Tinta Media: MoU
Tampilkan postingan dengan label MoU. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label MoU. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 April 2024

MOU Kemenag Unicef, Perlindungan Hak Anak Makin Kuat?



Tinta Media - Kementerian Agama  dan Unicef menjalin kerja sama untuk memperkuat perlindungan hak anak di Indonesia. Kemenag yang diwakili Dirjen Bimas Islam, Kamarudin Amin mengatakan, dengan MOU ini akan terwujud hak-hak anak Indonesia. Kerja sama ini meliputi advokasi, pengembangan kapasitas, dan berbagi sumber daya sebagai langkah konkret meningkatkan kesadaran akan hak-hak anak (www.kemenag.go.id, 28/03/2024). 

Amin menekankan pentingnya meningkatkan kualitas hidup anak-anak, terutama dalam hal pendidikan, serta akses masjid yang ramah untuk anak (m.antaranews.com, 28/3/2014). 

Akankah MOU ini menyelesaikan berbagai persoalan yang membelit anak?
 
Menakar Masalah

Tidak bisa dimungkiri, masalah anak sangat kompleks. Bukan hanya kurangnya akses pendidikan dan kesejahteraan anak, bahkan kemiskinan, stunting, maupun kekerasan anak masih tinggi. Permasalahan sistemik muncul akibat penerapan sistem kapitalisme yang mengagungkan kebebasan individu, salah satunya dalam kepemilikan. 

Sektor publik seperti tambang dan sumber daya lainnya bisa diprivatisasi, hingga kekayaan negara dikuasai segelintir oligarki. Sementara, rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Negara pun ikut  dimiskinkan. Sehingga, ketika melaksanakan pembangunan, negara hanya mengandalkan pajak dan utang luar negeri.

Terlebih, sistem ini juga menempatkan pemerintah hanya sebatas regulator, bukan periayah rakyat. Kebijakan penguasa justru memihak swasta yang hanya mengejar keuntungan. 

Layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan diliberalisasi dan dikapitalisasi. Akibatnya, untuk mendapat layanan kesehatan dan pendidikan berkualitas, rakyat dibebani biaya tinggi. Sementara, layanan yang disediakan pemerintah kurang memadai.  

Kendala dalam mengakses sektor ini menyebabkan anak putus sekolah, anak terpaksa bekerja, mengalami diskriminasi, hingga berbagai kekerasan. Kerja sama Unicef dan Kemenag layak diapresiasi, tetapi merupakan solusi yang bersifat tambal sulam, tidak menyentuh akar permasalahan. 

Sebagaimana solusi yang ditawarkan pemerintah sebelumnya, selama masih dalam bingkai kapitalisme, maka tidak akan menyelesaikan masalah. Seperti UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dengan adanya undang-undang tersebut, faktanya kasus kekerasan pada anak masih merebak. 

Kekerasan terhadap anak, baik pemukulan, penganiayaan, perundungan, hingga pemerkosaan masih terjadi, baik di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. Komnas Perlindungan Anak melaporkan, pada tahun 2023 terdapat 3.547 kasus kekerasan terhadap anak. Sebanyak 3.000 di antaranya berupa kekerasan seksual terhadap anak (umsida.ac.id, 22/1/2024). 

Bahkan, angka stunting Indonesia masih menduduki peringkat tertinggi kedua setelah Timor Leste (theconversation.com, 14/9/2023). 

Ini adalah berbagai persoalan yang senantiasa akan ada dalam sistem kapitalisme.

 Sistem Islam Pelindung Hakiki Anak

Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam mempunyai solusi tuntas mewujudkan perlindungan hak-hak anak. Penguasa dalam sistem Islam adalah penggembala yang bertanggung jawab secara penuh untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, termasuk anak.  Nabi saw. bersabda yang artinya,

"Imam itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya."

Seorang penguasa berkewajiban memastikan setiap rakyatnya terpenuhi semua kebutuhan pokok, baik secara individu maupun kebutuhan pokok komunal. Nabi saw. mengancam seorang pemimpin bahwasanya ia tidak akan mencium bau surga jika menyia-nyiakan amanah mengurus rakyat.

Penguasa menjamin kebutuhan pokok individu, baik berupa pangan, sandang, dan papan. Dia menjamin harga kebutuhan pokok terjangkau oleh rakyat, kemudahan bagi laki-laki bekerja untuk memenuhi kewajiban nafkah, serta hak yang sama bagi rakyat untuk mengakses sektor tersebut.

Penguasa berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok  komunal, baik pendidikan, kesehatan, maupun keamanan secara gratis. Setiap rakyat mempunyai hak yang sama dalam mengakses pendidikan dan kesehatan dengan layanan terbaik. Sektor ini tidak boleh dikomersialisasi dan dikapitalisasi.

Dalam sistem Islam, penguasa mudah meriayah (mengurusi) rakyat karena memiliki sumber pendapatan yang berlimpah. Salah satunya dengan pengaturan mekanisme pembagian kepemilikan. Ada kepemilikan umum, seperti bahan tambang, gas, batu bara, hutan, laut, dan sebagainya. Juga ada kepemilikan negara, seperti kharaj, jizyah, usyur, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan sebagainya. Pemasukan dari kedua sektor ini lebih dari cukup untuk meriayah (mengurusi) rakyat.

Dengan mekanisme sempurna tersebut, negara mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat, termasuk memenuhi hak-hak anak, baik pendidikan maupun kesehatan. Hal tersebut akan terwujud bila penguasa menerapkan Islam secara kaffah.

Oleh: Ida Nurchayati
Aktivis Muslimah

Jumat, 08 Juli 2022

MoU Pernikahan Pemicu Perzinahan


Tinta Media - Selasa (14/06/2022) menjadi momentum penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) antara Pengadilan Agama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Bandung. MoU tersebut berisi kerjasama dalam rangka mencegah pernikahan di bawah umur. Hal ini dipicu adanya perubahan batas minimal usia menikah bagi wanita dalam UU No.16 Tahun 2019 Pasal 7 ayat (1) yang memperbolehkan wanita menikah saat telah berusia 19 tahun sebagaimana laki-laki. Padahal, sebelumnya wanita boleh menikah saat usia 16 tahun. (https://pa-soreang.go.id)

Digadang-gadang untuk membatasi praktik pernikahan dini, alhasil sejak diterbitkannya Undang-Undang nomor 16 Tahun 2019 tersebut, justru perkara permohonan dispensasi kawin meningkat. 

Merespon hal tersebut, Pengadilan Agama Soreang mengambil langkah strategis dengan adanya MoU pernikahan guna menekan angka stunting melalui pencegahan pernikahan anak usia dini. Pengadilan Agama Soreang bekerja sama dengan berbagai instansi di Dinas Kesehatan, dan beberapa instansi terkait untuk menyampaikan bahaya kehamilan akibat seks bebas, KDRT,  dan perceraian, sehingga diharapkan tidak ada lagi yang mengajukan dispensasi menikah.

Yang perlu dikritisi adalah, benarkah bahwa pernikahan dini menjadi penyebab dari munculnya stunting, sehingga MoU tersebut harus dibuat, dalam menguatkan UU No 16 tahun 2019? Padahal,  justru faktor terbesar stunting adalah akibat kekurangan gizi pada anak. Seperti yang tercantum dalam salah satu situs Kemenkes, yang menyebutkan bahwa penyebab stunting karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani (riku kemkes.go.id.).

Selain itu, birokrasi bagi para orang tua yang sulit untuk menikahkan anaknya sebelum usia 19 tahun, padahal mereka sudah mampu dan ingin menjaga diri, berupa diberi surat rujukan ke Dinas Kesehatan untuk dilakukan pemeriksaan dan penyuluhan, akan menjadi bukti dan alasan mendesak disetujui atau tidaknya pernikahan oleh pihak Pengadilan Agama.

Hal ini menjadi sesuatu yang miris. Di era sekuler-liberal saat ini, perkara-perkara berbau syahwat, mengumbar aurat baik dalam kehidupan nyata maupun dalam bentuk tontonan atau berbagai konten di media sosial memamg dibebaskan. Inilah yang dapat memicu syahwat manusia, termasuk anak-anak dan remaja sehingga  seks bebas atau perzinaan di tengah masyarakat semakin bebas, tanpa sanksi yang tegas, apalagi jika didasarkan pada suka sama suka. Apalagi ketika pernikahan dini dicegah, akan semakin rusaklah moral generasi muda kita, karena seks bebas akan berefek kepada banyaknya kasus hamil diluar nikah, aborsi, juga menyebarnya penyakit kelamin yang membahayakan.

Selain itu, menikah dalam masyarakat sekuler hanya dipahami untuk sekadar memuaskan hawa nafsu. Maka wajar jika pernikahan dan keluarga yang terbentuk adalah keluarga yang tidak harmonis, karena tidak memiliki tujuan yang jelas. 

Angka KDRT, perceraian, dan trend single parent pun terus meningkat. Hal ini tentu berdampak pada masa depan generasi bangsa. Jelaslah bahwa tidak satu pun aturan sekuler liberal saat ini yang dapat menyelesaikan masalah. Bahkan malah menambah masalah baru, karena pada hakikatnya, sistem ini adalah biang segala kerusakan.

Hal ini berbanding terbalik dengan Islam yang merupakan sistem komprehensif. Islam mengatur segala masalah kehidupan, termasuk pergaulan/interaksi antara pria dan wanita, serta pernikahan. 

Pernikahan dalam Islam merupakan salah satu bentuk ibadah, akad yang menyebabkan halalnya hubungan antara suami dan istri. Semua dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Allah Swt. Dianjurkan kepada muslim yang telah sanggup memikul tanggung jawab pernikahan, agar menikah. Jika belum mampu, maka diarahkan untuk bershaum seraya menundukkan pandangan dan dilarang untuk mendekati zina.

Tujuan pernikahan dalam Islam bukan sekadar untuk menundukkan hawa nafsu saja. Namun, yang paling utama adalah untuk melestarikan jenis manusia. Islam mendorong pria muslim untuk menikahi wanita yang masih perawan atau gadis, subur keturunannya dan baik agamanya. Bahkan, Rasulullah saw. melarang kaum muslimin untuk membujung selamanya. Pernikahan pun harus dilandasi dengan akidah Islam untuk membentuk keluarga yang samawa dan mampu melahirkan penerus bangsa yang saleh dan salihah.

Penerapan Islam secara komprehensif yang diterapkan sejak masa pemerintahan Rasulullah saw. di Madinah, hingga pemerintahan Islam terakhir dimasa Khilafah Utsmaniyah.m, telah banyak melahirkan generasi yang unggul, generasi khoiru ummah (umat terbaik). 

Adanya pribadi-pribadi bertakwa di tengah umat, ditopang oleh keberadaan negara sebagai wujud ketakwaan masyarakat melalui penerapan Islam kaffah. Ini merupakan tiga elemen penting yang akan mampu mewujudkan generasi khoiru ummah tersebut. Upaya mewujudkan keluarga samawa tidak luput dari perhatian negara khilafah.

Pertama, negara menancapkan pemikiran Islam di tengah-tengah umat Islam dengan menerapkan kurikulum pendidikan Islam. Negara juga melarang dan menghilangkan segala yang memicu syahwat baik tulisan maupun gambar, menindak tegas aktivitas yang mendekati zina dan mempertontonkan pornoaksi-pornografi.

Bahkan, negara Islam saat itu memfasilitasi dan membantu para pasangan yang sudah siap menikah, tetapi tidak memiliki biaya. Negara mengambilkan dana dari dana Baitul Mal, seperti yang terjadi pada masa  Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau mengatakan,

"Barang siapa memiliki amanah yang tak bisa ia tunaikan, maka berikan padanya uang dari Baitul Mal. Dan barang siapa hendak menikah dengan seorang wanita sedang ia tak mampu membayar maharnya, maka berilah ia uang dari Baitul Mal."

Islam merupakan satu-satunya sistem yang mampu mewujudkan generasi mulia dan cemerlang yang menjadi pemimpin umat dengan penuh amanah, seperti Umar bin Abdul Aziz, Shalahuddin al Ayubi, Muhammad Al-Fatih. Islam juga mampu melahirkan para mujtahid seperti Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Malik, dan masih banyak mujtahid lainnya yang lahir dari rahim Islam. Lantas, masihkah kita berharap kepada sistem selain Islam?

Wallahu'alam bishawwab

Oleh: Thaqqiyuna Dewi, S.I.Kom.
Sahabat Tinta Media



Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab