Tinta Media: Minyak
Tampilkan postingan dengan label Minyak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Minyak. Tampilkan semua postingan

Rabu, 20 September 2023

Pengamat: Naikkan Produksi Minyak Nasional Jika Tidak Ambil Kebijakan Transisi Energi

Tinta Media - Menanggapi pemerintah yang tidak akan mengambil kebijakan untuk mengalihkan subsidi fosil ke EBT (energi baru terbarukan), Pengamat Ekonomi Politik Salamuddin Daeng menyarankan agar pemerintah bisa menaikkan produksi minyak nasional.

“Kalau memang tidak senang transisi energi mengubah subsidi dari fosil ke EBT, cobalah pemerintah menaikkan produksi nasional minyak kita,” tuturnya kepada Tintamedia.wed.id, Selasa (19/9/2023).  

Salamuddin melihat produksi minyak nasional mengalami penurunan namun pemerintah hanya menonton penurunan ini dan tidak melakukan apapun untuk membuat produksi minyak nasional meningkat. Yang dilakukan pemerintah justru mengimpor minyak.

“Impor minyak Indonesia sudah hampir 2/3 dari kebutuhan konsumsi nasional. Padahal produksi minyak kurang lebih 600 ribu barel sehari, sementara pembakaran energi minyak di dalam negeri mencapai 1,4 juta barel sehari,” bebernya. 

Walau pemerintahan saat ini tinggal beberapa bulan lagi, namun ia tetap berharap pemerintah tetap melangkah dan  jangan berpangku tangan. Ia menampik alasan pemerintah yang menyebutkan tidak mau transisi energi karena ini agenda asing dan berbagai alasan sehingga tidak mau memikirkan untuk mengalihkan subsidi minyak ke EBT.

“Kalau begitu coba pikirkan agar subsidi BBM yang sekarang mecapai 500 triliun rupiah dicari gantinya dengan cara menaikkan pendapatan minyak. Jangan cuma mengatakan anti dan tidak mau. Tetapi berbuatlah dan temukan jalan keluar,” ucapnya sedikit kesal. 

Ia menyarankan ESDM membuat sesuatu hal untuk menahan laju produksi minyak semakin menurun dengan melihat blok Rokan yang menjadi andalan Indonesia setelah dilepas Chevron. Dikatakannya blok Rokan hanya bisa menahan laju proruksi yang terus menurun.

“Cobalah diusahakan agar blok Rokan dapat subsidi biar usahanya menggali minyak ada titik terang. Ini adalah ikon nasionalisme. Karena setelah pindah dari Chevron, Presiden Jokowi sangat bangga atas hal ini. Buktikan bahwa blok Rokan yang dibeli Pertamina produksinya bisa melesat,” imbuhnya. 

Ia sebenarnya tidak mempermasalahkan ketika pemerintah tidak mau ambil kebijakan transisi energi, tapi pemerintah harus menggunakan jurus tahu diri, sadar diri, dan mawas diri.

“Itu minyak kan dari asing juga. Sudah impor disubsidi pula dari hasil keruk pajak rakyat. Ini daya beli rakyat dua kali dikeruk yakni dikeruk pajak dan dikuras barang impor. Piye bos?,” pungkasnya.[] Erlina

Selasa, 24 Mei 2022

Produksi Minyak Nasional Turun, AEPI: Biang Keroknya UU Migas


Tinta Media  - "Biang kerok turunnya produksi migas tampak nyata di depan mata pemerintah. Apa itu? UU nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas," tutur Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng kepada Tinta Media, Senin (23/5/2022).

Daeng menilai UU ini berdampak buruk terhadap masalah kelembagaan yang serius. "Pengaturan yang tidak pasti dan ketidaknyamanan seluruh usaha di sektor hulu migas," nilainya.

Bahkan menurutnya lebih gawat lagi karena UU Migas menyerahkan urusan produksi migas mulai pembuatan regulasi, melakukan pengawasan hingga memungut uang dari pelaku usaha kepada suatu lembaga yang bernama Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas. "Pertanyaannya, apa masuk akal menyerahkan urusan sebesar ini kepada satuan kerja?" tanyanya.

Ia menjelaskan bahwa dari namanya saja sudah tidak relevan, isinya juga tidak kompeten mengurus masalah sebesar ini. "Lembaga ini buatan Presiden SBY, sebagai usaha mensiasati dibubarkan Badan Hulu (BP) Migas oleh Mahkamah Konstitusi. Lembaga pensiasatan ini langgeng keberadaannya hingga saat ini," jelasnya.


“Menurutnya UU migas itu sudah rusak dan berantakan. Sulit diharapkan sebagai sumber regulasi yang dapat menjadi pegangan," tambahnya.

Daeng mengungkap sejak diundangkan pada tanggal 23 November 2001, UU Migas telah mengalami 4 kali pengujian di Mahkamah Konstitusi karena terdapat pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945, serta terdapat satu perkara yang ditolak MK dikarenakan persoalan legal standing.
“Dalam 3 (tiga) kali judicial review ada 16 pasal dari UU tersebut yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003/ tentang Minyak dan Gas Bumi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang pembubaran BP Migas,” ungkapnya.


Ia melihat secara garis besar materi yang dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkait persoalan kelembagaan dan persoalan kontrak. “Dalam persoalan kelembagaan, kekuasaan pemerintah menjadi terbagi-bagi dan tidak efektif, tidak jarang terjadi tumpang tindih kewenangan antar lembaga,” tuturnya.

Ia juga memperkirakan bahwa jika revisi UU migas No. 22 Tahun 2001 tak kunjung selesai akan berdampak pada nilai country risk menjadi tinggi dan mempengaruhi nilai investasi seperti pemberian nilai IRR (Internal Rate of Return) dan adanya penyalahgunaan izin wilayah kerja serta pengembangan lapangan migas. “Langkah strategis yang perlu diambil pemerintah terkait UU migas, yaitu segera menyelesaikan revisi UU migas yang komprehensif khususnya yang menyangkut kelembagaan dan kontrak kerja,” tegasnya.

Menurutnya, meskipun UU Migas yang sudah rusak ini ada di depan mata DPR, namun lembaga legislatif ini enggan melakukan revisi atau perubahan UU migas, tak seperti UU pemilu atau UU lain yang selalu dikebut.

“Tampaknya ada yang menikmati ketidakpastian dan kerusakan dalam pengaturan di sektor migas. Salah satu nikmat itu adalah impor migas, karena produksi nasional yang dapat dipastikan turun dengan UU ini,” paparnya.

Ia juga menyampaikan bahwa publik hanya tahu bahwa Presiden Jokowi gagal menaikkan produksi migas nasional, di era pemerintahan Jokowi produksi migas terus merosot. Sekarang mungkin tinggal 600 ribu barel sehari, lebih dari separuh kebutuhan nasional dipasok impor.
“Apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk atasi masalah? tidak ada!! Sri Mulyani tidak menegur SKK migas atau lebih jauh tidak meminta Presiden Jokowi membubarkan SKK Migas dengan alasan penerimaan negara dari migas yang sangat krusial karena terus merosot,” bebernya.

“Kalaupun DPR ngeyel, karena banyak pemain di sana, bukankah Presiden Jokowi keluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu), beres. SKK Migas dibubarkan, alasannya negara sudah genting akibat UU migas yang rusak. Komando sektor migas penuh ditangan Pemerintah, satu komando di migas,” tandasnya.[] Raras

Sabtu, 09 April 2022

Rencana Kenaikan Pertalite dan Elpiji, HILMI: Menyesakkan Dada Masyarakat

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1UaZDw7Tm8mkjkiBmKupDEkGOfNXpnm2b

Tinta Media - Rencana Pemerintah menaikkan perlalite  dan  gas elpiji Juli mendatang, dinilai anggota  Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Dr. R. Deni M. Danial M.M. menyesakkan dada masyarakat.

“Terkait dengan rencana kenaikan harga pertalite  dan elpiji itu tentu menyesakkan dada kita. Karena  kaitannya dengan hajat hidup orang banyak .Masyarakat  tidak akan pernah lepas dari yang namanya energi apakah itu minyak bumi ataupun gas. itu semuanya dipakai dalam keseharian,” tuturnya dalam acara Kabar Petang: Harga Pertalite dan Elpiji Naik! Rabu (6/4/2022) melalui Kanal Youtube Khilafah News.

Berkaca pada dampak kenaikan elpiji pada 2011, Deni memperkirakan rencana kenaikan saat ini pun akan berdampak kurang lebih sama. “Yaitu akan menghambat pertumbuhan ekonomi, menimbulkan inflasi, kenaikan harga-harga barang serta menambah angka kemiskinan,” ujarnya.

Deni mengungkap alasan rencana pemerintah menaikkan harga. “Harga  pertalite yang ada sekarang sudah tidak sesuai dengan harga keekonomian. Sementara untuk gas melon sejak 2007 belum mengalami kenaikan, sehingga sudah waktunya untuk dinaikkan,” bebernya.

Yang perlu dikritisi, menurut Deni adalah harga keekonomian. “Kenapa Indonesia mengikuti harga keekonomian yang penetapannya mengacu pada  ketetapan harga perusahaan minyak Amerika (McGraw Hill) yang justru sangat membebani rakyat?” tanyanya.

Dari sisi kecukupan ketersediaan pasokan, Deni mengatakan bahwa untuk minyak Indonesia terpaksa impor. “Indonesia, urutan ke-22 penghasil minyak bumi yang itu bisa menghasilkan kurang lebih 900.000 barel  per hari. Sedangkan kebutuhan domestik  1,4 juta barel per hari. Oleh karena itu kita terpaksa harus impor . Sedangkan untuk gas urutan ke-13. Dan kebutuhan Indonesia untuk gas  50 miliar M3 yang tentu kita masih memiliki sisa sehingga tidak perlu impor,” ungkapnya.

Tidak mandiri

Dari sisi pendapatan negara, Deni mengatakan bahwa  pendapatan negara dari sumber daya alam itu sekitar 5 – 6%.  Itu karena Indonesia menyerahkan pengelolaan sumber daya alam pada Asing.

“Tetapi kalau kita bisa mengurus sendiri secara mandiri sebenarnya  kita bisa menghasilkan sampai 10 kali lipat.  Mungkin kita akan mendapatkan pendapatan lebih dari 60%,”bebernya.

Dengan pengelolaan sumber daya alam mandiri pajak bisa lepas. “Pajak menjadi tidak perlu  karena cukup dengan pengelolaan sumber daya alam saja. Inilah yang menjadikan rakyat  Indonesia harus membayar mahal.  Mengapa? Karena  pengelolaan sumber daya alamnya bukan oleh Indonesia secara mandiri,” tegasnya.

Terkait ketidakmandirian itu, lanjutnya, BPPT sendiri sudah mengakui bahwa untuk eksplorasi eksploitasi migas ini memang belum mandiri.

Menyikapi hal ini, Deni mengutip pendapat pengamat migas  Qurthubi. “Indonesia itu punya pasal 33 Undang-Undang  1945  yang menyebutkan bahwa hanya negara yang berhak untuk mengelola semua SDA ini termasuk  migas. Memang  enggak masalah menggandeng Asing.  Tujuannya untuk membantu Indonesia sebelum mampu dalam permodalan dan teknologi .Tapi kalau keterusan  hingga saat ini, ini yang menjadi masalah,” kutip Deni dari pendapat Qurthubi.

Deni mencontohkan, bagaimana ketidakmandirian ini. Indonesia menjual minyak mentah ke Singapura. Setelah minyak diolah di Singapura, dibeli lagi oleh Indonesia dengan harga 10 kali lipat harga jualnya dulu. “Untuk minyak saja kita tergantung pada Singapura,” kesalnya.

“Belum lagi tiga perusahaan besar Amerika yang  bercokol dan mengeruk sumber daya alam Indonesia,”sesalnya.

Untuk keluar dari ketergantungan ini Deni menyarankan, agar pengelolaan sumber daya alam dikelola sesuai tuntunan syariah.  

“Memperjualbelikan  energi migas milik  rakyat itu sebuah keharaman. Negara  harus bertanggung jawab mengolah secara mandiri  untuk kepentingan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.  Kalau pun menjual,  bukan menjual barangnya karena haram, tapi mengganti biaya produksi saja,” sarannya.

“Kalau Indonesia diatur dengan khilafah, sumber daya alam migas yang besar ini bisa  menutup 60% APBN, dan saya yakin  pajak akan dihilangkan,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Jumat, 08 April 2022

Harga Minyak Naik, Pengamat: Akan Memberi Keuntungan Besar pada Negara

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1o3Nyl5wI6RYp1uXjcwRL8seJXUst3GL4

Tinta Media - Menanggapi kenaikan harga minyak di atas 100 dolar, Pengamat Ekonomi Politik Salamuddin Daeng menilai ini akan memberi keuntungan besar kepada pendapatan negara.

"Jadi tak perlu mengeluh soal kenaikan harga minyak. Ini akan memberi keuntungan besar pada pendapatan negara dari hasil minyak," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (6/4/2022).

Menurutnya, Pertamina Hulu Energi (PHE) justru tertawa lebar mendapatkan harga minyak yang mencapai posisi tertinggi dan sangat menguntungkan. “Jika harga minyak mentah terus bertahan di atas 100 dolar, maka mereka bisa tertawa sampai terpingkal-pingkal. Ini oil boom jilid 2," ungkapnya.

"PHE bagaikan ketiban durian runtuh. Mereka baru saja dipisahkan dari Pertamina melalui sub Holding. Sebagai entitas sendiri yang membawahi semua operasi hulu Pertamina," tambahnya.

Ia menambahkan bahwa blok Rokan yakni blok migas dengan produksi minyak terbesar di tanah air, kini berada di bawah penguasaan PHE. Sebelumnya Blok Rokan dibeli oleh Pertamina seharga USD 750 juta dari perusahaan Chevron.

Menurutnya, sebagai sub Holding, PHE yang rencananya akan dijual sebagian sahamnya ke publik melalui pasar modal. "Ini bisa jadi saham PHE akan laris manis diborong oleh investor," tukasnya.

“Berarti PHE akan dapat lebih banyak uang lagi. Ditambah lagi setelah itu PHE tampaknya akan menerbitkan surat global Bond sebagaimana yang dilakukan oleh induknya. Maka lebih banyak lagi uang yang di dapatkan PHE sebagai dampak kenaikan minyak," tegasnya.

Salamuddin menilai ini menjadi momentum bagi PHE mengeruk uang dari hasil minyak, dari jual saham, dan dari ngutang. "Harusnya pemerintah tertawa terbahak bahak," pungkasnya.[] Ajirah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab