Karena ketinggian ilmunya, Imam Syafi’i telah memberikan fatwa agama saat berusia 15 tahun, sebagaimana diterangkan oleh al Mundzir at Taymimi dalam Adab asy Syafi’i wa Manaqibuhu.

Terkait kesungguhan menuntut ilmu, Imam Malik pernah berpesan kepada para penuntut ilmu bahwa seseorang tidak akan dapat memperoleh ilmu, hingga bersiap untuk dihantam oleh kefakiran dan mau memprioritaskan pencarian ilmu dari yang lainnya. Artinya jika telah bersiap diri untuk menjadi pecinta ilmu, maka harus bersiap diri menjadi faqir dari harta.
 

Imam Abu Hanifah pernah mengatakan bahwa,’ Barang siapa mempelajari ilmu demi harta duniawi, maka ia tidak akan memperoleh keberkahan dari ilmu dan justru membuat hatinya menjadi bodoh. Dan barang siapa mempelajari ilmu karena Allah, maka amal perbuatannya akan diberkahi dan hatinya dicerdaskan serta orang-orang yang dapat mengambil ilmu darinya akan memperoleh berkah juga’.
 
Imam Ahmad bin Hanbal adalah sosok pecinta ilmu hadist yang melakukan perjalanan panjang untuk menemui para syaikh hadist untuk menerima periwayatan hadist. Mempelajari hadist sejak berusia 15 tahun dari 20 syaikh hadist. Perjalanan mencari ilmu dari Bashrah, Hijaz, Kufah, Yaman hingga ke Mekkah berguru ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh dari Imam Syafi’i.

Pendidikan Islam dan Tradisi Ilmu

Islam adalah satu-satunya agama wahyu. Islam adalah kebenaran, sempurna dan diridhoi Allah. Semua ajaran Islam adalah kebenaran. Islam adalah agama wahyu yang datang dari Allah. Islam berbeda dengan agama lain yang datang dari hasil budaya manusia. Sebab hanya ada dua bentuk agama, agama wahyu berasal dari Allah dan agama budaya hasil buatan manusia. Kebenaran datang dari Allah. Islam adalah satu-satunya agama yang mengedepankan rasionalitas dalam pencapaian keimanan, bukan doktrinasi sebagaimana agama-agama selain Islam.

Dalam Islam, manusia yang beriman, berilmu dan beramal shaleh diapresiasi dengan derajat yang tinggi. Tidak ada agama selain Islam, dan tidak ada kitab suci selain Al-Qur’an yang sedemikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong umatnya untuk mencarinya, dan memuji orang-orang yang menguasainya. Termasuk di dalamnya menjelaskan ilmu dan pengaruhnya di dunia dan akhirat, mendorong untuk belajar dan mengajar, untuk mengenal diri dari kaca mata keilmuan dan pengamalannya. Islam dengan tegas memisahkan dan membedakan antara orang berilmu dan tidak berilmu.

Karena itu, pendidikan Islam harus memiliki visi dan misi yang sangat jelas, mencetak generasi hamba Allah yang taat, menjadi umat terbaik untuk dihadirkan ke tengah manusia, dan cakap memberi rahmat ke seluruh alam. Oleh sebab itu, seluruh pelajaran dan bidang ilmu dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi diarahkan ke sana.

Dari segi prioritas juga sangat jelas: amal yang fardhu ‘ain bagi seseorang, maka mempelajari ilmunya juga fardhu ’ain. Amal yang fardhu kifayah, ilmunya juga fardhu kifayah. Amalan sunnah, ilmunya juga sunnah. Demikian seterusnya untuk yang mubah, makruh dan haram. Karena itu, belajar cara membuat khamr atau ilmu tenung, hukumnya jelas haram.

Adapun ilmu yang fardhu ‘ain itu cukup banyak. Ilmu tentang tatacara ibadah mahdhoh (thaharah, shalat, puasa) atau tentang akidah dasar, mengetahui halal-haram sehari-hari, membaca Alquran, bahasa Arab dasar, itu fardhu dipelajari sebelum seseorang baligh. Untuk wanita hamil, adalah fardhu ‘ain belajar soal tatacara merawat dan menyusui bayi.  

Orang yang akan diangkat dalam suatu jabatan atau memangku sebuah profesi, maka fardhu ‘ain baginya mempelajari segala sesuatu yang terkait jabatan atau profesi itu. Tidak bisa diterima orang yang diangkat sebagai sekretaris tapi belum mampu membaca atau menulis. Atau orang diangkat sebagai kepala daerah tapi buta soal geografi, hukum, seluk beluk birokrasi atau wawasan politik.

Di sisi lain, sebagian besar ilmu sesungguhnya masuk kategori fardhu kifayah. Ilmu akidah dalam kedalamannya, ilmu fiqih dan ushul fiqih dalam kedalamannya, ilmu tafsir dan hadits, ilmu mengurus jenazah, bahasa dan sastra Arab, dan juga sains dan teknologi dalam kedalamannya, mulai dari teknik membuat sumur hingga merancang pesawat, dari menjahit baju hingga menjahit luka sebagai dokter bedah, adalah ilmu-ilmu yang bila di suatu wilayah tidak cukup jumlahnya untuk memenuhi kebutuhan umat, maka semua yang belum terlibat masih berdosa.

Oleh sebab itu menjadi jelas, bahwa ilmu yang paling utama untuk diajarkan di pendidikan dasar adalah ilmu-ilmu fardhu ‘ain untuk menyambut akil baligh. Termasuk yang ditanamkan sejak dini adalah kecintaannya pada ilmu, pada para ilmuwan, dan pada proses pembelajaran. Wahyu pertama adalah soal membaca, bagian paling penting dalam belajar.

Berdasarkan ilmu yang dimiliki dan bagaimana sikap kita, maka manusia terbagi menjadi empat kategori. Pertama, orang yang tahu, dan ia tahu bahwa dirinya tahu, dialah orang ‘alim, maka bertanyalah (belajarlah) kepadanya. Kedua, orang yang tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tahu. Inilah orang yang lupa. Maka ingatkanlah ia. Ketiga, orang yang tidak tahu, dan ia tahu bahwa dirinya tidak tahu. Inilah orang yang minta bimbingan, maka bimbinglah ia. Keempat, orang yang tidak tahu, tapi ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu, inilah orang Jahil ( bodoh ), maka jauhilah ia.

Orang berilmu adalah orang-orang yang oleh Allah disebut sebagai ulil albaab atau orang-orang berakal atau orang-orang yang senantiasa berfikir tentang penciptaan alam semesta. (QS Ali Imran : 190 – 191). Dari ayat diatas setidaknya ada tujuh ciri-ciri Ulil Albab diantaranya adalah : Pertama, Senantiasa melakukan zikrullah dalam arti luas dalam segala gerak-gerik dan aktivitasnya dan dibarengi dengan kegiatan tafakkur (penelaahan, penelitian dan nazhar) terhadap alam ciptaan Allah. Kedua, bersungguh-sungguh menuntut ilmu sehingga mencapai tingkat rashih (mendalam) sebagaimana dinyatakan Al Qur'an dalam surat QS Ali Imran : 7 (wa roshihuna fil ilmi)

Ketiga, mampu memisahkan yang buruk dan yang baik kemudian dia memilih, berpihak, dan mempertahankan yang baik itu meskipun sendirian. Keempat, kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, dalil dan argumentasi yang dikemukakan orang lain dan senantiasa memilih alternatif yang terbaik (ahsanah) sebagaimana dinyatakan dalam QS Az Zumar : 18).

Kelima, bersedia mendakwahkan ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat, senantiasa berusaha memperbaiki masyarakat dan lingkungannya, memiliki kesadaran yang tinggi kegiatan amar ma'ruf nahi mungkar sesuai dengan QS Ibrahim : 52. Keenam, tidak takut kepada siapapun kecuali hanya kepada Allah sesuai dengan QS At Taubah : 18. Ketujuh, senantiasa ruku’ dan sujud pada sebagian malamnya, merintih pada Allah dan semata-mata hanya mengharapkan rahmat dan ridhaNya, sesuai dengan QS Az Zumar : 9.

Jika demikian faktanya, maka penguasaan ilmu pengetahuan bagi umat Islam untuk mengembalikan lagi peradaban Islam adalah mutlak harus dicapai. Untuk itu ada beberapa langkah untuk mewujudkan kembali kejayaan peradaban Islam . Pertama, umat Islam terutama generasi muda harus bersungguh-sungguh mencari ilmu pengetahuan. Sebagaimana pesan presiden India APJ Abdul Kalam saat datang ke Indonesia, kepada para siswa dia mengatakan bahwa generasi muda harus punya pengetahuan, kebajikan dan semangat untuk menciptakan dunia yang lebih cerah.

Kedua, perlunya rekonstruksi ilmu pengetahuan kontemporer yang sekuler menjadi bernilai Islam, intinya perlu islamisasi ilmu pengetahuan. Ketiga, umat Islam harus menolak setiap nilai-nilai Barat yang sekuler dan tidak sesuai dengan nilai Islam, namun tetap mengambil ilmu pengetahuan Barat untuk direkontruksi ulang. Keempat, umat Islam harus menyertakan ruh dan spiritualitas Islam dalam setiap langkah dan aktivitas.(tinggalkan nilai sekuler).

Kelima, umat Islam perlu memperkuat daya dukung peradaban berupa ekonomi, politik, budaya, pendidikan, dan SDM. Keenam, umat Islam harus berjuang untuk mengembalikan Daulah Islam yang akan menjadi institusi yang menaungi peradaban Islam seluruh dunia.

Mewujudkan Tafaqquh Fiddin di Pesantren

Kata tafaqquh fiddin merujuk kepada sebuah aktivitas untuk mengerti, memahami, dan mendalami seluk-beluk ajaran agama Islam. Tafaqquh fiddin untuk revitalisasi ilmu mencakup: menuntut ilmu, membiasakan ilmu, membiasakan menulis, menjaga semangat menuntut ilmu, merenung, berbuat, dan berfikir dalam ilmu, menuntut ilmu sepanjang hayat. Tafaqquh fiddin berarti suatu usaha untuk memepelajari, memahami dan mendalami ilmu Agama. Sedangkan mendalami ilmu agama sangat erat kaitannya dengan pesantren, sebab pesantren adalah semacam kawah candradimuka bagi para penuntut ilmu agama Islam.

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang didalamnya ada jenjang pendidikan yang disebut madrasah. Mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 60 tahun 2015 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan Madrasah disebutkan bahwa madrasah adalah pendidikan formal di bawah binaan menteri agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dan kejuruan dengan kekhasan agama Islam yang mencakup raudlatul athfal, madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah dan madrasah aliyah kejuruan.

Gibb and Kramers (1981:300) mengartikan madrasah sebagai ”name of an institution where the Islamic science are studied.” Menurut Mircea Eliade (1993 : 77) “madrasah is an educational institution devoced to advanced studies in the Islamic religious sciences”. Selain itu Zuhairini (1993 : 25) memaknai madrasah sebagai tempat belajar yang mengajarkan ajaran-ajaran agama Islam, ilmu pengetahuan dan keahlian lainnya yang berkembang pada jamannya.

Wajar jika salah satu keunggulan pesantren atau madrasah adalah tafaqquh fiddin, sebab hal ini sejalan dengan filosofi keberadaannya. Namun demikian, bukan tidak mungkin jika pesantren juga menambah keunggulan di bidang sains, sebab peradaban Islam masa lalu bukan hanya unggul bidang studi Islam, namun unggul juga bidang sains dan teknologi. Misi mewujudkan kehidupan hasanah generasi muslim di dunia dan akhirat menghajatkan generasi muslim yang menguasi ilmu duniawi sekaligus ukhrawi. Para ilmuwan dalam peradaban Islam masa lalu telah dengan jelas memberikan teladan dan rujukan.

Oleh karena itu sistem pendidikan pesantren, yang telah membidangi lahirnya madrasah, harus tetap komitmen dan konsisten menjaga nilai-nilai luhur, utamanya dalam menjaga keunggulan tafaqquh fiddin. Namun demikian, berdasarkan kesempurnaan Islam dan tuntutan zaman, maka pesantren juga harus mengembangkan sains dan teknologi, seperti komputerisasi, digitalisasi, saintifikasi, riset-riset ilmiah dengan tujuan menguasasinya dan menambah keyakinan akan kekuasaan Allah atas segala yang diciptakan. Tapi tentu jangan sampai menggeser keunggulan berbasis keunikan dan kekhasan (distingsi) tafaqquh fiddin yang memang sudah teruji kebermaknaannya dalam lintas zaman dan generasi.

Sejarah tradisi keilmuwan dalam Islam sesungguhnya dimulai dari lahirnya Islam itu sendiri. Rasulullah, sahabat dan para ulama pendahulu telah menancapkan tradisi ilmu. Al Quran mengandung banyak ayat yang menganjurkan umat Islam untuk senantiasa menggali ilmu dengan cara berfikir atau bertafakur. Biasanya Allah menyebut orang-orang beriman yang mau berfikir tentang segala penciptaan Allah dengan istilah Ulil Albab sebagaimana telah ditulis di atas.

Ibnu Sina pernah berkata, "Jika ada persoalan yang terlalu sulit bagiku, aku pergi ke masjid dan berdoa, memohon kepada Yang Maha Pencipta agar pintu yang telah tertutup bagiku dibukakan dan apa yang tampaknya sulit menjadi sederhana. Biasanya, saat malam tiba, aku kembali ke rumah, menghidupkan lampu dan menenggelamkan diri dalam bacaan dan tulisan". Hal ini menandaskan bahwa tradisi keilmuwan dan semangat pembelajaran telah lama berlangsung dalam dunia Islam. Bahkan bisa dikatakan hanya Islam yang memiliki tradisi ilmu dibandingkan dengan agama lain.

Jika dianalogikan dengan penjelasan QS At Taubah ayat 122 di atas, maka Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam wajib hukumnya memiliki program tafaqquh fiddin yang akan menghasilkan para alumni yang mampu memberikan ilmu dan berdakwah amar ma’ruf nahi munkar saat mereka kembali ke masyarakat atau tempat tinggal mereka.

Pesantren atau lembaga pendidikan Islam lainnya adalah salah satu lembaga keilmuwan Islam warisan para ulama. Kegiatan inti di pesantren adalah aktivitas keilmuwan dan keimanan. Dengan kata lain kegiatan tafakkur adalah ciri khas pesantren sebagai tradisi keilmuwan di lingkungan pesantren. Dengan demikian kemampuan tafakkur menjadi salah satu ciri paling penting bagi santri dan ustadz di pesantren. Sebab dengan kemampuan tafakkur bukan hanya membedakan antara manusia dengan makhluk lain, tetapi juga membuatnya memenuhi syarat melaksanakan peran penting sebagai pembangun peradaban dan pembawa misi kepemimpinan dunia.  

Tafakur adalah istilah bahasa Arab untuk berfikir. Menurut menurut Al Fairuzabadi salah seorang linguis muslim awal terkemuka, al fikr (pikiran) adalah refleksi atas sesuatu dan afkar adalah bentuk jama'nya. Menurut pandangannya, fikr dan tafakur adalah sinonim dan keduanya memiliki makna sama. [Al Fairuzabadi, Al Qamus Al Muhith, Muassasah Al Risalah Beirut, 1996 (akar kata Fakara)] Jamal Budi dan Mustapha Tajdin telah melakukan studi mendalam tentang konsepsi tafakur dalam Al Qur'an, mereka menemukan bahwa Al Qur'an menggunakan kata jadian dari kata kerja fakkara sebanyak delapan belas kali. (QS Al Baqarah 219 dan 266, QS Al An’am : 50, QS Al A’raf : 176 dan 184, QS Yunus : 24, QS Ar Ra’d : 3, QS An Nahl : 11, QS An Nahl : 44, QS An Nahl : 69, QS Ar Ruum : 8, QS Azzumar : 42, QS Al Muddasir : 18 dan QS Al Jasiyah : 13).

Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, mereka memberikan catatan bahwa Al Qur'an menggunakan istilah tafakur lebih banyak sebagai kata kerja dibanding kata benda. Artinya lebih banyak berarti proses dari pada sebagai konsepsi abstrak. Hal ini bisa ditunjukkan bahwa penggunaan istilah tafakkur hanya satu ayat yang menggunakan kata lampau (madhi) yakni QS Al Muddatsir : 18, sedangkan pada 17 ayat lainnya menggunakan kata sekarang (mudhari') yang menekankan kontinuitas proses. Ketujuhbelas kata kerja kala kini (mudhari') digunakan dalam struktur jama' yang mengisyaratkan arti penting berfikir kolektif dalam Islam sesuatu yang kita sebut cara berfikir secara musyawarah. Sebagian besar muffasir menafsirkan tafakur sebagai refleksi dan kontemplasi yang merupakan proses bukan hasil.

Al Qur' an menggunakan istilah lain untuk tafakur dengan istilah nazhar (memperhitungkan, memikirkan dan memperhatikan), tabashshur (mamahami), tadabbur (merenungkan), tafaqquh (memahami sepenuhnya, menangkap, sungguh-sungguh mengerti), tadzakkur ( mencamkan dalam pikiran atau hati), i'tibar (belajar, mengambil atau menarik pelajaran dari sejarah bangsa lain dan pengalaman orang lain serta tidak mengulangi kesalahan mereka), ta'aqqul (menggunakan pikiran dengan benar) dan tawassum (membaca tanda-tanda yang tersirat).

Sebagai pelembagaan tafakkur dan tafaquh fiddin, pesantren telah lama memberikan kontribusi keilmuwan bagi bangsa Indonesia. Pesantren telah melahirkan ribuan kitabut turas (kitab kuning) maupun buku-buku kontemporer (kitabul asriyah). Berbagai karya para ulama pesantren telah terbukti menjadi bagian dari proses pembentukan peradaban mulia di Indonesia maupun di dunia.

Semangat tafakkur inilah yang telah membesarkan umat Islam. Tradisi ini yang notabene tumbuh di pesantren harus tetap ditingkatkan dan didorong agar kelak melahirkan kembali ilmuwan-ilmuwan Islam yang akan mampu menjadi agent of change bagi kemajuan peradaban Indonesia maupun dunia. Para pimpinan pesantren harus memiliki political will untuk mewujudkan tradisi keilmuwan ini dengan cara membangun motivasi pembelajar dan membangun infrastruktur pendukung seperti perpustakaan yang representatif. Sebab tradisi tafakkur dan etos belajar ini tidaklah berjalan dengan hanya semangat saja tanpa infrastruktur yang mendukung, salah satunya tentu saja kelengkapan referensi di perpustakaan.

Etos berasal dari bahasa Inggris ethos yang berarti watak atau budaya, yang dalam bahasa arab disebut haliqoh . Belajar itu sendiri artinya usaha sadar untuk mendapatkan pengetahuan bagi perubahan dan perkembangan diri menjadi lebih baik. Dengan demikian etos belajar dapat diartinya sebagai sebuah budaya dan kebiasaan umat Islam dalam mendorong dirinya secara sadar dalam menuntut ilmu sebagai bekal dirinya untuk mencapai jati diri dan meraih cita-cita di masa mendatang.  

Dalam banyak ayat Al Qur'an dan al Hadist yang pada pokoknya mengundang dan mengajak umat Islam untuk senantiasa belajar. Ayat pertama yang turun kepada Muhammad juga berisikan tentang anjuran untuk belajar. Kata iqra' yang berarti bacalah adalah adalah kata perintah untuk belajar.

Kata iqra' tidak diikuti oleh obyek kata (maf'ulun bihi) yang spesifik memberikan pemahaman bahwa obyek belajar itu sangat luas, bacalah semua ayat-ayat Allah yang terbentang di jagat raya, baik yang berupa literatur normatif seperti Al Qur'an, al Hadist dan kitab-kitab tertulis maupun lingkungan alam semesta yang maha luas ini. Kesadaran dan pemahaman atas ayat-ayat ini yang kemudian menumbuhkan semangat dalam hati untuk belajar serta dibuktikan dalam praktek nyata berupa tradisi dan budaya intelectual. Inilah yang disebut dengan etos belajar bagi seorang muslim.

Dengan demikian etos belajar harus berbasis kesadaran dan pemahaman terhadap ayat-ayat Allah, sebab jika tidak maka etos belajar bisa salah arah. Etos belajar bagi seorang muslim setidaknya memiliki lima dimensi tujuan. Pertama, dimensi kehambaan, artinya etos belajar sebagai cara untuk merefleksikan dan menjalankan perintah Allah berupa belajar.

Kedua, dimensi intelektual, artinya etos belajar sebagai cara untuk menambah saqafah atau menambah keilmuwan sebagai bekal untuk berkarya membangun peradaban. Ketiga, dimensi keimanan, artinya etos belajar bertujuan untuk memahami ayat-ayat Allah yang maha luas agar tertanam dalam diri seorang muslim berupa keimanan dan amal shaleh.

Keempat, dimensi kekhalifahan, etos belajar sebagai refleksi amanah kekhalifahan (kepemimpinan peradaban) seorang muslim di bumi yang harus menata dan memelihara bumi. Kelima, dimensi motivatif, artinya etos kerja sebagai refleksi untuk melayakkan diri sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia.

Dengan demikian etos belajar bagi seorang muslim sejalan dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri oleh Allah SWT. Dengan adanya pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan nilai-nilai syariat Allah, umat Islam diharapkan dapat menjadi umat pembelajar alias memiliki etos belajar tinggi yang paling dinamis dan ulet dibanding umat yang lain, sebab hanya umat Islamlah yang memiliki nilai syariat Allah yang terbaik. Etos belajar akan melahirkan generasi pembelajar.

Belajar diwajibkan sejak lahir hingga mati sekalipun harus pergi ke ujung dunia. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim. Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda bahwa belajar itu dari mulai lahir hingga kematian (liang lahat). Bahkan Rasulullah menyruh kita untuk belajar walaupun sampai ke negeri China. Keduanya telah dinyatakan secara tegas oleh Allah dalam Al Qur'an dan oleh Rasulullah dalam Hadist. Dari pemahaman inilah budaya etos belajar akan lahir, sebagaimana telah dilakukan oleh para ulama pendahulu.

Generasi pembelajar adalah generasi yang selalu punya visi diri yang kuat, memiliki motivasi tinggi, memiliki aksi nyata dan memiliki strategi yang jitu. Jika kita punya motivasi dan visi tapi tidak memiliki aksi, berarti kita melamun. Jika kita punya visi dan aksi tapi tidak memiliki motivasi, maka kita akan serba tanggung. Jika kita punya motivasi dan aksi, tetapi tidak punya visi, maka kita akan sampai pada tempat yang salah. Sedangkan strategi akan membantu ketiganya agar lebih efektif dan efisien. Orang-orang besar yang pernah berjasa pada bangsa ini yang dilahirkan dari proses pembelajaran di pesantren tentu mereka adalah orang-orang yang memiliki visi dan semangat yang tinggi. Tanpa visi yang kuat tidak mungkin akan lahir tokoh-tokoh sekaliber mereka.  

Generasi pembelajar adalah generasi yang selalu membesarkan dirinya dan melayakkan dirinya agar siap bertanding. Dia akan selalu mencari lingkungan yang mampu membesarkan dirinya. Dia akan menghindari lingkungan yang mengkerdilkan dirinya. Jikapun dia terjebak dalam kubangan lingkungan yang tidak kondusif, maka dia akan berusaha menjadi pelopor perubahan. Generasi pembelajar akan selalu melakukan apa yang bisa dilakukan orang lain. Dia juga akan selalu berusaha melakukan apa yang tidak bisa dilakukan orang lain dan bahkan yang tidak mungkin dilakukan orang lain. Merekalah para santri dan ustadz yang dengan penuh kesungguhan menggali ilmu dan potensi diri dengan harapan kelak jika telah kembali ke lingkungan masyarakatnya bergerak menjadi teladan kesalehan individu dan menjadi pelopor kesalehan sosial serta mampu berbagai ilmu kepada orang-orang sekitar.    

Generasi pembelajar adalah orang yang selalu menghilangkan sindrom diri. Sindrom diri biasanya berupa penyakit alasan (exsocitis) berupa alasan intelektual, umur, jenis kelamin, dan kesehatan. Seorang pembelajar akan selalu keluar dari kebekuan dan belenggu diri yang sebenarnya hanya halusinasi. Seorang pembelajar akan selalu berguru pada sukses orang-orang besar. Seorang pembelajar sejati akan selalu melakukan improvisasi diri secara terus menerus. Para santri dan ustadz pembelajar adalah yang penuh percaya diri sebagai seorang muslim. Mereka yakin bahwa orang muslim dilahirkan untuk menjadi umat terbaik yang mampu mengalahkan umat-umat yang lain. Para santri dan ustadz pembelajar tidak mengalami inferiority complex (rendah diri). Mereka justru tengah menempa dirinya untuk menjadi yang terbaik dan siap bersaing dalam dunia global.

Disinilah peran pimpinan pesantren sangat penting dalam menyediakan sarana dan prasarana untuk para santri dan ustadz agar mereka bisa meningkatkan kualitas dirinya seiring dengan tantangan zaman yang akan mereka hadapi. Pimpinan dan ustadz harus sepenuhnya mendukung santri dalam mengeksplorasi diri dan mengakses informasi global ini. Lembaga tinggal memberikan kerangka pemahaman agar mereka tidak terjerumus pada ekses-ekses negatif peradaban global. Sebab pesantren harus tetap perpijak pada ideologi Islam sebagai asas pola fikir dan pola sikap para santri dan para ustadznya.   

Dengan dukungan mental/motivasi dan sarana, maka akan lahir para santri pembelajar sejati sebagai warisan para ulama dan cindekiawan pendahulu. Pembelajar sejati akan selalu membangun mentalitas pejuang untuk maju dan berkarya. Mentalitas pejuang setidaknya memiliki sembilan ciri. Pertama, selalu berorientasi pada ridha Allah. Kedua, memiliki jiwa kemandirian. Ketiga, berakhlak dan mengutamakan jamaah. Keempat, komitmen tinggi terhadap nilai Islam. Kelima, semangat tinggi dan tahan uji. Keenam, berwawasan luas dan dinamis (proaktif). Ketujuh, berfikiran bebas dan tidak terpasung. Kedelapan, berjiwa optimis dan tidak pernah mengeluh. Kesembilan, memiliki kompetensi dan keahlian.

Bahkan dalam Islam proses belajar dianjurkan untuk mengikuti adab-adab. Baik seorang guru maupun seorang santri harus memiliki adab dalam melaksanakan proses pembelajaran. Inilah kelebihan Islam mengatur semua aspek kehidupan dari hal-ahal kecil hingga hal-hal besar tanpa kecuali. Adab dalam belajar mengajar menjadi sangat penting dalam Islam, karena proses belajar dalam Islam bukan semata-mata untuk menambah ilmu pengetahuan melainkan untuk menambah keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Bukan sebaliknya semakin banyak ilmu yang didapat malah menjadikan kesombongan diri. Hal ini tidak dikehendaki oleh Islam. Majunya teknologi sebagai daya dukung belajar mengajar tidak boleh menghilangkan ruh dan adab belajar mengajar di pesantren. Artinya bagaimanapun majunya perkembangan dunia, seorang ulama dan pencari ilmu tidak boleh terlena oleh dunia.

Dalam kitab Bidayah Al Hidayah karya Imam Abu Hamid Al Ghazali diterangkan bahwa adab seorang guru dalam belajar mengajar adalah : 1). Bertanggungjawab. 2) Sabar. 3) Duduk tenang penuh wibawa. 4). Tidak sombong kepada semua orang, kecuali kepada orang yang zalim dengan tujuan untuk menghentikan kezalimannya. 5) Mengutamakan bersifat tawadhu' di majelis-majelis pertemuan. 6). Tidak suka bergurau dan atau bercanda. 7). Ramah terhadap para santri atau pelajar. 8). Teliti dan setia mengawasi anak yang nakal. 9) Setia membimbing anak yang bebal. 10). Tidak gampang marah kepada murid yang bebal atau lambat pemikirannya. 11). Tidak malu berkata : saya tidak tahu, ketika ditanyai persoalan yang memang belum ditekuninya. 12). Memperhatikan murid yang bertanya dan berusaha menjawabnya dengan baik. 13). Menerima alasan yang diajukan kepadanya.

14). Tunduk kepada kebenaran, dengan kembali apabila ia salah. 15) Melarang murid yang mempelajari ilmu yang membahayakan. 16) Memperingatkan murid mempelajari ilmu agama tetapi untuk kepentingan selain Allah. 17) Memperingatkan murid agar tidak sibuk mempelajari ilmu fardhu kifayah sebelum mempelajari ilmu fardhu 'ain 18) Memperbaiki ketaqwan kepada Allah lahir dan batin dan 19) Mempraktekkan makna taqwa dalam kehidupan sehari-harinya sebelum memerintahkan kepada murid agar para murid meniru perbuatan dan mengambil manfaat ucapan-ucapannya.

Sedangkan mengenai adab dan sopan santun santri atau siswa kepada gurunya dalam kitab yang sama dijelaskan sebagai berikut : 1) Hendaknya memberi ucapan salam kepada guru terlebih dahulu. 2) Tidak banyak bicara dihadapannya. 3) Tidak berbicara selagi tidak ditanya gurunya. 4) Tidak bertanya sebelum meminta izin terlebih dahulu. 5) Tidak menentang ucapan guru dengan ucapan atau pendapat orang lain. 6) Tidak menampakkan penentangannya terhadap pendapat gurunya, apalagi menganggap dirinya paling pandai dari gurunya. 7) Tidak boleh berbisik kepada teman yang duduk disebelahnya ketika guru sedang duduk di majelis itu. 8) Tidak menoleh-noleh ketika sedang duduk di depan gurunya, tetapi harus menundukkan kepala dan tenang seperti sedang melaksanakan shalat. 9). Tidak banyak bertanya kepada guru, ketika dia dalam keadaan letih. 10) Hendaknya berdiri ketika gurunya berdiri dan tidak berbicara dengannya ketika dia sedang beranjak dari tempat duduknya.

11) Tidak mengajukan pertanyaan kepada guru di tengah perjalanan dan 12) Tidak berprasangka buruk kepada guru, ketika dia melakukan perbuatan yang lahirnya mungkar, sebab dia lebih mengetahui rahasia maksud perbuatannya. Dalam kasus ini hendaknya murid mengingat ucapan nabi Musa kepada nabi Khizir as seperti yang diterangkan dalam Al Qur'an : Musa berkata," Mengapa kamu melubangi perahu itu yang mengakibatkan kamu menenggelamkan penumpangnya, sesungguhnya Engkau telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar".     

Dengan semakin banyaknya ilmu yang diraih seorang ulama dan pembelajar sejati semakin takut dan beriman kepada Allah. Sedangkan masalah dunia harus dikuasai jangan sampai dunia menguasainya. Syekh Muhammad Nawawi Ibnu Umar Al Jawi mengingatkan agar para ulama tidak tergiur dunia sebagaimana ditulis dalam kitabnya Nashaihul Ibad halaman 251 di terangkan bahwa suatu ketika Yahya bin Mu'adz Ar Razi ra melihat seorang faqih (alim) menyukai dunia lalu kepadanya Ar Razi berkata, " wahai yang memiliki ilmu dan sunah, gedung-gedungmu ala kaisar Romawi, rumah-rumahmu ala Kisra Persia, tempat-tempat tinggalmu ala Qarun zaman nabi Musa, gerbang-gerbangmu menjulang tinggi ala raja Thalut, busana-busanamu semewah Jalut, jalan-jalan hidupmu aliran syetan, perbuatan-perbuatanmu aliran Marwan, kekuasaanmu macam fir'aun, hakim-hakimmu gegabah dalam memutus hukum lagi pula gemar makan suap dan khianat, dan para imammu setolol jahiliah, kalau begitu dimana pelaksanaan ajaran Muhammad".

Ungkapan ini memberikan tekanan bahwa seorang ahli ilmu tidak boleh dikuasai oleh dunia sehingga menjadi lalai sedangkan menjadi kaya itu hukumnya boleh selama kekayaannya mampu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah sebagaimana sahabat Abu Bakar Asy Shidiq dan Abdurrahman bin Auf. (pen.)  

Pembelajar sejati selalu berfikir untuk tidak jadi orang rata-rata. Dia selalu ingin menjadi yang terbaik. Dia selalu berfikir besar (berbicara tentang kualitas dan solusi, memandang masa depan penuh harapan, kreatif, memiliki cita-cita, penuh gagasan besar dan progresif, dan selalu membesarkan orang lain). Seorang pembelajar selalu membiasakan melakukan yang benar bukan membenarkan kebiasaan. Generasi pembelajar selalu memiliki mental positif (semakin banyak ilmu semakin mendekatkan dirinya dengan Allah) , mental produktif (berkarya sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya) dan mental kontributif (bermanfaat bagi orang lain).

Nah, oleh karena itu pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki amanah untuk memberikan bekal dan kemampuan kepada santri ilmu-ilmu agama, ilmu sains teknologi sebagai bekal untuk berdakwah amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat. Untuk itu penting kirangnya pesantren melakukan berbagai pembenahan dan reorientasi di tengah tantangan zaman yang terus melaju. Umat Islam sebagai umat terbaik harus disiapkan untuk menjadi pemimpin peradaban Islam masa depan, bukan menjadi korban zaman.

Pentingnya sekali pembenahan dimulai dari pondasinya, yakni paradigma pendidikan Islam yang dirumuskan dalam visi, misi, tujuan, strategi, program dan manajemennya. Proporsi kajian keilmuwan harus lebih dominan dibandingkan dengan aktivitas yang tidak berorientasi keilmuwan. Kecintaan kepada ilmu harus terus ditingkatkan agar santri tidak bermental hedonis, hanya menikmati hiburan dunia. Santri harus diorientasikan untuk menjadi ulama, ilmuwan sekaligus dai-dai handal yang akan mencerahkan dunia. Secara teknis, reorientasi ini bisa dimusyawarahkan dan dirumuskan oleh segenap manajer di pesantren tersebut.

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 08/01/23 : 10.20 WIB)

Oleh: Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab