Tinta Media: Migran
Tampilkan postingan dengan label Migran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Migran. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Maret 2023

Perdagangan Manusia Berkedok Penyaluran Tenaga Kerja Migran

Tinta Media - Kasus demi kasus perdagangan manusia tiada henti di negeri ini. Terbaru yang dilansir media AYOBANDUNG.COM, seorang warga Kabupaten Bandung hampir saja dijual ke Malaysia. Beruntung korban perdagangan manusia tersebut berhasil diselamatkan oleh Imigrasi Kota Batam, Selasa (07/03/2023).

Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPKBP3A) Kabupaten Bandung, Hairun menuturkan bahwa masyarakat jangan mudah tergiur dengan tawaran bekerja yang bergaji besar dan selalu berhati-hati dengan perusahaan yang menawarkan pekerjaan di luar daerah atau luar negeri.

Kasus perdagangan manusia tersebut terjadi pada Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) ilegal. Ia hampir menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) akibat tidak mengikuti prosedur pemerintah dan pemberangkatan CPMI tidak dilengkapi dokumen-dokumen yang sah. 

Tidak dimungkiri, dorongan masyarakat untuk bekerja di luar negeri masih sangat besar, padahal risikonya sangatlah tinggi. Meski payung hukum untuk melindungi Pekerja Migran Indonesia (PMI) telah termaktub dalam UU 18/2017 tentang Perlindungan PMI, tetapi faktanya hal tersebut tidak mampu melindungi para pekerja migran. 

Di tengah banyaknya masyarakat yang pesimis akan perlindungan dari negara jika menjadi pekerja migran, keinginan untuk mengubah nasib di negeri orang telah mendorong mereka untuk menjadi pekerja migran, padahal berpeluang terjebak dalam CPMI ilegal. Karena itu, jumlah kasus perdagangan manusia (human trafficking) semakin besar dan kompleks. 

Walaupun demikian, faktor kemiskinan dan sempitnya lapangan pekerjaan bagi rakyat, serta iming-iming upah besar jika bekerja di luar negeri, membuat orang-orang siap mengambil risiko tersebut. Seandainya kehidupan mereka sejahtera, mereka pasti tidak akan nekat bekerja di luar negeri, termasuk para perempuan yang menjadi mayoritas dari para pekerja migran. Mereka harus meninggalkan anak dan suaminya, melupakan fitrahnya sebagai perempuan yang seharusnya dilindungi dan dinafkahi. 

Mirisnya, di saat banyak rakyat negeri ini yang menjadi pekerja migran, para Tenaga Kerja Asing (TKA) justru dibukakan pintu selebar-lebarnya untuk masuk dan menempati lapangan pekerjaan yang tersedia. Kondisi ini membuat rakyat tersingkir dan terpaksa menjadi PMI. 
Inilah bukti bahwa penguasa negeri ini telah gagal menyejahterakan rakyat melalui penciptaaan lapangan kerja, juga kemudahan memenuhi kebutuhan dasar setiap individu rakyat. Karena itu, mereka terpaksa bekerja ke luar negeri. 

Ketika rakyat bekerja ke luar negeri, negara tidak mampu melindungi rakyatnya. Mengapa hal yang miris ini terjadi bertubi-tubi menimpa rakyat?

Indonesia sebagai negara yang menerapkan kapitalisme, memosisikan manusia sebagai bagian dari faktor (alat) produksi. Rakyat dikatakan produktif jika menghasilkan materi sebanyak-banyaknya, sehingga dapat berkontribusi terhadap keuangan negara. Oleh karena itu, para PMI dikatakan "Pahlawan Devisa" karena mampu mendatangkan devisa besar, bahkan angkanya melebihi angka devisa dari penjualan migas. 

Karena itu, negara memobilisasi pemberangkatan pekerja migran ini, dengan  menyediakan berbagai fasilitas penunjang, mulai dari produk UU, kepengurusannya di bawah departemen ketenagakerjaan, dilegalkannya agen-agen penyalur tenaga kerja migran, hingga mengadakan pelatihan-pelatihan bagi calon tenaga kerja migran dalam berbagai bentuk keahlian. Semua itu dilakukan semata-mata untuk keuntungan materi berupa devisa  Padahal, di balik itu semua, nyawa tenaga kerja migran menjadi taruhan. Salah satunya menjadi korban trafficking.

Sebagai seorang muslim, tentu kita sangat gerah dengan kondisi ini. Karena itu, kita harus mengembalikan solusi terhadap masalah trafficking berkedok penyaluran tenaga migran ini kepada Islam. Sebagai agama yang sempurna, Islam tentu memiliki seperangkat sistem untuk menyelesaikan masalah secara tuntas.

Di dalam Islam ditetapkan bahwa pemenuhan hak rakyat untuk mendapatkan pekerjaan, merupakan tanggung jawab (kewajiban) negara. Oleh karena itu, negara akan menyediakan sarana-pra sarana untuk menciptakan lapangan kerja tersebut, sehingga rakyat yang terkena kewajiban mencari nafkah dapat menunaikannya secara maksimal. Terkait penyediaan lapangan kerja ini tentulah harus ditopang oleh sistem ekonomi dan keuangan yang mapan dan kuat, yang semuanya itu ada dalam penerapan aturan Islam secara komprehensif (menyeluruh).

Dengan konsep bahwa negara (penguasa) hadir untuk melakukan ri'ayah (pengaturan) terhadap segala urusan rakyat, maka penerapan Islam dilandaskan kepada akidah Islam dalam sebuah negara khilafah. Melalui institusi negara inilah, penguasa menjalankan pemeliharaan dan pengaturan rakyatnya, sebagai perwujudan dari sabda Rasulullah ﷺ:

“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Terkait penyediaan lapangan kerja, negara akan memberikan sarana-sarana pekerjaan bagi para pencari kerja dari rakyat, yaitu para laki-laki dewasa yang berkewajiban mencari nafkah. Bahkan, negara juga akan menyiapkan SDM (laki-laki) dari rakyat agar mampu betanggung jawab dalam memikul kewajiban sebagai pencari nafkah. Ini dilakukan melalui berbagai sarana pendidikan dan pelatihan skil (keahlian) yang akan menjadikan mereka produktif, melalui pengadaan sarana prasarana pendidikan yang terbaharui. Dengan begitu, wawasan dan keahlian rakyatnya akan bertambah, yaitu melalui kurikulum pendidikan di sekolah sampai jenjang perguruan tinggi. 

Karena itu, tidak ada lagi alasan untuk membolehkan masuknya investor asing untuk mengelola SDA atau pun memasukkan para TKA akibat kemampuan SDM di dalam negeri yang kurang. Ini sebagaimana yang ada dalam solusi negara penganut kapitalisme sekarang. Inilah bentuk kemandirian negara khilafah. Salah satunya dengan menyempurnakan output pendidikan yang berkepribadian Islam, sebagai pribadi-pribadi yang inovatif dalam mengarungi kehidupannya. Maksimalnya negara dalam menyediakan hal tersebut ditopang oleh APBN negara yang mumpuni, yang ada di baitul mal, dan sistem keuangan yang kokoh yang dilandaskan kepada emas dan perak.

Selain itu, negara khilafah tidak akan mengizinkan pendirian badan usaha swasta yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak, seperti yang terjadi dalam sistem saat ini. Jikalau ada perusahaan milik individu rakyat (swasta), keberadaannya ada di bawah kontrol penerapan syariat oleh negara, semata untuk menciptakan pengaturan urusan rakyat, sehingga hak-hak rakyat dalam upaya pemenuhan kebutuhan primernya berupa sandang, pangan, dan papan, dapat terpenuhi secara maksimal. Inilah yang dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Maka, dalam negara khilafah rakyat tidak akan berpikir untuk bekerja ke luar negeri, karena segala kebutuhannya telah dipenuhi oleh negara. Hial ini termasuk pemenuhan  kebutuhan akan pendidikan, kesehatan, dan keamanan, sehingga meringankan kehidupan rakyat. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya perdagangan manusia (trafficking) pun, tidak akan ada, karena celah yang membuka pintu trafficking yang berkedok penyaluran tenaga kerja migran, tidak ada.

Wallaahu a'lam bi ash-shawwab

Oleh: Nia Kurniasari
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 01 Oktober 2022

Nestapa Pekerja Migran Indonesia di Kamboja, ImuNe: Negara Tak Berdaya Hadapi Sindikat

Tinta Media - Menyoroti nestapa pekerja migran Indonesia yang ternyata dijual oleh agen yang ada di Kamboja, Ahli Geostrategi dari Institut Muslimah Negarawan (ImuNe) Dr. Fika Komara mengatakan, negara tidak berdaya menghadapi sindikat oligarki hitam.
 
“Negara kapitalis  tidak berdaya menghadapi kekuatan sindikat oligarki hitam yang berada di balik jaringan terbesar perdagangan manusia ini,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (29/9/2022).
 
Fika menilai persoalan perdagangan manusia di Kamboja tidak terkait dengan besar kecilnya Kamboja sebagai sebuah negara apabila dibandingkan dengan Indonesia yang jauh lebih luas.
 
“Tetapi yang dihadapi di sini adalah dark spot capitalism yang bekerja dengan invisible hand. Ia adalah sebuah sindikat perdagangan manusia yang sudah menjadi industri dan jaringan besar di sana. Bahkan sejak lama Kamboja dikenal sebagai ‘pasar’ perdagangan manusia yang akan disalurkan ke Thailand dan Vietnam,” beber Fika.
 
Berkembangnya sindikat ini, kata Fika, justru dikarenakan ketidakstabilan politik, kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan di negara yang dikenal sebagai neraka dunia tersebut.
 
“Pemerintah Indonesia sendiri, belum bisa menjamin kesejahteraan warganya dengan lapangan kerja yang memadai. Tak ayal, mereka lebih memilih mencari peluang di luar dengan menjadi TKI/TKW, “ ujar Fika.
 
Lebih jauh, tambah Fika,  lemahnya visi tersebut juga menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap rakyatnya sendiri.
 
“Dari sisi regulasi justru adanya tenaga kerja Indonesia (TKI) ini dipandang menguntungkan karena ada remitansi (aliran uang dari luar) devisa yang masuk ke dalam negeri,” kritik Fika.
 
Fika menilai, disfungsi peran negara dalam sistem Kapitalisme, telah membuat kegagalan besar dalam mencegah perdagangan manusia, melindungi kemanusiaan dan menjaga martabat manusia itu sendiri.
 
“Dalam kapitalisme, rakyat hanya menjadi pasar dan aset ekonomi, termasuk menjadi sumber dana remitansi dari pekerja migran untuk negaranya. Prinsip transaksional ini yang menjadi biang kegagalan negara Kapitalis dalam melindungi dan menyejahterakan rakyatnya,” bebernya.
 
Perlu Berhenti
 
Indonesia, Malaysia dan negeri-negeri Muslim lainnya, menurut Fika,  perlu berhenti menjadi negara transaksional ala kapitalisme, yang melihat segala sesuatunya hanya dari besaran transaksi, melayani oligarki dan membiarkan rakyat dieksploitasi dan seolah dipandang hanya sebagai aset remitansi. “Cara pandang transaksional begini, dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme,” tukasnya.
 
Penerapan sistem kapitalisme, nilai Fika,  juga yang membuat gurita oligarki korporasi asing maupun aseng leluasa menghisap kekayaan alam negeri, sehingga rakyatnya sendiri laksana ayam yang mati di lumbung padi.
 
“Mereka (rakyat) harus berjuang demi sesuap nasi, menjadi korban dari berbagai sindikasi, sementara pemerintahannya sibuk bekerja menggaet investasi asing untuk pembangunan negeri. Inilah penyebab utama kenapa negeri ini kehilangan harga diri dan marwah di luar negeri,” urai Fika.
 
Islam Melindungi Rakyat 
 
Bertolak belakang dengan sistem Kapitalisme yang meminimalisir peran negara dan mengutamakan peran pasar, ucap Fika, Islam justru sebaliknya. “Peran negara sangatlah vital di dalam Islam. Tugas utamanya adalah melayani dan mengurusi kebutuhan rakyat, melindungi kaum lemah dan mencegah terjadinya kezaliman,” ungkapnya.  
 
Prinsip mendasar ini, sambung Fika, akan meminimalkan problem perburuhan di dalam Khilafah. “Jika pun ada akan terpecahkan dengan cepat dengan penerapan aturan syariah Islam yang komprehensif,” yakinnya.
 
Begitupun, kata Fika, problem perburuhan migran yang mengorbankan jutaan kaum perempuan  ini tidak akan ditoleransi oleh Khalifah,  negara akan segera mencari jalan untuk memberantasnya sampai ke akar.
 
“Ini sesuai dengan sabda Nabi SAW  
فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam adalah penggembala (ro’in), dan ia bertanggung jawab untuk orang-orang yang digembalakannya,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab