Tinta Media: Muhasabah
Tampilkan postingan dengan label Muhasabah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muhasabah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Februari 2024

Pentingnya Muhasabah



Tinta Media - Muhasabah adalah bentuk koreksi diri terhadap sikap, tingkah laku, ibadah terhadap Allah, dan hubungan kita terhadap manusia yang bertujuan untuk membenahi diri untuk menjadi lebih baik.

Tidak terasa kita sudah masuk di Tahun 2024. Itu berarti umur kita semakin bertambah angkanya. Ada yang sekarang sudah 20 tahun, 30 tahun, bahkan ada yang lebih dari 50 tahun. Jika melihat usia Nabi, maka hanya sebentar saja kita hidup di dunia, tidak lebih dari 62 tahun. Maka, di antara sikap terbaik bagi pribadi yang beriman saat diberikan kesempatan waktu oleh Allah dalam kehidupan adalah senantiasa bermuhasabah.

Muhasabah maknanya  mengevaluasi diri, mengintrospeksi diri dengan cara menghitung-hitung setiap apa yang telah dilakukan dalam kehidupa. 

Seperti halnya firman Allah Swt. dalam surat Al-Hasyr ayat 18  yang berbunyi,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan ”

Berbicara tentang muhasabah, berarti berbicara tentang instrospeksi diri. Para ulama sering kali menyebutkan bahwa ada empat hal yang perlu kita evaluasi dalam kehidupan kita.

Pertama adalah niat. Niat adalah kunci terpenting dalam kehidupan. Orientasi hidup kita sebenarnya adalah apa yang menjadi fokus kehidupan kita. Bisa jadi selama ini kita sering sibuk dengan urusan dunia, tetapi lupa menyiapkan bekal terbaik untuk kehidupan yang kekal, yaitu kehidupan akhirat. 

Ketika bekerja misalnya, boleh jadi kita hanya sekadar untuk mendapatkan penghasilan. Namun, kita sering lupa bahwasanya bekerja adalah bagian dari ibadah, amal saleh, dan bagian dari jihad fisabilillah.

Kedua, yang perlu kita evaluasi adalah apa-apa yang diperintahkan oleh Allah. Coba kita cek selama ini apakah kita menjalankan perintah Allah dengan baik atau malah melalaikannya, seperti salat. Apakah tahun-tahun kemarin kita sering lalai dengan salat kita, mengakhirinya atau bahkan meninggalkan? 

Maka, hal ini harus kita perbaiki. Kenapa salat yang harus kita perbaiki? Karena salat adalah perkara pertama yang nanti akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. 

Nabi Muhammad saw. bersabda, yang artinya, 

"Sesungguhnya yang pertama kali dihisab dari amal seorang hamba pada hari kiamat adalah salatnya. Apabila salatnya baik, maka ia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila salatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi.”

Setelah salat, baru kemudian puasa, zakat, kemudian haji. Bukan hanya yang wajib-wajib, tetapi juga yang sunnah-sunnah, seperti membaca Al-Qur’an, infaq, shadaqah, ta’lim, dan semua kebaikan yang diperintahkan oleh Allah Swt 

Ketiga, yang perlu kita evaluasi adalah apa saja yang dilarang oleh Allah Swt. Mungkin saja selama ini kita masih sering melakukan apa saja yang dilarang oleh Allah Swt. Mungkin saja hati kita masih kotor, iri, dengki, sombong, ujub, takabur, merasa diri paling benar, paling saleh, suka emosi, sering marah, dsb. Juga bagaimana hubungan kita dengan kerabat. Mungkin di antara sahabat-sahabat ada yang masih makan dengan harta yang haram, sogok menyogok, mengambil sesuatu yang bukan hak. Maka, semua itu haruslah kita evaluasi, bermuhasabah tentang apa yang kita ambil dalam kehidupan, apakah dilarang oleh Allah Swt. atau tidak.

Keempat, yang juga perlu kita muhasabahi adalah waktu.  Coba lihat umur kita saat ini. Kira-kira, bekal apa yang sudah kita persiapkan dalam kehidupan untuk menjemput kematian, saat kita berjumpa kembali kepada Allah? 

Sayyidina Umar RA pernah berkata, 

“Hendaklah kalian menghisab diri kalian sebelum kalian dihisab dan hendaklah kalian menimbang diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk hari besar ditampakkannya amal.” (HR. Tirmidzi)

Itulah empat hal yang harus kita muhasabahi dalam kehidupan. Muhasabah berarti ingin melakukan sebuah perubahan untuk menjadi pribadi yang lebih baik karena kita tidak akan selamanya ada di dunia. Seperti halnya yang Allah tegaskan dalam Al-Qur’an,

“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.”

Maka, persiapkanlah bekal dari sekarang. Dalam sebuah hadis pun dijelaskan, 

“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat.” (Hr Tirmidzi)

Ketika Allah masih memberikan kesempatan usia, bisa jadi dosa kita masih banyak. Maka, Allah mengajak kita untuk bertaubat, atau yang kedua bisa jadi Allah memberikan kesempatan untuk hidup, sehingga bisa menambah bekal untuk kehidupan di akhirat.


Oleh: Edo Alfikri
Mahasiswa STEI SEBI

Sabtu, 27 Januari 2024

Bencana Berulang, Saatnya Muhasabah Massal


Tinta Media - Indonesia dengan keindahan alam yang luar biasa nyatanya dinobatkan menjadi salah satu negara dari 35 negara di dunia yang potensi risiko bencananya paling tinggi. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terjadi 4.940 bencana sepanjang 2023. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2022. 

Kepala BNPB Letjen Suharyanto menyampaikan, kejadian bencana alam didominasi oleh kebakaran hutan dan lahan (karhutla), banjir, serta cuaca ekstrem. Ia merinci bahwa ada 1.802 karhutla, 1.170 bencana banjir, 1.155 cuaca ekstrem, 579 tanah longsor, 168 kekeringan, 31 gelombang pasang dan abrasi, 31 gempa bumi, dan 4 erupsi gunung berapi. (CNNIndonesia.com/12/01/24)) 

Dari banyaknya bencana di atas, ratusan orang meninggal dunia, puluhan orang hilang, ribuan orang luka-luka, jutaan orang yang menderita dan harus mengungsi. Bencana alam pada periode 2023 lalu juga mengakibatkan kerugian yang luar biasa. Di antaranya banyak rumah penduduk dan fasilitas masyarakat yang rusak parah. 

Terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan global menjadikan cuaca ekstrem terjadi di Indonesia. Bulan Januari ini Indonesia tengah berada di musim penghujan. Tak ayal, hujan pun sering turun di sebagian besar wilayah Indonesia. Namun, hujan yang mestinya membawa berkah nyatanya justru membawa musibah. Banjir yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Kerinci-Jambi, Riau, dan beberapa wilayah lain baru-baru ini masih menjadi masalah dan PR bagi pemerintah (baik daerah maupun pusat) terkait mitigasi yang dilakukan, mengingat musibah ini kerap berulang kali terjadi. 

Kapitalisme-Sekuler Lahirkan Kerusakan Alam

Nyatanya, semua bencana termasuk banjir sangat erat kaitannya dengan kerakusan manusia saat ini. Adanya tata kelola ruang yang asal-asalan, atau pembangunan wilayah atas kepentingan oligarki dan swasta yang tidak direncanakan secara komprehensif dan mendalam tentu akan membawa dampak buruk pada alam sekitar. Ini akan terus terjadi selama sistem kehidupan manusia masih menggunakan sistem kapitalisme-liberal yang dibangun atas asas pemisahan agama dari kehidupan. 

Negara yang seharusnya menjadi instrumen utama dalam tata kelola pembangunan justru abai. Negara dengan sistem kapitalisme hanya mengutamakan keuntungan dan cenderung lalai atas dampak terhadap lingkungan, termasuk tata kota secara keseluruhan dalam berbagai bentuk, seperti alih fungsi lahan, pembangunan wilayah perkotaan, daerah tujuan pariwisata, dan sebagainya.

Kerusakan terjadi di mana-mana, menimpa siapa pun, termasuk alam. Alam pun seolah enggan dikelola berdasarkan sistem batil kapitalisme-sekuler ini. Jangan salahkan alam yang murka, karena kerusakan alam ini tersebab ulah tangan manusia. Alhasil, datang bencana yang membuat rakyat menderita. 

Upaya negara dalam mitigasi bencana juga terkesan lamban, sehingga rakyat yang menjadi korban bencana alam ada dalam kondisi terlunta-lunta dan menderita. Belum lagi minimnya pasokan makanan dan kebutuhan layanan kesehatan yang seharusnya dijamin negara. Ini menambah permasalahan rakyat di tengah bencana yang terjadi. 

Islam Rahmat bagi Seluruh Alam

Bencana merupakan sebuah peringatan dari Allah untuk menunjukkan kuasa-Nya, ketika manusia tak lagi mau taat terhadap hukum-hukum Allah. Kondisi ini bisa menjadi muhasabah bagi setiap muslim, khususnya bagi negara Indonesia yang notabene mayoritas muslim terbesar di dunia. Terlebih, ketika kita sadar bahwa saat ini Indonesia tidak menerapkan hukum Islam secara kaffah. 

Teringat kisah ketika terjadi bencana alam berupa gempa pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Umar berkata kepada rakyatnya, "Wahai, Manusia, apa ini? Apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, Aku tak akan bersama kalian lagi!" 

Saat itu, Umar mengingatkan kaum muslimin untuk menjauhi maksiat dan segera bertobat kepada Allah. 

Oleh karena itu, sudah seharusnya umat dan penguasa saat ini melakukan muhasabah massal dan kembali kepada hukum-hukum Allah yang diterapkan secara sempurna dalam sistem Islam, yakni Daulah Khilafah Islamiyah. 

Dengan tegaknya Khilafah, akan lahir individu yang memiliki ketakwaan yang tinggi dan masyarakat yang Islami. Dengan begitu, tidak akan ada individu yang rakus dan mengedepankan kepentingan pribadi atau sekelompok golongan untuk menguasai lahan, karena Khilafah akan mengatur sistem kepemilikan berdasarkan Islam. 

Masyarakatnya pun akan menjadi masyarakat yang peduli dan saling mengingatkan satu sama lain, misal ketika ada individu yang sengaja membuang sampah di sungai atau melakukan penebangan hutan secara ilegal maka masyarakat lain harus menegur dengan cara yang ahsan, dengan begitu konsep amar makruf nahi mungkar akan terlaksana dengan baik. Selain itu, negara Khilafah akan menerapkan seluruh hukum Syariat Islam tanpa terkecuali, membuat aturan dan kebijakannya berdasarkan syariat Islam.

Begitu pun dengan pengelolaan SDA, tata kelola pembangunan, pemungsian lahan, pariwisata, dll, akan dikelola untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat, serta yang terpenting adalah menjaga dan tidak membuat kerusakan pada alam dan lingkungan sekitar. 

Upaya mitigasi bencana akan dilakukan pemerintah dengan dua cara yaitu saat pra bencana yang merupakan upaya untuk mencegah penduduk dari bencana. Misalnya memetakan wilayah-wilayah yang berpotensi rawan bencana, pembangunan bendungan, kanal, tanggul, pemecah ombak, membangun bangunan tahan gempa, melakukan reboisasi, pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, tata kota dengan drainase yang baik dan sesuai amdal. 

Khilafah juga akan membentuk Tim SAR (search and rescue) yang cakap dan handal serta melengkapinya dengan peralatan yang canggih. Selain itu posko kesehatan, dapur umum dan pengungsian juga akan tersedia dengan segera tanpa menunggu waktu lama. Khalifah akan menjamin para pengungsi atau korban bencana mendapatkan pasukan makanan dan kesehatan yang memadai. 

Mental recovery juga akan diberikan kepada para korban bencana melalui penguatan iman dan takwa. Terakhir negara Khilafah juga akan memperbaiki wilayah atau lingkungan yang terdampak bencana alam. Demikianlah mekanisme negara Khilafah dalam melakukan mitigasi bencana, sehingga bencana alam tidak terus berulang. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I
(Pemerhati Sosial dan Media)


Rabu, 10 Januari 2024

Pergantian Tahun, Muhasabah bagi Kaum Muslimin




Tinta Media - Saat ini kita sudah memasuki tahun baru 2024. Seperti biasa, pergantian tahun identik dengan pesta kembang api. Bahkan, supaya bisa menyaksikan detik-detik diluncurkannya kembang api, masyarakat rela berbondong-bondong karena tidak ingin melewatkan momen tersebut. 

Dilansir dari CNN Indonesia, untuk bisa merayakan tahun baru warga mengajak keluarga dan orang-orang terdekat berlibur ke suatu tempat. Beberapa rekomendasi lokasi di Jakarta ditawarkan untuk menyaksikan pesta kembang api malam tahun baru 2024. Selain pesta kembang api, di lokasi tersebut juga diadakan festival kuliner, bazar disertai acara musik yang menghadirkan artis-artis ternama.

Di saat yang sama, kaum muslimin di Gaza Palestina masih dibayang-bayangi dengan penjajah Zionis Yahudi. Penduduknya dipaksa keluar dari rumah mereka melalui serangan tanpa henti oleh Zionis Yahudi  selama 12 pekan belakangan ini. Korban yang meninggal akibat serangan zionis Yahudi selama puluhan tahun pun sudah tidak terhitung. 

Belum lagi penderitaan yang dialami oleh muslim Rohingya. Mereka mengalami stateless akibat  genosida oleh rezim Myanmar selama bertahun-tahun. Mereka mencari suaka selama bertahun-tahun, tetapi yang mereka dapatkan adalah pengusiran.

Pesta kembang api yang diadakan di berbagai negeri muslimin menunjukkan bahwa kaum muslimin telah abai terhadap urusan umat. Bahkan, seruan pembelaan terhadap Palestina sudah tidak santer lagi terdengar. Aksi pemboikotan terhadap produk Yahudi pun sudah mulai melonggar. 

Sikap kaum muslimin yang tidak peduli dengan saudara seakidahnya adalah cerminan dari nasionalisme. Ikatan nasionalisme ini berasal dari pemikiran Barat yang membuat mereka hanya mencintai wilayah masing-masing. Pemikiran nasionalisme inilah yang menyekat-nyekat kaum muslimin di berbagai negara. Wajar ketika mereka merasa bukan saudara dengan muslim yang tidak senegara dengannya.

Padahal, Rasulullah saw. bersabda, "Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya)." (HR. Muslim).

Seperti itulah seharusnya sikap kaum muslimin terhadap kaum muslimin yang lain, meskipun berbeda suku bangsa dan ras. Perasaan yang harus muncul di benak kaum muslimin adalah karena dorongan akidah, bukan sekadar rasa simpati, empati, maupun lainnya. Sehingga, ikatan yang mengikat kaum muslimin adalah ikatan ukhuwah Islamiyah karena keimanan. Ikatan inilah yang akan menyatukan kaum muslimin di seluruh dunia, sehingga merasakan penderitaan yang dialami oleh kaum muslimin yang dilukai.

Saat ini, perasaan kaum muslimin dalam menyikapi penjajahan terhadap penduduk Palestina hanya karena kemanusiaan. Sehingga, sebagai individu yang mempunyai rasa kemanusiaan, mereka tergerak hati untuk mengirimkan bantuan berupa makanan, obat-obatan, dan lain sebagainya. Padahal, yang dibutuhkan oleh mereka adalah bantuan dalam bentuk militer. 

Maka, akar persoalan yang harus dituntaskan oleh kaum muslimin saat ini adalah dengan menghapus sekat-sekat nasionalisme yang membelenggu kaum muslimin, serta menciptakan pelindung sejati bagi umat secara internasional, karena ada PBB selama ini pun tidak bisa menyelesaikan persoalan kekejaman terhadap kaum muslimin. 

Maka, sikap yang seharusnya dimuhasabahi oleh kaum muslimin  di pergantian tahun ini adalah bukan bersenang-senang di atas penderitaan saudara seakidah, melainkan memperjuangkan sebuah negara yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah, yakni Khilafah Islamiyah yang akan menolong kaum muslimin yang terzalimi di mana pun. Wallahu'alam bishshawab.

Oleh: Sumiati
Sahabat Tinta Media

Rabu, 05 Juli 2023

MENELADANI DIMENSI ALTRUISTIK NABI IBRAHIM DAN ISMAIL

Tinta Media - Altruisme atau altruistik adalah konsep yang menggambarkan sikap untuk bertindak demi kesejahteraan orang lain, bahkan seringkali harus mengorbankan kepentingan diri sendiri. Altruisme ditandai oleh niat yang tulus dan ikhlas untuk membantu orang lain atau berkontribusi pada kebaikan. Individu yang memiliki sifat altruistik mungkin terdorong oleh empati mendalam terhadap orang lain, rasa tanggung jawab sosial, atau nilai-nilai moral. Pribadi altruistik tidak hanya sampai pada simpati, namun empati yang melahirkan sikap dan tindakan.

 

Altruisme dapat mengambil berbagai bentuk, mulai dari tindakan kecil sehari-hari dalam membantu dan berbuat baik kepada orang lain hingga tindakan yang lebih besar, seperti menjadi relawan, memberikan sumbangan filantropi, atau bahkan pengorbanan diri demi kebaikan orang lain. Altruisme bisa dilakukan siapa saja untuk kebaikan apa saja. Altruisme bersifat universal dengan memahami bahwa nilai-nilai kemanusiaan adalah bagian dari misi semua orang.

 

Teori-teori tentang altruisme masih menjadi perdebatan di antara para peneliti dalam bidang psikologi, sosiologi, dan filsafat. Beberapa berpendapat bahwa altruisme dipicu secara intrinsik oleh keinginan untuk membantu orang lain, sedangkan yang lain berpendapat bahwa tindakan altruistik juga dapat dipengaruhi oleh faktor seperti reciprocité (balasan timbal balik), penguatan sosial, atau kepuasan pribadi. Artinya banyak faktor pendorong bagi orang yang melakukan kebaikan bagi orang lain. Termasuk dorongan spiritual juga menjadi aspek penting bagi lahirnya karakter altruistik ini.

 

Terlepas dari motivasi yang mendasarinya, altruisme memainkan peran penting dalam hubungan antarmanusia, memfasilitasi kerjasama, empati, dan solidaritas. Altruisme juga dapat berkontribusi pada perbaikan masyarakat secara keseluruhan dengan menciptakan lingkungan yang lebih baik dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang paling rentan.

 

Perlu dicatat bahwa altruisme tidak boleh disamakan dengan altruisme tanpa syarat, yang mengacu pada kecenderungan untuk membantu orang lain tanpa harapan reciprocité (timbal balik) atau penghargaan. Meskipun altruisme tanpa syarat terlihat ideal, menerapkannya dalam semua situasi dapat sulit dan menimbulkan pertanyaan kompleks tentang batasan dan konsekuensi dari bantuan tanpa pamrih. Idealnya sifat altruistik ini didorong oleh energi spiritual, dalam Islam disebut ridho Allah.

 

Secara umum, altruisme adalah perilaku yang melibatkan kepedulian terhadap orang lain dan upaya untuk mempromosikan kesejahteraan mereka, bahkan jika itu mengorbankan kepentingan diri sendiri. Ini adalah sifat yang dihargai dalam banyak budaya dan dapat memainkan peran penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan solidaritas.

 

Sebagai agama sempurna, Islam juga mengajarkan dan mendorong praktik altruistik dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip ajaran Islam mendorong umat Muslim untuk berlaku baik terhadap sesama manusia dan berbagi dengan mereka yang membutuhkan.

 

Beberapa konsep dalam Islam yang berkaitan dengan altruisme antara lain: Pertama, Zakat. Zakat adalah kewajiban bagi umat Muslim yang mampu untuk memberikan sebagian dari kekayaan mereka kepada mereka yang kurang beruntung. Ini adalah bentuk zakat yang diwajibkan untuk diberikan kepada golongan tertentu seperti fakir miskin, orang-orang yang terlilit hutang, para musafir yang terjebak, dan lain-lain. Praktik zakat mendorong kesadaran dan kepedulian terhadap kondisi orang-orang yang kurang beruntung dalam masyarakat.

 

Kedua, sadaqah. Sadaqah merupakan bentuk sumbangan sukarela yang dapat diberikan oleh individu sesuai dengan kemampuannya. Sadaqah dapat berupa memberikan bantuan kepada orang miskin, membantu yatim piatu, menyumbangkan makanan kepada yang lapar, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan pentingnya kepedulian terhadap orang lain dan memberikan dukungan kepada mereka yang membutuhkan.

 

Ketiga, khidmat masyarakat. Islam mengajarkan pentingnya membantu dan melayani masyarakat secara luas. Memberikan bantuan kepada tetangga, merawat orang sakit, membantu dalam upaya membersihkan lingkungan, dan berpartisipasi dalam kegiatan sukarela untuk kemaslahatan umum adalah beberapa contoh dari praktek khidmat masyarakat dalam Islam.

 

Keempat, kasih sayang dan perhatian terhadap sesama. Islam mengajarkan pentingnya memiliki sikap welas asih, kasih sayang, dan perhatian terhadap sesama manusia. Memperlihatkan empati, membantu orang dalam kesulitan, memberikan nasihat yang baik, dan merespons kebutuhan orang lain dengan penuh perhatian adalah beberapa sikap yang ditekankan dalam Islam.

 

Dalam ajaran Islam, kebaikan terhadap sesama manusia dianggap sebagai bentuk ibadah dan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan menerapkan prinsip-prinsip altruisme ini, umat muslim diharapkan untuk berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil, empati, dan saling peduli.

 

Semua Nabi dan Rasul memiliki karakter altruistik, diantara contohnya adalah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Aspek altruistik Nabi Ibrahim bisa menjadi inspirasi bagi umat Islam dan manusia seluruh dunia. Nabi Ibrahim (Abraham) adalah salah satu tokoh sentral dalam agama Islam dan dihormati sebagai salah satu nabi terbesar. Dalam sejarahnya, terdapat beberapa aspek altruisme yang terkait dengan kehidupan Nabi Ibrahim.

 

Pertama, keinginan untuk memperbaiki masyarakat. Nabi Ibrahim menunjukkan sifat altruistik dengan berusaha memperbaiki masyarakat dan menyebarkan ajaran tauhid (kepercayaan kepada Allah yang Maha Esa). Meskipun hidup di tengah masyarakat yang menyembah berhala, Nabi Ibrahim berjuang melawan penyembahan berhala dan mengajak orang lain untuk menyembah Allah yang hakiki.

 

Kedua, Pengorbanan pribadi: Salah satu aspek paling terkenal dari kehidupan Nabi Ibrahim adalah kisah pengorbanan putranya, Nabi Ismail (Ishmael), sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran. Nabi Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah untuk mengorbankan putranya sebagai tanda kesetiaan dan ketaatan kepada-Nya. Meskipun hal ini merupakan pengujian yang sangat berat, Nabi Ibrahim bersedia melaksanakan perintah Allah hingga pada akhirnya Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba sebagai pengorbanan.

 

Ketiga, kebijaksanaan dan perjuangan untuk kebenaran. Nabi Ibrahim juga menunjukkan sifat-sifat altruistik melalui kebijaksanaan dan perjuangannya untuk menegakkan kebenaran agama Allah. Dia tidak takut untuk menentang kekuasaan dan otoritas yang korup yakni namrud, dan dengan penuh keberanian menyampaikan pesan tauhid dan mengajak manusia kembali kepada Allah.

 

Keempat, keterbukaan dan keramahan terhadap tamu. Nabi Ibrahim terkenal dengan keramahannya terhadap tamu yang datang kepadanya. Dalam cerita perjumpaannya dengan tiga tamu yang ternyata utusan Allah, Nabi Ibrahim dengan rendah hati menyambut mereka, memberi mereka makanan, dan memberikan mereka pelayanan yang baik. Hal ini menunjukkan sikap pemurah dan perhatiannya terhadap orang lain.

Dalam semua aspek ini, Nabi Ibrahim menjadi contoh teladan bagi umat Muslim tentang pentingnya sikap altruisme, pengorbanan, keberanian, kebijaksanaan, dan keramahan terhadap sesama. Ajaran-ajarannya menginspirasi umat Muslim untuk bertindak dengan belas kasihan, kebaikan, dan keadilan dalam menjalin hubungan dengan Allah dan sesama manusia.

 

Jika membincangkan Nabi Ibrahim, maka belum sempurna tanpa membahas Nabi Ismail. Aspek altruisme Nabi Ismail juga tidak lebih indah dibandingkan ayahnya. Nabi Ismail adalah salah satu nabi yang juga memiliki aspek-aspek altruistik dalam kehidupannya. Meskipun dalam Al-Quran tidak banyak diceritakan tentang Nabi Ismail, terdapat beberapa aspek altruisme yang dapat ditemukan dalam kisahnya.

 

Pertama, kesediaan untuk dikorbankan. Dalam kisah pengorbanan yang diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim, Nabi Ismail bersedia untuk dikorbankan demi ketaatan kepada Allah. Meskipun dia masih muda pada saat itu, Nabi Ismail menunjukkan ketundukan dan kesiapan untuk mengorbankan dirinya sebagai bentuk kesetiaan kepada Allah.

 

Kedua, kehidupan dalam ketaatan. Nabi Ismail hidup dalam ketaatan kepada Allah dan mengikuti ajaran yang diterima dari Nabi Ibrahim. Dia menunjukkan sikap sabar, tawakal, dan ketundukan terhadap kehendak Allah dalam kehidupannya. Ketaatan totalitas atas perintah Allah menjadi contoh yang indah bagi umat Islam selanjutnya. Sebab masuk Islam harus kaffah, bukan parsial. Ketaatan kepada Allah harus totalitas.

 

Ketiga, kontribusi dalam membangun Ka'bah. Dalam tradisi Islam, Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim dikaitkan dengan pembangunan Ka'bah di Makkah. Kisah ini menunjukkan kerja keras, dedikasi, dan kontribusi Nabi Ismail dalam membangun tempat suci yang menjadi pusat ibadah bagi umat Muslim di seluruh dunia. Ini adalah sifat altruistik yang luar biasa, sebab hingga kini Ka’bah menjadi kiblat umat Islam sedunia hingga hari kiamat.

 

Meskipun kisah-kisah tentang Nabi Ismail terbatas dalam sumber-sumber Islam, sikap-sikap altruistik seperti kesediaannya untuk mengorbankan diri dan hidup dalam ketaatan kepada Allah memberikan contoh tentang pentingnya pengorbanan, tawakal, dan ketundukan dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan oleh Allah dan dalam berhubungan dengan sesama manusia, khususnya dalam menghidupkan agama Allah sehingga Islam terus ada hingga masa kita hari ini.

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 21/06/23 : 14.03 WIB)

Referensi: https://www.ahmadsastra.com/2023/06/meneladani-dimensi-altruistik-nabi.html?m=1

Oleh: Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

Kamis, 11 Agustus 2022

Muhasabah Diri Menuju Ketakwaan kepada Allah

Tinta Media - Sobat. Umar bin Alkhaththab pernah  berkata, “ Hisablah  diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang  dan berhiaslah diri kalian untuk menghadapi hari penampakkan yang agung.”

Sobat. Allah SWT berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ  

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ( QS. Al-Hasyr (59) : 18 )

Sobat. Kepada orang-orang yang beriman diperintahkan agar bertakwa kepada Allah, dengan melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Termasuk melaksanakan perintah Allah ialah memurnikan ketaatan dan menundukkan diri hanya kepada-Nya, tidak ada sedikit pun unsur syirik di dalamnya, melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan, dan mengadakan hubungan baik sesama manusia.

Dalam ayat yang lain diterangkan tanda-tanda orang bertakwa:

۞لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ  

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah/2: 177)

Dalam Al-Qur'an ungkapan kata takwa mempunyai beberapa arti, di antaranya: Pertama, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan diajarkan Rasulullah saw seperti contoh ayat di atas. Kedua, takut melanggar perintah Allah dan memelihara diri dari perbuatan maksiat.

Orang yang bertakwa kepada Allah hendaklah selalu memperhatikan dan meneliti apa yang akan dikerjakan, apakah ada manfaat untuk dirinya di akhirat nanti atau tidak. Tentu yang akan dikerjakannya semua bermanfaat bagi dirinya di akhirat nanti. Di samping itu, hendaklah seseorang selalu memperhitungkan perbuatannya sendiri, apakah sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Jika lebih banyak dikerjakan yang dilarang Allah, hendaklah ia berusaha menutupnya dengan amal-amal saleh. Dengan perkataan lain, ayat ini memerintahkan manusia agar selalu mawas diri, memperhitungkan segala yang akan dan telah diperbuatnya sebelum Allah menghitungnya di akhirat nanti.

Suatu peringatan pada akhir ayat ini agar selalu bertakwa kepada Allah, karena Dia mengetahui semua yang dikerjakan hamba-hamba-Nya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, yang lahir maupun yang batin, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.

Sobat. Ayat 177 Surat Al-Baqarah ini bukan saja ditujukan kepada umat Yahudi dan Nasrani, tetapi mencakup juga semua umat yang menganut agama-agama yang diturunkan dari langit, termasuk umat Islam.
Pada ayat 177 ini Allah menjelaskan kepada semua umat manusia, bahwa kebajikan itu bukanlah sekadar menghadapkan muka kepada suatu arah yang tertentu, baik ke arah timur maupun ke arah barat, tetapi kebajikan yang sebenarnya ialah beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, iman yang bersemayam di lubuk hati yang dapat menenteramkan jiwa, yang dapat menunjukkan kebenaran dan mencegah diri dari segala macam dorongan hawa nafsu dan kejahatan. Beriman kepada hari akhirat sebagai tujuan terakhir dari kehidupan dunia yang serba kurang dan fana. Beriman kepada malaikat yang di antara tugasnya menjadi perantara dan pembawa wahyu dari Allah kepada para nabi dan rasul. Beriman kepada semua kitab-kitab yang diturunkan Allah, baik Taurat, Injil maupun Al-Qur'an dan lain-lainnya, jangan seperti Ahli Kitab yang percaya pada sebagian kitab yang diturunkan Allah, tetapi tidak percaya kepada sebagian lainnya, atau percaya kepada sebagian ayat-ayat yang mereka sukai, tetapi tidak percaya kepada ayat-ayat yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. Beriman kepada semua nabi tanpa membedakan antara seorang nabi dengan nabi yang lain.

Iman tersebut harus disertai dan ditandai dengan amal perbuatan yang nyata, sebagaimana yang diuraikan dalam ayat ini, yaitu:

1. Memberikan harta yang dicintai :
a. memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat yang membutuhkannya. Anggota keluarga yang mampu hendaklah lebih mengutamakan memberi nafkah kepada keluarga yang lebih dekat.

b. memberikan bantuan harta kepada anak-anak yatim dan orang-orang yang tidak berdaya. Mereka membutuhkan pertolongan dan bantuan untuk menyambung hidup dan meneruskan pendidikannya, sehingga mereka bisa hidup tenteram sebagai manusia yang bermanfaat dalam lingkungan masyarakatnya.

c. memberikan harta kepada musafir yang membutuhkan, sehingga mereka tidak terlantar dalam perjalanan dan terhindar dari pelbagai kesulitan.

d. memberikan harta kepada orang yang terpaksa meminta minta karena tidak ada jalan lain baginya untuk menutupi kebutuhannya.

e. memberikan harta untuk menghapus perbudakan, sehingga ia dapat memperoleh kemerdekaan dan kebebasan dirinya yang sudah hilang.

2. Mendirikan salat, artinya melaksanakannya pada waktunya dengan khusyuk lengkap dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
 
3. Menunaikan zakat kepada yang berhak menerimanya sebagaimana yang tersebut dalam surah at-Taubah ayat 60. Di dalam Al-Qur'an apabila disebutkan perintah: "mendirikan salat", selalu pula diiringi dengan perintah: "menunaikan zakat", karena antara salat dan zakat terjalin hubungan yang sangat erat dalam melaksanakan ibadah dan kebajikan. Sebab salat pembersih jiwa sedang zakat pembersih harta. Mengeluarkan zakat bagi manusia memang sukar, karena zakat suatu pengeluaran harta sendiri yang sangat disayangi. Oleh karena itu apabila ada perintah salat, selalu diiringi dengan perintah zakat, karena kebajikan itu tidak cukup dengan jiwa saja tetapi harus pula disertai dengan harta. Oleh karena itulah, sesudah Nabi Muhammad saw wafat, para sahabat sepakat tentang wajib memerangi orang yang tidak mau menunaikan zakat hartanya.

4. Menepati janji bagi mereka yang telah mengadakan perjanjian. Segala macam janji yang telah dijanjikan wajib ditepati, baik janji kepada Allah seperti sumpah dan nazar dan sebagiannya, maupun janji kepada manusia, terkecuali janji yang bertentangan dengan hukum Allah (syariat Islam) seperti janji berbuat maksiat, maka tidak boleh (haram) dilakukan, hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw:

Tanda munafik ada tiga: yaitu apabila ia berkata, maka ia selalu berbohong, apabila ia berjanji, maka ia selalu tidak menepati janjinya, apabila ia dipercayai, maka ia selalu berkhianat. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a.).

5.  Sabar dalam arti tabah, menahan diri dan berjuang dalam mengatasi kesempitan, yakni kesulitan hidup seperti krisis ekonomi; penderitaan, seperti penyakit atau cobaan ; dan dalam peperangan, yaitu ketika perang sedang berkecamuk. 
 
Mereka itulah orang-orang yang benar dalam arti sesuai dengan sikap, ucapan dan perbuatannya dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Abu Laits Assamarqandi  menjelaskan mengenai Tawakkal  terbagi menjadi dua : 1. Tawakkal  tentang rezeki, maka tidak boleh  gelisah, prihatin di dalamnya. 2. Tawakkal tentang pahala amal, harus percaya dan tenang  pada  janji Allah SWT dan khawatir  terhadap amalnya, apakah diterima  atau tidak, engkau belum tahu persis duduk masalahnya.

Yuk Hijrah Total Lakukan saja. Jangan banyak mikir, jangan banyak tapi, jangan banyak nanti dan jangan banyak nunda. Jangan dinanti-nanti keburu mati…Yakinlah sobat!  Bahwa Allah akan tepati janji-Nya. Allah akan tunjukkan jalan. Allah akan hadirkan keajaiban. Allah akan berikan pertolongan.

Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Goreskan Tinta Emas. Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab