Tinta Media: Moderasi
Tampilkan postingan dengan label Moderasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Moderasi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Maret 2024

KUA untuk Semua Agama, Bagian dari Agenda Moderasi



Tinta Media - Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menteri Agama menyampaikan bahwa Kantor Urusan Agama (KUA) akan dijadikan tempat sentral untuk mencatat pernikahan semua agama, bukan hanya umat yang beragama Islam saja. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan fungsi KUA sebagai pencatatan data-data pernikahan dan perceraian agar terintegrasi dengan baik.

Yaqut mengatakan bahwa sebelumnya orang non muslim mencatat pernikahannya di pencatatan sipil, tetapi sekarang menjadi urusan Kementerian Agama. Tidak hanya itu, KUA akan dijadikan tempat ibadah sementara bagi orang non muslim yang masih kesulitan mendirikan rumah ibadah karena faktor ekonomi. Tentu ini dilakukan untuk melindungi orang non muslim. (cnnindonesia.com, 24 Februari 2024).

Ada beberapa pemuka agama setuju dengan kebijakan yang dibuat Kementerian Agama, tetapi ada juga yang tidak setuju dengan alasan bahwa perkawinan adalah urusan pribadi. Karena itu, pemerintah tidak perlu ikut campur. 

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas mengingatkan pada Kemenag untuk mengkaji ulang agar tidak menimbulkan kegaduhan antar umat beragama.

Jika dikaji lebih mendalam, kita bisa melihat bahwa kebijakan ini diakibatkan karena penerapan sistem sekularisme di negeri ini. Sistem sekuler telah melegalkan kebebasan beragama dan menjadikan negara ikut campur untuk menjalani kebebasan itu. 

Kebijakan ini akan menghasilkan pemahaman bahwa semua agama mendapatkan perlakuan yang sama tanpa memperhatikan batasan yang dibolehkan atau tidak oleh agama, khususnya agama Islam.

Kementerian Agama pada awalnya dibentuk untuk kepentingan umat Islam, tetapi saat ini telah berubah fungsi untuk mengurus kepentingan semua agama dengan dalih toleransi dan menghargai umat lain. 

Pengakuan ini memunculkan paham pluralisme yang mengatakan bahwa semua agama sama dan benar, hanya Tuhan dan ajarannya saja yang berbeda. Pernyataan ini jelas bertentangan dengan pemahaman agama Islam.

Menurut pandangan pluralisme, semua yang beragama layak mendapatkan tempat terbaik di akhirat kelak selama dia taat terhadap Tuhannya. Pemahaman ini akan merusak pemahaman hakiki bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang benar dan Allah ridai.  Selain itu, lemahnya pemahaman umat Islam terhadap agamanya disebabkan karena pendidikan sekuler. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 19 yang artinya, 

”Sesungguhnya agama yang diridai Allah hanyalah agama Islam.”   

Negara tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap pemeluk agama mana pun. Namun, dengan menyatukan urusan perkawinan dalam suatu institusi, ini merupakan bukti bahwa negara ikut campur di dalam ajaran agama selain agama Islam. 

Kebijakan ini tentu sejalan dengan pengarusan gagasan moderasi beragama yang sampai saat ini masih dilakukan di seluruh dunia.

Islam merupakan sebuah ideologi yang memiliki akidah dan memancarkan berbagai peraturan kehidupan. Dengan adanya gagasan moderasi beragama, termasuk pluralisme, maka umat akan dijauhkan dari pemahaman Islam sebagai ideologi dan menghambat kebangkitan Islam. 

Ini semua tidak terlepas dari kebijakan negara Barat yang memiliki hegemoni kapitalisme global di dunia.

Islam tidak pernah memandang buruk adanya keberagaman di tengah masyarakat. Keragaman merupakan hal wajar yang kita terima sebagai kenyataan yang Allah ciptakan. Di dalam negara Islam, masyarakat berasal dari beragam suku. Di antara mereka, tidak sedikit orang nonmuslim tinggal. 

Akan tetapi, pluralitas berbeda dengan pluralisme. Pluralisme mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, sementara pluralitas menunjukkan keberagaman atau kemajemukan.

Selama kurang lebih 14 abad silam, Islam mampu mempersatukan umat manusia dalam ikatan akidah Islam dengan pemeliharaan jiwa dan kehormatan muslim dan non muslim secara menyeluruh sebagai warga negara Islam. Tidak hanya itu, negara Islam juga mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan di tengah umat manusia. 

Kebutuhan pokok mereka dijamin oleh negara dengan baik.
Syariat Islam inilah yang menghilangkan kesenjangan sosial dan konflik masyarakat hingga  membuat kerukunan di antara mereka. Dalam hal pernikahan, mereka diizinkan menikah berdasarkan keyakinannya. 

Dalam hubungan sosial, non muslim wajib mengikuti syariat Islam, seperti sistem sanksi, peradilan, ekonomi, pemerintahan, dan kebijakan luar negeri. 

Negara Islam memberlakukan syariat Islam pada semua masyarakat tanpa memandang non muslim ataupun muslim. Penerapan Islam pun hadir sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia. Wallahualam.


Oleh: Okni Sari Siregar S.Pd.
Sahabat Tinta Media 

Gagasan Transformasi KUA, Proyek Moderasi Beragama


Tinta Media - Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan instansi pemerintah agama tingkat daerah yang mengemban beberapa misi Kementerian Agama Republik Indonesia di wilayah Kabupaten, khususnya dalam bidang urusan agama Islam. Namun, apa jadinya jika KUA tidak hanya melayani pencatatan pernikahan umat Islam, tetapi juga untuk nonmuslim?

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Bandung menyatakan tidak keberatan jika KUA mencatatkan pernikahan warga nonmuslim. Sudah seharusnya KUA melayani semua warga negara, tidak hanya warga muslim saja. Semua umat beragama mempunyai hak yang sama. Gagasan ini pun disampaikan langsung oleh Menag Yaqut Cholil Qoumas. Ia ingin mendorong KUA bertransformasi sebagai tempat yang tak hanya melayani umat Islam saja. 

Perlu kita ketahui bahwa pengaturan pembagian pencatatan pernikahan yang berlaku di Indonesia dari semenjak merdeka sampai saat ini, yakni umat Islam di KUA dan nonmuslim di pencatatan sipil. Peraturan ini sudah lama berjalan dan tidak menimbulkan masalah dan penolakan dari warga nonmuslim. Selain itu, aturan ini diterapkan sebagai bentuk toleransi dan menjaga keharmonisan umat beragama.

Akan tetapi, rencana Menag tentang transformasi KUA dirasa tidak relevan. Ketentuan pasal 29 UUD NRI 1945 yang jelas mengamanatkan negara untuk menjamin agar setiap penduduk dapat beribadat sesuai agama dan kepercayaan masing-masing. Dikhawatirkan, jika wacana transformasi KUA ini terealisasi, malah akan menimbulkan permasalahan baru dan menodai keharmonisan antar umat beragama yang sudah terjalin saat ini.

Sebetulnya, transformasi KUA ini merupakan bagian dari proyek utama Kemenag, yaitu moderasi agama. Moderasi agama diartikan sebagai cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mewujudkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat manusia dan membangun kemaslahatan umum berlandaskan prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bersama.
 
Moderasi agama yang sedang gencar dilakukan oleh pemerintah ini tidak lain adalah proyek kafir Barat yang diciptakan dan diembuskan kepada umat beragama. Narasi yang mereka buat bahwa karakter radikal yang muncul dari sikap berlebihan dalam beragama, berpotensi mengancam kesatuan bangsa. 

Pemahaman-pemahaman seperti itu mereka embuskan pada setiap aspek kehidupan, seperti sosial, budaya, dan pendidikan, termasuk sasarannya adalah KUA yang identik dengan pengurusan umat muslim.  

Cepat atau lambat jika dibiarkan, masyarakat pun akan terpapar dan akhirnya menerima pemahaman ini sebagai bentuk toleransi beragama. Faktanya, lantunan selawat kerap hadir di acara hari besar nonmuslim, seorang ustadz yang berceramah di gereja, dan sebagainya.

Parahnya, toleransi beragama dalam sistem sekuler kapitalisme yang negeri ini emban, sering disalahartikan dan mengarah pada pluralisme (menyamaratakan agama). Sistem ini mengartikan bahwa semua agama benar. Yang membedakan adalah tuhan dan peribadatannya. Maka,8 sesama pemeluk beragama harus saling menghormati dan menghargai kegiatan agama lain dengan cara berpartisipasi atau campur-baur dalam kegiatan keagamaan sebagai bentuk toleransi beragama.

Pemahaman yang keliru inilah yang menjadi alasan tercetusnya wacana transformasi KUA untuk melayani semua agama. Yang menambah kekhawatiran adalah adanya kemungkinan atau peluang ke depannya pernikahan beda agama bisa didaftarkan di KUA atau bisa saja pernikahan sejenis bisa didaftarkan, padahal selama ini tidak bisa dilakukan.

Kekhawatiran ini bisa saja terjadi dalam sistem sekuler karena pemisahan agama (Islam) dari kehidupan masyarakat dan bernegara menjadi dasar sistem ini. Pertanyaannya adalah apakah transformasi KUA betul-betul urgen untuk menjaga persatuan bangsa atau jangan-jangan wacana ini sebagai bentuk ketaatan penguasa pada kafir Barat untuk menghadang kebangkitan Islam?

Seharusnya pemerintah fokus pada permasalahan yang sebenarnya, yaitu minimnya jumlah penghulu, revitalisasi bangunan dan layanan, kepemilikan kantor, maksimalisasi fungsi penyuluhan keagamaan, dan konsultasi pranikah, juga peningkatan penyuluhan pernikahan. 

Semua itu sangat urgen, melihat banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian dengan jumlah kasus 516.334 sepanjang tahun 2022, bukan dengan mengubah fungsi KUA menjadi tempat pencatatan pernikahan semua agama.

Wacana berbau moderasi agama ini sangat tidak sejalan dengan aturan tata kelola yang dikeluarkan sendiri oleh Menag.

Berbeda halnya dengan Islam. Peradaban Islam pernah berjaya hampir 14 abad lamanya mengurus umat dengan ragam suku, ras, budaya, agama, dan warna kulit dalam situasi penuh damai dan toleransi dengan menegakkan aturan Islam untuk mengatur kehidupan manusia dan alam semesta. 

Kemudian, aturan itu diterapkan oleh negara sebagai ideologi satu-satunya yang mampu mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah pencatatan pernikahan. Karena Islam dirancang oleh Sang Khaliq untuk menjadi kemaslahatan bersama, maka agama apa pun selama hidup dalam aturan Islam akan mendapat hak yang sama.

Islam mempunyai prinsip dalam beragama, yaitu "lakum diinukum waliyadin". Artinya, untukmu agamamu, untukku agamaku. Inilah arti toleransi beragama yang sesungguhnya, tidak memaksa nonmuslim untuk ikut dalam peribadatan atau aktivitas umat Islam, begitu pula sebaliknya.

Dalam hal pernikahan, nonmuslim diizinkan untuk menikah antar sesama nonmuslim berdasarkan keyakinannya. Mereka dapat dinikahkan di Gereja atau Sinagog oleh Pendeta dan Rabbi, tanpa menerima intervensi apa pun dari khilafah.

Negara tidak akan ikut campur dalam hal privasi nonmuslim. Akan tetapi, dalam hubungan sosial kemasyarakatan, nonmuslim wajib mengikuti syariat Islam, seperti sistem sanksi, peradilan, pemerintahan, ekonomi, dan kebijakan luar negeri.

Negara Islam akan menerapkan aturan tersebut pada semua orang tanpa memandang muslim atau nonmuslim. Inilah sistem sahih sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia.
Wallahualam.


Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media

Minggu, 07 Mei 2023

ANTARA MODERASI BERAGAMA DAN TOLERANSI OMONG KOSONG

Tinta Media - Tulisan kontroversial AP Hasanudin akhirnya menyeret dia ke ranah hukum karena telah dilaporkan oleh pengurus muhammadiyah. Bagaimana tidak kontroversial, sebab yang bersangkutan melontarkan ancaman pembunuhan bagi semua anggota Muhammadiyah hanya karena emosi terkait perbedaan hari Idul Fitri 1444 H antara Muhammadiyah dengan pemerintah. Bahkan AP Hasanudin juga menyeret-nyeret nama Hizbut Tahrir Indonesia dan Gema Pembebasan.

 

Kalimat lengkapnya adalah sebagai berikut : “Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah ? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender islam global dari Gema Pembebasan ? Banyak bacot emang !!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silahkan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan ! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian,”.

Cuitan yang sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa ini tidak pantas diucapkan oleh ASN BRIN yang notabene adalah seorang peneliti. Peneliti adalah kaum intelektual yang biasa menerima perbedaan dalam hal apa saja dengan pandangan obyektif argumentatif. Dengan kasus ini semakin menandaskan paradoksalnya negeri ini.

Mengapa disebut paradoks, sebab negeri ini sedang giat-giatnya menebarkan paham moderasi beragama, yang menurut pemerintah bermakna beragama dengan penuh toleransi atas perbedaan dan tidak melakukan truth claim atas agamanya sendiri. Sekilas paham moderasi agama ini cukup indah dan bisa melenakan umat Islam. Secara teori dan maksud mungkin baik, namun pada faktanya, Islam justru sering menjadi sasaran program deradikalisasi.


Moderasi dan toleransi adalah setali mata uang, tak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Namun, lihatlah apa yang dilakukan oleh APH yang nota bene aparatur negara yang semestnya memberikan contoh yang baik bagaimana mplementasi sikap toleransi atas perbedaan itu. Satu sisi pemerintah mengobarkan spirit moderasi beragama dan toleransi, namun disisi lain kasus APH justru menunjukkan sebaliknya, yakni sikap intoleransi.  

 

Apa yang ditulis oleh APH menegaskan bahwa toleransi itu omong kosong, sebab justru aparatur pemerintah sendiri yang sering tidak toleran. Banyak kejadian sebenarnya yang menunjukkan intoleransi di negeri ini semisal pembubaran pengajian, kriminalisasi ulama, islamofobia dan masih banyak lagi hal yang menunjukkan kondisi sebaliknya dari apa yang dipropagandakan pemerintah. Teorinya toleransi, namun prakteknya tololansi.

 

Terlepas dari kasus APH, sebenarnya istilah seperti moderasi, radikal, teroris, liberal dan sejenisnya merupakan istilah-istilah Barat yang dimaksudkan untuk memecah belah umat Islam sekaligus menghadang kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Genealogi  perang pemikiran ini telah berlangsung sekitar 3 abad hingga hari ini. Perang asimetrsi ini terbukti efektif, buktinya banyak kalangan intelektual muslim yang terpapar sekulerisme, liberalisme dan pluralisme. Ketiga paham ini adalah produk epistemology barat untuk mendekonstruksi ajaran Islam. Itulah mengapa tahun 2005, MUI mengeluarkan fatwa haram atas ketiga paham di atas. Secara epistemologi, Islam adalah kebenaran, sedangkan moderasi agama (beragama) adalah kekacauan berfikir.

 

Karena itu tidaklah sama antara makna Islam washatiyah dengan Islam moderat, sementara propaganda moderasi agama adalah racun aqidah. Istilah washatiyah berasal dari Al Qur’an, sementara istilah moderat berasal dari epistemologi Barat. Meskipun banyak cendekiawan muslim memaksakan diri untuk menyamakannya. Menyamakan keduanya akan melahirkan epistemologi oplosan yang menyesatkan umat. Pengarusutamaan moderasi agama adalah sia-sia karena merupakan produk gagal paham, dan karenanya pasti akan gagal pula, setidaknya umat tidak boleh diam, terus bersuara untuk membungkam sesat pikir ini.

Tanpa diberikan embel-embel moderat, Islam adalah agama yang penuh perdamaian, toleransi, adil dan menebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta. Jangan pernah mengajari umat Islam tentang toleransi. Istilah lakum dinukum waliayadin yang diungkapkan Allah dalam Al Qur’an adalah konsep terbaik dibandingkan agama-agama lain.

Tanpa ada narasi moderasi agama, Islam adalah agama yang paling bisa memberikan ruang pembiaran kepada pemeluk agama lain, terlebih perbedaan yang ada di kalangan umat Islam. Hanya paham demokrasi sekuler yang diterapkan saat inilah yang justru menuduh Islam sebagai agama radikal dan anti keragaman, padahal penuduh radikal adalah ekspresi radikalisme. Islam memberikan ruang pengakuan atas fakta pluralitas sosiologis, namun tidak dengan pluralisme teologis.  

Toleransi seagama [tasamuh] sejak awal dibangun oleh Rasulullah, Sahabat, tabiin, atba tabiin, imam mujtahid dan kekhilafahan. Toleransi antaragama dalam Islam terbangun indah saat, di Spanyol, lebih dari 800 tahun pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen hidup berdampingan dengan tenang dan damai. Di India sepanjang kekuasaan Bani Ummayah, Abbasiyah dan Ustmaniyah, muslim dan hindu hidup rukun selama ratusan tahun. Di Mesir umat Islam dan Kristen hidup rukun ratusan tahun sejak khulafaur Rasyidin.

Secara etimologi, makna al wasath adalah sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding, pertengahan [Mufradat al Fazh Al Qur’an, Raghib Al Isfahani jil II entri w-s-th]. Bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga dan terpilih. Karena tengah adalah tempat yang tidak mudah dijangkau : tengah kota [At Tahrir wa At Tanwir jil II hal 17].

Umat wasath yang dimaksud adalah umat terbaik dan terpilih karena mendapatkan petunjuk dari Allah. Jalan lurus dalam surat al Fatihah adalah jalan tengah diantara jalan orang yang dibenci [yahudi] dan jalan orang sesat [nasrani] [Tafsir Al Manar jil. II hal 4]. Karakter umat washtiyah ada empat : Umat yang adil, Umat pilihan [QS Ali Imran : 110], Terbaik dan Pertengahan antara ifrath [berlebihan] dan tafrith [mengurangi] [Tafsir Al Rari, jil. II hal 389-390]. Makna washatiyah dalam perspektif tafsir ini tidak sama dengan makna moderat atau moderasi yang kini terus dipropagandakan.  


Ironisnya, propaganda narasi moderasi beragama itu cenderung menyasar agama Islam, bukan agama lainnya. Indikator yang terus dipropagandakan terkait narasi moderasi beragama adalah soal komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penerimaan atas tradisi.


Islam mengajarkan umatnya untuk mencintai negara karena Allah dengan cara mengelola berdasarkan hukum yang telah Allah turunkan. Islam jelas melarang umatnya untuk berhukum kepada selain hukum Allah. 

Hal ini merupakan persoalan fundamental dalam ajaran Islam, sebab terkait dengan keimanan dan kekafiran, keadilan dan kezaliman, serta komitmen dan kefasikan. (lihat QS. Al Maidah :44, 45 dan 47, QS Al An’am : 57 dan121, QS At Taubah : 31, QS Yusuf : 40, QS Asy Syura : 21).

APH sesungguhnya telah menampar muka penguasa yang sedang berkuasa saat ini. Pemerintah getol meminta rakyat untuk toleransi, namun pihak aparatur negara sendiri justru yang tidak toleran. Apakah mungkin masih ada orang seperti APH ini di tubuh pemerintah, bisa jadi banyak, entahlah. APH memang layak dipenjara karena cuitan yang radikal, intoleran dan tendensius ini. APH ini layak disebut sebagai orang yang sekuler radikal karena telah menebarkan teror kepada anggota Muhammadiyah. APH menunjukkan bahwa toleransi yang selama ini dipropagandakan pemerintah adalah omong kosong belaka.

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 01/05/23 : 23.00 WIB)

Oleh: Dr. Ahmad Sastra Ketua

Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa 

Senin, 16 Januari 2023

Mewaspadai Propaganda Moderasi Atas Nama Toleransi

Tinta Media - Perayaan Natal sangat erat kaitannya dengan tahun baru yang dilaksanakan beberapa hari yang lalu. Mirisnya, tak hanya orang non-Islam yang melaksanakannya, orang Islam pun bahkan ikut serta memeriahkan acara perayaan tersebut. Mereka seolah telah kehilangan jati diri sebagai seorang muslim. Mereka pun tak malu menggunakan berbagai atribut Natal. Lebih parahnya lagi, mereka bahkan mengucapkan selamat Natal yang jelas-jelas hal itu diharamkan dalam syariat Islam.

Diharamkannya mengucapkan selamat Natal bukan tanpa alasan. Apabila melakukan hal tersebut, kita bisa dianggap murtad, karena merupakan bukti jika kita mengikuti ajaran mereka dan otomatis dikategorikan sebagai orang yang murtad, nauzubillahi min zalik.

Menyikapi hal itu, banyak orang beranggapan bahwa orang Islam itu intoleran. Pasalnya, syariat Islam tampak begitu membatasi dalam toleransi beragama. Padahal itu semua tidak benar, karena yang dimaksud dengan toleransi adalah menghormati setiap agama ketika beribadah. Namun, tidak untuk ikut merayakan hari besar mereka. 

Allah Swt. telah berfirman di dalam surah al-Kafirun ayat 6 yang artinya, 

“Bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”

Islam begitu tegas melarang kita untuk mengikuti ritual agama lain. Allah Swt. berfirman di dalam surah al-Baqarah ayat 120 yang artinya, 

“Tidak pernah rida Yahudi dan Nasrani, sebelum kalian mengikuti agama mereka ….”

Jadi, memang sudah menjadi watak mereka untuk terus mengajak kaum muslimin mengikuti milah dan semua pemikiran serta segala kebudayaan mereka.

Perayaan tahun baru kemarin juga tak kalah meriah. Orang berbondong-bondong merayakan malam tahun baru, meskipun dikemas dengan acara yang seolah-olah tidak merayakannya seperti,  bakar-bakar, berkumpul dengan handai tolan dan bahkan acara tausiyah yang sengaja di desain pada momen tahun baru.

Saat itulah, tanpa disadari mereka telah mengikuti jalan kesesatan dan termasuk dari golongan tersebut.  

Rasulullah saw. bersabda yang artinya, 

“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut.”

Jadi, jelaslah dalil yang telah disebutkan dalam sabda Rasulullah saw. tersebut, bahwasanya haram bagi kita sebagai seorang muslim untuk mengikuti ajaran agama dan kebiasaan mereka, apa pun itu.

Banyak yang tak menyadari bahwa hal yang dikatakan sebagai toleransi tadi nyatanya adalah propaganda terselubung mengenai moderasi yang kini sedang disebarluaskan oleh musuh-musuh Islam. 

Moderasi sendiri berasal dari bahasa latin moderatio yang artinya kesedangan. Namun, apabila dikaitkan dengan konteks di atas, maka pengertiannya akan menjadi pertengahan antara yang hak dan yang batil. Padahal, telah jelas mana yang hak dan mana yang batil, sehingga tidak ada yang namanya pertengahan atau wasathiyah.

Atas nama toleransi, mereka melegalkan moderasi beragama yang jelas itu salah. Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim harus mewaspadai propaganda moderasi ini. Ini karena antara yang hak dan yang batil itu telah jelas perbedaannya. 

Moderasi juga membuktikan bahwa orang yang menganutnya tidak punya prinsip yang kuat, mudah terbawa arus. Karenanya, tetaplah mengkaji Islam agar bisa menguatkan kita di atas jalan kebenaran ini, dan jangan lupa dakwahkan kepada umat agar mereka paham akan Islam secara keseluruhan. Takbir!
Wallahu a’lam bish shawab.

Oleh: Naila Ahmad Farah Adiba 
Santri Peduli Generasi





Selasa, 20 Desember 2022

TERORISME, MODERASI AGAMA DAN KONTROVERSI PENGESAHAN RKHUP

Tinta Media - Jum'at Sore lalu (9/12) antara pukul 15.45 sd 17.15 WIB, penulis berkesempatan berdiskusi memenuhi undangan Cak Slamet dari PKAD (Surabaya). Tema yang diangkat 'Bomber Bandung Bawa Berkas Protes RKUHP, Ada Apa ??!!'.

Memang agak aneh, teroris dikaitkan dengan RKUHP. Biasanya narasi soal terorisme tak pernah dikaitkan dengan produk legislasi nasional, karena memang mereka tidak punya kepentingan dengan itu.

Tapi dalam kasus bom Astana Anyar, Bandung ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahkan langsung mengatakan pelaku bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Kota Bandung meninggalkan pesan yang memprotes RKUHP yang baru saja disahkan DPR RI. Meski dengan 'Cover' temuan ini pun masih didalami polisi. (08/12).

Sementara itu, pihak Istana melalui Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardhani juga langsung mengaitkan aksi protes KUHP dengan bom bunuh diri di Polsek Astanaanyar, Bandung, Jawa Barat. 

Penulis sendiri dalam diskusi Dialogika (Bogor, Sabtu, 10/12)  bersama DR Muhammad Taufik, SH MH dan Aziz Yanuar, SH MH, menegaskan bahwa dalam mengamati peristiwa terorisme ini, harus dibedakan mana fakta mana opini. Beberapa tela'ah logika kritis dibawah ini bisa menjadi rujukan, misalnya:

Pertama, adanya bom di Polsek Astana Anyar Bandung adalah fakta, sementara nomenklatur 'Bom Bunuh Diri' adalah opini. Darimana kita bisa menyimpulkan itu bom bunuh diri?

Apakah, karena pelaku sendiri, bom meledak dan  pelaku ikut menjadi korban, lalu disimpulkan itu bom bunuh diri? Bagaimana, kalau ternyata pelaku tidak mengetahui dirinya membawa bom, misalnya hanya membawa tas atas perintah seseorang, lalu ada bom yang diledakkan melalui remote control?

Kedua, adanya bom di Polsek Astana Anyar Bandung adalah fakta, bom terkait protes pengesahan RKUHP adalah opini. Sebab, darimana dapat diketahui itu motifnya memprotes RKUHP sedangkan pelakunya mati? Padahal, motif baru dapat diketahui setelah memeriksa keterangan pelaku. Beda kasusnya, kalau pelaku bisa dihidupkan kembali, lalu di BAP polisi dan ditanya motifnya.

Lagipula, aneh saja ada motor hanya dengan tempelan solasi menggantung, ada poster terkait RKUHP, lalu bom dikaitkan dengan protes terhadap RKUHP.

Siapa yang menjamin, tempelan RKUHP itu ditempel pelaku? Atau bahkan, siapa yang menjamin foto motor yang beredar adalah foto motor pelaku? Bahkan, hingga identitas yang beredar adalah identitas pelaku?

Ketiga, satu-satunya dasar kepercayaan publik bahwa bom Astana Anyar adalah bom bunuh diri dan terkait dengan protes pengesahan RKUP adalah karena pernyataan itu dikeluarkan resmi dari polisi. Namun, sekali lagi, pertanyaannya, apakah keterangan polisi dapat dipercaya?

Pada tragedi duren tiga yang lalu, publik dicekok'i informasi dari polisi telah terjadi peristiwa tembak menembak antara Bharada E dan Brigadir J dan berakhir dengan tewasnya Brigadir J. Tapi kemudian, ternyata peristiwa sesungguhnya adalah pembunuhan berencana yang didalangi oleh polisi berpangkat bintang dua, bahkan menjabat Kepala Divisi Propam Mabes Polri.

Apa jaminannya, apa yang terjadi di duren tiga tidak terjadi pada kasus bom Astanaanyar Bandung?

Kembali ke diskusi PKAD, penulis tertarik dengan pernyataan Laks. Muda Purn. Soleman B. Ponto, yang menekankan bahwa terorisme harusnya diterapkan pada perbuatan bukan pikiran. Faktanya, narasi radikalisme dalam isu terorisme telah membuat migrasi kriminalisasi pemikiran yang distempeli dengan radikal, dan dijadikan dalih memerangi terorisme.

Pak Soleman juga tak sependapat dengan ide moderasi agama. Karena ide ini seolah menuduh agama adalah biang terorisme, sehingga harus dimoderasi.

Dalam diskusi tersebut, Laks. Muda Purn. Soleman B. Ponto juga banyak mengkritik materi RKUHP yang sulit dimengeri awam. Pasal-pasalnya dibuat sangat obscuur. Beberapa topik seperti soal pasal zina, pasal penghinaan presiden, penghinaan lembaga negara (DPR, Kepolisian, MPR), pasal makar, pasal paham yang bertentangan dengan pancasila, dikritik habis oleh punawirawan Jenderal TNI AL mantan Kabais ini.

Sayangnya, Komjen Purn. Susno Duadji tidak bisa membersamai karena pas ada kegiatan lain sehingga izin kepada panitia.

Penulis sendiri juga sangat menyayangkan Polri yang terlalu gegabah mengaitkan teror bom Astananyar dengan protes RKUHP. Sebab, hal itu telah menimbulkan stigma seolah yang menolak pengesahan RKUHP adalah kelompok teroris seperti pelaku bom Astana Anyar.

Lagipula, banyak tuduhan polisi dalam isu terorisme yang tak terbukti di pengadilan. Namun, polisi tak peduli dengan dampak atas tuduhan itu.

Misalnya saja di kasus yang penulis tangani yakni Ustadz Farid Okbah, Ustadz Ahmad Zain an Najah dan Ustadz Anung Al Hamat. 

Pada saat ditangkap Densus 88, ketiga Ustadz dituduh melakukan tindakan terorisme. Bahkan, juga dituduh terlibat pendanaan terorisme, melalui modus mengumpulkan dana infak dan shodaqoh dari kotak-kotak amal. Saat itu, sejumlah kotak amal disita dan dijadikan barang bukti.

Saat persidangan, tidak ada dakwaan pendanaan terorisme. Kotak-kotak amal yang disita densus 88 tidak pernah dihadirkan dimuka persidangan. Tuntutan Jaksa juga bukan pasal melakukan tindakan teror (pasal 7 jo 15 UU Terorisme). Namun, hanya menuntut dengan pasal 13 c UU Terorisme terkait menyembunyikan informasi terorisme.

Pertanyaannya, apakah Polri setelah salah kemudian memberikan klarifikasi atas kesalahan mereka menyita kotak amal infak sedekah umat Islam yang tidak terkait terorisme? Apakah Polri meminta maaf kepada umat Islam karena penyitaan atas kotak amal, infak dan shodaqoh itu berdampak pada ketakutan umat Islam untuk beramal karena takut disalahgunakan untuk pendanaan terorisme?

Sekali lagi, kita semua harus cermat dan kritis menyikapi isu terorisme. [].


Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Ketua Umum LBH LESPASS (Lex Sharia Pakta Sunt Servanda)

https://youtu.be/1QMh2qEHIGE

Catatan Hukum Akhir Pekan, Kritik atas kengototan Pemerintah & DPR mengesahkan RKUHP



Jumat, 16 Desember 2022

Potensi Pemuda Tergerus Arus Moderasi Agama

Tinta Media - Pemuda adalah aset berharga dalam sebuah peradaban. Sumbangsih para pemuda melalui kepribadian dan pemikirannya mampu membawa mereka pada kebangkitan atau jurang kehancuran.

Menurut data Word Population Prospect tahun kedua, jumlah populasi penduduk dunia akan mencapai 8 miliar jiwa pada bulan November 2022, termasuk di dalamnya adalah pemuda. Negara-negara dengan mayoritas muslim ini begitu kaya dengan potensi pemuda, termasuk Indonesia. Diperkirakan bahwa 70% dari populasi adalah kelompok muda atau usia produktif pada tahun 2045.

Tentunya ini merupakan bonus demografi yang harus dikelola dengan bijaksana. Potensi pemuda muslim wajib diarahkan kepada perubahan hakiki untuk mengembalikan kejayaan Islam. 

Ironisnya, hari ini alarm para pemuda muslim kian berdering kencang. Krisis moral, akidah hingga pemikiran meracuni jiwa pemuda muslim. Belum lagi diperparah dengan arus moderasi beragama yang merupakan proyek besar dari musuh-musuh Islam untuk menghambat kejayaan Islam.

Kita wajib membuka mata dan menyadarkan umat bahwa moderasi agama adalah propaganda musuh-musuh Islam. Program moderasi agama menyerang banyak lini kehidupan. Para pemuda terbius bujuk rayu moderasi agama, hingga idealisme dan heroismenya kian redup.

Moderasi agama lahir dari rahim sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Pemikiran Islam moderat telah merobohkan akidah para generasi. Sebagai contoh ketika kita meyakini bahawa hanya Islam satu-satunya agama yang benar, justru pemikiran moderat mengajarkan bahwa semua agama benar. Ini sangat miris, karena berpindah agama dari Islam atau murtad adalah hal yang biasa. 

Begitu pun ketika Islam mengajarkan untuk berpakaian syar'i, justru pemikiran moderat mengajarkan bahwa my body is mine. Mereka berpendapat bahwa tidak perlu berpakaian syar'i asal sopan, sebab pakaian syar'i adalah budaya Arab. Lebih parah lagi, di saat Islam mengajarkan tentang batasan pergaulan dengan lawan jenis, justru pemikiran moderat mengusung ide kebebasan dalam pergaulan. Alhasil, kasus pemerkosaan dan sex bebas marajalela hingga bermuara meningkatnya penderita HIV/AIDS.

Pemikiran moderat sangat massif diaruskan melalui program moderasi beragama. Betapa banyak informasi hari ini yang menggiring para pemuda untuk jauh dari Islam. Isu terorisme dan narasi radikalisme yang menyasar umat Islam membuat pemuda jauh dari identitasnya sebagai muslim. Mereka enggan mempelajari Islam karena takut dicap sebagai teroris dan radikalis. Sungguh, ini adalah fitnah yang keji. Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan apalagi bertindak sebagai pelaku teroris. 

Moderasi agama juga menyasar program pendidikan dan budaya. Tidak sedikit orientasi pemuda dalam mengenyam pendidikan bermuara pada materi. Standar harta dan kekayaan adalah capaian sukses bagi pemuda. Alhasil, flexing atau pamer menjadi budaya yang menjamur di kalangan para pemuda. Hedonisme, konsumerisme hingga individualisme menjadi watak mereka. 

Maka, memperbaiki kondisi pemuda hari ini adalah tugas kita bersama, baik dimulai dari lingkup individu, keluarga, masyarakat, hingga negara. 

Pertama, perlu adanya dakwah di tengah-tengah umat, mengajak para pemuda untuk sadar kembali kepada Islam sehingga tertancap keimanan dan ketakwaan yang kokoh dalam diri pemuda. 

Kedua, membangun pemahaman bahwa taat kepada Allah adalah harga mati, mengajak para pemuda berpikir untuk menentukan tujuan hidup, sehingga mereka senantiasa taat dan menjauhi maksiat. 

Ketiga, memahamkan kepada para pemuda bahwa berislam secara kaffah atau menyeluruh adalah cara beragama yang benar (Lihat: QS. al-Baqarah [2]:2018). Sebaliknya, berislam secara moderat adalah cara beragama yang salah dan bertentangan dengan Islam yang shahih. Karena itulah, kita harus benar-benar membekali para pemuda dengan tsaqafah Islam yang cukup dan mengajak mereka untuk siap mendakwahkan Islam. Wallahua'lam

Oleh: Reni Adelina
Aktivis Muslimah Peduli Generasi

Selasa, 29 November 2022

9 Simpul Moderasi Beragama Berbasis Keluarga Dinilai Abstrak dan Tidak Solutif

Tinta Media - Konferensi Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang menghasilkan sembilan Simpul Moderasi Beragama Berbasis Keluarga, menurut Pemerhati Keluarga dan Generasi Ustazah Reta Fajriah, abstrak dan tidak solutif.

“Simpul Moderasi Beragama Berbasis Keluarga yang dirumuskan KUPI tidak memberikan solusi yang jelas. Selain itu, antar simpul ada yang tidak nyambung dan terlihat abstrak,” tuturnya dalam rubrik Kuntum Khaira Ummah: Mewaspadai Konsep Moderasi yang Menyasar Keluarga Muslim (Bagian 2) di kanal Youtube Muslimah Media Center pada Rabu (23/11/2022). 

Pada bagian pertama, ustazah Reta menyampaikan empat simpul yakni Islam, Tauhid, Khalifah, dan Maslahah. “Simpul Islam dimaknai sebagaimana bahasa artinya berserah diri, sedangkan simpul Tauhid adalah penyembahan kepada Allah SWT namun tidak boleh ada di antara sesama hamba Allah atau mahluknya ada diskriminasi  atau ketidakadilan,” urainya.

"Simpul yang ketiga adalah Khalifah dengan makna setiap individu bisa menjadi pemimpin yang akan membawa kepada kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan. Sedangkan simpul yang keempat adalah Maslahah kepada individu, keluarga, masyarakat, atau kepada alam semesta," lanjutnya.

Di bagian kedua ini, ustazah Reta menyampaikan simpul kelima hingga kesembilan adalah Wathoniyah, Pelayanan, Sakinah, Tarbiyah, dan terakhir Kaffah. Ia menjabarkan lebih lanjut bahwa simpul Wathonyah adalah ketanah-airan atau kebangsaan. “Wathoniyah ini masih terkait dengan kepemimpinan Khalifah yang dibahas dalam simpul sebelumnya itu berbasis kepada tanah air. Secara alami di sinilah setiap orang itu berpijak dan juga harus sesuai dengan kesepakatan para pendiri bangsa,” tambahnya.

Menurutnya, konsep Khilafah dalam makna kebangsaan agak dipaksakan serta tidak mempunyai dalil dan dasarnya tidak jelas. “Realitas konsep kepemimpinan dalam Islam di masa Rasulullah Saw., para sahabat, dan Khulafaur Rasyidin tidak dibatasi adanya bangsa-bangsa tertentu. Bahkan kepemimpinan Rasul dan para sahabat itu terus meluas hingga melewati batas benua, bangsa, asal-usul, maupun warna kulit,” tegasnya.

Berlanjut ke simpul keenam adalah Pelayanan. “Pelayanan dalam hal ini diwakilkan atau direpresentasikan oleh KUA. Pihak KUA diharapkan yang akan mensosialisasikan simpul-simpul sebelumnya di tengah masyarakat,” jelasnya.

Masih terkait dengan simpul keenam, simpul ketujuh adalah Sakinah. “Sakinah dengan harapan pihak KUA yang secara praktis akan membimbing masyarakat menuju keluarga yang sakinah yaitu keluarga yang mengimplementasikan sembilan nilai atau simpul Moderasi Beragama Berbasis Keluarga,” tambahnya. 

Dua simpul terakhir adalah Tarbiyah dan Kaffah. “Tarbiyah bentuk nyatanya memberikan bantuan kepada masyarakat dalam bentuk bimbingan pranikah. Sedangkan Kaffah artinya diharapkan setelah semua simpul terimplementasi akan terwujud bangunan keluarga yang individu-individunya soleh maupun solehah,” ujarnya.

Tak Ada Kolerasi

Ustazah Reta mengkritisi lebih lanjut bahwa konsep yang ditawarkan dalam simpul Moderasi Beragama Berbasis Keluarga adalah konsep abstrak dan tidak memiliki korelasi terhadap solusi atas persoalan-persoalan yang ada. “Bullying, tawuran, narkoba, HIV, gaul bebas, dan lain lain dari nilai-nilai atau simpul-simpul tersebut belum terlihat ada korelasi serta tidak nampak berisi seperangkat aturan yang benar-benar sebagai solusi,” kritiknya.

Menurutnya, nilai atau simpul ini sangat berbeda dengan aturan dan solusi yang dimiliki Islam. “Islam memiliki seperangkat aturan yang akan menjaga individu, keluarga, dan masyarakat tetap dalam batasan-batasan aturan yang jelas. Bagi pelaku pelanggaran akan dibei sanksi,” jelasnya.

Terakhir, ustazah Reta memberikan memberikan nasihat kepada keluarga muslim dan seluruh kaum muslimin  agar selayaknya mempunyai daya sikap kritis sehingga mampu mencerna setiap konsep dan landasan yang mendasarinya dari pemikiran-pemikiran yang ditawarkan. 

“Kita berharap ada solusi atas problem yang sudah sangat berat dalam menghadapi persoalan generasi dan pendidikan yang karut-marut. Konsep yang berlandaskan Islam lah satu-satunya yang akan menjadi solusi tuntas,” pungkasnya.[] Erlina YD

Jumat, 25 November 2022

Guru Luthfi: Para Ulama Tafsir Jelaskan Makna Wasath Tidak Terkait Ide Moderasi

Tinta Media - Pengurus Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru H Luthfi Hidayat menegaskan penjelasan dari para Ulama Tafsir tentang makna Wasath pada Qur’an Surat Al Baqarah ayat 143 tersebut tidak terkait dengan ide moderasi beragama.

“Makna Wasath yang dijelaskan para Ulama Tafsir pada Qur’an Surat Al-Baqarah 143 tidak ada kaitannya sama sekali dengan ide moderasi beragama atau paham Islam moderat,” tegasnya dalam Kajian Jumat  Bersama Al-Qur’an: Ummatan Wasatha, Jumat (18/11/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.

Bagi Guru Luthfi, penjelasan para Ulama tentang makna Wasath pada ayat tersebut teramat terang. “Yakni bahwa umat Islam, umat Rasulullah adalah umat yang adil, yang terpuji, umat pilihan, umat terbaik, tidak berlebihan dan tidak melampaui batas,” ujarnya.

Ia mengatakan ide moderasi beragama atau paham Islam moderat ini berujung pada mencampuradukkan akidah dan ibadah dalam beragama. “Umat di negeri ini sudah sangat damai dan adem, toleransi beragama di negeri ini sudah sangat pas dengan meyakini agama masing-masing, menghargai ibadah masing-masing, tanpa harus mencampuradukkan akidah dan keyakinan,” katanya.

Menurutnya, ide Islam moderat lebih banyak membuat gaduh dan mudaratnya bagi umat. “Termasuk sampai harus dengan mengenakan baju bati moderasi yang mencampurkan semua agama. Tentu setiap umat beragama tidak menginginkan hal demikian,” tuturnya.

Firman Allah:

وَكَذلِكَ جَعَلْناكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِتَكُونُوا شُهَداءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً وَما جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْها إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَما كانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُفٌ رَحِيمٌ (١٤٣)

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul {Muhammad) saw menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblat kalian (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia."  (TQS. Al Baqarah [2]: 143)  
 
Ia memaparkan penjelasan Firman Allah Ta’alla dari Imam Al Qurthubi dalam Tafsirnya Aj Jaami’ li Ahkamil Qur’an.

وَكَذلِكَ جَعَلْناكُمْ أُمَّةً وَسَطاً                                  

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang adil dan pilihan.

“Makna dari Firman Allah ini adalah sebagaimana Ka’bah sebagai wasath, merupakan tengah-tengah bumi, maka demikian pula Allah pun menjadikan kalian umat yang pertengahan, yakni “Kami jadikan kalian (umat Islam) di bawah para nabi tapi di atas umat-umat (yang lain)”,” paparnya.

Makna Al Wasth adalah adil, berasal dari kata ini adalah bahwa sesuatu yang paling terpuji adalah yang pertengahan. “Pertengahan lembah adalah tempat yang paling baik, di mana di sanalah banyak dijumpai rerumputan dan air,” ucapnya.

Ia melanjutkan manakala pertengahan itu jauh dari berlebihan dan melampaui batas maka ia menjadi terpuji.

“Maksudnya, umat (Islam) ini tidak berlebihan sebagaimana umat Nasrani berlebihan dengan para nabi mereka (menyatakan nabi mereka sebagai Tuhan), juga tidak melampaui batas sebagaimana umat Yahudi, melampaui batas dengan para nabi mereka (melakukan berbagai keburukan atas para nabi mereka),” lanjutnya.

Sementara Imam Muhammad Ali Ash Shabuni menjelaskan makna kalimat

 وَكَذلِكَ جَعَلْناكُمْ أُمَّةً وَسَطاً 

“Bahwa sebagaimana Allah menunjukkan kalian (umat) kepada Islam maka Allah menjadikan kalian sebagai golongan mukminin, umat yang adil dan pilihan,” ujarnya.

Sedangkan Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna dari kalimat

وَكَذلِكَ جَعَلْناكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِتَكُونُوا شُهَداءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً

“Melalui ayat ini Allah Ta’ala menuturkan bahwa sesungguhnya Kami mengubah kiblat kalian ke kiblat Ibrahim as. dan Kami pilih kiblat itu untuk kalian agar Kami dapat menjadikan kalian sebagai umat pilihan, agar pada hari kiamat kelak kalian menjadi saksi atas umat-umat yang lain karena semua umat mengakui keutamaan kalian,” bebernya.

Ia pun menambahkan penegasan dari Imam Ibnu Katsir bahwa ketika Allah Swt. menjadikan umat ini sebagai ummatan wasathan maka Dia memberikan kekhususan kepadanya dengan syariat yang paling sempurna. “Jalan yang paling lurus, dan paham yang paling jelas,” tambahnya.

Kalimat selanjutnya dari ayat yang mulia ini, menurutnya dijelaskan oleh Imam Ali Ash Shabuni,

لِتَكُونُوا شُهَداءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً                 
Agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul {Muhammad) saw menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.
“Maknanya adalah supaya kalian menjadi saksi terhadap umat-umat di hari kiamat bahwa utusan-utusan mereka telah menyampaikan dakwah kepada mereka, dan Rasul menjadi saksi atas kalian,” ucapnya.

Guru Luthfi kembali menegaskan tentang lanjutan dari ayat yang mulia ini, bahwa ayat ini ditutup dengan penegasan kasus pemindahan kiblat yang merupakan saringan ujian, mana yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mana yang membangkang.

وَما جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْها إِلاَّ لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كانَتْ لَكَبِيرَةً إِلاَّ عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَما كانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُفٌ رَحِيمٌ

Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblat kalian (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

Ia mengakhirinya dengan memohon kepada Allah untuk selalu menjaga akidah dan keimanan umat Islam.

“Semoga Allah selalu menjaga akidah dan keimanan kita dan keturunan kita. Dan kiranya Allah tidak mewafatkan kita kecuali dengan Islam,” pungkasnya. [] Ageng Kartika

Kamis, 10 November 2022

KRITIK TERHADAP KONSEP MODERASI BERAGAMA


Pengantar

Moderasi beragama adalah istilah baru. Tak memiliki akar teologis maupun historisnya dalam Islam. Namun demikian, istilah ini terus dijajakan di tengah-tengah umat Islam. Seolah-olah merupakan sebuah keniscayaan bagi umt Islam saat ini untuk mempraktikan moderasi agama. Apalagi saat bahaya radikalisme agama terus diopinikan. Moderasi beragama dianggap penting dan mendesak.

Benarkah demikian? Apa sesungguhnya yang disebut moderasi beragama? Apakah indikator-indikator moderasi beragama itu? Poin-poin apa yang perlu dikritik dalam konsep beragama ini? Di mana letak bahaya dari konsep moderasi beragama ini? Apa tujuan akhir dari konsep moderasi beragama saat ini? Itulah di antara sejumlah pertanyaan yang hendak dijawab dalam tulisan singkat ini.

Indikator Moderasi Beragama

Moderasi beragama adalah suatu model pemahaman dan praktik menjalankan agama Islam secara moderat, yang ditandai dengan empat indikator sebagai berikut:

Pertama, adanya komitmen kebangsaan, maksudnya menerima prinsip-prinsip kebangsaan dalam UUD 1945 dan berbagai regulasi di bawahnya.

Kedua, adanya toleransi yang diwujudkan dengan menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapatnya.

Ketiga, bersikap anti kekerasan, yakni menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung perubahan yang diinginkannya.

Keempat, penerimaan terhadap tradisi. Maksudnya ramah terhadap tradisi dan budaya lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran Islam.

Sering kali para penggagas moderasi beragama menggunakan ayat Ummatan Wasathan (Umat Pertengahan) untuk melegitimasi konsep moderasi beragama, yaitu firman Allah SWT :

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” (Ummatan Wasathan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS Al-Baqarah : 143).

Mengkritisi Penyalahgunaan Ayat Ummatan Wasathan

Para penggagas moderasi beragama seringkali menyitir ayat tentang Ummatan Wasathan dalam Al-Baqarah 143 sebagai landasan moderasi beragama. Firman Allah SWT :

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” (Ummatan Wasathan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS Al-Baqarah : 143).

Ummatan Wasathan tersebut adalah istilah al-Quran yang secara kontekstual sebenarnya tidak ada hubungannya dengan istilah moderasi beragama saat ini, yang sering dikontraskan dengan istilah radikalisme atau ekstremisme.

Untuk membuktikan tidak relevannya ayat tersebut dengan istilah moderasi agama saat ini, kita perlu melihat latar belakang sejarah munculnya istilah moderasi agama itu sendiri. Istilah ini sebenarnya bukan berasal dari sejarah kontemporer lokal Indonesia, seperti pembubaran HTI tahun 2017 dan FPI tahun 2020. Bukan juga berasal dari peristiwa peledakan WTC 9/11 tahun 2001 di New York (AS) yang melariskan istilah “terorisme”.

Bahkan sejarah istilah moderasi agama itu berakar jauh sebelumnya. Istilah moderasi agama dapat dilacak bahkan sejak Revolusi Iran tahun 1979, sebagaimana penjelasan Fereydoon Hoveyda, seorang pemikir dan diplomat Iran. Fereydoon Hoveyda menegaskan hal itu dalam artikelnya yang terbit tahun 2001 dengan judul, “Moderate Islamist? American Policy Interest,” sebuah artikel ilmiah dalam The Journal of National Committee on American Policy.

Menurut Fereydoon Hoveyda, istilah islamic moderation, moderate Muslim, atau moderate Islam mulai banyak digunakan setelah 1979 oleh jurnalis dan akademisi, untuk mendeskripsikan konteks hubungan antara dua hal, yaitu di sisi adalah Muslim, Islam, atau Islamist (aktivis Islam); sedangkan di sisi lain adalah Barat (The West).

Nah, dalam konteks inilah, muncul istilah moderate Islamist (aktivis Islam moderat), yang dianggap pro Barat (the West), khususnya yang pro Amerika Serikat. Sebagai lawan dari moderate Islamist itu akhirnya diberi label hard-line Islamist (aktivis Islam garis keras), yaitu mereka yang menginginkan Islam secara pure (murni) dan menolak ideologi Barat.

Jadi, kemunculan istilah moderasi agama sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan istilah Ummathan Wasathan dalam al-Quran tersebut, walau banyak intelektual Muslim yang memaksakan diri untuk mencari-cari relevansinya.

Adapun makna Ummathan Wasathan dalam QS al-Baqarah ayat 143 adalah umat yang adil (ummat[an] ‘adl[an]). Demikian menurut Imam asy-Syaukani dalam kitabnya, Fath al-Qadir, juga menurut Imam al-Qurthubi dalam kitabnya, Tafsir al-Qurthubi.

Imam asy-Syaukani dan Imam al-Qurthubi menafsirkan demikian atas dasar hadis shahih dari Abu Said al-Khudri RA, bahwa ketika Rasulullah SAW membaca ayat yang berbunyi “wa kadzalika ja’alnakum ummat[an] wasath[an]” (Demikianlah Kami menjadikan kalian umat pertengahan), beliau bersabda, “Maksudnya umat yang adil (‘adl[an]).” (HR at-Tirmidzi).

Umat yang adil ini maksudnya bukanlah umat pertengahan antara umat Yahudi dan umat Nashrani, seperti penafsiran sebagian orang. Bukan pula pertengahan dalam arti posisi tengah antara ifrath (berlebihan) dan tafrith (longgar), melainkan umat yang memiliki sifat adil dalam memberikan kesaksian (syahadah). Pasalnya, umat Islam akan menjadi saksi kelak pada Hari Kiamat, bahwa para nabi sebelum Rasulullah SAW telah menyampaikan wahyu kepada umatnya masing-masing.

Sebagaimana dimaklumi dalam fikih, bahwa orang yang menjadi saksi, misal saksi dalam jual-beli, atau saksi dalam akad nikah, wajib bersifat adil. Nah, makna adil seperti itulah yang dimaksudkan sebagai sifat umat Islam sebagai tafsiran ummatan wasathan dalam QS al-Baqarah ayat 143.

Mengkritisi Indikator Komitmen Kebangsaan dalam Moderasi Beragama

Indikator pertama dalam moderasi beragama adalah komitmen kebangsaan, yang diartikan menerima prinsip-prinsip kebangsaan dalam UUD 1945 dan berbagai regulasi di bawahnya. Persoalannya, indikator ini seringkali hanya diterapkan untuk mengukur komitmen kebangsaan dari rakyat, tapi tidak pernah digunakan untuk mengukur komitmen kebangsaan dari negara itu sendiri. Padahal justru negaralah yang seringkali patut dipertanyakan komitmen kebangsaannya.
Contohnya, negara seringkali tidak jelas komitmen kebangsaannya dalam berbagai regulasi di bawah UUD 1945, misalnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016. Dalam regulasi ini, Pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila.

Pertanyaannya, Pancasila yang mana yang lahir pada tanggal 1 Juni 1945 itu? Dalam buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari, Pancasila yang lahir 1 Juni 1945 rumusannya tidak seperti lima sila yang kita kenal saat ini, melainkan adalah:
Sila pertama, kebangsaan Indonesia.
Sila kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan.
Sila ketiga, mufakat atau demokrasi.
Sila keempat, kesejahteraan sosial, dan
Sila kelima, ketuhanan.

Jika faktanya demikian, maka rumusan Pancasila 1 Juni 1945 tersebut justru akhirnya bertentangan dengan rumusan Pancasila yang kita kenal saat ini, yakni rumusan 18 Agustus 1945 dalam Pembukaan UUD 1945, yang rincinya :

Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia.
Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Jadi, kalau indikator moderasi agama itu salah satunya adalah komitmen kebangsaan, maka justru negaralah yang patut diduga sudah melanggar komitmen kebangsaannya sendiri, atau minimal komitmen kebangsaannya simpang-siur alias tidak jelas, karena jelas bahwa Keppres nomor 24 tahun 2016 itu sendiri sudah kontradiktif dengan UUD 1945 yang memuat Pancasila yang versinya adalah versi 18 Agustus 1945, bukan versi 1 Juni 1945.

Mengkritisi Indikator Toleransi dalam Moderasi Beragama

Indikator kedua moderasi beragama adalah bersikap toleran terhadap perbedaan di masyarakat. Masalahnya, ide toleransi yang berkembang saat ini bukanlah ide toleransi menurut prespektif Islam, melainkan menurut paham liberal yang sekularistik. Profesor Muhammad Ahmad Mufti, seorang guru besar ilmu fiqih siyasah di Arab Saudi, telah mengkritik keras ide tolerasi ala liberal itu dalam kitabnya, Naqdu at-Tasamuh al- Libirali (Kritik Terhadap Toleransi Liberal) yang terbit 1431 H atau tahun 2010 M).

Dalam kitabnya itu, beliau menjelaskan bahwa ide toleransi liberal itu didasarkan pada 3 (tiga) gagasan pokok dari Barat:
Pertama, paham sekularisme (al-‘alamaniyyah, al-laadiniyyah).
Kedua, paham relativisme (an-nisbiyyah).
Ketiga, paham pluralisme dan demokrasi (at-ta’addudiyyah wa ad dimuqrathiyyah). (Muhammad Ahmad Mufti, Naqdu at-Tasamuh al- Libirali, hlm. 8)

Jadi, ukuran toleran dan intoleran dalam ide toleransi liberal yang berkembang sekarang rujukannya adalah tiga gagasan dasar tersebut, yaitu gagasan Barat, bukan gagasan Islam. Jika demikian, alangkah malangnya nasib umat Islam, karena ide toleransi liberal itu hakikatnya adalah penjajahan (imperalisme) dalam bidang pemikiran bagi umat Islam. Umat Islam akan dipaksa untuk berpikir dengan standar liberal yang bobrok dan menyesatkan.

Sebagai contoh, LGBT, jika ditinjau menurut paham toleransi liberal, tentu wajib ditoleransi. Sebaliknya, bagi umat Islam, LGBT tidak boleh ditoleransi, karena semuanya dosa dalam agama Islam. Namun, akhirnya umat Islam akan dicap intoleran jika menolak LGBT. Padahal dalam Islam LGBT memang sesuatu yang dosa, bukan sesuatu yang halal apalagi wajib. Jika umat Islam lalu dipaksa berkeyakinan LGBT itu halal, atau baik, dan wajib ditoleransi, bukankah itu namanya penjajahan pemikiran?

Dalam Islam, standar toleransi itu al-Quran dan as-Sunnah. Bukan paham sekularisme, relativisme, pluralisme dan demokrasi, sebagaimana standar toleransi Barat. Apa saja yang ditoleransi oleh al-Quran dan as-Sunnah akan ditoleransi oleh umat Islam. Sebaliknya, apa saja yang tidak ditoleransi oleh al-Quran dan as-Sunnah tidak akan ditoleransi oleh umat Islam.

Berdasarkan standar yang benar ini, LGBT tidak boleh ditoleransi oleh umat Islam. Semua itu diharamkan atas umat Islam berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah, misalnya dalam QS asy-Syu’ara ayat 165-166 dan QS al-Isra‘ ayat 32, dsb. Murtad atau keluar dari agama Islam tidak boleh ditoleransi karena memang dilarang oleh al-Quran dalam QS al-Baqarah ayat 217.

Muslimah nikah dengan laki-laki non-Muslim juga tidak boleh ditoleransi dilarang oleh al-Quran dalam QS al-Mumtahanah ayat 10.

Mengkritisi Indikator Anti-Kekerasan dalam Moderasi Beragama

Indikator ketiga dalam moderasi beragama adalah sikap anti kekerasan. Nah, ini juga perlu untuk dikritisi, karena sikap anti kekerasan ini ternyata digeneralisir untuk semua kekerasan secara absolut tanpa ada perkecualian. Akhirnya jihad fi sabilillah sebagai ajaran Islam juga termasuk kekerasan.

Memang bahwa pada dasarnya, kekerasan, seperti pembunuhan, misalnya, dalam Islam itu pada dasarnya diharamkan. Namun, ada perkecualiannya, yaitu pembunuhan “dengan alasan yang benar”, yaitu yang dibenarkan berdasarkan dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Demikian menurut QS al-Isra` ayat 33, sesuai firman Allah SWT :

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ

“Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS Al-Isra` : 33).

Jadi, pada dasarnya memang membunuh itu haram, tapi ada yang dibolehkan dalam agama Islam, berdasarkan dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Misalnya, membunuh dalam rangka membela diri, atau membunuh dalam rangka menjatuhkan qishash (hukuman mati), sebagaimana menurut QS al-Baqarah ayat 178; atau membunuh dalam rangka berjihad atau berperang, sebagaimana menurut QS al-Baqarah ayat 216.

Ringkasnya, tidak semua kekerasan diharamkan atau dilarang dalam Islam. Ada perkecualiannya dalam al-Quran atau as-Sunnah.

Jika ditinjau secara lebih mendalam, orang Muslim yang membenci jihad fi sabilillah itu sebenarnya hanya mengikuti kebencian kaum Kristiani Eropa terhadap jihad dari periode Abad Pertengahan Akhir hingga tahun 1529. Dalam periode ini, sebagaimana uraian Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasiyah, Khilafah Utsmaniyah banyak melakukan futuhat (penaklukan) dengan menaklukkan negeri-negeri Kristen di Eropa seperti Yunani, Romania, Albania, Yugoslavia dan Hungaria.

Futuhat itu akhirnya berhenti tahun 1529 M ketika pasukan jihad dari Khilafah Utsmaniyah tertahan di pintu gerbang Kota Wina dan akhirnya gagal menaklukkan Austria. Nah, karena posisi kaum Kristen menjadi sasaran jihad, sangat wajar kalau kaum Kristen saat itu akhirnya membenci jihad dan membenci Khilafah.

Sayangnya, di suatu saat kelak, di suatu negeri Islam, ada orang-orang Islam yang belajar kepada kaum orientalis Kristen atau Yahudi, lalu bertaklid buta kepada mereka dan mewarisi sikap mental kaum kafir itu yang penuh dengan dendam dan kebencian kepada jihad dan khilafah, lalu merekapun menghapuskan mata pelajaran jihad dan khilafah dari kurikulum pendidikan mereka, yaitu memindahkan pembahasan jihad dan khilafah itu dari mata pelajaran fiqih menjadi mata pelajaran sejarah belaka.
Astaghfirullahal ‘azhiem...

Mengkritisi Indikator Penerimaan Terhadap Tradisi Masyarakat

Indikator keempat dalam moderasi beragama adalah menerima tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Indikator ini juga perlu dikritisi, karena tradisi itu sesungguhnya tidak boleh dianggap mutlak benar secara absolut, lalu orang Islam dipaksa dan diwajibkan menerima bulat-bulat tanpa boleh menolak atau mengkritik.

Tradisi apapun yang berkembang di masyarakat, wajib dikembalikan pada standar al-Quran dan as-Sunnah. Jika ada tradisi di masyarakat Muslim yang tidak bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah, boleh-boleh saja umat Islam mengikutinya. Misalnya, penutup kepala khas Jawa yang bernama blangkon. Namun, jika tradisi di masyarakat Muslim bertentangan dengan al-Quran dan as-Sunnah, misalnya tradisi minum arak atau ciu (khamr), maka tradisi itu haram diikuti oleh kaum Muslim. Islam telah tegas mengharamkan setiap minuman yang beralkohol (khamr), sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Maidah ayat 90.

Tujuan Konsep Moderasi Beragama
Setelah disampaikan kritik-kritik di atas terhadap indikator-indikator moderasi beragama, pertanyaan yang muncul adalah, apa tujuan dari konsep moderasi beragama itu sendiri?

Untuk menjawabnya, tidak cukup kita hanya menganalisis politik dalam negeri di Indonesia, melainkan juga harus kita lihat lihat fenomena ini dari perspektif global.
Moderasi agama sesungguhnya adalah bagian dari strategi politik luar negeri dari negeri-negeri Barat, khususnya Amerika Serikat, yang mempunyai dua tujuan utama;

Pertama, untuk menghalang-halangi kembalinya umat Islam ke dalam agamanya secara murni, dengan mengamalkan syariah Islam kaffah dalam institusi Negara Khilafah.

Kedua, untuk mempertahankan sistem demokrasi-sekular yang ada saat ini di negeri-negeri Islam, dengan cara mempertahankan penguasa yang menjadi proxy mereka, agar Amerika Serikat dan negara-negara penjajah lainnya dapat terus mengeksploitasi dan menghisap kekayaan alam negeri-negeri Islam yang sangat kaya.

Jika tujuan tersebut tercapai, maka umat Islam jelas akan buntung, namun memang ada pihak yang akan diuntungkan dengan kebijakan moderasi beragama ini, utamanya ada dua pihak;

Pertama, Amerika Serikat dan negara-negara imperialis lainnya.

Kedua, para penguasa negeri-negeri Islam yang menjadi proxy Amerika Serikat, dkk.
Selain dua pihak tersebut, tentu ada pihak-pihak yang lain yang mendapat untung, karena hegemoni Amerika Serikat ini tidak akan dapat berjalan, kecuali ada instrumen-instrumen pendukungnya, yaitu: (1) berbagai lembaga keuangan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia; (2) berbagai MNCs (multi national corporations), seperti Freeport McMoran, dsb.

Kekuasaan penguasa yang menjadi proxy AS juga tidak akan dapat berjalan, kecuali ada instrumen-instrumen pendukungnya pula, yaitu: (1) para intelektual (birokrat) didikan Barat yang menjadi penentu kebijakan politik dan ekonomi dan (2) militer.

Jalinan struktur kekuatan hegemonik global dan lokal ini diterangkan dalam beberapa buku yang berkelas, seperti buku Economists with Guns, karya Bradley R. Simpson atau bukunya Prof. Amien Rais berjudul Selamatkan Indonesia! Buku ini sangat direkomendasikan untuk dibaca, karena akan dapat membuka mata dan hidung kita lebih lebar untuk mencium betapa busuknya, betapa rakusnya, dan betapa kejamnya hegemoni kapitalis-sekuler yang ada saat ini.

Penutup

Sebagai penutup, barangkali perlu dijelaskan bagaimana sikap yang seharusnya diambil oleh umat Islam terhadap konsep moderasi beragama ini. Ringkasnya ada 4 (empat) poin yang perlu menjadi sikap umat Islam; yaitu :

Pertama, kita umat Islam harus memberikan kritik yang tajam dan destruktif terhadap konsep moderasi beragama ini.

Kedua, kita harus terus menyadarkan masyarakat, bahwa konsep moderasi beragama ini bukanlah asli kebijakan pemerintah saat ini, melainkan sekadar meneruskan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Ketiga, kita harus terus menyadarkan masyarakat bahwa kebijakan moderasi beragama ini mempunyai tujuan tersembunyi yang sangat membahayakan Islam dan umat Islam.

Keempat, kita wajib terus berjuang untuk mengembalikan Islam kaffah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan menegakkan Negara Khilafah. Wallahu a’lam. []

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 

Referensi: https://al-waie.id/hiwar/kh-shiddiq-al-jawi-moderasi-agama-berbahaya/

Selasa, 08 November 2022

Inilah Hukum Memakai Baju Moderasi Beragama

Tinta Media - Menyikapi keputusan Menteri Agama yang mengeluarkan aturan kepada pegawainya untuk memakai batik moderasi beragama, Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menjelaskan hukum memakai batik moderasi beragama.

"Apa hukumnya memakai batik yang disebut batik moderasi beragama? Dalam batik tersebut, terdapat macam-macam gambar, tempat ibadah dan simbol-simbol berbagai agama yaitu ada gambar masjidnya, gambar salib, kemudian patung Budha, kemudian ada pura, ada gereja, ada klenteng juga. Nah, ini kemudian saya lakukan kajian. Jadi, saya melihat ternyata memang ada dua pendapat ulama," tuturnya dalam Kajian Fikih: Hukum Makai Baju Batik Moderasi Beragama, Jumat (4/11/2022) di laman YouTube Khilafah Channel.

Menurutnya, berdasarkan kajian yang ia lakukan, ada ulama yang berpendapat mengharamkan dan yang memakruhkan. 
"Jadi ulama berbeda pendapat atau ada khilafiah mengenai hukum memakai baju yang di dalamnya terdapat syiar-syiar kaum kafir," jelasnya.

Pertama, pendapat yang mengharamkan. "Ini adalah pendapat ulama dalam mazhab Hanafi, kemudian pendapat sebagian ulama mazhab Syafi'i dan pendapat ulama di dalam mazhab Hambali," tuturnya.

Kedua, pendapat yang memakruhkan. "Jadi kalau makruh itu artinya, kalau dipakai tidak apa-apa tidak berdosa. Tetapi, lebih baik tidak memakainya. Nah ini pendapat sebagian ulama mazhab Hanafi, kemudian pendapat sebagian mazah Maliki," tegasnya.

Jadi, persoalan memakai baju moderasi ini lanjut kiyai Shiddiq, sebenarnya sudah di kaji oleh para ulama. "Jadi ini sudah dikaji oleh para ulama terkait persoalan memakai baju tapi ada gambar-gambar salibnya atau simbol simbol agama yang lain," jelasnya.

Ia menyampaikan kitab yang jadi rujukan untuk persoalan ini. "Kitab yang saya rujuk paling tidak ada dua kitab, yang pertama itu karya Syaikh Nashir Muhammad Hasri Al Ghomidi itu ada satu kitab yang berjudul Libasu, ar rojuli ahkamuhu wa dhiwabituhu al fiqh al Islami," terangnya.

"Lalu ada kitab yang kedua, yang saya rujuk yaitu karya Syaikh Muhammad Ali Wasir judulnya Ahkam At tashwir fi al fiqh Islami," pungkasnya.[] Teti Rostika



Minggu, 06 November 2022

Ruang Penyalahgunaan Moderasi Beragama di Internal Islam

Tinta Media - Pemerintah tengah mengupayakan program untuk merespon isu terorisme di Indonesia. Dilatarbelakangi kaum ekstremes dengan program deradikalisasi, tentu hal ini menjadi semacam ancaman besar yang dapat merusak tatanan dan keutuhan NKRI.

Itulah mengapa, dana hingga triliyunan disiapkan demi suksesnya program yang pemerintah menamainya dengan moderasi beragama.

Sebenarnya, Islam itu wasathiyah sejak dahulu. Islam adalah agama yang rahmatan lil 'alamin, tidak mengajarkan kekerasan sebagaimana judgment yang keliru dari masyarakat. 

Lihatlah bagaimana Rasulullah selama memimpin di Madinah dengan mengayomi banyak agama. Tidak ada indikasi intoleran di sana.

Adapun mengenai peperangan-peperangan dalam sejarah, tentu bukan dalam konteks bermasyarakat sebagaimana kepemimpinan Rasulullah di Madinah.

Para pejuang kemerdekaan negara Indonesia mengakui keberadaan agama lain selain Islam. Bahkan sejak dulu, umat Islam Indonesia pun mengamalkan washathiyah. 

Sebenarnya, moderasi beragama itu bukan hal yang baru dalam Islam. Ia adalah identitas umat. Allah sendiri yang menyebut umat Islam dengan sebutan ummatan wasathan dalam surat al-Baqarah ayat 143.

Tidak mungkin ada umat Islam yang meragukan washathiyah, karena itulah ajarannya.

Artinya, hanya karena pemerintah baru memprogramkannya akhir-akhir ini. Akan tetapi, moderasi beragama bukanlah hal yang baru, itulah hakikat Islam. Itulah ummatan wasathan. Itulah Islam wasathiyah.

Program pemerintah ini sebenarnya semakin menegaskan dan mengukuhkan eksistensi ajaran Islam itu sendiri, bukan semacam kebaruan dalam agama Islam. 
Anehnya, sebagus apa pun program ini, masih saja ada yang meragukan. 

Sebenarnya, umat Islam tidak mungkin meragukan ajarannya. Akan tetapi, yang membuat mereka ragu adalah sisi penyalahgunaan yang mungkin bisa mendapat perhatian serius dari pemerintah untuk dievaluasi demi terselenggaranya program dengan lebih baik.

Pemaknaan Moderasi Beragama di Internal Islam

Moderasi beragama atau kita sebut saja pertengahan, tidak terlalu longgar dan tidak terlalu keras. Bila moderasi beragama sampai dimaknai terlalu longgar, maka ia bisa jatuh pada moderasi agama. 

Moderasi agama, yang dimoderasikan adalah 'ajaran'nya, sedangkan moderasi beragama; yang dimoderasikan adalah 'prilaku beragama'nya. Khalayak masyarakat perlu memahami ini. Karena bagaimanapun, moderasi beragama dengan agama tipis sekali, bahkan masyarakat awam mungkin saja bisa masuk pada toleransi yang berlebih.

Bila sudah terperosok jatuh pada memoderasikan ajaran, sama artinya dengan keluar dari batasan ajaran Islam.
Bila diibaratkan, umat Islam memiliki akidah (keyakinan). Bila umat sampai melanggar akidah itu, tentu ia telah salah memaknai moderasi beragama.
Inti ajaran sampai diubahnya atas nama kerukunan beragama. Kalau sudah ajaran yang diubah, maka ia telah merusak ajarannya sendiri.

Inilah yang penulis ingin sampaikan bahwa ada hal yang sangat krusial. Islam baik-baik saja, ia mengajarkan nilai-nilai toleransi. Namun, tidak lagi dalam jalurnya bila toleransi itu dilebih-lebihkan, bahkan melewati batas.

Sesungguhnya nilai toleransi dalam Islam semenjak Indonesia merdeka tidak sampai mengganggu kerukunan beragama. Hanya karena teroris dan kaum radikal mengaku dari Islam, bukan berarti umat Islam dipaksa dengan sesuatu yang bisa melanggar akidahnya. 

Islam berdiri di atas toleransi, lantas momentum program ini digunakan sebagian oknum agar umat Islam dipaksa untuk toleransi yang keluar batasnya. 
Bagaimana mungkin ia menggadaikan akidah agamanya sendiri, bahkan toleransi umat Islam tidak sampai mengganggu kerukunan beragama. 

Sedangkan mereka yang melakukan pengeboman itu, yang bervisi deradikalisasi itu, sesungguhnya mereka yang seharusnya menjadi sasaran, bukan umat Islam pada umumnya yang bahkan berusaha mengamalkan ajaran agamanya dengan baik.

Kemudian, bila Islam terlalu keras pun, hakikatnya telah keluar dari batasannya. Namun di program ini pun ada semacam peluang ketidakadilan.

Saat kaum ekstremes mengaku dari Islam, kemudian pemerintah begitu overprotektif terhadap 'seluruh' umat Islam demi melindungi keutuhan negara, justru, ada baiknya sasaran itu lebih dispesifikan lagi. 

Coba perhatikan fenomena yang terjadi. Media marak meradikal-radikalkan seseorang tanpa bukti, khususnya umat Islam. Padahal, itu hanyalah konsekuensi dari pemahaman fikih yang dipegangnya.

Sesungguhnya fikih itu luas, tidak hanya satu. Umat Islam yang dimaknai tidak pro dengan pemahamanmya, lantas dilabeli teroris. 

Di sinilah pentingnya pemaknaan moderasi beragama di internal Islam. Perlunya mengedukasi masyarakat agar jangan sampai program ini memecah belah persatuan Islam hanya karena merasa paling benar dengan madzhabnya.

Alih-alih merukunkan antar agama, justru internal agama Islam malah terpecah-belah dengan program ini, penuh provokasi kebencian, hingga saling curiga mencurigai. Padahal, merekalah yang seharusnya jadi sasaran, yang jelas bukti radikalnya?

Inilah yang dimaksud penulis agar jangan sampai makna moderasi beragama itu menjadi kabur dan tidak tepat sasaran. Seharusnya yang dituju adalah kaum ekstremes, tapi yang dibidik adalah umat Islam seluruhnya. Hal ini bisa menjadi celah diskriminasi untuk agama Islam.

Itulah sisi evaluasi program ini yang perlu mendapat perhatian. Dalam agama Islam, ada satu lagi PR yang jadi catatan, yaitu memperbaiki pemahaman mereka yang mudah meradikalkan seseorang tanpa bukti. Ini bisa mengaburkan makna moderasi beragama, bahwa Islam dengan agama lain rukun, tetapi Islam di agamanya sendiri saling bermusuhan.

Bagaimana mungkin ia bisa toleransi dengan agama lain, tetapi tidak toleransi dengan perbedaan furu' di agamanya sendiri.

Oleh: Shopiah Syafaatunnisa
Sahabat Tinta Media


Kamis, 02 Juni 2022

Prof. Suteki: Jangan Terjebak di Jalan Tengah, Itu Kafir yang Nyata!


Tinta Media - Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. mengingatkan kepada kaum Muslim agar tidak terjebak di jalan tengah.

"Jangan terjebak di jalan tengah, itu kafir yang nyata!" tuturnya kepada Tinta Media (Selasa, 31/5/2022).

Prof. Suteki mengingatkan firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an surat an-Nisa ayat 150 dan 151, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir pada Allah dan rasul-rasul-Nya dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada yang sebagian dan kami ingkar terhadap (sebagian yang lain),’ serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan."

Prof. Suteki menuturkan, begitu indah ayat Al-Qur’an dengan ungkapan dalih mencari jalan tengah, akan tetapi harus menyembunyikan kebenaran. Banyak sekali ayat Al-Qur’an disembunyikan baik sengaja maupun tidak sengaja, misal ayat tentang jihad, khilafah harus ditafsiri dengan tafsir yang menghilangkan makna hakikinya, bahkan sangat jarang sekali mendapatkan porsi pembahasan.

"Seharusnya orang beriman menjadikan hati untuk mengimani, kemudian iman melakukan dorongan (drive) kepada akal untuk mengungkap makna (hikmah) dan melakukan relation of understanding, sehingga menghadirkan pemahaman yang baik. Tentu ini adalah kerja akademis yang tidak mudah, sehingga membutuhkan kemampuan ilmu dan iman yang totalitas," pungkasnya. [] Yanyan Supiyanti
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab