Tinta Media: Minyakita
Tampilkan postingan dengan label Minyakita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Minyakita. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Agustus 2024

Sudahkah Yakin MINYAKITA Milik Kita?

Tinta Media - Bahan sembako kerap menjadi perbincangan hangat di lini kehidupan, karena sembako menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting. Apalagi pada realitasnya sembako ialah penyokong utama dalam hidup yang tak bisa digantikan dengan apa pun.

Minyak goreng yang merupakan bagian dari sembako, seolah tak pernah berhenti terus menerus menjadi 'bahan ribut' di kalangan masyarakat. Hal ini tentu akibat harganya yang kian terus meningkat bahkan tak masuk akal. Sebenarnya bukan hanya minyak goreng saja, tetapi bahan-bahan sembako lainnya pun kian naik seolah menekan ekonomi masyarakat saat ini yang kian terimpit.

Dilansir dari Liputan6.com, Jakarta - Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng Minyakita atau harga minyakita naik dari Rp 14.000 menjadi Rp 15.700 per liter. Adapun kenaikan harga minyak goreng ini diumumkan oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dalam Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang Pedoman Penjualan Minyak Goreng Rakyat.

Achmad Nur Hidayat, seorang Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik mengaku bingung atas alasan Kemendag, yang mengatakan bahwa harga eceran minyak goreng harus disesuaikan dengan biaya produksi yang terus naik dan fluktuasi nilai tukar rupiah. Achmad menyebutkan, "Dua alasan ini sebenarnya aneh, karena minyak goreng dihasilkan dari minyak sawit di mana Indonesia adalah penghasil sawit terbesar di muka bumi." Pada Sabtu (20/7/2024).

Menurutnya pula, produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia pada 2023 mencapai 50,07 juta ton. Naik 7,15 persen dibandingkan produksi 2022 yang mencapai 46,73 juta ton. Meskipun ada justifikasi ekonomi di balik kenaikan HET minyak goreng, Achmad menilai kebijakan ini tidak tepat waktu dan berpotensi memperburuk kondisi ekonomi masyarakat.

Hal ini justru sangat besar pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat yang kian terimpit. Bagaimana tidak ? Pemerintah seolah tidak berpikir panjang terhadap kenaikan-kenaikan bahan sembako yang sudah jelas sangat membuat masyarakat sulit semakin sulit.

Keadaan ini juga membuat kita bertanya-tanya, bagaimana bisa di negara yang kaya akan hasil alam terutama minyak, tapi masyarakat negeri itu sendiri kesusahan untuk mendapatkannya. Seharusnya sudah menjadi tugas negara untuk menuntaskan permasalahan ini agar tidak sepele atau bahkan sampai abai. Tapi nyatanya negara malah terlihat abai akan hal ini. Kebutuhan masyarakat semakin mendesak untuk terpenuhi, walhasil gagal terpenuhi akibat tingginya tolakan harga dari bahan-bahan sembako dan lain-lainnya.

Kita dibuat menjadi overthinking terhadap hal ini, apa jangan-jangan minyak menjadi mahal akibat negeri ini impor dari luar ?Dan apakah minyak kita di negeri ini bukan milik kita lagi ? Sehingga harga kian melejit masyarakat dibuat kesusahan untuk mendapatkannya.

Tiada lain sistem hari ini menjadi biang utama penyebab hal ini terjadi. Sistem kapitalisme hanya memperhatikan keuntungan sebesar-besarnya, sehingga tidak lagi memperhatikan bagaimana kondisi terpuruk masyarakat saat ini.

Masyarakat harus tersadarkan, bahwa setiap impitan permasalahan yang terjadi dalam lini kehidupan ialah akibat sistem kapitalisme yang kian menggigit masyarakat. Mungkin masyarakat kalangan kelas atas tidak terlalu dirugikan, tetapi bagaimana dengan masyarakat kalangan bawah semakin terus-menerus diimpit perekonomiannya.

Setidaknya kita harus mengetahui bahwasanya sistem itu sangat penting dalam kehidupan. Dengan sistem yang hakiki dalam menyejahterakan masyarakatlah yang dapat menuntaskan permasalahan terutama dalam memberi harga minyak hasil bumi sewajarnya kepada masyarakat.

Tata kelola perekonomian saat ini benar-benar mengimpit masyarakat dengan penghasilan yang tidak banyak. Bagaimana mungkin bisa harga seluruh bahan pokok melonjak tinggi sedangkan penghasilan dari Maya pencaharian masyarakat tidak naik bahkan kurang sekurangnya ?

Maka dari itu sudah saatnya kita beralih pada sistem yang benar-benar membuat seluruh masyarakatnya sejahtera merata tidak setengah-setengah. Apakah ada sistem pemerintahan semacam itu ?

Perlu kiranya kita membuka mata akan sejarah yang pernah ada dan terjadi, bukankah itu dapat di jadikan pelajaran sehingga dapat di terapkan di lini kehidupan hingga bernegara ?

Bahwa benar adanya sistem yang berhasil menyejahterakan seluruh rakyatnya baik Islam maupun non Islam yakni Sistem Islam ala minhajjin nubuwah.

Wallahu a'lam bisshhowwab.

Oleh : Marsya Hafidzah Z., Pelajar

Selasa, 06 Agustus 2024

Harga Minyakita Tak Lagi Ramah untuk Rakyat Jelata

Tinta Media - Dari hari ke hari berita yang datang dari pemerintah sering kali membuat rakyat resah. Bagaimana tidak, setelah menaikkan harga eceran tertinggi (HET) beras dan gula, kini minyak goreng Minyakita yang diperuntukkan bagi rakyat jelata turut dinaikkan pula. Sungguh ironi, di negara penghasil kelapa sawit terbesar dunia, harga minyak goreng tetap saja mahal.

Seperti diberitakan bahwa HET minyak goreng Minyakita naik dari Rp14.000 menjadi Rp15.700. Kenaikan tersebut diumumkan oleh Menteri perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dalam Surat Edaran Nomor 03 Tahun 2023 tentang pedoman penjualan minyak goreng rakyat. Kemendag beralasan, harga eceran minyak goreng harus disesuaikan dengan biaya produksi yang terus naik dan fluktuasi nilai tukar rupiah.

Hal ini membuat ekonom dan pakar kebijakan publik Achmad Nur Hidayat merasa bingung. Menurutnya, kedua alasan di atas terasa aneh. Sebab, minyak goreng dihasilkan dari minyak sawit, sementara Indonesia merupakan negara penghasil sawit terbesar di dunia. 

Achmad Nur mencatat bahwa produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia pada 2023 mencapai 50, 07 juta ton, naik 7,15 dibandingkan produksi tahun 2022 yang mencapai 46,73 juta ton. Dengan begitu, untuk memproduksi minyak goreng, Indonesia tidak perlu impor, sehingga kurang tepat jika kenaikan harga ini dikaitkan dengan nilai tukar rupiah karena bahan bakunya semua ada di dalam negeri. Kenaikan harga ini justru berpotensi memperburuk kondisi ekonomi masyarakat. (Liputan6.com, 20/7/2024)

Setiap terjadi kenaikan harga, pasti akan berdampak pada kehidupan masyarakat, apalagi minyak goreng merupakan bahan pokok yang sangat dibutuhkan, baik bagi kebutuhan rumah tangga ataupun untuk usaha mikro dan pedagang makanan. Hal ini tentunya semakin membebani masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang serba sulit. 

Daya beli masyarakat pun sedang lesu dikarenakan penghasilan yang tak menentu. Angka pengangguran tinggi hingga menjuarai di tingkat ASIA. Yang bekerja pun terbebani dengan potongan pajak pekerja, BPJS dan Tapera. Belum lagi ancaman PHK yang bisa terjadi kapan saja.

Selain itu, HET yang menjadi acuan tidak serta-merta diikuti oleh para pedagang. Bisa jadi, di pasaran penjual akan mematok harga lebih tinggi karena keuntungan yang tipis. Lantas, untuk kepentingan siapa pemerintah menaikkan HET minyak goreng ini? 

Jelas bahwa masyarakat, baik pedagang maupun pembeli tidak diuntungkan dengan kebijakan ini. Rakyat jelata selalu dipaksa untuk menerima apa pun yang ditetapkan negara. Lantas, tugas pemerintah sendiri apa jika bukan mengurusi rakyat, memudahkan kehidupan mereka, dan melayani setiap kebutuhan mereka?

Kenyataan yang harus diakui, pemerintah dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai regulator yang membuat regulasi. Namun, regulasi tersebut tidak diprioritaskan bagi kesejahteraan rakyat, bahkan sering kali justru menyengsarakan rakyat. 

Lantas, siapa yang diuntungkan dari setiap kebijakan dan regulasi tersebut? Mereka adalah para kapitalis oligarki, pemilik modal besar yang menguasai distribusi bahan pokok di tingkat nasional. Mulai dari perkebunan sawit, produksi minyak goreng, distribusi ke pasar, hingga ritel-ritel dan mall mereka kuasai. Maka, mereka mampu mengatur harga di pasaran. Bahkan, di saat minyak goreng langka, mereka bisa menahan barang, hingga harga baru ditentukan. 

Apa daya, rakyat jelata hanya bisa menerima. Tak ada pilihan bagi mereka selain banting tulang memeras keringat demi terpenuhi kebutuhan hidup sambil memberi sumbangan untuk negara berupa pajak yang diambil dari berbagai sektor. 

Sesekali rakyat dihibur dengan pemberian bantuan sosial berupa beras dan sedikit uang agar mereka lupa kebiasaan yang menyusahkan, bahkan senang dan menganggap pemimpinya sebagai pahlawan. Padahal, bantuan tersebut diambil dari pajak yang mereka bayarkan.

Berbeda halnya ketika negara Islam tegak dengan menerapkan syariat Islam untuk mengurusi urusan umat. Negara akan menjamin ketersediaan kebutuhan pokok secara perorangan. Negara akan memastikan tidak ada seorang pun dari rakyat yang menderita kekurangan, memastikan agar bahan pokok berupa beras, gandum, minyak, lauk pauk, sayuran, dan semua yang dibutuhkan tersedia, bisa diakses bagi semua rakyat, baik di kota maupun di pelosok desa. Sebab, rakyat adalah prioritas utama dalam kepengurusan negara. 

Khilafah akan memastikan ketersediaan barang, distribusi ke pasar dan konsumen lancar dan aman. Tidak akan ada lagi praktik monopoli pasar atas nama perorangan ataupun swasta. 

Negara akan mencegah dan memberantas praktik monopoli dan penimbunan yang dapat merusak keseimbangan harga. Dengan begitu, harga pun akan terjaga dengan sendirinya. 

Dalam sistem perdagangan Islam, tidak adalah istilah HET karena negara tidak pernah mematok harga karena Allah dan Rasul-Nya melarang hal tersebut.
Sebagaimana hadis dari Anas bin Malik, beliau menuturkan,

“Pada masa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam pernah terjadi kenaikan harga-harga yang tinggi. Para sahabat lalu berkata pada Rasul, “Ya Rasulullah, tetapkan harga untuk kami!” Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menjawab, ‘Sesungguhnya Allah Zat yang menetapkan harga, Yang Menahan, Yang mengulurkan, dan Yang Maha memberi rezeki. Sungguh, aku berharap dapat menjumpai Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas kezaliman yang aku lakukan dalam masalah darah dan tidak juga dalam masalah harta.”

Selain itu, negara akan terus mengawasi pasar agar tidak terjadi penimbunan dan kecurangan yang menyebabkan harga naik. Masyarakat yang berada dalam naungan Islam juga sudah terbina dengan akidah yang sahih dan mengakar dalam dada. 

Kesadaran akan hubungannya dengan Allah Subhanahu wa ta’ala akan membuatnya paham bahwa setiap aktivitas harus dilakukan mengikuti perintah dan larangan Allah. Sebab, semua perbuatan itu kelak akan diminta pertanggungjawaban di hadapan-Nya. 

Karena itu, masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang pasti akan membekali diri dengan ilmu terkait fikih muamalah dan pasti akan berdagang dengan jujur dan amanah. Begitu pula dengan profesi-profesi lainnya.

Sedangkan negara juga wajib menyediakan lapangan kerja bagi setiap laki-laki agar bisa menafkahi keluarga yang menjadi tanggungannya. Tentunya, setiap orang diberikan pekerjaan sesuai kemampuan dan bidang yang dikuasainya. 

Dengan begitu, masyarakat pun akan terjamin kesejahteraan dan ketenangan hidupnya, sebab semua bernaung dalam sistem yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai pembuat hukum. 

Negara hanya tinggal melaksanakan dan menggali hukum dari sumber yang syar’i. Rakyat akan menaati pemimpin dan menjaga ketaatan terhadap Allah Ta’ala dan Rasulullah shalallahu alsihi alaihi wasalam.

Oleh: Dini Azra, Sahabat Tinta Media

Minggu, 09 Juli 2023

Karut-marut MinyakKita Cermin Sengkarutnya Kapitalisme

Tinta Media - Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang terbesar di dunia. Kekayaan alam tersebut tersebar dari bagian barat sampai bagian timur. Namun sayang, dengan  kekayaan alam yang sedemikian rupa, ternyata tidak mampu menjadikan Indonesia menjadi negara maju. Justru yang terjadi malah sebaliknya, yaitu pengangguran tinggi sebesar 7,99 juta orang. Pengangguran terbanyak justru dari lulusan SMK, yaitu sebesar 9,6% (data BPS per Februari 2023).

Tidak hanya itu, jumlah penduduk miskin sangat tinggi, yaitu sebesar 40 % dari jumlah penduduknya jika kita mengacu pada rekomendasi Bank Dunia yang menetapkan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$ 2,15 per orang per hari atau Rp 32.745 per hari (kurs Rp15.230 per US$). cnbcindonesia.com (Rabu, 10/05/2023)

Masalah di Hilir, Solusi di Hulu

Begitu banyak permasalahan di negeri ini seolah tumbuh liar dan subur. Hal ini karena kondisi mereka yang memang tanpa ataupun dengan sadar telah diciptakan oleh cara penguasa menjalankan kebijakan.  Permasalahan yang satu belum usai diselesaikan, lantas muncul persoalan baru. 

Seperti sengkarut masalah MinyaKita yang sejak awal program ini diluncurkan (06 juli 2022) telah  menuai banyak sekali masalah, mulai dari pedagang yang mengeluh kesulitan mendapatkan pasokan MinyaKita, lalu harga MinyaKita melambung di atas harga eceran tertinggi (HET Rp14.000) menjadi sekitaran Rp16.000 - Rp20.000 per liter kemudian masalah kelangkaan di sejumlah daerah,  pemalsuan produk Minyakita, pembatasan pembelian dan bahkan harus membeli dengan cara bundling.

Tentunya Karut-marut masalah MinyaKita ini memang sudah diprediksi akan terjadi oleh beberapa ekonom di Indonesia. Hal ini karena kebijakan yang diambil untuk mengatasi masalah, tidak menyentuh akar masalah. 

Permasalahan ada di hilir, tetapi penyelesainnya di hulu. Akibatnya, muncu masalah baru yang sebelumnya tidak ada. Ini justru menambah persoalan yang ada.

Pangkal persoalan minyak goreng ini sebenarnya berawal dari kurangnya pasokan ke masyarakat. Secara ilmu ekonomi, jika barang (minyak goreng) langka di pasaran, maka akan memicu kenaikan harga barang. Jika kita perhatikan, masalah ini sebenarnya tidak sulit, apalagi rumit jika diselesaikan menurut ilmu ekonomi. Akan tetapi, mengapa menjadi panjang dan lama?

Hal ini karena pemerintah menyerahkan urusan pengelolaan SDA kepada pihak swasta yang notabene mempunyai kepentingan pribadi, yaitu mendapatkan keuntungan dari aktivitas yang mereka lakukan. 

Hal ini disebabkan karena pemerintah terikat dengan aturan global dalam hal ini WTO yang menetapkan bahwa jika pemerintah mengolah sendiri SDA-nya, maka akan terjadi korupsi yang dilakukan oleh para pejabat. Sehingga, untuk dapat menciptakan pemerintahan yang bersih sekaligus bisa memberikan pelayanan terbaik dan maksimal, maka pemerintah harus bekerja sama dengan pihak swasta karena pihak swasta dinilai lebih profesional. 

Inilah yang dinamakan kebijakan Public Private Partnership yang merupakan akad pemerintah dengan pihak swasta dalam mengelolah SDA yang ada. Dalam hal ini, pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator, dan yang memiliki wewenang untuk menetapkan harga minimum dan maksimum dari produk yang diproduksi pihak swasta. 

Ironinya, pemerintah harus memberikan subsidi kepada pihak swasta yang memproduksi barang-barang kebutuhan pokok. Tentu kondisi semacam ini merupakan ciri khas sistem ekonomi kapitalisme yang berorientasi pada materi. 

Islam Solusi Semua Masalah

Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Tidak ada yang tidak diatur dalam Islam, termasuk juga masalah ekonomi. Dalam ekonomi Islam, pemerintah adalah raa'in (pengurus rakyat).

Tentu berbeda antara Islam dan kapitalisme. Sistem kapitalisme meminimalisir fungsi pemerintah/pemimpin. Sedangkan Islam justru mewajibkan pemerintah sebagai sentral dalam setiap urusan terkait urusan umat.

Dalam Islam, justru Khalifah atau pemimpinlah yang akan menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat. Khalifah akan mengolah SDA dan hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik SDA tersebut. 

Islam melarang pengelolaan SDA oleh swasta/individu. Begitu juga dengan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Hal ini jelas bertentangan dengan sabda Rasulullah saw.:

Anas bin Malik menuturkan bahwa pada masa Rasulullah saw. pernah terjadi kenaikan harga-harga yang tinggi. Para sahabat lalu berkata kepada Rasul, “Ya Rasulullah saw. tetapkanlah  harga bagi kami!” Rasulullah saw menjawab,
“Sesungguhnya Allahlah Zat Yang menetapkan harga, Yang menahan, Yang mengulurkan, dan Yang Maha Pemberi rezeki. Sungguh, aku berharap dapat menjumpai Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku atas kezaliman yang aku lakukan dalam masalah darah dan tidak juga dalam masalah harta.” (HR. Abu daud, Ibnu Majah dan At Tirmidzi).

Demikianlah dalam pandangan Islam, negara akan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok, termasuk minyak goreng bagi rakyatnya secara merata, bukan melempar kewajiban kepada pihak ketiga. 

Islam juga akan  menyelesaikan semua masalah dari akar-akarnya. Adapun akar masalah dari karut-marut kebijakan minyak goreng ini adalah tidak diterapkannya aturan Islam secara kaffah. 

Negara masih saja teguh menerapkan sistem kapitalisme meskipun berbagai kerusakan ditimbulkan. Ini karena di balik kerusakan-kerusakan itu, berlimpah cuan mengalir ke rekening mereka. 

Saatnya kita kembali kepada Islam kaffah dan menjadikan negeri kita menjadi negeri baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Untuk mewujudkan negeri impian tersebut butuh penerapan Islam Kaffah yang wajib diterapkan dalam segala aspek kehidupan.

Wallahu a'lam bishawwab.

Oleh: Yulisna Zein
Sahabat Tinta Media

Rabu, 21 Juni 2023

Tipuan Minyakita, Rakyat Makin Menderita

Tinta Media - Drama Minyakita kembali digelar. Banyak pedagang mengeluhkan pembatasan pembelian Minyakita, bahkan ada persyaratan bundling dalam setiap pembeliannya. Setiap pembelian Minyakita, disyaratkan membeli bahan pangan lain seperti beras (idxchannel.com, 9/6/2023). 

Tak hanya itu, harga Minyakita di pasaran juga mahal dan jumlahnya sangat terbatas, tak mampu mencukupi jumlah yang dibutuhkan masyarakat secara umum. Semua masalah ini tentu saja menyulitkan para pedagang dan konsumen secara langsung.

Mau tak mau, kebanyakan pedagang membanderol dengan harga tinggi karena kelangkaan barang, sedangkan permintaan terus meningkat. 

Dilansir dari katadata.co.id (2/6/2023), harga Minyakita di pasar tradisional Jakarta mencapai Rp16.000 per liter, sedangkan harga eceran tertinggi yang ditetapkan Menteri Perdagangan adalah Rp14.000 per liter. Ketersediaan Minyakita di Pasar Pondok Labu Jakarta Selatan, masih ada tetapi jumlahnya tak banyak.

Mandulnya Regulasi Negara dalam Pengaturan Distribusi

Sejak awal diproduksinya, Minyakita ditujukan untuk menstabilkan harga minyak goreng yang menjulang tinggi. Pemerintah mengklaim bahwa Minyakita merupakan solusi pengadaan minyak goreng yang murah dan dapat dijangkau kalangan rakyat kecil. Namun, faktanya jauh dari harapan. 

Keadaan di lapangan menunjukkan adanya kesalahan dalam penetapan regulasi distribusi Minyakita. Distribusi Minyakita justru ditunggangi oknum-oknum tak bertanggung jawab yang hanya mencari keuntungan materi tanpa mempedulikan keadaan rakyat yang kalang-kabut dalam memenuhi kebutuhan minyak harian. 

Lemahnya kontrol pemerintah pun menciptakan kondisi demikian sehingga harga Minyakita melebihi harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah. 

Inilah bukti bahwa negara hanya mampu sebagai pembuat kebijakan saja, tanpa mampu mengendalikan distribusi Minyakita di pasar. Alhasil, pasokan barang pun berhasil "dimainkan" oleh para kartel yang hanya berorientasi pada keuntungan materi. Tak menutup kemungkinan juga, terjadi penimbunan barang di lapang. 

Semua kondisi ini mencerminkan bahwa negara lemah dalam pengawasan distribusi barang. Pemimpin yang terlahir dari sistem rusak ini pun tak mampu mengurusi urusan umat dengan seadil-adilnya karena paradigma sistem yang batil. 

Sesuai hadis Rasulullah saw., yang artinya:

"Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (HR. Muslim).

Inilah fakta yang diakibatkan dari penerapan sistem sekulerisme kapitalistik, sistem yang menjauhkan aturan agama dalam mengurusi rakyat. Keuntungan duniawi dijadikan orientasi utama dalam pelaksanaannya. Akibatnya, rakyat yang tertimpa derita. Sudah selayaknya, sistem rusak ini dicampakkan kemudian menggantinya dengan sistem yang amanah dan adil memosisikan rakyat. 

Islam Menjamin Distribusi yang Merata

Masalah distribusi selalu menjadi persoalan yang tak pernah berhenti. Pun demikian adanya dengan fakta distribusi Minyakita. Paradigma Islam memberikan konsep yang adil dalam mengatur urusan rakyat. Distribusi menjadi masalah kunci dalam pengadaan barang di lapang. Inilah yang menjadi titik rawan yang sering kali dimanfaatkan para opportunis. 

Islam memberikan aturan yang tegas dalam hal distribusi. Negara ideologis bersistemkan Islam, yaitu Khilafah Islamiyyah, senantiasa menjadikan setiap urusan rakyat sebagai prioritas utama. Aturan pengadaan atau distribusi barang diatur dalam kebijakan tegas. Aturan ini ditetapkan demi menjamin kontinuitas barang sehingga rakyat mudah mengakses barang dengan harga yang terjangkau. 

Khilafah Islamiyyah menetapkan ketegasan dan ketatnya pengawasan negara. Semua dilakukan sebagai bentuk ketaatan pada syariat Islam dan menjadikan rakyat sebagai amanah utama yang harus dijamin kehidupannya. 

Pelaku kartel dibabat habis hingga akhirnya negara benar-benar mampu mengawasi dan mengendalikan pasar sesuai kepentingan rakyat. Kehidupan rakyat pun terjaga secara menyeluruh dalam memenuhi seluruh kebutuhannya. 

Inilah sempurnanya Islam dalam mengatur kehidupan karena pondasi utamanya berpijak pada syariat Islam yang menjamin rahmat bagi seluruh umat.

Wallahu a'lam bisshawwab

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Sabtu, 17 Juni 2023

Mafia Minyakita Berulah, Bikin Pedagang Gundah

Tinta Media - Kelangkaan minyak goreng kembali terjadi, khususnya minyak goreng bersubsidi merek Minyakita. Hal ini terjadi akibat ulah para mafia yang tidak bertanggung jawab. Mereka menjual Minyakita seharga Rp16.000 perliter di pasar tradisional Jakarta. Harga tersebut berada di atas harga eceran tertinggi yang ditetapkan Kementerian Perdagangan senilai Rp14.000 perliter.

Selain mahal, Minyakita dijual dengan bersyarat atau bundling. Artinya, pedagang yang ingin membeli Minyakita dari distributor harus membeli produk lainnya juga. Tidak hanya itu, pembelian dari distributor ini pun jumlahnya dibatasi.

Salah satu pedagang sembako Via Amalia mengatakan, Minyakita dalam seminggu hanya bisa tersedia dua dus, satu dus berisi 12 Minyakita. 

"Makanya saya beli Minyakita dari tangan ketiga, jadi harganya lebih mahal," ujar Via kepada data.co.id, di pasar tradisional Pondok Labu, Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Via membeli Minyakita dari pihak ketiga dengan harga Rp15.000 perliter, kemudian dia menjual ke kunsumen Rp16.000 perliter. Selisih harga Minyakita dari tangan ketiga dibandingkan langsung dari distributor  Rp10.000 perdus. Oleh sebab itu, ia tidak bisa menjual sesuai ketetapan pemerintah yaitu Rp14.000 perliter.

Kondisi saat ini jelas memberatkan pedagang dan kunsumen, apalagi di tengah kondisi masyarakat yang serba sulit seperti saat ini. Klaim pemerintah yang menjadikan Minyakita sebagai solusi mahalnya minyak bagi rakyat kecil teryata kurang berhasil.  Buktinya, Minyakita masih mahal dan ada syarat yang harus dipenuhi ketika kita membelinya. Jadi, tak ada bedanya dengan merek minyak goreng lain yang tak bersubsidi.

Ekonomi ala Kapitalis

Kegagalan ini menunjukkan adanya kesalahan regulasi distribusi dan lemahnya kontrol pemerintah atas jalannya rantai distribusi minyak goreng. Harapannya, dengan adanya subsidi, Minyakita bisa dijangkau oleh masyarakat kelas bawah. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, Minyakita melambung dengan harga eceran tertinggi. 

Kondisi ini wajar terjadi karena masyarakat diatur oleh sistem ekonomi kapitalisme yang berorentasi pada materi. Sistem inilah yang menjadi penguasa sesungguhnya dalam sebuah negara, sedangkan negara sendiri dibuat hanya sebagai regulator kebijakan yang tidak mempunyai power di hadapan para kapitalis tersebut.

Para pakar menyatakan bahwa kisruh minyak goreng ini dipicu karena adanya penimbunan oleh mafia minyak goreng. Hal tersebut juga diakui oleh Muhammad Lutfi yang pada saat itu masih menjabat sebagai Kemendag. Dia mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa mengontrol mafia minyak goreng dan harus menyerahkan pada harga pasar. Karena itu, pada pasokan yang langka dan tingginya harga saat ini disebabkan karena buruknya tata kelola minyak goreng.

Sistem Ekonomi Islam Solusi Tuntas

Dalam Islam, negara mengatur agar distribusi minyak goreng sebagai bahan pangan mudah diakses oleh rakyat. Aturan ini dapat dipahami oleh syariat Islam yang mengatur mekanisme pasar dan nonpasar. Dari segi nonpasar negara wajib menyediakan bahan untuk minyak goreng. Khilafah akan memberi perhatian terhadap petani sawit melalui biro pertanian dari kemaslahatan umat dan biro subsidi dari Baitul Mal.

Dari segi pasar, negara wajib mengawasi jalannya pasar agar sesuai dengan syariat.  Dalam distribusi, khilafah wajib menghilangkan semua hal yang mengacaukan pasar, seperti penimbunan, intervensi harga oleh para kartel, monopoli, dll. Semua tindakan tersebut menyebabkan kelangkaan barang dan gejolak harga. Dalam situasi seperti itu, khilafah akan memberikan sanki ta'jir bagi siapa pun yang mengacaukan mekanisme pasar dan memerintahkan mereka untuk mengeluarkan barang-barang yang ditimbun. 

Abu Umamah Al-Baihaqi berkata 

"Rasulullah melarang penimbunan makanan." (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Di samping itu, khilafah juga akan memenuhi supply dan demand pasar. 

Demikianlah gambaran sistem Islam yang mampu mengatasi masalah kelangkaan barang di pasar. Kondisi seperti itu bisa terwujud hanya dengan penerapan Islam kaffah. Wallahu a'lam bishshawab.

Oleh: Lilie Herny
Aktivis Muslimah

Jumat, 16 Juni 2023

Tipu-tipu Kebijakan Minyakita, Rakyat Diperdaya

Tinta Media - Kelangkaan minyak goreng ternyata masih terjadi di tengah masyarakat. Jikalaupun ada, harganya sangat mahal. Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah mengeluarkan produk Minyakita untuk atasi kemahalan dan kelangkaan minyak goreng. Pengadaan ini diklaim sebagai pengadaan minyak curah bersubsidi. 

Akan tetapi, kekisruhan saat distribusi terjadi. Beberapa waktu lalu, Minyakita dijual seharga Rp16.000 per liter di pasar tradisonal Jakarta. Harga tersebut berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan, yaitu senilai Rp14.000 per liter. 

Dilansir dari IDXChannel.com(29/5), disampaikan bahwa selain mahal, Minyakita dijual bersyarat atau bundling, artinya pedagang yang membeli minyak dari distributor harus membeli produk lainnya. Kondisi seperti ini jelas memberatkan konsumen, apalagi dengan kondisi ekonomi yang sangat terbatas.

Klaim pemerintah yang mejadikan Minyakita sebagai solusi mahalnya bagi rakyat kecil ternyata kurang berhasil. Buktinya, Minyakita masih mahal dan untuk mendapatkannya ada syarat yang harus dipenuhi.

Kegagalan ini menunjukkan adanya kesalahan regulasi distribusi dan lemahnya kontrol pemerintah atas jalannya rantai distribusi. Terbukti harga Minyakita justru melambung di atas harga eceran tertinggi.

Kondisi ini wajar terjadi karena masyarakat sedang diatur oleh sistem kapitalisme yang berorientasi pada materi. Para korporat menjadi penguasa yang sesungguhnya dalam sebuah negara, sedangkan negara sendiri hanya berperan sebagai regulator kebijakan dan tidak memiliki kekuatan di mata para kapitalis. 

Para pakar menyatakan bahwa kisruh minyak goreng diakibatkan karena penimbunan oleh para mafia minyak. Hal tersebut juga diakui oleh Muhammad Lutfi yang pada saat itu masih menjabat sebagai Meteri Perdagangan. Beliau Mengatakan bahwa negara tidak bisa mengontrol para mafia minyak goreng dan harus menyerahkan pada harga pasar (Kompas.com). Dengan demikian, permasalahan minyak goreng saat ini adalah pasokan yang langka dan tingginya harga. Semua ini disebabkan buruknya tata kelola negara yang kalah di hadapan mafia minyak goreng.

Hal tersebut tidak akan terjadi jika negara mengambil peran sebagai raa’in (pengurus). Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari,

“Imam adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” 

Setiap Pemimpin adalah yang mengurusi kepemimpinannya, penjaga terpercaya dengan tugas dan apa saja yang di bawah pengawasannya. Mekanisme seperti ini tidak akan terwujud kecuali pada negara yang mau menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam wadah negara Islam. 

Sebagai negara periayah, tentu negara Islam akan mengatur agar distribusi minyak goreng sebagai bahan pangan mudah diakses oleh rakyat. Aturan ini dapat diberlakukan dengan menerapkan syariat Islam yang mengatur mekanisme pasar dan nonpasar.  

Dari aspek nonpasar, negara wajib memastikan ketersediaan bahan untuk produksi minyak goreng. Dalam hal ini, negara akan memberi perhatian kepada petani sawit melalui biro pertanian dari Kemaslahatan Umat dan Biro Subsidi dari Baitul Maal. Perhatian ini bisa berupa intensifikasi dan penggunaan sarana produksi yang lebih canggih. Selain itu, bisa dilakukan ekstensifikasi pertanian untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah sehingga potensi hasilnya akan semakin besar.

Adapun dari aspek pasar, negara wajib mengawasi berjalannya pasar agar sesuai syariat Islam. Dalam distribusi, negara wajib menghilangkan semua hal yang mengacaukan pasar, seperti tindakan penimbunan, intervensi harga oleh para kartel, monopoli, dan sebagainya. 

Semua perbuatan tersebut menyebabkan kelangkaan barang dan gejolak harga. Dalam sitausi seperti itu, negara akan memberi sanksi ta’zir kepada siapa pun yang mengancam berjalannya mekanisme pasar dan memerintahkan mereka untuk mengeluarkan barang-barang yang ditimbun. 

Negara juga akan memastikan supplay dan demand pasar terpenuhi. Pada kasus tidak tercukupi permintaan, negara boleh memasok barang tersebut sebagai bentuk intervensi pasokan agar kondisi pasar kembali seimbang. 

Hal ini pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika wilayah Madinah kekurangan bahan makanan akibat paceklik. Beliau memasok bahan pangan dari Basrah dan sekitarnya. 

Khalifah Umar menulis surat kepada Abu Musa yang isinya 

"Bantulah umat Muhammad saw. Mereka hampir binasa.’’

Setelah itu Beliau juga mengirimkan surat yang sama kepada Amru bin Ash di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, tertdiri dari bahan makanan dan bahan pokok berupa gandum. 

Negara juga tidak akan mematok harga sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah kapitalisme saat ini. Islam memerintahkan agar harga barang diserahkan kepada mekanisme pasar. Dengan konsep ini, harga barang akan terjangkau oleh semua rakyat. 

Memang mematok harga hanya akan merusak kestabilan harga barang di pasar. 

‘’Siapa saja yang melalukan intervensi pada suatu harga-harga kaum muslimin untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukannya dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak.” (HR. Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi).

Seperti inilah negara Islam menjamin ketersediaan bahan pangan untuk warga negaranya. Bukanlah hal yang sulit menyediakan minyak goreng sesuai kebutuhan warga negara. Demua itu mudah asalkan masyarakat diatur dengan sistem Islam, bukan distem kapitalisme.

Wallahu alam.

Oleh: Sulistiana, S.Farm.
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 16 Februari 2023

MinyakKita Langka, Rakyat Bisa Apa?

Tinta Media - Tahun kemarin pemerintah meluncurkan MinyakKita. Namun, minyak bersubsidi besutan pemerintah ini semakin langka di pasaran. Meski belum genap setahun minyak goreng itu diluncurkan, ternyata para pedagang sudah mengeluhkan adanya kelangkaan stok. Kalaupun ada, itu pun sudah di atas harga yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp14.000.

Padahal, MinyakKita itu diluncurkan tak lain adalah untuk mengatasi kenaikan harga minyak yang pada waktu itu sampai menyentuh harga Rp25.000 per liter. Sejumlah pedagang sembako pun mengeluhkan kelangkaan MinyakKita ini. Menanggapi tentang kelangkaan dan kenaikan harga MinyakKita, banyak konsumen yang mengaku pasrah. Akhirnya, banyak masyarakat yang beralih ke minyak curah.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan alias Zulhas menyampaikan bahwa pasokan MinyakKita berkurang karena jadi favorit masyarakat. Beliau juga menegaskan bahwa hal itu bukan berarti suplai ke pasar yang dikurangi, tetapi karena laris (Republika.co.id, 30/1/2023).

Memang ada beberapa versi yang menyebutkan tentang penyebab kelangkaan MinyakKita di pasaran. Salah satunya adalah ada dugaan kalau ada penimbunan MinyakKita, mengingat baru-baru ini terungkap ada penemuan penimbunan di salah satu perusahaan di lahan Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Sebanyak 500 ton atau sekitar 555.000 liter MinyakKita ditemukan menumpuk.

Namun, menurut Menteri Zulkifli Hasan, realisasi DMO merupakan salah satu penyebab hilangnya MinyakKita di pasaran. Beliau mengatakan bahwa realisasi DMO mulai turun pada Desember 2022. Pada November 2022, realisasi DMO 100,94%. Namun, pada Desember 2022 menjadi 86,31%. Penurunan pun terus berlanjut hingga pada Januari 2023 menjadu 71,81%.

Sedangkan Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, saat dikonfirmasi tentang realisasi DMO minyak goreng yang terus menurun justru menekankan pada masalah lain, yakni adanya keengganan produsen untuk memproduksi MinyakKita karena harganya saat ini yang masih tidak bisa menutup biaya produksi, mengingat biaya pengemasan pun juga mahal. 

Di sisi lain, permintaan ekspor CPO masih tinggi dan harganya juga dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi. Hal ini juga menyebabkan pengusaha masih mengincar pasar ekspor. Sebab, ini dinilai lebih menguntungkan karena harga jual di luar negeri lebih tinggi. 

Begitulah kalau kebijakan yang dipakai ketika kita berada dalam sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini memberikan kebebasan bagi seluruh masyarakat untuk melakukan kegiatan ekonomi sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Tentunya di sini yang paling diuntungkan adalah para kapital. Para kapital atau pemilik modal diberi wewenang untuk menguasai produksi. Mereka menjadi produsen atas kekayaan alam yang seharusnya pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara. 

Maka, hal ini bisa berpotensi terjadi kesenjangan antara yang kaya dan miskin, yaitu pihak yang kaya atau dalam hal ini pemilik modal akan semakin kaya, sedangkan yang miskin akan semakin miskin. Begitu pula ketika ada permainan dalam distribusi dengan melakukan penimbunan, meski ada penangkapan mafia-mafia, hal itu tetap tidak menyelesaikan masalah.

Allah Swt. telah memberikan hak kepada setiap orang untuk membeli dengan harga yang dia sukai. Namun, ketika pemerintah mematok harga untuk umum, maka Allah telah mengharamkan. Allah, melarang penetapan harga tertentu untuk barang dagangan yang tujuannya memaksa masyarakat untuk melakukan transaksi jual beli sesuai dengan ketentuan pemerintah. 

Begitu pula dengan  penimbunan barang, Islam melarang dan mengharamkannya secara mutlak. Hal ini berdasarkan pada salah satu hadis, 

"Siapa saja yang melakukan penimbunan, dia telah berbuat salah."( HR. Muslim )

Larangan di dalam hadis tersebut menunjukkan adanya tuntutan untuk meninggalkan penimbunan. Biasanya, orang melakukan penimbunan dengan harapan pada saat harga barang-barang tersebut langka, maka dia bisa menjual dengan harga tinggi. Ini mengakibatkan masyarakat sulit untuk membelinya. Untuk itulah, saat ini kita membutuhkan solusi, yaitu dengan menggunakan sistem ekonomi Islam yang berlandaskan pada aturan Allah, sehingga bisa mengatasi permasalahan kelangkaan yang saat ini terjadi.

Wallahu'alam bishawab.

Oleh: Yanik Inaku 
Komunitas Menulis Setajam Pena
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab