Tinta Media: Minyak Goreng
Tampilkan postingan dengan label Minyak Goreng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Minyak Goreng. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Juli 2022

Beli Migor dengan Aplikasi Peduli Lindungi, Sastrawan Politik: Cuma Mau Beli Aja Dibikin Ribet

Tinta Media - Tanggapi rencana penggunaan aplikasi peduli lindungi untuk pembelian minyak goreng (migor), Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin menyampaikan tanggapannya.

"Cuma mau beli (bukan minta) minyak goreng saja dibikin ribet," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (2/7/2022).

Ia menyayangkan kebijakan negara yang justru bikin rakyat tambah susah. "Segala urusan kalau bisa dibikin ribet, kenapa dibikin mudah? Negara hadir bukan menyelesaikan masalah, malah tambah bikin susah," ungkapnya.

Ahmad mengatakan, problem minyak goreng ada di tata niaga. "Lagipula, asasnya itu problem di tata niaga minyak goreng, hulu hingga hilir," ujarnya.

Menurutnya, kalau stabilitas harga terjaga, tidak ada disparitas harga, tentu saja tidak dibutuhkan peduli lindungi atau NIK. Program ini adalah bukti kegagalan menjaga stabilitas harga dan stok minyak goreng, lalu diambillah program ini. 

"Program beli minyak goreng dengan aplikasi peduli lindungi ini tidak menyelesaikan akar masalah. Tetapi hanya program pencitraan, seolah pemerintah telah berbuat dan membela masyarakat kecil," imbuhnya.

Faktanya, kata Ahmad, program ribet ini di lapangan akan hanya menjadi konsumsi kalangan tertentu dan akan membuat mayoritas masyarakat lainnya, terpaksa membeli minyak goreng dengan cara dan harga konvensional, baik karena ogah ribet maupun karena akhirnya terpaksa berdamai dengan keadaan.

Kalau tujuannya mau pastikan program berhasil, ujar Ahmad, tidak ada penyimpangan, tepat sasaran, ya di kontrol di lapangan. Bukan maksa bikin susah rakyat.

"Setidaknya itu, yang dilakukan pemerintah setelah gagal mengurusi minyak goreng. Untuk legacy, sudah ada minyak dengan stok dan harga terjangkau, lalu dibuatlah program penyaluran yang prosesnya ribet," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Sabtu, 09 Juli 2022

Kebijakan Minyak Goreng Kemasan Diprediksi Akan Tetap Menyulitkan Masyarakat


Tinta Media - Kebijakan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan yang menginisiasi pemenuhan minyak goreng dalam bentuk kemasan, diprediksi Narator MMC akan tetap menyulitkan masyarakat.

"Apalagi jika minyak goreng kemasan diterapkan dan membanjiri pasar, justru kebijakan ini diprediksi akan tetap menyulitkan masyarakat," tuturnya dalam acara Rubrik Serba-serbi MMC: Normalisasi Harga Migor, Cukupkah dengan Membuat Pusat Krisis dan Satgas? Sabtu (25/6/2022) di kanal YouTube MMC.

Narator mengungkap data PIHPS Nasional, pada tanggal 17 Juni 2022 yang masih jauh di atas harga eceran tertinggi minyak goreng curah sebesar Rp15.500 per kg. "Meski sudah disubsidi melalui instrumendem DPU," ungkapnya.

Ia juga memperhitungkan untuk pembuatan minyak goreng kemasan sederhana akan ada tambahan ongkos biaya. "Menurut Mulyanto, tambahan ini berkisar 1500 rupiah per paket, sehingga publik bisa membayangkan jika minyak goreng kemasan sederhana tersebut dilepas mengikuti mekanisme pasar yang oligopolistik harganya bisa melambung seperti harga minyak premium dan kondisi ini ujung-ujungnya bisa sedikit demi sedikit menghapus minyak goreng curah di pasaran," jelasnya.

"Inilah gambaran tata kelola pasar minyak goreng yang begitu liberal dan legal dalam sistem kapitalisme," lanjutnya.

Ia menilai pangkal permasalahan ini adalah eksisnya para mafia atau kartel tangan. "Merekalah yang memainkan stok mulai dari mengeksploitasi pangan mendistribusikannya, sampai menimbunnya untuk mendapatkan keuntungan yang besar," nilainya.

"Terlebih para mafia dan kartel pangan ini hidup dalam sistem kapitalisme. Sistem ini adalah habitat yang menjadi penjaga kekuasaan mereka bahkan untuk menjaga kekuasaan tersebut negara tidak boleh ikut campur dalam mekanisme pasar bebas," jelasnya lebih lanjut.

Menurut narator, negara diposisikan sebagai pemihak dan kaki tangan oligarki. "Alhasil, solusi yang diberikan penguasa tidak akan sampai menyentuh akar masalah," tuturnya.

Menurutnya, masalah minyak goreng sebenarnya tidak akan berlarut-larut seolah-olah susah untuk diselesaikan jika sistem Islam yang disebut Khilafah dijadikan sebagai pengaturnya. "Sebab Khilafah akan menerapkan hukum syariat sebagai pemutus kebijakannya, sehingga negara akan benar-benar berdaulat untuk mengatur rakyatnya," paparnya.

Dijelaskannya, bahwa Islam memiliki mekanisme dan strategi khas yang mengatur ketersediaan pangan dan mengendalikan harga pasar agar bisa dijangkau oleh masyarakat.

"Seperti kasus minyak goreng saat ini yang disinyalir karena adanya penimbunan (Al-ihtikar) maka Khilafah akan menindak tegas mafia dan kartel yang bermain. Sebab, penimbunan adalah perbuatan maksiat dan setiap kemaksiatan dalam Khilafah akan dikenai sanksi," terangnya.

Narator mengambil pendapat Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Nizamul Al I'tishodi yang menjelaskan bahwa penimbunan secara mutlak adalah haram secara syar'i karena adanya larangan tegas dalam pernyataan hadis secara gamblang. Diriwayatkan di dalam shohih Muslim bahwa Nabi Saw bersabda
"Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang yang berbuat kesalahan."

Dalam sistem sanksi Islam para mafia dan kartel ini akan dijatuhi takzir. Mereka akan dipaksa untuk menjual barangnya kepada konsumen dengan harga pasar. "Alhasil, ketersediaan stok pangan kembali normal mengikuti hukum pasar tanpa ada  permainan monopoli maupun oligopoli," paparnya.

Narator menjelaskan bahwa dalam Islam harga pangan dikembalikan kepada mekanisme pasar bukan dipatok oleh negara, sebab pematokan ini memang sepintas bisa menjadi solusi namun cara ini justru menyebabkan terjadinya inflasi karena diakui atau tidak mematokkan harga ini mengurangi daya beli mata uang.

"Lebih dari itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah menetapkan bahwa pematokan harga adalah haram. Di riwayatkan oleh Abu Daud Dari Abu Hurairah yang berkata seorang laki-laki datang dan berkata 'Ya Rasulullah patokkan harga,' beliau menjawab 'akan tetapi saya berdoa,' kemudian seorang laki-laki yang lain datang dan berkata 'Ya Rasulullah patokkan harga,' beliau bersabda 'akan tetapi Allah lah yang menurunkan dan menaikkan harga,' hadis riwayat Abu Daud," jelasnya.

"Akan tetapi, jika kenaikan harga pangan yang terjadi karena supply yang kurang semisal Negeri tersebut sedang mengalami paceklik atau wabah, negara bisa mencukupi wilayah tersebut dengan barang-barang yang dibutuhkan dari wilayah lain," lanjutnya.

Ia ungkap kebijakan seperti ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ketika wilayah Syam mengalami wabah penyakit, sehingga produksinya berkurang. "Lalu kebutuhan barang di wilayah tersebut disuplai dari Irak," ungkapnya.

Menurutnya, hal tersebut juga akan berlaku untuk kasus minyak goreng. Memang diakibatkan pasokan yang kurang, Khilafah akan memetakan wilayah Daulah lain untuk bisa memasok kekurangan di wilayah yang membutuhkan. "Negara akan menghitung jumlah produksi dan kebutuhan konsumsi rakyat kemudian baru mendistribusikannya," pungkasnya.[] Raras

Sabtu, 02 Juli 2022

DIURUSI LUHUT BUKANNYA SELESAI, URUSAN MINYAK GORENG MALAH JADI TAMBAH RIBET?

Tinta Media - Cuma mau beli (bukan minta) minyak goreng saja dibikin ribet. Kayaknya, segala urusan kalau bisa dibikin ribet, kenapa dibikin mudah? Negara hadir bukan menyelesaikan masalah, malah tambah bikin susah.

Setidaknya itu, yang dilakukan pemerintah setelah gagal mengurusi minyak goreng. Untuk legacy, sudah ada minyak dengan stok dan harga terjangkau, lalu dibuatlah program penyaluran yang prosesnya ribet.

Cuma mau beli minyak goreng, bukan minta, bukan dapat gratisan, bukan mau mencairkan kupon, prosedurnya dibikin ribet harus pake aplikasi peduli lindungi hingga pakai NIK. Itu sebenarnya mau ngurusi rakyat atau modus mau cari data untuk mendirikan perusahaan market place?

Kalau tujuannya mau pastikan program berhasil, tidak ada penyimpangan, tepat sasaran, ya dikontrol di lapangan. Bukan maksa bikin susah rakyat.

Lagipula, asasnya itu problem di tata niaga minyak goreng, hulu hingga hilir. Bukan masyarakat yang dianggap bandel dalam membeli minyak goreng, lalu dipaksa pake peduli lindungi dan NIK.

Belum lama ini, Luhut Panjaitan yang diserahi segala urusan hingga urusan minyak goreng, menegaskan semua penjualan dan pembelian minyak goreng curah akan menggunakan aplikasi PeduliLindungi. Sementara masyarakat yang belum punya PeduliLindungi bisa membeli dengan menunjukkan NIK untuk bisa mendapatkan minyak goreng curah dengan harga eceran tertinggi (HET).

Selain itu, pembelian minyak goreng curah di tingkat konsumen pun akan dibatasi maksimal 10 kilogram (kg) untuk satu NIK per harinya. Harga pembelian sesuai HET yakni Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram. (25/6).

Kalau stabilitas harga terjaga, tidak ada disparitas harga, tentu saja tidak dibutuhkan peduli lindungi atau NIK. Program ini adalah bukti kegagalan menjaga stabilitas harga dan stok minyak goreng, lalu diambilah program ini.

Program beli minyak goreng dengan aplikasi peduli lindungi ini tidak menyelesaikan akar masalah. Tetapi hanya program pencitraan, seolah pemerintah telah berbuat dan membela masyarakat kecil. Faktanya, program ribet ini di lapangan akan hanya menjadi konsumsi kalangan tertentu dan akan membuat mayoritas masyarakat lainnya, terpaksa membeli minyak goreng dengan cara dan harga konvensional, baik karena ogah ribet maupun karena akhirnya terpaksa berdamai dengan keadaan. []
.
Follow Us Ahmad Khozinudin Channel
https://heylink.me/AK_Channel/

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Senin, 06 Juni 2022

KSAD Urusi Minyak Goreng, Ahmad Khozinudin: Negara Dikelola Seperti Preman


Tinta Media - Menanggapi aksi KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman yang sigap    mengurusi minyak goreng ke pasar Kramat Jati, Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin menilai negara dikelola seperti preman.

"Ini negara dikelola seperti preman. Tentara dikerahkan untuk menakut-nakuti rakyat. Sedangkan kepada cukong, tentara hormat," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (4/6/2022).

Menurutnya, meski KSAD Dudung mengklaim ada oknum yang memainkan harga minyak goreng, dan pihaknya telah memberikan soft therapy pada oknum tersebut. Namun, Ahmad menilai Dudung tak berani Cukong oligarki.

"Apakah Dudung berani mendatangi pabrik dan gudang stok milik Wilmar? Menggerebek gudang Indofood Agri? Cek stok opname Musim Mas? Memeriksa gudang milik Royal Golden Eagle atau bahkan berani datangi Sinarmas Group? Ah, paling Dudung cuma gagah di hadapan pedagang kecil, pedagang Kramat Jati. Kalau kepada cukong oligarki migor, Dudung tak berani unjuk kuasa," ulasnya.

"Sama seperti OPM, Dudung tak bernyali menghadapi OPM. Padahal Dudung didesain untuk perang, digaji untuk hadapi perongrong kedaulatan, bukan urusi minyak goreng," imbuhnya.

Ia melihat bahwa apa yang dilakukan itu seperti aksi seorang caleg atau capres, kunjungan ke pasar,  lalu buat keterangan tertulis di media. Giliran ke OPM, tak ada nyalinya, tak ada tindakan tegas meskipun sudah banyak anggota TNI yang menjadi korban.

"Atau tugas Dudung mau dialihkan ke Banser? Sama saja, setali tiga uang. Banser juga cuma gagah membubarkan pengajian, giliran urusan OPM ngelesnya itu tugas aparat," bebernya.

"Kacau negara, konstitusi sudah diacak-acak. Semua pejabat bertindak semaunya," tandasnya.[] Ajirah

Sabtu, 04 Juni 2022

MINYAK GORENG DIURUSI KSAD DUDUNG, TERUS TERORIS OPM YANG URUS BANSER GITU?


Tinta Media - Entahlah, negara benar-benar parah salah urusnya. Tupoksi lembaga negara sudah bekerja sesuai kehendak penguasa bukan kehendak konstitusi. Menhan ngurusi proyek Food Estate, tanam singkong. Mentan urusi Kalung Corona. Kapolri urusi BBM kalau naik atasi dengan bersepeda. Khusus Luhut Panjaitan, urusi segala urusan.

Sekarang, setelah sukses urus baliho Kepala Staf Angkatan Darat atau KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman sibuk ngurusi minyak goreng (migor). Dengan sigap, Dudung datang ke Pasar Kramat Jati karena mendapatkan info Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah masih mencapai Rp 18.000 per liter. 

KSAD Dudung melakukan pengecekan langsung ke pasar itu sebagai tindak lanjut arahan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan terkait keterlibatan Angkatan Darat untuk membantu Pemda dan kepolisian, khususnya di Pulau Jawa dan Bali terkait ketersediaan dan harga minyak goreng.

"Pagi hari ini saya mengecek dan memastikan langsung keterlibatan TNI Angkatan Darat membantu pemerintah daerah sesuai perintah dari Bapak Menko Marves, Pak Luhut yang disampaikan beberapa minggu lalu," kata Dudung dalam keterangan tertulisnya. (Rabu, 1 Juni 2022).

Sejak kapan Menko Marives jadi atasan Dudung? Bukankah atasan Dudung Panglima TNI? Kenapa Dudung terkesan cari panggung sendiri?

Entahlah, apa yang akan dilakukan Dudung setelah tahu ada pedagang yang menjual harga diatas HET. Apakah akan dihukum push up? Lari-lari keliling pasar? Atau dipaksa jual migor sesuai HET tanpa peduli berapa harga beli pedagang kecil di pasar?

Ini negara dikelola seperti preman. Tentara dikerahkan untuk menakut-nakuti rakyat. Sedangkan kepada cukong, tentara hormat.

KSAD Dudung sendiri mengklaim ada oknum yang mainkan harga minyak goreng. Pihaknya telah memberikan soft therapy pada oknum tersebut.

Namun, apakah Dudung berani mendatangi pabrik dan gudang stok milik Wilmar? Menggerebek Gudang Indofood Agri? Cek stok opname  Musim Mas? Memeriksa gudang milik Royal Golden Eagle atau bahkan berani datangi Sinarmas Group?

Ah, paling Dudung cuma gagah dihadapan pedagang cilik, pedagang Kramat Jati. Kalau kepada Cukong Oligarki migor, Dudung tak berani unjuk kuasa.

Sama seperti OPM, Dudung tak bernyali menghadapi OPM. Padahal, dudung didesain untuk perang, digaji untuk hadapi perongrong kedaulatan, bukan urusi minyak goreng.

Kayak mau nyaleg atau nyapres saja, kunjungan ke pasar, bikin keterangan tertulis di media. Giliran ke OPM, tak ada nyalinya, tak ada tindakan tegas meskipun sudah banyak anggota TNI yang menjadi korban.

Atau tugas dudung mau dialihkan ke Banser ? sama saja, setali tiga uang. Banser juga cuma gagah membubarkan pengajian, giliran urusan OPM ngelesnya itu tugas aparat.

Kacau negara, konstitusi sudah diacak-acak. Semua pejabat bertindak semaunya. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Jumat, 03 Juni 2022

Inkonsistensi Kebijakan Migor


Tinta Media - Kebijakan pemerintah mengenai minyak goreng terus berubah, seakan-akan inkonsistensi sudah dianggap lumrah dan biasa. Beberapa waktu lalu, kebijakan kran ekspor minyak goreng ditutup dengan tujuan menjaga ketersediaan stok minyak goreng curah dalam negeri agar tercapai titik harga ekonomis. Namun, kini pemerintah telah mencabut larangan ekspor minyak goreng beserta bahan bakunya.

Mengutip dari CNBC Indonesia (24/05/2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mencabut kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya. Meski pada awalnya larangan tersebut akan dicabut jika harga minyak goreng curah seluruh Indonesia merata dengan angka Rp14.000 per liter. Selain itu, Jokowi juga mengatakan, pantauan lapangan menunjukkan pasokan minyak goreng dalam negeri semakin berlimpah.

Kebijakan Setengah Hati yang Tak Memihak Rakyat

Harga minyak goreng memang berangsur-angsur turun di kisaran Rp17.200 - Rp17.600 perliter. Namun, harga tersebut masih jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan harga target pemerintah yang Rp14.000 per liter. Masih tingginya harga minyak goreng di pasaran tidak terlepas dari aspek distribusi yang masih terbatas karena stok yang masuk ke pasar juga masih terbatas.

Dibukanya kembali kran ekspor dikuatirkan menjadi salah satu sebab harga minyak goreng akan merangkak naik. Para pemain minyak goreng tentu akan memanfaatkan kebijakan ini dengan melakukan ekspor yang berakibat menjadi berkurangnya stok migor dalam negeri serta menciptakan kepanikan di tengah masyarakat sehingga harga minyak goreng kembali meningkat, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadinya kembali fenomena kelangkaan minyak goreng.

Rakyat akan menjadi korban plin-plannya kebijakan pemerintah. Kebijakan yang selalu tidak memihak rakyat, tetapi melayani sepenuhnya  kepentingan bisnis para pemilik modal senantiasa akan dapat ditemukan dalam sistem kehidupan yang berlandaskan kapitalisme. 

Merupakan suatu hal yang wajar jika para penguasa hasil dari sistem kehidupan kapitalisme, menganggap bahwa hubungannya dengan rakyat tak ubahnya seperti pedagang dan pembeli. Rakyat merupakan objek dalam meraup keuntungan semata. Dalam sistem kapitalis, negara juga bukan merupakan satu-satunya penyedia barang dan jasa. Negara mempersilahkan  pihak swasta untuk ikut berperan dan menikmati keuntungan dari rakyat, di antaranya melalui skema investasi. 

Sebenarnya problematika harga minyak goreng tidak luput dari penerapan sistem ekonomi kapitalis saat ini. Terbuka celah yang lebar bagi para pemilik modal dengan dalih investasi untuk menguasai sumber daya alam milik negara, termasuk di antaranya yang menjadi kebutuhan pokok hidup rakyat. 

Hal ini karena negara yang mengusung sistem kehidupan sekuler kapitalis tidak lagi mengindahkan ajaran agama, serta menjadikan materi sebagai tolak ukur. Itu sebabnya negara menjadi  tak memedulikan kebutuhan dan kesejahteraan rakyat. Negara hanya berfungsi sebagai regulator bagi para korporasi untuk mengambil keuntungan sebanyak mungkin dari rakyat. 

Islam Memberikan Solusi Gemilang

Hanya negara yang meletakkan pondasi berdasar syariat Islam yang mampu melakukan pengurusan rakyat paling maksimal. Kegemilangan dan keagungan peradaban Islam tidak bisa dipisahkan dari kesadaran para pemimpin negara akan kewajibannya untuk mengurusi umat. 

Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya:

 "Imam (Khalifah) adalah pelayan dan pengurus rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang wajib dia urus." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Misalnya dalam distribusi barang di pasaran, negara dilarang mematok harga. Harga di pasaran dibiarkan mengikuti pasar sesuai hukum penawaran dan permintaan, sehingga persaingan  dalam berdagang berjalan alamiah, dan harga menjadi stabil serta terjangkau. 

Di satu sisi, dalam sistem ekonomi Islam ada tiga macam kepemilikan, di antaranya kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Dengan tiga macam pembagian kepemilikan menurut syariah Islam, maka celah para pemodal asing maupun swasta untuk menguasai kekayaan negara Islam yang merupakan milik umum menjadi tertutup rapat. Hal tersebut didukung oleh sistem hukum yang berkeadilan.

Wallahu a'lam

Oleh: Shalihah N.
Aktivis Remaja

Kamis, 02 Juni 2022

MMC: Sempat Disetop, Ekspor Minyak Goreng Kembali Dibuka


Tinta Media - Narator Muslimah Media Center mengungkapkan bahwa pemerintah membuka kembali keran ekspor minyak goreng setelah sempat disetop kurang dari satu bulan.

Pembukaan kembali ekspor minyak goreng ini, kata Narator, berdasarkan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Erlangga Hartanto. "Pemerintah akan menerbitkan lagi kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestik Price Obligation (DPO) seiring dengan dibukanya kembali ekspor minyak goreng," tuturnya dalam Serba-Serbi : Plin-plan Kebijakan Minyak Goreng, Benarkah Rakyat yang Diuntungkan? Jumat, (27/05/2022) melalui kanal youtube Muslimah Media Center.


"Kebijakan baru ini sebagai langkah untuk menjamin ketersediaan bahan baku minyak goreng dan keterjangkauan harga dimasyarakat," ujar Erlangga menegaskan.

Narator menjelaskan, kebijakan ini diambil dengan pertimbangan pasokan dalam negeri aman dan pertimbangan kesejahteraan petani sawit.

"Memang benar, bahwa pencabutan larangan ekspor CPO ini memastikan adanya perbaikan harga Tandan Buah Segar (TDS) petani sawit meskipun belum sepenuhnya normal. Namun perlu diingat bahwa kebijakan ini dikeluarkan saat rakyat masih mengalami kesulitan karena harga minyak goreng yang sudah terlanjur tinggi," ungkap narator menambahkan.

"Sementara pencabutan larangan ekspor memastikan biaya produksi industri minyak goreng akan semakin tinggi sehingga tidak ada kepastian harga minyak goreng dipasaran akan ikut turun. "Ditambah lagi belum adanya kejelasan penuntasan kasus mafia minyak goreng yang mengambil keuntungan besar dari ekspor dan kenaikan harga didalam negeri," lanjutnya.

Narator menjelaskan, dalam pengelolaan bahan baku minyak goreng saja, penguasaan lahan kelapa sawit swasta mencapai 58%, sedangkan BUMN hanya 4%. Ini menjadi bukti bahwa liberalisasi ekonomi dalam sistem kapitalis telah membuka lebar masuknya investasi pihak swasta. Alhasil, hanya masyarakat yang memiliki daya beli yang bisa mengakses kebutuhan pokok mereka.

"Watak pemimpin dalam sistem kapitalis memandang rakyat sebagai objek meraup keuntungan sebesar-besarnya. Namun keuntungan itu pun sejatinya tidak ditujukan untuk mengisi APBN negara tetapi juga memberi ruang pihak swasta untuk mengambil keuntungan didalamnya," tegasnya.

Oleh sebab itu, kata Narator, negara wajib memahami bahwa jati dirinya adalah pelayanan rakyat bukan pedagang yang mencari untung dari rakyatnya. Artinya, negara bukan hanya memastikan kebutuhan rakyat tersedia di pasar tetapi juga menjamin seluruh rakyat mampu mengakses kebutuhan tersebut. "Namun konsep ini hanya ada dalam sistem Islam yakni khilafah," pungkasnya.[] Yupi UN

Kamis, 19 Mei 2022

Minyak Goreng Masih Langka, FAKKTA: Kapitalis Lebih Jahat dari Mafia


Tinta Media - Menanggapi masih langkanya minyak goreng curah di pasaran, Ekonom dari Forum Analis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA), Muhammad Hatta, S.E, M.M, menyampaikan bahwa ada yang lebih jahat dari mafia, yaitu kapitalis.

"Nah, ada yang lebih jahat lagi, saya pikir ini bukan mafia. Siapa itu? Kapitalis, para pemilik modal," tuturnya dalam acara Kabar Petang: Mafia Sudah Ditangkap, Minyak Goreng Kok Masih Langka? Di Kanal Youtube Khilafah News, Rabu (11/5/2022).

Menurutnya, FAKKTA (Forum Analis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran) memiliki data terkait para pemilik modal tersebut dari hulu ke hilir.

"Kami punya data, ada beberapa data yang kami kumpulkan, misalnya di sektor hulu. Di sisi hulu, persoalan CPO ini misalnya, 62% produksi CPO itu datang dari perkebunan besar swasta. Sementara, negara sendiri (perkebunan besar negara) itu hanya 5%, perkebunan rakyat 34%," terangnya.

Ia melanjutkan, ada data dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia yang melakukan riset (penelitian) pada tahun 2013, bahwa ada 25 grup bisnis kelapa sawit yang dikendalikan oleh 29 Taipan.

"Nah, 29 grup bisnis inilah yang kemudian menguasai mayoritas bisnis CPO tadi, kelapa sawit itu di sektor hulu.
Di sektor hilir itu, menurut data Out Look dari Teknologi Pangan 2019 yang diterbitkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 70% kapasitas pemurnian CPO tadi itu kan setelah diolah ya, dikupas, dipabrik, kemudian dimurnikan, diolah lagi menjadi produk antara dan produk hilir. Itu, 70% kapasitasnya secara internasional itu hanya dikuasai oleh 8 pemain," paparnya.

"Jadi, kalau kemudian kita ingin mencari, kenapa ini (minyak goreng curah) bisa langka, coba tengok ke mereka. Berapa produksi mereka, berapa produksi mereka dalam akhir-akhir ini, beberapa bulan terakhir ini," tambahnya.

"Coba tengok produksi mereka, berapa ekspor mereka (kalau persoalan langka). Kalau persoalan mahal, ini beda lagi. Kalau persoalan langka, maka coba tengok produksi mereka. Apakah produksi mereka nambah, tetap, atau berkurang. Nah, inilah yang harus kita lakukan," tegasnya.

Hatta menuturkan, kalau ingin mencari siapa yang membuat masalah, menurutnya ada 8 pemain di sisi hilir. Sementara di sisi hulunya ada 25 grup bisnis yang dipegang oleh 29 Taipan.

"Nah, itu data-datanya. Jadi, kalau baru satu, dua, tiga, kayaknya itu perlu dikejar lagi," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Senin, 09 Mei 2022

Tipu-Tipu Penguasa Melalui Kebijakan Setengah Hati


Tinta Media  - Harga minyak goreng masih menjadi bulan-bulanan bagi rakyat Indonesia.  Keberadaannya yang hingga kini masih tinggi membuat rakyat serba salah. Tidak dibeli mereka membutuhkan, hendak dibeli mereka tidak memiliki kemampuan.

Berkenaan dengan hal tersebut, pemerintah meniupkan angin segar dengan mengumumkan pelarangan ekspor CPO (crude palm oil) alias minyak goreng mentah ke luar negeri. Awalnya, kebijakan ini dimaksudkan agar pasokan minyak goreng di dalam negeri kembali melimpah sehingga harga menjadi murah. Namun, kenyataan jauh dari harapan.

Pengamat ekonomi, Bhima Yudhistira mengatakan bahwa  kebijakan tersebut belum tentu akan menurunkan harga minyak goreng dalam negeri. Dirinya menambahkan bahwa tingginya harga minyak goreng setidaknya dipengaruhi dua faktor. Pertama, pada  HET minyak goreng yang ditetapkan pemerintah untuk rakyat. Kedua, penyebab kelangkaan pasokan minyak goreng domestik adalah karena lemahnya pengawasan terhadap para produsen dan distributor minyak.

Menilik pernyataan di atas, kita bisa melihat bahwa sejatinya kebijakan pelarangan ekspor CPO yang dikeluarkan oleh pemerintah tak ubahnya sekadar "lip service" penguasa di hadapan rakyat. Kebijakan tersebut nihil menurunkan harga minyak goreng dalam negeri, jika tidak diiringi dengan regulasi untuk mengawasi para produsen dan distributor minyak goreng. Mereka akan tetap memilih untuk menjual minyak ke luar negeri jika dirasa lebih menguntungkan.

Lebih miris, pejabat eselon 1  (Dirjen) Kementrian Perdagangan (Kemendag) resni ditetapkan sebagai salah satu tersangka ekspor minyak goreng. Hal itu menjadi preseden buruk  bagi pemerintah karena terbukti terlibat dalam ekspor minyak secara besar-besaran sehingga menyebabkan kelangkaan minyak domestik. 

Bisa dibayangkan, pihak yang diamanahi untuk mengurusi kebutuhan  rakyat memilih bergandengan tangan dengan pengusaha untuk meraup rupiah dengan mengorbankan kepentingan rakyat.

Perjalanan mafia minyak goreng yang melibatkan penguasa adalah fakta umum dalam sistem kapitalisme. Penguasa bekerjasama dengan pengusaha  membuat lingkaran oligarki dan berhasil menguasai seluruh sektor ekonomi. Di sinilah negara berganti kostum dari pelayan rakyat menjadi "penghisap darah" rakyat.

Rakyat tak lagi diurusi, bahkan kini mereka diekploitasi melalui tingginya harga minyak goreng dan bahan kebutuhan pokok lainnya.

Jika demikian faktanya, masihkah kita percaya pada setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa? Lantas, bagaimana nasib negeri kita tercinta kelak?

Bagaimanapun, umat Islam wajib mengawal negeri ini agar tidak jatuh dalam lubang kehancuran. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan terus melakukan dakwah serta muhasabah terhadap penguasa.

Melakukan koreksi terhadap penguasa, serta menasihatinya agar berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari kemunkaran merupakan sesuatu yang penting. Bahkan, Rasulullah saw. menyebutnya sebagai sebaik-baik jihad.

Dari Umu ‘Atiyah dari Abi Sa’id yang menyatakan: Rasulullah saw. bersabda :

“Sebaik-baik jihad adalah (menyatakan) kata-kata yang hak di depan penguasa yang zalim.”

Muhasabah terhadap penguasa dilakukan untuk menyeru mereka agar menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan, menjadi kebutuhan yang tak bisa ditawar. Hanya Islam yang mampu membebaskan negeri ini dari jeratan kehancuran dan mengembalikan seluruh potensi yang dimiliki agar menjadi negeri yang makmur berdikari. Wallahu alam bishshawab.

Oleh: Ummu Azka
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 04 Mei 2022

Larang Ekspor CPO Rugikan Petani Kecil


Tinta Media  - Kebijakan pemerintah yang akan menghentikan ekspor crude palm oil (CPO) mulai Kamis 28 April 2022, dinilai merugikan petani kecil.

"Langkah pemerintah melakukan moratorium ekspor untuk crude palm oil (CPO) dan minyak goreng hanya akan merugikan petani kecil," tutur narator video MMC mengutip pernyataan anggota Komisi 6 DPR Deddy Yevri Hanteru Sitorus,  dalam Serba Serbi MMC: Larang Ekspor CPO Rugikan Petani Kecil Untungkan Pemodal Besar, Selasa (3/5/2022) melalui kanal Youtube Muslimah Media Center.

Menurut narator, masih mengutip pendapat Deddy, ini bisa merusak industri CPO secara keseluruhan, industri minyak goreng,  dan juga merugikan petani petani kecil yang ada di pedalaman terutama petani sawit kecil,  pemilik lahan sawit sedang,  dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery atau pabrik minyak goreng.

"Deddy mengungkap bahwa 41% pelaku industri sawit adalah petani dan pengusaha kecil.  Saat ekspor itu dilarang, industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi. Sebab  kebutuhan minyak goreng hanya sekitar 10% atau sekitar 5,7 juta ton per tahun sedangkan produksinya mencapai 47 juta ton per tahun," paparnya.

Untuk CPO lanjut narator, Deddy  menilai moratorium ini hanya akan menguntungkan pemain besar khususnya mereka yang memiliki pabrik kelapa sawit,  fasilitas refinery pabrik minyak goreng atau industri turunan lainnya. Mereka memiliki modal kuat, memiliki kapasitas penyimpanan besar dan pilihan pilihan lain untuk menghindari kerugian. Karena itu kebijakan tersebut dianggap hanya efektif untuk jangka waktu pendek yakni sebagai langkah menjaga pasokan di dalam negeri dan penurunan harga di tingkat domestik.

Kebijakan yang dikeluarkan penguasa ini menurut narator, tentu akan berefek pada bertambahnya jumlah pengangguran yang berasal dari petani sawit kecil ataupun dari pengepul minyak jelantah. Sebab hasil produksi pengepul minyak jelantah biasanya diekspor ke negara luar untuk dijadikan sebagai bahan baku biodiesel.

"Pemerintah nampak tidak mampu memberikan solusi komprehensif yang mampu menyejahterakan masyarakat secara menyeluruh.  Kebijakan yang dipandang akan menurunkan harga minyak goreng di tingkat konsumen nyatanya justru merugikan masyarakat di tingkat produsen.  Sebab kebijakan penyelesaian gejolak harga minyak goreng ini belum menyentuh akar permasalahan," nilainya.

Sebagaimana dipahami, lanjutnya,  bahwa salah satu penyebab lonjakan harga minyak goreng adalah ditemukannya mafia-mafia dan spekulan minyak goreng. Namun pemerintah tidak menindak tegas pelaku. Ditambah lagi paradigma sekuler kapitalistik yang digunakan dalam pengaturan produksi hingga distribusi minyak goreng telah membuka peluang besar munculnya para mafia.

"Paradigma sekuler kapitalistik ini telah melegalkan pihak swasta mendominasi pengolahan barang pangan termasuk minyak goreng. Bahkan negara dibuat tidak berdaya. Alhasil negara seolah lepas tanggung jawab dan hanya melakukan bisnis dengan rakyat.  Ini sekali lagi membuktikan bahwa pemimpin dalam sistem kapitalisme sekuler hanya dicetak untuk menjadi cukong para kapital, bukan mengurus hajat hidup orang banyak," bebernya.

Solusi Islam

Berbeda dengan sistem Islam lanjut narator,  prinsip kepemimpinan dalam Islam adalah pengaturan hajat hidup rakyat berada di bawah kendali pemerintah. Sebab pemimpin adalah ra'in mengurusi urusan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.

"Sementara paradigma relasi yang dibangun dengan rakyat adalah pelayanan bukan bisnis.  Pada tingkat pelaksanaan siapapun yang melakukan proses industrialisasi berada dalam kontrol pemerintah," tukasnya.

Dengan demikian pihak swasta akhirnya tidak bisa bermain-main karena semua dalam kontrol pemerintah. Di sisi lain rakyat juga diberi kesempatan melakukan kontrol atau amar ma'ruf nahi mungkar sehingga potensi penyelewengan akan mudah terdeteksi.

Menurut narator, dalam bidang ekonomi, Islam mengatur peran negara untuk menyejahterakan rakyatnya melalui beberapa cara.

Pertama,  menyusun kebijakan dan perencanaan ekonomi. Makna peran negara dalam produksi,  penyediaan sarana produksi dan distribusi adalah negara bertanggung jawab memetakan kebutuhan pangan seluruh warga negara.

"Selanjutnya negara mengkaji tentang wilayah mana saja yang menjadi penopang kebutuhan tersebut. Kemudian negara menyediakan bibit, pupuk, hingga bantuan modal dan berbagai sarana pertanian yang memudahkan para petani dalam memenuhi kebutuhan mereka," jelasnya.

Negara juga tampil untuk membackup semua kebutuhan petani. Dengan demikian akan ada kepastian produksi karena negara yang bertanggung jawab untuk itu semua.

Kedua,  implementasi pembagian kepemilikan umum dan negara. "Lahan yang digunakan pengusaha kelapa sawit seharusnya merupakan lahan milik umum yang kebermanfaatannya dikembalikan pada kemaslahatan umum," paparnya.

Namun dalam pengaturan sistem kapitalisme lahan ini dikuasai para swasta. Lahan milik rakyat ini ditanami sawit dan hasilnya dijual dengan tujuan memperoleh keuntungan yang cukup besar.

Ketiga,  pengawasan dan sangsi kejahatan ekonomi. "Dalam sistem Islam penimbunan minyak goreng oleh perusahaan maupun pedagang akan mendapat sanksi tegas. Pengawasan dan penindakan pelanggaran ini dilakukan oleh institusi hisbah.  Institusi ini juga berfungsi sebagai kontrol kondisi sosial ekonomi secara komprehensif, mengontrol pasar untuk memastikan ketersediaan kebutuhan pokok di pasar serta menindak jika ada penimbunan atau tindakan yang spekulatif," bebernya.

Keempat, menjaga mekanisme pasar. Sistem Islam akan mendorong perdagangan berjalan sesuai syariat dan mencegah terjadinya liberalisasi perdagangan. Islam melarang peredaran barang haram aktivitas penimbunan monopoli penipuan curang dan spekulasi.
Islam melarang negara menggunakan otoritasnya untuk campur tangan dalam masalah harga. Tetapi negara memastikan tidak terjadi penyimpangan yang menyebabkan harga melonjak.

"Begitulah peran negara dalam sistem ekonomi Islam sebagai implementasi bahwa seorang pemimpin adalah pelayan umat yang menerapkan aturan Islam untuk mewujudkan kesejahteraan ditengah tengah mereka," pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Selasa, 26 April 2022

BALADA MIGOR, LISTRIK DAN BATU BARA !


Tinta Media  - Sebagai rakyat , penulis terbengong melihat siaran pers Kejaksaan Agung (tv one jam 15.15 wib, Selasa 19 April 2022) yang mengumumkan bahwa telah menetapkan berbagai pihak sebagai  tersangka export minyak goreng !

Pertanyaannya, bukankah UUD 1945 sudah di amandement menjadi UUD Liberal ? Artinya , wajarlah kalau harga "migor" pun tidak bisa dikendalikan, seperti BBM, batu bara, dan listrik ! Termasuk juga komoditas diatas akan mencari pasar yang lebih menguntungkan (termasuk eksport) !

Artinya, yang menjadi masalah itu sebenarnya pada Ideologi Negara/ Konstitusinya ! Kalau Konstitusinya Liberal, jangan salahkan kalau mekanisme pasarnya juga menjadi liberal !

Yang dimaksud Negara harus hadir ditengah rakyat itu, bukan aparat keamanan yang kemudian menindak/"nangkepin"  para pedagang ! Apapun alasannya ! Prinsip dagang itu mengikuti mekanisme pasar bebas ( kondisi supply and demand ) bukan mekanisme "tangkap menangkap" ala aparat hukum/aparat keamanan !

Makanya kalau sektor strategis masih ingin tetap bisa dikendalikan, system harus tetap dibawah kendali negara yaitu pasal 33 UUD 1945. Atau kalau merefer doktrin Islam (ingat Islam juga termasuk yang di akui Negara ini), dalam sebuah Hadhist "Almuslimuuna shuroka'u fii shalasin fil ma'i wal kala'i wan nar, washamanuhu haram" yang artinya "umat Islam berserikat atas tiga hal yakni air, ladang, dan api (energy, listrik, batubara, BBM, gas dll) atas ketiga komoditi tersebut haram hukumnya di komersialkan/diperdagangkan".

Artinya dengan referensi pasal 33 UUD 1945 maupun Hadhist diatas , ladang (perkebunan sawit) mestinya harus dikuasai negara (dulu oleh Perkebunan Negara ) ! Artinya komoditas migor mestinya di kelola sebagai "Public good", jangan diserahkan ke Taipan Naga ("Commercial good")  ! Kalau perkebunan sawit diserahkan ke swasta akhirnya migor sudah menjadi "Commercial good" dan tdk bisa dikendalikan, karena sudah mengikuti mekanisme pasar bebas ! Dan mestinya aparat hukum/keamanan  tidak bisa melakukan penindakan/penangkapan terhadap pelaku pasar !

Begitu juga untuk BBM, Batu bara, dan listrik. Komoditas2 ini mestinya diperlakukan sbg "Public good", tetapi para "Peng Peng" seperti Luhut BP, JK, Erick Tohir, Dahlan Iskan, malah ikut "main" disini. Akhirnya komoditas diatas otomatis menjadi "Commercial good" yang susah dikendalikan !

KESIMPULAN :

Rezim ini telah merubah beberapa  komoditas dari "Public good" menjadi "Commercial good". Tetapi tiba2 mengerahkan aparat hukumnya menindak pelaku usaha komoditas tersebut, seperti seolah olah telah melakukan pelanggaran terhadap "Public good" !

Terus ngapain teriak teriak NAWA CITA ??

Rezim "bingung" !

MAGELANG, 19 APRIL 2022.

Oleh: Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.

Kamis, 21 April 2022

Harga Berbagai Komoditas Meroket, Invest: Akibat Negara Terapkan Ideologi Liberal


Tinta Media - Meroketnya harga berbagai komoditas seperti minyak goreng, batu bara dan tarif listrik, dinilai Koordinator Valuation for Energy and Infrastructure (Invest) Ahmad Daryoko, akibat negara menerapkan  ideologi liberal.

"Yang menjadi masalah itu sebenarnya pada ideologi negara atau konstitusinya. Kalau konstitusinya liberal, jangan salahkan kalau mekanisme pasarnya juga menjadi liberal," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (20/4/2022).

Ia mempertanyakan tentang realitas amandemen UUD 1945. "Bukankah UUD 1945 sudah diamandemen menjadi UUD Liberal?" tanyanya.

Artinya, lanjut Ahmad wajar kalau harga migor pun tidak bisa dikendalikan, seperti BBM, batu bara, dan listrik. Termasuk juga komoditas di atas, akan mencari pasar yang lebih menguntungkan, termasuk ekspor.

Menurutnya, harus ada peran negara dalam mekanisme pasar bebas. "Yang dimaksud negara harus hadir ditengah rakyat itu, bukan aparat keamanan yang kemudian menindak/ menangkap para pedagang. Apapun alasannya. Prinsip dagang itu mengikuti mekanisme pasar bebas, kondisi supply and demand, bukan mekanisme tangkap ala aparat," terangnya.

Oleh karena itu, kata Ahmad kalau sektor strategis masih ingin tetap bisa dikendalikan, system harus tetap dibawah kendali negara yaitu pasal 33 UUD 1945.

Atau kalau merefer doktrin Islam, lanjut Ahmad, Islam juga termasuk yang di akui Negara ini.  Dalam sebuah Hadits Almuslimuuna shuroka'u fii shalasin fil ma'i wal kala'i wan nar, washamanuhu haram yang artinya umat Islam berserikat atas tiga hal yakni air, ladang, dan api (energy, listrik, batubara, BBM, gas dan lain-lain). Ketiga komoditi tersebut haram hukumnya di komersialkan atau diperdagangkan.

Ia juga menekankan bahwa pentingnya mengembalikan peran negara yang mengacu pada pasal 33 UUD 1945 dan hadits.

"Dengan referensi pasal 33 UUD 1945 maupun hadits di atas , ladang (perkebunan sawit) mestinya harus dikuasai negara (dulu oleh Perkebunan Negara). Artinya komoditas migor mestinya di kelola sebagai public good jangan diserahkan ke taipan 9 naga  commercial good," bebernya.

Terakhir, ia menegaskan bahwa jika perkebunan diserahkan ke swasta, sudah jelas harga tidak bisa dikendalikan.

"Karena sudah mengikuti mekanisme pasar bebas. Dan mestinya aparat hukum atau keamanan tidak bisa melakukan penindakan atau penangkapan terhadap pelaku pasar," pungkasnya. [] Nur Salamah

Senin, 11 April 2022

Program Bio Diesel, Penyebab Kelangkaan Minyak Goreng?


https://drive.google.com/uc?export=view&id=1OJwdA_c6dXgRlxVtRPa5AOE4Do8RamUd

Tinta Media - Pengamat Ekonomi Politik, Salamudin Daeng, menengarai program bio diesel pemerintah sebagai penyebab kelangkaan minyak goreng belakangan ini.

"Program Bio Diesel pemerintah melalui Pertamina patut diduga sebagai penyebab kelangkaan minyak goreng belakangan ini," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (6/4/2022).

Menurutnya, Pertamina telah mengonsumsi 10 juta ton atau 10 miliar liter minyak sawit untuk kebutuhan mencampur solar sebagai bahan bakar Bio diesel. Jumlah kebutuhan Pertamina ini telah menjadikan Pertamina sebagai konsumen minyak sawit terbesar di dunia.

"Jika diibaratkan negara, maka Pertamina adalah negara konsumen minyak sawit terbesar di dunia," imbuhnya.

"Konsumsi Pertamina mencapai 2 kali volume ekspor minyak sawit ke China dari Indonesia. Volume konsumsi minyak sawit Pertamina juga mencapai dua kali konsumsi seluruh negara Uni Eropa dari minyak sawit Indonesia," tandasnya.

Salamudin menilai, konsumsi minyak sawit Pertamina ini berpotensi menjadikan Pertamina sebagai oligopsoni, dapat menjadi penentu pasokan dan minyak harga sawit. Dengan demikian maka Pertamina juga bisa menjadi penentu pasokan dan harga minyak goreng dikarenakan konsumsinya sangat besar.

Oleh karena itu, maka usaha menstabilkan pasokan dan harga minyak Goreng di tanah air tidak mungkin bisa dilakukan dengan mekanisme pasar saat ini. Namun hanya bisa dilakukan dengan meminta Pertamina melepas kembali minyak sawit sebanyak 10 miliar liter untuk dijual kembali kepada produsen minyak goreng.

"Dengan demikian, maka harga minyak sawit secara internasional bisa normal kembali dan pasokan serta harga minyak goreng juga bisa normal kembali," pungkasnya.[]'Aziimatul Azka

Sabtu, 09 April 2022

Direktur Pamong Institute: Pemerintah Tak Berdaya Hadapi Mafia Minyak Goreng

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1thEp3jDxrZK3HXMvE9_OT6VsOxEZDgfM

Tinta Media - Pengamat Politik dan Pemerintahan sekaligus Direktur Pamong Institute Wahyudi Al Maroky menyatakan pemerintah tidak berdaya berhadapan dengan para mafia minyak goreng.

“Bukan sekedar kalah bahkan terkesan pemerintah ini tidak berdaya berhadapan dengan para mafia minyak goreng sehingga berbulan-bulan urusan minyak goreng tidak selesai,” tuturnya dalam Bincang Bersama Wahyu: Minyak Goreng Harga Pasar, Pemerintah Kalah Pada Mafia? di kanal YouTube Jakarta Qolbu Dakwah.

Ia mengungkapkan sebagai penghasil CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia semestinya tidak kesulitan mendapatkan minyak goreng. “Dan pemerintah sebagai penguasa harus menggunakan kekuasaannya untuk menekan para pengusaha untuk menjamin ketersediaan pasokan minyak goreng,” ungkapnya.

Menurutnya, kemungkinan kebijakan pemerintah ini juga telah didikte oleh para mafia sehingga tidak berhasil untuk menyelesaikannya.

Untuk menyelesaikan persoalan minyak goreng yang telah berbulan-bulan ini terlihat olehnya upaya dari pemerintah ini tidak membuahkan hasil, bahkan ujungnya dilemparkan kepada mekanisme pasar.
“Ini menunjukkan pemerintah kita tidak gagah di hadapan para mafia minyak goreng, justru loyo bahkan pula kalah dari para mafia,” ucapnya.

Ia menganggap masih jauh pernyataan janji pemerintah untuk mengungkap nama-nama mafia minyak goreng termasuk untuk menindak tegas. Ia berpikir janjinya diragukan. “Apalagi kalau dikategori ingin menindak tegas para mafia minyak goreng. Saya pikir jauhlah, janjinya diragukan” katanya.

Kritikan Salah Alamat

Ia menanggapi kritikan salah alamat dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menganggap bahwa emak-emaklah penimbun minyak goreng. Karena emak-emak tidak memiliki kekuasaan. “Kalau saya lihat salah alamat, mengkritik emak-emak, mengkritik rakyatnya dalam menanggapi persoalan minyak goreng sebagai penimbun. Mestinya kalau mengkritik itu jangan mengkritik emak-emak, apa salah mereka, apa kekuasaan mereka, tidak ada,” katanya.

Menurutnya kemampuan emak-emak menimbun itu tidak banyak dan dapat diatasi oleh aparat bahkan justru aparat ini digerakkan juga untuk mengecek sejumlah pihak pengusaha, pihak para mafia yang menguasai rantai-rantai distribusi. “Jadi kenapa justru alamat ini diberikan kepada emak-emak atau kepada rakyatnya, sudah rakyat antri susah bahkan ada yang kehilangan nyawa itu malah disalahkan lagi,” tuturnya.

Ia mengkritik pemerintah yang tidak mampu menyelesaikan persoalan minyak goreng dengan menyalahkan rakyatnya. “Nah ini, menurut saya pemerintahan yang buruk. Partai pemerintah yang buruk, dia tidak mampu untuk menyelesaikan persoalan minyak goreng, bahkan berbulan-bulan tidak selesai justru menyalahkan rakyatnya,” kritiknya.

Ia mengkritisi juga kritikan salah alamat dari Ketua Umum PDIP kepada rakyat, kepada emak-emak dengan mengingatkannya untuk mengkritik penguasa, petugas partainya (tanda kutip dia yang menyatakan petugas partai) atau bahkan memerintahkan petugas partainya untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
“Mestinya dia tidak mengarahkan kritiknya kepada emak-emak, tidak mengarahkan kritik kepada rakyat. Mestinya kritiknya diarahkan kepada penguasa, pada presidennya, kepada menterinya atau kepada petugas partainya kalau memang dia sebagai petugas partai. Ini yang harus dia arahkan,” pungkasnya. []Ageng Kartika

Senin, 04 April 2022

Pengamat: Ekonomi Syariah Saat Ini Esensinya Ekonomi Kapitalis yang Dibungkus Istilah Syariah

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1KPyrWwsYhVkYsEMQa4c2VefOdySPaNxQ


Tinta Media - Pengamat Ekonomi Dr. Arim Nasim menilai bahwa ekonomi syariah saat ini esensinya adalah ekonomi kapitalis yang dibungkus istilah syariah.

”Ekonomi syariah saat ini, esensinya adalah ekonomi kapitalis yang dibungkus dengan istilah syariah,” tuturnya pada Tinta Media Ahad (3/4/2022).

Menurut Arim, ketika yang menonjol dalam ekonomi syariah adalah bank dan lembaga keuangan , maka bisa diduga pengembangan ekonomi syariah saat ini hanya menduplikasi sistem ekonomi kapitalis dengan baju syariah. Hal ini dimengerti sebab dalam sistem ekonomi kapitalis, bank memegang peranan penting bahkan seperti jantung dalam tubuh manusia, sehingga keberadaan bank perlu dijaga eksistensinya dalam sistem ekonomi kapitalis

“Dalam konteks ini benar kalau ekonomi syariah hanya membahas uang dan yang berkait uang,  jangan-jangan ekonomi syariah sudah dikuasai oleh para spekulan dan investor yang orientasinya memang keuntungan,” duganya.

Arim menjelaskan definisi  ekonomi syariah dengan mengutip pendapat  M.A Mannan, bahwa  Ekonomi Syariah adalah suatu ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.

 “Sedangkan menurut Umar Chapra, Ekonomi Syariah adalah cabang ilmu pengetahuan yang membantu manusia mewujudkan kesejahteraan melalui alokasi dan distribusi berbagai sumber daya sesuai tujuan yang ditetapkan,” imbuhnya.

Kalau melihat definisi tersebut, lanjutnya, ekonomi syariah seharusnya fokus membahas bagaimana mewujudkan kesejahteraan rakyat dan distribusi sumber daya alam agar tercipta keadilan.

Karena itu Arim heran, disaat rakyat kesulitan minyak goreng di tengah produksi yang melimpah. Ketika pedagang kesulitan mendapatkan bahan baku tempe yaitu kedelai.  Ketika premium dihapuskan, pertalite mulai langka dan pertamax naik dengan harga selangit. Bahkan APBN Indonesia yang tersandera dengan utang yang bunganya saja tahun ini 400 trilyun rupiah lebih.

 “Kok nggak ada suara yang muncul dari para pakar ekonomi syariah terutama yang selama ini begitu semangat dan menggebu-gebu ketika bicara lembaga keuangan syariah dengan proyek bank syariah dan pasar modal syariah serta asuransi syariah?,” herannya.

Arim lalu menyimpulkan karena ekonomi syariahnya  rasa kapitalis. Tentu berbeda dengan sistem ekonomi islam yang sebenarnya.  Sistem ekonomi Islam fokusnya bagaiamana pengaturan kepemilikan sumber daya alam (SDA)   agar bisa mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

 “Dalam sistem islam kepemilikan dibagi tiga, kepemilikan individu, kempemilkan umum dan kepemilkan negara. Kepemilkan umum dan negara harus dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat,” terangnya.

Dalam pandangan Islam, lanjutnya, minyak goreng dan BBM merupakan barang publik yang wajib dikelola oleh negara. Karena itu dalam sistem ekonomi Islam negara sangat berperan dalam aktivitas ekonomi. Jantungnya kegiatan ekonomi ada di peran baitul maal (APBN) dalam mensejahterakan rakyat.

“Karena itu selama 14 abad umat Islam menerapkan sistem ekonomi secara kaafah , tidak melihat peran bank. Yang dominan adalah peran baitul maal,” ungkapnya.

Jadi, lanjut Arim,  kalau ekonomi syariah dan ekonomnya mau peduli terhadap  kelangkaan   minyak goreng , kelangkaan pertalite,  kenaikan BBM dan problem  APBN tersandera utang,  perlu ada perombakan kurikulum ekonomi syariah.

“Selama kurikulum ekonomi syaraih seperti hari ini yang fokus kepada lembaga keuangan, maka seperti yang dikatakan  Abdul Qoyum, Ekonomi Syariah tersesat di keuangan saja, kita terjebak dalam ilusi, maka kesejahteraan rakyat hanya mimpi,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Kamis, 31 Maret 2022

Karut-marut Harga, Rakyat Semakin Menderita

https://drive.google.com/uc?export=view&id=17LAIjL7JXa7qrihq-De9mh53R966XjED

Tinta Media - Belakangan ini krisis minyak goreng melanda tanah air sehingga berdampak pada masyarakat, terkhusus emak-emak dan para pelaku usaha kecil menengah. 

Pemerintah Kabupaten Bandung menyebut bahwa salah satu penyebab minyak goreng mengalami kelangkaan adalah karena keterlambatan suplai ke toko-toko ritel maupun ke pasar tradisional.

Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Bandung, Dicky Anugrah, mengatakan bahwa di Jawa Barat hanya ada 18 penyuplai minyak goreng. Namun, dari jumlah tersebut tidak ada yang memasok ke wilayah Kabupaten Bandung, hanya ke Kota Bandung saja. Sumber Jabar.antara news.com.
Ternyata kelangkaan minyak goreng merata di berbagai wilayah di Indonesia. Antrean emak-emak dalam berburu minyak goreng seakan menjadi pemandangan yang lumrah karena terjadi setiap hari. Bahkan, yang lebih miris ketika antrean tersebut ternyata telah memakan korban jiwa. Seorang ibu yang diduga kelelahan karena terlalu lama mengantre, akhirnya meregang nyawa.     
                         
Pepatah bak ayam mati di lumbung padi rasanya pantas di sematkan pada negeri ini. Pasalnya, negeri ini termasuk produsen sawit terbesar di dunia.                 

Merujuk catatan Kementrian Perindustrian, realisasi produk minyak goreng sawit (MGS) tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton. Sedangkan kebutuhan dalam negeri hanya sebesar 5,07 juta ton. Pertanyaannya, lalu mengapa krisis ini bisa terjadi?   

Kemungkinan ada 2 yang menjadi penyebab utama yaitu:

Pertama, ada dugaan kuat bahwa telah terjadi kartel alias penguasaan produksi dan pasar oleh sekelompok produsen.

Mereka bekerja sama satu sama lain mengeruk keuntungan dan menguasai pasar.
Hal ini mungkin terjadi seiring meningginya harga minyak goreng dari akhir tahun lalu.

Kedua, adanya salah kelola oleh negara. Kelangkaan minyak goreng juga disebabkan karena pemerintah mengizinkan para pengusaha tetap mengekspor minyak goreng ke luar negeri di tengah kelangkaan barang.     

Anehnya, pemerintah malah menuding kelangkaan dan kenaikan minyak goreng disebabkan karena ulah warga yang melakukan panic buying, lalu melakukan penimbunan. Astagfirullah.

Nabi saw. bersabda:

"Siapa yang  makanan terhadap Kaum muslim,  Allah Swt. akan menimpakan kepadanya kebangkrutan atau kusta." ( HR: Ahmad )             

Nabi saw. memperingatkan para pelaku kartel dan monolpoli pasar dengan ancaman yang keras.

"Siapa saja yang memengaruhi harga bahan makanan kaum muslimin sehingga menjadi mahal, merupakan hak untuk Allah Swt. untuk menempatkan dirinya ke dalam tempat yang besar di neraka nanti pada hari kiamat (HR:Abu Dawud dan Ahmad).

Negara harus memberantas praktik-praktik kecurangan kartel dan monopoli perdagangan. Hal ini karena negara dalam Islam adalah pelindung umat, pelindung hajat hidup masyarakat, serta penjaga keamanan masyarakat, termasuk dalam hal perdagangan. 

Sebagai contoh, pada masa Khalifah Ummar, beliau memberlakukan larangan praktik monopoli di pasar-pasar milik kaum muslimin. Khalifah Ummar pun tidak hanya menjaga  kebutuhan masyarakat berupa bahan pokok, tetapi bersifat umum, termasuk apa saja yang berpotensi mendatangkan kemudharatan/kerugian.

Wahai Kaum Muslim! Harus kita sadari bahwa apa yang menimpa umat sampai saat ini adalah karena sistem kapitalisme batil yang diterapkan di negri ini, serta tidak ada perlindungan dari negara. Hanya Islam solusi yang tepat untuk seluruh problematika kehidupan.Tanpa syariat, Islam dan khilafah, keadaan seperti ini akan terus terjadi.

Saatnya kita kembali pada aturan Sang Pencipta alam semesta dan seluruh isinya, yakni aturan Allah Swt. Semoga kita bisa menjadi bagian dari orang-orang yang mau memperjuangkan agama-Nya, untuk kemaslahatan kita bersama. Aamiin. Wallahu'alam..

Oleh: Neng Tintin
Ibu Rumah Tangga
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab