Isu Menkeu Mundur, Ekonomi Simpang Siur?
Tinta Media - "Situasi politik dalam negeri, Ketidakpastian dalam negeri paling besar mendorong pelemahan rupiah. (Ada) Isu Ibu SMI (Sri Mulyani Indrawati) mau resign (jadi sentimen terbesar)," tutur pengamat ekonomi, Ahmad Mikail Zaini, kepada CNBC Indonesia(30/01/2024). Ungkapan senada banyak kita temukan dalam pernyataan pengamat ekonomi dalam berbagai media nasional akhir-akhir ini, yang mengungkapkan seolah-olah mundurnya menteri keuangan dapat menyebabkan guncangnya rupiah, padahal penyebab utama guncangnya rupiah tidak lain karena negeri ini mengadopsi sistem ekonomi kapitalisme, yang bertumpu pada hutang luar negeri berbasis riba.
Sistem ekonomi kapitalisme menyiratkan pengaturan dan pengendalian keuangan di tangan para pemilik modal. Sejak awal dipraktikkan di Eropa, sistem ini telah menyingkapkan kebobrokan dan kezaliman yang berujung pada penderitaan. Namun, sistem ekonomi kapitalisme selalu diperbaharui dengan ide-ide seperti perencanaan dan pengembangan perekonomian. Semua itu merupakan strategi untuk memelihara eksistensi sistem kapitalisme, agar negara yang berada di bawah kekuasaannya tidak lepas dari cengkeramannya.
Adapun bahasan tentang ide untuk menuntaskan kemiskinan menurut kapitalisme, yaitu dengan terus-menerus meningkatkan produksi untuk mencapai kemakmuran maksimum yang berakumulasi pada meningkatnya pendapatan nasional (national income), sementara distribusi tidak terlalu diperhatikan, khususnya distribusi kekayaan kepada rakyat yang dilakukan melalui mekanisme pengaturan pemerintah. Akibatnya distribusi kekayaan hanya beredar di kalangan orang kaya dan pemilik modal saja, sementara distribusi kekayaan terhadap orang miskin yang populasinya mayoritas, dilakukan hanya pada momentum kepentingan politik dan kontestasi politik, setelah itu mereka tidak diperhatikan lagi.
Landasan peningkatan ekonomi termasuk peningkatan kesejahteraan, selalu dilihat dari tingginya tingkat produksi, sementara tingkat distribusi pemenuhan kebutuhan rakyat cenderung tidak dijamin, bahkan perlahan di tinggalkan melalui privatisasi dan skema jaminan sosial yang sudah tidak sepenuhnya di tanggung oleh negara, akibatnya muncullah masalah kemiskinan yang terus menganga lebar.
Ekonomi tidak dibangun untuk pendistribusian pemuasan kebutuhan pokok rakyat individu per individu, namun hanya difokuskan pada penyediaan alat yang memuaskan kebutuhan (faktor produksi) rakyat secara umum. Dalam pandangan ekonomi kapitalis, tingginya pendapatan nasional akan menyebabkan terjadinya pendistribusian pendapatan melalui mekanisme pemberian kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha kepada seluruh individu masyarakat. Individu dibiarkan bebas memperoleh kekayaan sebanyak apa pun yang dia mampu sesuai dengan faktor-faktor produksi yang dimilikinya, tanpa memperhatikan apakah distribusi kekayaan itu dirasakan merata oleh semua lapisan masyarakat, atau sebaliknya. Dari sinilah bermula keburukan kapitalisme dan penyebab terjadinya kezaliman, yaitu golongan yang kaya yang terdiri dari para pemilik modal, menjadi berkuasa dan mendiktekan aturan-aturan yang menguntungkan mereka. Menurut laporan bank dunia yang dikeluarkan pada Maret 2016, pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama satu dasawarsa terakhir hanya menguntungkan 20 persen warga terkaya, sementara 80 persen populasi sisanya – sekitar 205 juta orang—tertinggal di belakang yang menyebabkan terjadinya ketimpangan kekayaan yang relatif besar dan munculnya banyak masalah di seluruh aspek kehidupan.
Bagi negara dengan postur ekonomi yang lemah seperti Indonesia, maka hutang luar negeri yang berbasis ribawi adalah solusi dominan penguatan ekonomi, padahal Islam telah menjelaskan dengan lantang atas pengharaman Riba, baik sedikit maupun banyak, baik ada maslahat maupun tidak, hukumnya haram. Bank Indonesia (BI) mencatat posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir kuartal III/2023 mencapai US$393,7 miliar atau sekitar Rp6.180 triliun, sebuah peningkatan nominal hutang yang sangat tajam jika di bandingkan dengan posisi hutang luar negeri pada Juni 2011 yang mencapai Rp 1.723,9 triliun, sehingga terjadi kenaikan sebesar Rp 4.456 Triliun, selama 11 tahun hingga 2023, hutang pemerintah setiap tahun naik sebesar Rp 373,3 Triliun. Menurut CNBC Indonesia (24/05/2023), Hutang luar negeri tersebut harus dicicil pokok dan bunganya setiap tahun sebesar Rp 750-900 triliun. Kondisi ini melahirkan kerentanan dan kesimpangsiuran ekonomi, sehingga selalu terjadi gejolak pelemahan rupiah maupun inflasi. Tentang bahaya hutang luar negeri ini dijelaskan oleh William Douglas, salah seorang hakim mahkamah agung Amerika Serikat, pada tahun 1962 yang menyatakan tentang kondisi negara penghutang bertambah buruk akibat bantuan hutang dari Amerika. pengaruh hutang luar negeri, masih menurutnya, justru memperkaya pejabat tinggi di negara tersebut, sementara rakyat kebanyakan mulai binasa akibat kelaparan. Hal ini menunjukkan bahwa simpang siur ekonomi terjadi akibat hutang luar negeri, bukan karena isu menteri mundur ataupun gejolak politik pragmatis.
Untuk mengatasi tantangan ekonomi yang kompleks, negeri ini perlu mengambil langkah-langkah radikal. Meninggalkan sistem ekonomi kapitalisme yang telah menyebabkan kebingungan adalah langkah pertama yang penting. Selain itu, menyelesaikan masalah hutang luar negeri yang terus membengkak serta membersihkan segala bentuk praktik riba dari sistem ekonomi adalah hal yang tak terhindarkan. Solusi yang mungkin untuk menjalankan langkah-langkah ini secara efektif adalah dengan mengadopsi sistem ekonomi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam secara menyeluruh.Wallohu a’lam bis showab.
Oleh: Erwin Ansory
Sahabat Tinta Media