Tinta Media: Minyak Goreng
Tampilkan postingan dengan label Minyak Goreng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Minyak Goreng. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Juli 2022

Beli Migor dengan Aplikasi Peduli Lindungi, Sastrawan Politik: Cuma Mau Beli Aja Dibikin Ribet

Tinta Media - Tanggapi rencana penggunaan aplikasi peduli lindungi untuk pembelian minyak goreng (migor), Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin menyampaikan tanggapannya.

"Cuma mau beli (bukan minta) minyak goreng saja dibikin ribet," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (2/7/2022).

Ia menyayangkan kebijakan negara yang justru bikin rakyat tambah susah. "Segala urusan kalau bisa dibikin ribet, kenapa dibikin mudah? Negara hadir bukan menyelesaikan masalah, malah tambah bikin susah," ungkapnya.

Ahmad mengatakan, problem minyak goreng ada di tata niaga. "Lagipula, asasnya itu problem di tata niaga minyak goreng, hulu hingga hilir," ujarnya.

Menurutnya, kalau stabilitas harga terjaga, tidak ada disparitas harga, tentu saja tidak dibutuhkan peduli lindungi atau NIK. Program ini adalah bukti kegagalan menjaga stabilitas harga dan stok minyak goreng, lalu diambillah program ini. 

"Program beli minyak goreng dengan aplikasi peduli lindungi ini tidak menyelesaikan akar masalah. Tetapi hanya program pencitraan, seolah pemerintah telah berbuat dan membela masyarakat kecil," imbuhnya.

Faktanya, kata Ahmad, program ribet ini di lapangan akan hanya menjadi konsumsi kalangan tertentu dan akan membuat mayoritas masyarakat lainnya, terpaksa membeli minyak goreng dengan cara dan harga konvensional, baik karena ogah ribet maupun karena akhirnya terpaksa berdamai dengan keadaan.

Kalau tujuannya mau pastikan program berhasil, ujar Ahmad, tidak ada penyimpangan, tepat sasaran, ya di kontrol di lapangan. Bukan maksa bikin susah rakyat.

"Setidaknya itu, yang dilakukan pemerintah setelah gagal mengurusi minyak goreng. Untuk legacy, sudah ada minyak dengan stok dan harga terjangkau, lalu dibuatlah program penyaluran yang prosesnya ribet," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Sabtu, 09 Juli 2022

Kebijakan Minyak Goreng Kemasan Diprediksi Akan Tetap Menyulitkan Masyarakat


Tinta Media - Kebijakan Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan yang menginisiasi pemenuhan minyak goreng dalam bentuk kemasan, diprediksi Narator MMC akan tetap menyulitkan masyarakat.

"Apalagi jika minyak goreng kemasan diterapkan dan membanjiri pasar, justru kebijakan ini diprediksi akan tetap menyulitkan masyarakat," tuturnya dalam acara Rubrik Serba-serbi MMC: Normalisasi Harga Migor, Cukupkah dengan Membuat Pusat Krisis dan Satgas? Sabtu (25/6/2022) di kanal YouTube MMC.

Narator mengungkap data PIHPS Nasional, pada tanggal 17 Juni 2022 yang masih jauh di atas harga eceran tertinggi minyak goreng curah sebesar Rp15.500 per kg. "Meski sudah disubsidi melalui instrumendem DPU," ungkapnya.

Ia juga memperhitungkan untuk pembuatan minyak goreng kemasan sederhana akan ada tambahan ongkos biaya. "Menurut Mulyanto, tambahan ini berkisar 1500 rupiah per paket, sehingga publik bisa membayangkan jika minyak goreng kemasan sederhana tersebut dilepas mengikuti mekanisme pasar yang oligopolistik harganya bisa melambung seperti harga minyak premium dan kondisi ini ujung-ujungnya bisa sedikit demi sedikit menghapus minyak goreng curah di pasaran," jelasnya.

"Inilah gambaran tata kelola pasar minyak goreng yang begitu liberal dan legal dalam sistem kapitalisme," lanjutnya.

Ia menilai pangkal permasalahan ini adalah eksisnya para mafia atau kartel tangan. "Merekalah yang memainkan stok mulai dari mengeksploitasi pangan mendistribusikannya, sampai menimbunnya untuk mendapatkan keuntungan yang besar," nilainya.

"Terlebih para mafia dan kartel pangan ini hidup dalam sistem kapitalisme. Sistem ini adalah habitat yang menjadi penjaga kekuasaan mereka bahkan untuk menjaga kekuasaan tersebut negara tidak boleh ikut campur dalam mekanisme pasar bebas," jelasnya lebih lanjut.

Menurut narator, negara diposisikan sebagai pemihak dan kaki tangan oligarki. "Alhasil, solusi yang diberikan penguasa tidak akan sampai menyentuh akar masalah," tuturnya.

Menurutnya, masalah minyak goreng sebenarnya tidak akan berlarut-larut seolah-olah susah untuk diselesaikan jika sistem Islam yang disebut Khilafah dijadikan sebagai pengaturnya. "Sebab Khilafah akan menerapkan hukum syariat sebagai pemutus kebijakannya, sehingga negara akan benar-benar berdaulat untuk mengatur rakyatnya," paparnya.

Dijelaskannya, bahwa Islam memiliki mekanisme dan strategi khas yang mengatur ketersediaan pangan dan mengendalikan harga pasar agar bisa dijangkau oleh masyarakat.

"Seperti kasus minyak goreng saat ini yang disinyalir karena adanya penimbunan (Al-ihtikar) maka Khilafah akan menindak tegas mafia dan kartel yang bermain. Sebab, penimbunan adalah perbuatan maksiat dan setiap kemaksiatan dalam Khilafah akan dikenai sanksi," terangnya.

Narator mengambil pendapat Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Nizamul Al I'tishodi yang menjelaskan bahwa penimbunan secara mutlak adalah haram secara syar'i karena adanya larangan tegas dalam pernyataan hadis secara gamblang. Diriwayatkan di dalam shohih Muslim bahwa Nabi Saw bersabda
"Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang yang berbuat kesalahan."

Dalam sistem sanksi Islam para mafia dan kartel ini akan dijatuhi takzir. Mereka akan dipaksa untuk menjual barangnya kepada konsumen dengan harga pasar. "Alhasil, ketersediaan stok pangan kembali normal mengikuti hukum pasar tanpa ada  permainan monopoli maupun oligopoli," paparnya.

Narator menjelaskan bahwa dalam Islam harga pangan dikembalikan kepada mekanisme pasar bukan dipatok oleh negara, sebab pematokan ini memang sepintas bisa menjadi solusi namun cara ini justru menyebabkan terjadinya inflasi karena diakui atau tidak mematokkan harga ini mengurangi daya beli mata uang.

"Lebih dari itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah menetapkan bahwa pematokan harga adalah haram. Di riwayatkan oleh Abu Daud Dari Abu Hurairah yang berkata seorang laki-laki datang dan berkata 'Ya Rasulullah patokkan harga,' beliau menjawab 'akan tetapi saya berdoa,' kemudian seorang laki-laki yang lain datang dan berkata 'Ya Rasulullah patokkan harga,' beliau bersabda 'akan tetapi Allah lah yang menurunkan dan menaikkan harga,' hadis riwayat Abu Daud," jelasnya.

"Akan tetapi, jika kenaikan harga pangan yang terjadi karena supply yang kurang semisal Negeri tersebut sedang mengalami paceklik atau wabah, negara bisa mencukupi wilayah tersebut dengan barang-barang yang dibutuhkan dari wilayah lain," lanjutnya.

Ia ungkap kebijakan seperti ini pernah dilakukan oleh Khalifah Umar ketika wilayah Syam mengalami wabah penyakit, sehingga produksinya berkurang. "Lalu kebutuhan barang di wilayah tersebut disuplai dari Irak," ungkapnya.

Menurutnya, hal tersebut juga akan berlaku untuk kasus minyak goreng. Memang diakibatkan pasokan yang kurang, Khilafah akan memetakan wilayah Daulah lain untuk bisa memasok kekurangan di wilayah yang membutuhkan. "Negara akan menghitung jumlah produksi dan kebutuhan konsumsi rakyat kemudian baru mendistribusikannya," pungkasnya.[] Raras

Sabtu, 02 Juli 2022

DIURUSI LUHUT BUKANNYA SELESAI, URUSAN MINYAK GORENG MALAH JADI TAMBAH RIBET?

Tinta Media - Cuma mau beli (bukan minta) minyak goreng saja dibikin ribet. Kayaknya, segala urusan kalau bisa dibikin ribet, kenapa dibikin mudah? Negara hadir bukan menyelesaikan masalah, malah tambah bikin susah.

Setidaknya itu, yang dilakukan pemerintah setelah gagal mengurusi minyak goreng. Untuk legacy, sudah ada minyak dengan stok dan harga terjangkau, lalu dibuatlah program penyaluran yang prosesnya ribet.

Cuma mau beli minyak goreng, bukan minta, bukan dapat gratisan, bukan mau mencairkan kupon, prosedurnya dibikin ribet harus pake aplikasi peduli lindungi hingga pakai NIK. Itu sebenarnya mau ngurusi rakyat atau modus mau cari data untuk mendirikan perusahaan market place?

Kalau tujuannya mau pastikan program berhasil, tidak ada penyimpangan, tepat sasaran, ya dikontrol di lapangan. Bukan maksa bikin susah rakyat.

Lagipula, asasnya itu problem di tata niaga minyak goreng, hulu hingga hilir. Bukan masyarakat yang dianggap bandel dalam membeli minyak goreng, lalu dipaksa pake peduli lindungi dan NIK.

Belum lama ini, Luhut Panjaitan yang diserahi segala urusan hingga urusan minyak goreng, menegaskan semua penjualan dan pembelian minyak goreng curah akan menggunakan aplikasi PeduliLindungi. Sementara masyarakat yang belum punya PeduliLindungi bisa membeli dengan menunjukkan NIK untuk bisa mendapatkan minyak goreng curah dengan harga eceran tertinggi (HET).

Selain itu, pembelian minyak goreng curah di tingkat konsumen pun akan dibatasi maksimal 10 kilogram (kg) untuk satu NIK per harinya. Harga pembelian sesuai HET yakni Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kilogram. (25/6).

Kalau stabilitas harga terjaga, tidak ada disparitas harga, tentu saja tidak dibutuhkan peduli lindungi atau NIK. Program ini adalah bukti kegagalan menjaga stabilitas harga dan stok minyak goreng, lalu diambilah program ini.

Program beli minyak goreng dengan aplikasi peduli lindungi ini tidak menyelesaikan akar masalah. Tetapi hanya program pencitraan, seolah pemerintah telah berbuat dan membela masyarakat kecil. Faktanya, program ribet ini di lapangan akan hanya menjadi konsumsi kalangan tertentu dan akan membuat mayoritas masyarakat lainnya, terpaksa membeli minyak goreng dengan cara dan harga konvensional, baik karena ogah ribet maupun karena akhirnya terpaksa berdamai dengan keadaan. []
.
Follow Us Ahmad Khozinudin Channel
https://heylink.me/AK_Channel/

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Senin, 06 Juni 2022

KSAD Urusi Minyak Goreng, Ahmad Khozinudin: Negara Dikelola Seperti Preman


Tinta Media - Menanggapi aksi KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman yang sigap    mengurusi minyak goreng ke pasar Kramat Jati, Sastrawan Politik Ahmad Khozinudin menilai negara dikelola seperti preman.

"Ini negara dikelola seperti preman. Tentara dikerahkan untuk menakut-nakuti rakyat. Sedangkan kepada cukong, tentara hormat," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (4/6/2022).

Menurutnya, meski KSAD Dudung mengklaim ada oknum yang memainkan harga minyak goreng, dan pihaknya telah memberikan soft therapy pada oknum tersebut. Namun, Ahmad menilai Dudung tak berani Cukong oligarki.

"Apakah Dudung berani mendatangi pabrik dan gudang stok milik Wilmar? Menggerebek gudang Indofood Agri? Cek stok opname Musim Mas? Memeriksa gudang milik Royal Golden Eagle atau bahkan berani datangi Sinarmas Group? Ah, paling Dudung cuma gagah di hadapan pedagang kecil, pedagang Kramat Jati. Kalau kepada cukong oligarki migor, Dudung tak berani unjuk kuasa," ulasnya.

"Sama seperti OPM, Dudung tak bernyali menghadapi OPM. Padahal Dudung didesain untuk perang, digaji untuk hadapi perongrong kedaulatan, bukan urusi minyak goreng," imbuhnya.

Ia melihat bahwa apa yang dilakukan itu seperti aksi seorang caleg atau capres, kunjungan ke pasar,  lalu buat keterangan tertulis di media. Giliran ke OPM, tak ada nyalinya, tak ada tindakan tegas meskipun sudah banyak anggota TNI yang menjadi korban.

"Atau tugas Dudung mau dialihkan ke Banser? Sama saja, setali tiga uang. Banser juga cuma gagah membubarkan pengajian, giliran urusan OPM ngelesnya itu tugas aparat," bebernya.

"Kacau negara, konstitusi sudah diacak-acak. Semua pejabat bertindak semaunya," tandasnya.[] Ajirah

Sabtu, 04 Juni 2022

MINYAK GORENG DIURUSI KSAD DUDUNG, TERUS TERORIS OPM YANG URUS BANSER GITU?


Tinta Media - Entahlah, negara benar-benar parah salah urusnya. Tupoksi lembaga negara sudah bekerja sesuai kehendak penguasa bukan kehendak konstitusi. Menhan ngurusi proyek Food Estate, tanam singkong. Mentan urusi Kalung Corona. Kapolri urusi BBM kalau naik atasi dengan bersepeda. Khusus Luhut Panjaitan, urusi segala urusan.

Sekarang, setelah sukses urus baliho Kepala Staf Angkatan Darat atau KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurachman sibuk ngurusi minyak goreng (migor). Dengan sigap, Dudung datang ke Pasar Kramat Jati karena mendapatkan info Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah masih mencapai Rp 18.000 per liter. 

KSAD Dudung melakukan pengecekan langsung ke pasar itu sebagai tindak lanjut arahan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan terkait keterlibatan Angkatan Darat untuk membantu Pemda dan kepolisian, khususnya di Pulau Jawa dan Bali terkait ketersediaan dan harga minyak goreng.

"Pagi hari ini saya mengecek dan memastikan langsung keterlibatan TNI Angkatan Darat membantu pemerintah daerah sesuai perintah dari Bapak Menko Marves, Pak Luhut yang disampaikan beberapa minggu lalu," kata Dudung dalam keterangan tertulisnya. (Rabu, 1 Juni 2022).

Sejak kapan Menko Marives jadi atasan Dudung? Bukankah atasan Dudung Panglima TNI? Kenapa Dudung terkesan cari panggung sendiri?

Entahlah, apa yang akan dilakukan Dudung setelah tahu ada pedagang yang menjual harga diatas HET. Apakah akan dihukum push up? Lari-lari keliling pasar? Atau dipaksa jual migor sesuai HET tanpa peduli berapa harga beli pedagang kecil di pasar?

Ini negara dikelola seperti preman. Tentara dikerahkan untuk menakut-nakuti rakyat. Sedangkan kepada cukong, tentara hormat.

KSAD Dudung sendiri mengklaim ada oknum yang mainkan harga minyak goreng. Pihaknya telah memberikan soft therapy pada oknum tersebut.

Namun, apakah Dudung berani mendatangi pabrik dan gudang stok milik Wilmar? Menggerebek Gudang Indofood Agri? Cek stok opname  Musim Mas? Memeriksa gudang milik Royal Golden Eagle atau bahkan berani datangi Sinarmas Group?

Ah, paling Dudung cuma gagah dihadapan pedagang cilik, pedagang Kramat Jati. Kalau kepada Cukong Oligarki migor, Dudung tak berani unjuk kuasa.

Sama seperti OPM, Dudung tak bernyali menghadapi OPM. Padahal, dudung didesain untuk perang, digaji untuk hadapi perongrong kedaulatan, bukan urusi minyak goreng.

Kayak mau nyaleg atau nyapres saja, kunjungan ke pasar, bikin keterangan tertulis di media. Giliran ke OPM, tak ada nyalinya, tak ada tindakan tegas meskipun sudah banyak anggota TNI yang menjadi korban.

Atau tugas dudung mau dialihkan ke Banser ? sama saja, setali tiga uang. Banser juga cuma gagah membubarkan pengajian, giliran urusan OPM ngelesnya itu tugas aparat.

Kacau negara, konstitusi sudah diacak-acak. Semua pejabat bertindak semaunya. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

Jumat, 03 Juni 2022

Inkonsistensi Kebijakan Migor


Tinta Media - Kebijakan pemerintah mengenai minyak goreng terus berubah, seakan-akan inkonsistensi sudah dianggap lumrah dan biasa. Beberapa waktu lalu, kebijakan kran ekspor minyak goreng ditutup dengan tujuan menjaga ketersediaan stok minyak goreng curah dalam negeri agar tercapai titik harga ekonomis. Namun, kini pemerintah telah mencabut larangan ekspor minyak goreng beserta bahan bakunya.

Mengutip dari CNBC Indonesia (24/05/2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mencabut kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya. Meski pada awalnya larangan tersebut akan dicabut jika harga minyak goreng curah seluruh Indonesia merata dengan angka Rp14.000 per liter. Selain itu, Jokowi juga mengatakan, pantauan lapangan menunjukkan pasokan minyak goreng dalam negeri semakin berlimpah.

Kebijakan Setengah Hati yang Tak Memihak Rakyat

Harga minyak goreng memang berangsur-angsur turun di kisaran Rp17.200 - Rp17.600 perliter. Namun, harga tersebut masih jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan harga target pemerintah yang Rp14.000 per liter. Masih tingginya harga minyak goreng di pasaran tidak terlepas dari aspek distribusi yang masih terbatas karena stok yang masuk ke pasar juga masih terbatas.

Dibukanya kembali kran ekspor dikuatirkan menjadi salah satu sebab harga minyak goreng akan merangkak naik. Para pemain minyak goreng tentu akan memanfaatkan kebijakan ini dengan melakukan ekspor yang berakibat menjadi berkurangnya stok migor dalam negeri serta menciptakan kepanikan di tengah masyarakat sehingga harga minyak goreng kembali meningkat, bahkan tidak menutup kemungkinan terjadinya kembali fenomena kelangkaan minyak goreng.

Rakyat akan menjadi korban plin-plannya kebijakan pemerintah. Kebijakan yang selalu tidak memihak rakyat, tetapi melayani sepenuhnya  kepentingan bisnis para pemilik modal senantiasa akan dapat ditemukan dalam sistem kehidupan yang berlandaskan kapitalisme. 

Merupakan suatu hal yang wajar jika para penguasa hasil dari sistem kehidupan kapitalisme, menganggap bahwa hubungannya dengan rakyat tak ubahnya seperti pedagang dan pembeli. Rakyat merupakan objek dalam meraup keuntungan semata. Dalam sistem kapitalis, negara juga bukan merupakan satu-satunya penyedia barang dan jasa. Negara mempersilahkan  pihak swasta untuk ikut berperan dan menikmati keuntungan dari rakyat, di antaranya melalui skema investasi. 

Sebenarnya problematika harga minyak goreng tidak luput dari penerapan sistem ekonomi kapitalis saat ini. Terbuka celah yang lebar bagi para pemilik modal dengan dalih investasi untuk menguasai sumber daya alam milik negara, termasuk di antaranya yang menjadi kebutuhan pokok hidup rakyat. 

Hal ini karena negara yang mengusung sistem kehidupan sekuler kapitalis tidak lagi mengindahkan ajaran agama, serta menjadikan materi sebagai tolak ukur. Itu sebabnya negara menjadi  tak memedulikan kebutuhan dan kesejahteraan rakyat. Negara hanya berfungsi sebagai regulator bagi para korporasi untuk mengambil keuntungan sebanyak mungkin dari rakyat. 

Islam Memberikan Solusi Gemilang

Hanya negara yang meletakkan pondasi berdasar syariat Islam yang mampu melakukan pengurusan rakyat paling maksimal. Kegemilangan dan keagungan peradaban Islam tidak bisa dipisahkan dari kesadaran para pemimpin negara akan kewajibannya untuk mengurusi umat. 

Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya:

 "Imam (Khalifah) adalah pelayan dan pengurus rakyatnya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang wajib dia urus." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Misalnya dalam distribusi barang di pasaran, negara dilarang mematok harga. Harga di pasaran dibiarkan mengikuti pasar sesuai hukum penawaran dan permintaan, sehingga persaingan  dalam berdagang berjalan alamiah, dan harga menjadi stabil serta terjangkau. 

Di satu sisi, dalam sistem ekonomi Islam ada tiga macam kepemilikan, di antaranya kepemilikan individu, kepemilikan negara, dan kepemilikan umum. Dengan tiga macam pembagian kepemilikan menurut syariah Islam, maka celah para pemodal asing maupun swasta untuk menguasai kekayaan negara Islam yang merupakan milik umum menjadi tertutup rapat. Hal tersebut didukung oleh sistem hukum yang berkeadilan.

Wallahu a'lam

Oleh: Shalihah N.
Aktivis Remaja

Kamis, 02 Juni 2022

MMC: Sempat Disetop, Ekspor Minyak Goreng Kembali Dibuka


Tinta Media - Narator Muslimah Media Center mengungkapkan bahwa pemerintah membuka kembali keran ekspor minyak goreng setelah sempat disetop kurang dari satu bulan.

Pembukaan kembali ekspor minyak goreng ini, kata Narator, berdasarkan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Erlangga Hartanto. "Pemerintah akan menerbitkan lagi kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestik Price Obligation (DPO) seiring dengan dibukanya kembali ekspor minyak goreng," tuturnya dalam Serba-Serbi : Plin-plan Kebijakan Minyak Goreng, Benarkah Rakyat yang Diuntungkan? Jumat, (27/05/2022) melalui kanal youtube Muslimah Media Center.


"Kebijakan baru ini sebagai langkah untuk menjamin ketersediaan bahan baku minyak goreng dan keterjangkauan harga dimasyarakat," ujar Erlangga menegaskan.

Narator menjelaskan, kebijakan ini diambil dengan pertimbangan pasokan dalam negeri aman dan pertimbangan kesejahteraan petani sawit.

"Memang benar, bahwa pencabutan larangan ekspor CPO ini memastikan adanya perbaikan harga Tandan Buah Segar (TDS) petani sawit meskipun belum sepenuhnya normal. Namun perlu diingat bahwa kebijakan ini dikeluarkan saat rakyat masih mengalami kesulitan karena harga minyak goreng yang sudah terlanjur tinggi," ungkap narator menambahkan.

"Sementara pencabutan larangan ekspor memastikan biaya produksi industri minyak goreng akan semakin tinggi sehingga tidak ada kepastian harga minyak goreng dipasaran akan ikut turun. "Ditambah lagi belum adanya kejelasan penuntasan kasus mafia minyak goreng yang mengambil keuntungan besar dari ekspor dan kenaikan harga didalam negeri," lanjutnya.

Narator menjelaskan, dalam pengelolaan bahan baku minyak goreng saja, penguasaan lahan kelapa sawit swasta mencapai 58%, sedangkan BUMN hanya 4%. Ini menjadi bukti bahwa liberalisasi ekonomi dalam sistem kapitalis telah membuka lebar masuknya investasi pihak swasta. Alhasil, hanya masyarakat yang memiliki daya beli yang bisa mengakses kebutuhan pokok mereka.

"Watak pemimpin dalam sistem kapitalis memandang rakyat sebagai objek meraup keuntungan sebesar-besarnya. Namun keuntungan itu pun sejatinya tidak ditujukan untuk mengisi APBN negara tetapi juga memberi ruang pihak swasta untuk mengambil keuntungan didalamnya," tegasnya.

Oleh sebab itu, kata Narator, negara wajib memahami bahwa jati dirinya adalah pelayanan rakyat bukan pedagang yang mencari untung dari rakyatnya. Artinya, negara bukan hanya memastikan kebutuhan rakyat tersedia di pasar tetapi juga menjamin seluruh rakyat mampu mengakses kebutuhan tersebut. "Namun konsep ini hanya ada dalam sistem Islam yakni khilafah," pungkasnya.[] Yupi UN

Kamis, 19 Mei 2022

Minyak Goreng Masih Langka, FAKKTA: Kapitalis Lebih Jahat dari Mafia


Tinta Media - Menanggapi masih langkanya minyak goreng curah di pasaran, Ekonom dari Forum Analis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA), Muhammad Hatta, S.E, M.M, menyampaikan bahwa ada yang lebih jahat dari mafia, yaitu kapitalis.

"Nah, ada yang lebih jahat lagi, saya pikir ini bukan mafia. Siapa itu? Kapitalis, para pemilik modal," tuturnya dalam acara Kabar Petang: Mafia Sudah Ditangkap, Minyak Goreng Kok Masih Langka? Di Kanal Youtube Khilafah News, Rabu (11/5/2022).

Menurutnya, FAKKTA (Forum Analis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran) memiliki data terkait para pemilik modal tersebut dari hulu ke hilir.

"Kami punya data, ada beberapa data yang kami kumpulkan, misalnya di sektor hulu. Di sisi hulu, persoalan CPO ini misalnya, 62% produksi CPO itu datang dari perkebunan besar swasta. Sementara, negara sendiri (perkebunan besar negara) itu hanya 5%, perkebunan rakyat 34%," terangnya.

Ia melanjutkan, ada data dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia yang melakukan riset (penelitian) pada tahun 2013, bahwa ada 25 grup bisnis kelapa sawit yang dikendalikan oleh 29 Taipan.

"Nah, 29 grup bisnis inilah yang kemudian menguasai mayoritas bisnis CPO tadi, kelapa sawit itu di sektor hulu.
Di sektor hilir itu, menurut data Out Look dari Teknologi Pangan 2019 yang diterbitkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 70% kapasitas pemurnian CPO tadi itu kan setelah diolah ya, dikupas, dipabrik, kemudian dimurnikan, diolah lagi menjadi produk antara dan produk hilir. Itu, 70% kapasitasnya secara internasional itu hanya dikuasai oleh 8 pemain," paparnya.

"Jadi, kalau kemudian kita ingin mencari, kenapa ini (minyak goreng curah) bisa langka, coba tengok ke mereka. Berapa produksi mereka, berapa produksi mereka dalam akhir-akhir ini, beberapa bulan terakhir ini," tambahnya.

"Coba tengok produksi mereka, berapa ekspor mereka (kalau persoalan langka). Kalau persoalan mahal, ini beda lagi. Kalau persoalan langka, maka coba tengok produksi mereka. Apakah produksi mereka nambah, tetap, atau berkurang. Nah, inilah yang harus kita lakukan," tegasnya.

Hatta menuturkan, kalau ingin mencari siapa yang membuat masalah, menurutnya ada 8 pemain di sisi hilir. Sementara di sisi hulunya ada 25 grup bisnis yang dipegang oleh 29 Taipan.

"Nah, itu data-datanya. Jadi, kalau baru satu, dua, tiga, kayaknya itu perlu dikejar lagi," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka

Senin, 09 Mei 2022

Tipu-Tipu Penguasa Melalui Kebijakan Setengah Hati


Tinta Media  - Harga minyak goreng masih menjadi bulan-bulanan bagi rakyat Indonesia.  Keberadaannya yang hingga kini masih tinggi membuat rakyat serba salah. Tidak dibeli mereka membutuhkan, hendak dibeli mereka tidak memiliki kemampuan.

Berkenaan dengan hal tersebut, pemerintah meniupkan angin segar dengan mengumumkan pelarangan ekspor CPO (crude palm oil) alias minyak goreng mentah ke luar negeri. Awalnya, kebijakan ini dimaksudkan agar pasokan minyak goreng di dalam negeri kembali melimpah sehingga harga menjadi murah. Namun, kenyataan jauh dari harapan.

Pengamat ekonomi, Bhima Yudhistira mengatakan bahwa  kebijakan tersebut belum tentu akan menurunkan harga minyak goreng dalam negeri. Dirinya menambahkan bahwa tingginya harga minyak goreng setidaknya dipengaruhi dua faktor. Pertama, pada  HET minyak goreng yang ditetapkan pemerintah untuk rakyat. Kedua, penyebab kelangkaan pasokan minyak goreng domestik adalah karena lemahnya pengawasan terhadap para produsen dan distributor minyak.

Menilik pernyataan di atas, kita bisa melihat bahwa sejatinya kebijakan pelarangan ekspor CPO yang dikeluarkan oleh pemerintah tak ubahnya sekadar "lip service" penguasa di hadapan rakyat. Kebijakan tersebut nihil menurunkan harga minyak goreng dalam negeri, jika tidak diiringi dengan regulasi untuk mengawasi para produsen dan distributor minyak goreng. Mereka akan tetap memilih untuk menjual minyak ke luar negeri jika dirasa lebih menguntungkan.

Lebih miris, pejabat eselon 1  (Dirjen) Kementrian Perdagangan (Kemendag) resni ditetapkan sebagai salah satu tersangka ekspor minyak goreng. Hal itu menjadi preseden buruk  bagi pemerintah karena terbukti terlibat dalam ekspor minyak secara besar-besaran sehingga menyebabkan kelangkaan minyak domestik. 

Bisa dibayangkan, pihak yang diamanahi untuk mengurusi kebutuhan  rakyat memilih bergandengan tangan dengan pengusaha untuk meraup rupiah dengan mengorbankan kepentingan rakyat.

Perjalanan mafia minyak goreng yang melibatkan penguasa adalah fakta umum dalam sistem kapitalisme. Penguasa bekerjasama dengan pengusaha  membuat lingkaran oligarki dan berhasil menguasai seluruh sektor ekonomi. Di sinilah negara berganti kostum dari pelayan rakyat menjadi "penghisap darah" rakyat.

Rakyat tak lagi diurusi, bahkan kini mereka diekploitasi melalui tingginya harga minyak goreng dan bahan kebutuhan pokok lainnya.

Jika demikian faktanya, masihkah kita percaya pada setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa? Lantas, bagaimana nasib negeri kita tercinta kelak?

Bagaimanapun, umat Islam wajib mengawal negeri ini agar tidak jatuh dalam lubang kehancuran. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan terus melakukan dakwah serta muhasabah terhadap penguasa.

Melakukan koreksi terhadap penguasa, serta menasihatinya agar berbuat ma’ruf dan mencegahnya dari kemunkaran merupakan sesuatu yang penting. Bahkan, Rasulullah saw. menyebutnya sebagai sebaik-baik jihad.

Dari Umu ‘Atiyah dari Abi Sa’id yang menyatakan: Rasulullah saw. bersabda :

“Sebaik-baik jihad adalah (menyatakan) kata-kata yang hak di depan penguasa yang zalim.”

Muhasabah terhadap penguasa dilakukan untuk menyeru mereka agar menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan, menjadi kebutuhan yang tak bisa ditawar. Hanya Islam yang mampu membebaskan negeri ini dari jeratan kehancuran dan mengembalikan seluruh potensi yang dimiliki agar menjadi negeri yang makmur berdikari. Wallahu alam bishshawab.

Oleh: Ummu Azka
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 04 Mei 2022

Larang Ekspor CPO Rugikan Petani Kecil


Tinta Media  - Kebijakan pemerintah yang akan menghentikan ekspor crude palm oil (CPO) mulai Kamis 28 April 2022, dinilai merugikan petani kecil.

"Langkah pemerintah melakukan moratorium ekspor untuk crude palm oil (CPO) dan minyak goreng hanya akan merugikan petani kecil," tutur narator video MMC mengutip pernyataan anggota Komisi 6 DPR Deddy Yevri Hanteru Sitorus,  dalam Serba Serbi MMC: Larang Ekspor CPO Rugikan Petani Kecil Untungkan Pemodal Besar, Selasa (3/5/2022) melalui kanal Youtube Muslimah Media Center.

Menurut narator, masih mengutip pendapat Deddy, ini bisa merusak industri CPO secara keseluruhan, industri minyak goreng,  dan juga merugikan petani petani kecil yang ada di pedalaman terutama petani sawit kecil,  pemilik lahan sawit sedang,  dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery atau pabrik minyak goreng.

"Deddy mengungkap bahwa 41% pelaku industri sawit adalah petani dan pengusaha kecil.  Saat ekspor itu dilarang, industri dalam negeri tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi. Sebab  kebutuhan minyak goreng hanya sekitar 10% atau sekitar 5,7 juta ton per tahun sedangkan produksinya mencapai 47 juta ton per tahun," paparnya.

Untuk CPO lanjut narator, Deddy  menilai moratorium ini hanya akan menguntungkan pemain besar khususnya mereka yang memiliki pabrik kelapa sawit,  fasilitas refinery pabrik minyak goreng atau industri turunan lainnya. Mereka memiliki modal kuat, memiliki kapasitas penyimpanan besar dan pilihan pilihan lain untuk menghindari kerugian. Karena itu kebijakan tersebut dianggap hanya efektif untuk jangka waktu pendek yakni sebagai langkah menjaga pasokan di dalam negeri dan penurunan harga di tingkat domestik.

Kebijakan yang dikeluarkan penguasa ini menurut narator, tentu akan berefek pada bertambahnya jumlah pengangguran yang berasal dari petani sawit kecil ataupun dari pengepul minyak jelantah. Sebab hasil produksi pengepul minyak jelantah biasanya diekspor ke negara luar untuk dijadikan sebagai bahan baku biodiesel.

"Pemerintah nampak tidak mampu memberikan solusi komprehensif yang mampu menyejahterakan masyarakat secara menyeluruh.  Kebijakan yang dipandang akan menurunkan harga minyak goreng di tingkat konsumen nyatanya justru merugikan masyarakat di tingkat produsen.  Sebab kebijakan penyelesaian gejolak harga minyak goreng ini belum menyentuh akar permasalahan," nilainya.

Sebagaimana dipahami, lanjutnya,  bahwa salah satu penyebab lonjakan harga minyak goreng adalah ditemukannya mafia-mafia dan spekulan minyak goreng. Namun pemerintah tidak menindak tegas pelaku. Ditambah lagi paradigma sekuler kapitalistik yang digunakan dalam pengaturan produksi hingga distribusi minyak goreng telah membuka peluang besar munculnya para mafia.

"Paradigma sekuler kapitalistik ini telah melegalkan pihak swasta mendominasi pengolahan barang pangan termasuk minyak goreng. Bahkan negara dibuat tidak berdaya. Alhasil negara seolah lepas tanggung jawab dan hanya melakukan bisnis dengan rakyat.  Ini sekali lagi membuktikan bahwa pemimpin dalam sistem kapitalisme sekuler hanya dicetak untuk menjadi cukong para kapital, bukan mengurus hajat hidup orang banyak," bebernya.

Solusi Islam

Berbeda dengan sistem Islam lanjut narator,  prinsip kepemimpinan dalam Islam adalah pengaturan hajat hidup rakyat berada di bawah kendali pemerintah. Sebab pemimpin adalah ra'in mengurusi urusan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.

"Sementara paradigma relasi yang dibangun dengan rakyat adalah pelayanan bukan bisnis.  Pada tingkat pelaksanaan siapapun yang melakukan proses industrialisasi berada dalam kontrol pemerintah," tukasnya.

Dengan demikian pihak swasta akhirnya tidak bisa bermain-main karena semua dalam kontrol pemerintah. Di sisi lain rakyat juga diberi kesempatan melakukan kontrol atau amar ma'ruf nahi mungkar sehingga potensi penyelewengan akan mudah terdeteksi.

Menurut narator, dalam bidang ekonomi, Islam mengatur peran negara untuk menyejahterakan rakyatnya melalui beberapa cara.

Pertama,  menyusun kebijakan dan perencanaan ekonomi. Makna peran negara dalam produksi,  penyediaan sarana produksi dan distribusi adalah negara bertanggung jawab memetakan kebutuhan pangan seluruh warga negara.

"Selanjutnya negara mengkaji tentang wilayah mana saja yang menjadi penopang kebutuhan tersebut. Kemudian negara menyediakan bibit, pupuk, hingga bantuan modal dan berbagai sarana pertanian yang memudahkan para petani dalam memenuhi kebutuhan mereka," jelasnya.

Negara juga tampil untuk membackup semua kebutuhan petani. Dengan demikian akan ada kepastian produksi karena negara yang bertanggung jawab untuk itu semua.

Kedua,  implementasi pembagian kepemilikan umum dan negara. "Lahan yang digunakan pengusaha kelapa sawit seharusnya merupakan lahan milik umum yang kebermanfaatannya dikembalikan pada kemaslahatan umum," paparnya.

Namun dalam pengaturan sistem kapitalisme lahan ini dikuasai para swasta. Lahan milik rakyat ini ditanami sawit dan hasilnya dijual dengan tujuan memperoleh keuntungan yang cukup besar.

Ketiga,  pengawasan dan sangsi kejahatan ekonomi. "Dalam sistem Islam penimbunan minyak goreng oleh perusahaan maupun pedagang akan mendapat sanksi tegas. Pengawasan dan penindakan pelanggaran ini dilakukan oleh institusi hisbah.  Institusi ini juga berfungsi sebagai kontrol kondisi sosial ekonomi secara komprehensif, mengontrol pasar untuk memastikan ketersediaan kebutuhan pokok di pasar serta menindak jika ada penimbunan atau tindakan yang spekulatif," bebernya.

Keempat, menjaga mekanisme pasar. Sistem Islam akan mendorong perdagangan berjalan sesuai syariat dan mencegah terjadinya liberalisasi perdagangan. Islam melarang peredaran barang haram aktivitas penimbunan monopoli penipuan curang dan spekulasi.
Islam melarang negara menggunakan otoritasnya untuk campur tangan dalam masalah harga. Tetapi negara memastikan tidak terjadi penyimpangan yang menyebabkan harga melonjak.

"Begitulah peran negara dalam sistem ekonomi Islam sebagai implementasi bahwa seorang pemimpin adalah pelayan umat yang menerapkan aturan Islam untuk mewujudkan kesejahteraan ditengah tengah mereka," pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Selasa, 26 April 2022

BALADA MIGOR, LISTRIK DAN BATU BARA !


Tinta Media  - Sebagai rakyat , penulis terbengong melihat siaran pers Kejaksaan Agung (tv one jam 15.15 wib, Selasa 19 April 2022) yang mengumumkan bahwa telah menetapkan berbagai pihak sebagai  tersangka export minyak goreng !

Pertanyaannya, bukankah UUD 1945 sudah di amandement menjadi UUD Liberal ? Artinya , wajarlah kalau harga "migor" pun tidak bisa dikendalikan, seperti BBM, batu bara, dan listrik ! Termasuk juga komoditas diatas akan mencari pasar yang lebih menguntungkan (termasuk eksport) !

Artinya, yang menjadi masalah itu sebenarnya pada Ideologi Negara/ Konstitusinya ! Kalau Konstitusinya Liberal, jangan salahkan kalau mekanisme pasarnya juga menjadi liberal !

Yang dimaksud Negara harus hadir ditengah rakyat itu, bukan aparat keamanan yang kemudian menindak/"nangkepin"  para pedagang ! Apapun alasannya ! Prinsip dagang itu mengikuti mekanisme pasar bebas ( kondisi supply and demand ) bukan mekanisme "tangkap menangkap" ala aparat hukum/aparat keamanan !

Makanya kalau sektor strategis masih ingin tetap bisa dikendalikan, system harus tetap dibawah kendali negara yaitu pasal 33 UUD 1945. Atau kalau merefer doktrin Islam (ingat Islam juga termasuk yang di akui Negara ini), dalam sebuah Hadhist "Almuslimuuna shuroka'u fii shalasin fil ma'i wal kala'i wan nar, washamanuhu haram" yang artinya "umat Islam berserikat atas tiga hal yakni air, ladang, dan api (energy, listrik, batubara, BBM, gas dll) atas ketiga komoditi tersebut haram hukumnya di komersialkan/diperdagangkan".

Artinya dengan referensi pasal 33 UUD 1945 maupun Hadhist diatas , ladang (perkebunan sawit) mestinya harus dikuasai negara (dulu oleh Perkebunan Negara ) ! Artinya komoditas migor mestinya di kelola sebagai "Public good", jangan diserahkan ke Taipan Naga ("Commercial good")  ! Kalau perkebunan sawit diserahkan ke swasta akhirnya migor sudah menjadi "Commercial good" dan tdk bisa dikendalikan, karena sudah mengikuti mekanisme pasar bebas ! Dan mestinya aparat hukum/keamanan  tidak bisa melakukan penindakan/penangkapan terhadap pelaku pasar !

Begitu juga untuk BBM, Batu bara, dan listrik. Komoditas2 ini mestinya diperlakukan sbg "Public good", tetapi para "Peng Peng" seperti Luhut BP, JK, Erick Tohir, Dahlan Iskan, malah ikut "main" disini. Akhirnya komoditas diatas otomatis menjadi "Commercial good" yang susah dikendalikan !

KESIMPULAN :

Rezim ini telah merubah beberapa  komoditas dari "Public good" menjadi "Commercial good". Tetapi tiba2 mengerahkan aparat hukumnya menindak pelaku usaha komoditas tersebut, seperti seolah olah telah melakukan pelanggaran terhadap "Public good" !

Terus ngapain teriak teriak NAWA CITA ??

Rezim "bingung" !

MAGELANG, 19 APRIL 2022.

Oleh: Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.

Kamis, 21 April 2022

Harga Berbagai Komoditas Meroket, Invest: Akibat Negara Terapkan Ideologi Liberal


Tinta Media - Meroketnya harga berbagai komoditas seperti minyak goreng, batu bara dan tarif listrik, dinilai Koordinator Valuation for Energy and Infrastructure (Invest) Ahmad Daryoko, akibat negara menerapkan  ideologi liberal.

"Yang menjadi masalah itu sebenarnya pada ideologi negara atau konstitusinya. Kalau konstitusinya liberal, jangan salahkan kalau mekanisme pasarnya juga menjadi liberal," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (20/4/2022).

Ia mempertanyakan tentang realitas amandemen UUD 1945. "Bukankah UUD 1945 sudah diamandemen menjadi UUD Liberal?" tanyanya.

Artinya, lanjut Ahmad wajar kalau harga migor pun tidak bisa dikendalikan, seperti BBM, batu bara, dan listrik. Termasuk juga komoditas di atas, akan mencari pasar yang lebih menguntungkan, termasuk ekspor.

Menurutnya, harus ada peran negara dalam mekanisme pasar bebas. "Yang dimaksud negara harus hadir ditengah rakyat itu, bukan aparat keamanan yang kemudian menindak/ menangkap para pedagang. Apapun alasannya. Prinsip dagang itu mengikuti mekanisme pasar bebas, kondisi supply and demand, bukan mekanisme tangkap ala aparat," terangnya.

Oleh karena itu, kata Ahmad kalau sektor strategis masih ingin tetap bisa dikendalikan, system harus tetap dibawah kendali negara yaitu pasal 33 UUD 1945.

Atau kalau merefer doktrin Islam, lanjut Ahmad, Islam juga termasuk yang di akui Negara ini.  Dalam sebuah Hadits Almuslimuuna shuroka'u fii shalasin fil ma'i wal kala'i wan nar, washamanuhu haram yang artinya umat Islam berserikat atas tiga hal yakni air, ladang, dan api (energy, listrik, batubara, BBM, gas dan lain-lain). Ketiga komoditi tersebut haram hukumnya di komersialkan atau diperdagangkan.

Ia juga menekankan bahwa pentingnya mengembalikan peran negara yang mengacu pada pasal 33 UUD 1945 dan hadits.

"Dengan referensi pasal 33 UUD 1945 maupun hadits di atas , ladang (perkebunan sawit) mestinya harus dikuasai negara (dulu oleh Perkebunan Negara). Artinya komoditas migor mestinya di kelola sebagai public good jangan diserahkan ke taipan 9 naga  commercial good," bebernya.

Terakhir, ia menegaskan bahwa jika perkebunan diserahkan ke swasta, sudah jelas harga tidak bisa dikendalikan.

"Karena sudah mengikuti mekanisme pasar bebas. Dan mestinya aparat hukum atau keamanan tidak bisa melakukan penindakan atau penangkapan terhadap pelaku pasar," pungkasnya. [] Nur Salamah
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab