Tinta Media: Muamalah
Tampilkan postingan dengan label Muamalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Muamalah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Januari 2023

TAHAPAN-TAHAPAN AKAD MENURUT HANAFIYAH

Tinta Media - Dalam belajar fikih muamalat kita diajarkan tentang tahapan-tahapan akad, bagaimana akad itu bisa terlaksana menurut ajaran islam, secara sah dan terhindar dari akad-akad yang salah. Di bawah ini akan dijelaskan bagaimana tahapan akad itu terjadi mulai dari mulai bertransaksi sampai terjadinya akad.

A. Jenis-jenis Akad

Para ahli fikih membahas legalitas akad dari dua aspek mendasar, yaitu

Pertama, Akad yang legal (sah)

1. Bentukan dasar akad yang legal, yaitu akad yang memenuhi unsur-unsur dasarnya (rukun dan syarat akad/shighat, pelaku akad, objek akad dan tujuan akad)

2. Sifat akad yang legal, yaitu akad yang tidak mengandung sifat-sifat akad yang dilarang oleh syara.

Kedua, Akad yang tidak legal

1. Bentukan akad yang tidak legal, yaitu akad yang tidak memenuhi salah satu unsur-unsur dasarnya (rukun dan syarat akad/shighat, pelaku akad, objek akad dan tujuan akad).

2. Sifat akad yang tidak legal, yaitu akad yang memiliki sifat-sifat yang dilarang syara’ seperti beberapa sifat akad yang menyebabkan sah dan tidaknya akad.

B. Tahapan Akad Menurut Hanafiyah

Mayoritas ulama berbeda dengan madzhab Hanafiyah dalam pembagian akad. Menurut Hanafiyah, ada tiga fase yang harus dilalui sehingga sebuah akad itu menjadi sah dan melahirkan akibat hukumnya secara sempurna yaitu sebagai berikut:

Pertama, Fase in’iqad (pembentukan)

Setiap akad harus melewati fase kelahiranya atau pembentukanya (fase In’iqad) dengan memenuhi rukun dan syarat sah akad. Jika rukun dan syarat akad terpenuhi, maknanya akad itu mulai terbentuk (mun’aqid). Dan sebaliknya jika rukun dan syarat akad tidak terpenuhi, maknanya akad itu belum ada atau disebut akad bathil.

Misalnya, akad jual beli yang lengkap rukun dan syarat sahnya, diantara objek jualnya halal dan bisa diserah terimakan, ada ijab qabul yang jellas dan dilakukan oleh penjual dan pembeli yang cakap hukum, maka akad jual beli ini menjadi akad mun’aqid

Suatu akad yang cukup rukun dan syaratnya itu tidak serta merta mejadi sah dan melahirkan akibat hukum karena harus memenuhi ketenuan lain. Oleh karena itu, sete;ah  fase pembentukanya, akad ini harus melewati fase selanjutnya (fase kedua),  yaitu fase legalitas (shihah)

 

Kedua, Fase shihah (legalitas)

Fase kedua adalah fase legalitas (shihah) di mana itu tidak mengandung sifat-siat yang dilarang syara’. Jika hal tersebut terpenuhi, maka akad menjadi akad yang sah.

Sebaliknya, jika akad tersebut memenuhi syarat-syarat pembentukanya, tetapi mengandung sifat-sifat yang dilarang oleh syara’, maka akad tersebut menajadi akad yang fasid.

Misalnya akad jual beli yang lengkap rukun dan syarat sahnya sebagaimana tersebut di atas, tetapi waktu dan harganya ditentukan berdasarkan imdeks harga yang tidak jelas, maka akadnya menjadi tidak sah.

Setelah akad cukup rukun dan syaratnya serta tidak mengandung sifat-sifat yang dilarang oleh syara’ itu juga tidak serta merta sah dan melahirkan akibat hukum yang sempurna Karen harus memenuhi ketentuan lain. Oleh karena itu, setelah fase legalitas, akad ini harus melewati fase selanjutnya (fase ketiga), yatu fase nafadz.

Ketiga, Fase nafadz (terjadinya akad)

Jika akad itu mun’aqid dan sah itu belum menjadi akad yang sempurna jika belum melahirkan akibat-akibat akad secara langsung karena membutuhkan persetujuan pihak  lain (akadnya masih begantung pada persetujuan mitranya). Oleh karena itu, agar akad yang sah tersebut bisa berlaku efektif sejak akad disepakati, maka harus memenuhi ketentuan nafadz.

Sebaliknya, akad itu mun’aqid dan sah, tetapi tidak melahirkanakibat-akibat akad secara langsung kecuali dengan persetujuan pihak lain, maka akad tersebut dikategorikan akad mauquf (menggantung).

Misalnya akad jual beliyang lengkap rukun dan syarat sahnya sebagaimana tersebut di atas tetapi akad tersebut masih tertunda karena menunggu persetujuan dari pihak lain, maka akadnya walaupun sah tapi mauquf.

Setelah akad itu terbentuk, sah dan berlaku efektif itu juga tidak serta merta melahirkan akibat hukum secara sempurna karena harus memenuhi ketentuan lain. Oleh karena itu, setelah fase nafadz, akad ini harus memenuhi akad selanjutnya (keempat), yaitu fase luzum.

Keempat, Fase luzum (akad mengikat)

Akad yang mun’aqid, sah, nafadz itu belum menjadi akad yang sempurna jika pihak akad lain masih bisa mem-fasakh (batal) akad tersebut karena akadnya masih bergantung paa mitranya.

Oleh Karena itu, agar akad yang lazim tersebut bisa berlaku efektif sejak akad disepakati, maka harus memenuhi ketentuan luzumnya.

Tetapi sebaliknya, jika akad itu mun’aqid, sah, nafadz dan pihak-pihak akad bisa mem-fasak akad tanpa seizing pihak lain, maka akad tersebut menjadi akad ghairu lazim.

Misalnya akad jual beli yang lengkap rukun syarat sahnya sebagaimana tersebut diatas, tetapi akad tersebut masih tertunda karena masih menunggu kepastianpihak akad lain tidak membatakan akad tersebut.

Inilah fase terakhir suatu akad, maka akad itu terbentuk, legal, nnafidz, lazim maka akad tersebut bisa melahirkan akibat hukumnya secara sempurna.

 Oleh: Edo Alfikri

Mahasiswa STEI SEBI 

 

 

 

 

Minggu, 25 Desember 2022

Bermuamalah dengan Ekonomi Islam

Tinta Media - Muamalah, mungkin kita sudah biasa mendengarnya. Akan tetapi, bermuamalah itu sebenarnya apa?

Suatu aturan dalam hukum Islam yang mengatur perilaku manusia di dunia, yang berkaitan dengan harta milik manusia disebut fiqh muamalah. Konsep dasar yang dimiliki oleh fiqih muamalah biasanya mencakup tentang masalah transaksi komersial, seperti jual beli barang, sewa-menyewa barang, dan tukar-menukar barang.

Ekonomi Islam bisa diibaratkan seperti sebuah rumah yang memiliki tiga bagian penting, yang menentukan apakah rumah tersebut kuat dan kokoh atau gampang roboh. Tiga bagian tersebut adalah:

Pertama, pondasi ekonomi Islam yang di dalamnya meliputi: Tauhid, Adl, Nubuwwah, Khilafah, Ma’ad

Kedua, tiang ekonomi Islam yang mencakup:
Multiple Ownership, Freedom of Act, Social Justice

Ketiga, atap ekonomi Islam yang tidak lain ialah Akhlak.

Bermuamalah menurut agama Islam ialah suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Tentunya, aktivitas ini tidak boleh menyimpang dari syariat Islam. 

Kegiatan bermuamalah tidak bisa lepas dari yang namanya hubungan antar manusia. Hal ini selaras dengan konsep manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, maka hal yang dianjurkan dalam bermasyarakat adalah tolong-menolong. 

Akan tetapi, jangan sampai salah. Tidak semua tolong-menolong itu dianjurkan dalam agama Islam. Ada juga tolong-menolong yang dilarang, yaitu tolong-menolong dalam hal keburukan, karena akan menimbulkan kerugikan bagi pihak yang lain.

Bermuamalah dalam Praktik Jual Beli. 

Arti perdagangan atau jual beli (al-bai') secara bahasa ialah memindahkan hak milik terhadap benda dengan akad saling mengganti. Kemudian menurut istilah, makna jual beli adalah pemilikan terhadap harta atau manfaat untuk selamanya dengan bayaran harta.

Singkatnya, kegiatan pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan disebut jual beli.
Syarat sahnya kegiatan jual beli yaitu:
ada orang yang melakukan teransaksi (orang yang menjual dan orang yang membeli) sighat (ucapan atau akad), ada barang yang dibeli, ada uang (Nilai Tukar Pengganti Barang)

Dalam Islam sendiri ada barang-Barang yang tidak boleh diperjualbelikan. Di antaranya adalah:

• Barang-barang yang mengandung unsur najis di dalamnya ataupun barang-barang yang telah diharamkan oleh agama Islam, seperti minuman keras, daging babi, bangkai, dan sebagainya. Di antara bangkai terdapat sebuah pengecualian, yakni bangkai ikan dan belalang.

• Barang yang jelas-jelas tidak ada di tangan, sehingga tidak sah menjual burung yang sedang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang sedang kabur dari kendang.

Murabahah, salam, istihsna dan sharf merupakan contoh dari jual beli yang diperbolehkan dalam Islam. Sedangkan contoh dari jual beli yang tidak diperbolehkan dalam Islam di antaranya adalah ba’i najasy, taghrir, tadlis, gharar, ikhtikar, dan risywah.

Oleh: Muhammad Azam Atsan
Mahasiswa
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab