Tinta Media: Mie Instan
Tampilkan postingan dengan label Mie Instan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mie Instan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 Agustus 2022

Kasak-kusuk Kenaikan Harga Mie Instan, Bukti Belum Total Swasembada

Tinta Media - Direktur Center of Economies and Law Studies, Bima Yudistira mengatakan jika harga mie instan naik tiga kali lipat, maka garis kemiskinan berisiko akan naik, karena mie instan banyak dikonsumsi oleh banyak kalangan masyarakat, sehingga data menunjukan bahwa kenaikan harga mie instan ada di posisi kelima yang dapat menyebabkan naiknya garis kemiskinan yang paling besar di, terutama pada kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Indonesia merupakan peringkat kedua sebagai konsumen mie instan terbanyak di dunia. Meskipun kurang mengandung gizi baik, tetapi mie instan sangat digemari oleh semua kalangan dan dijadikan makanan konsumsi sehari-hari. Ini karena harganya murah dan langsung dapat dinikmati secara instan.

Simpang siur  kenaikan  harga mie instan cukup meresahkan publik. Hal ini akan mengganggu kemaslahatan dan pemenuhan pangan rakyat. Banyak yang menyatakan bahwa beberapa faktor penyebab kenaikan mie instan adalah sebagai berikut: 

Pertama, minimnya ketersediaan bahan pangan di pasaran. Ketika stok menipis, maka bahan pangan akan melambung tinggi,

Kedua, naiknya harga bahan-bahan tambahan pada mie instan, seperti cabe dan minyak goreng.

Ketiga, pemerintah biasanya akan mengeluarkan kebijakan impor untuk menutupi kekurangan bahan pangan.

Di saat yang bersamaan, pemerintah telah mengunggulkan swasembada beras. Seharusnya realitas yang menyebabkan naiknya harga mie instan menjadi pendorong kebijakan yang menghasilkan swasembada pangan secara bervariasi, yaitu dalam berbagai bahan pangan lain yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pemerintah tidak  bisa membiarkan swasembada terjadi pada makanan pokok saja, sedangkan bahan pangan lain bergantung pada impor. Selama ini, impor sering dijadikan solusi oleh pemerintah, sebagai cara untuk menutupi kekurangan bahan pangan.

Ketiadaan upaya Indonesia untuk swasembada berbagai jenis bahan pangan dalam memenuhi bahan pokok dan gizi masyarakat, menjadikan Indonesia bergantung pada impor, sehingga abai untuk mewujudkan kemandirian pangan. Padahal, Indonesia merupakan negeri yang sangat luas daratannya dan subur tanahnya, dapat ditanami berbagai tumbuhan untuk bahan berbagai komoditas. Namun, untuk kebutuhan gandum (sebagai bahan dasar mie instan dan produk lainnya), harus mengimpor dari negara lain.  

Tentu ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan lahan pertanian di negeri ini, sehingga berefek pada rendahnya kemandirian pemenuhan pangan bagi masyarakat Indonesia. Penyebab utamanya yaitu karena sistem yang diterapkan saat ini adalah sistem yang berasaskan materi dan manfaat semata, yaitu sistem kapitalis-liberal. Sistem ini menempatkan kepentingan para kapital (korporasi) di atas kepentingan rakyat. 

Keberadaan negara yang seharusnya bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, malah membuat berbagai kebijakan yang pro-korporasi, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan pangan rakyat negeri ini. Mulai dari bahan baku hingga bahan siap konsumsi, semisal mie instan, semua diserahkan kepada para korporasi. Ini dijadikan lahan bisnis mereka. 

Korporasi hanya berorientasi pada keuntungan yang sebesar-besarnya, tanpa mempedulikan daya beli rakyat sebagai konsumennya. Dalam hal ini, negara hanya berperan sebagai regulator yang mengeluarkan kebijakan bagi para pengusaha agar bisa melakukan aktivitas ekonomi dengan 'nyaman', walaupun pemasukan bagi kas negara sangat sedikit. 

Sementara itu, rakyat dibiarkan berjuang mencari nafkah, di tengah sulitnya lapangan pekerjaan. Mereka berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, di tengah naiknya berbagai komoditas kebutuhan pangan, termasuk mie instan.

Hal ini berbeda dengan negara (khilafah) yang menerapkan Islam kaffah. Negara akan memastikan bahwa kebutuhan  rakyat terpenuhi, baik sandang, pangan, maupun papan. Terutama kebutuhan pangan yang merupakan kebutuhan keseharian, akan dipastikan agar rakyat mudah mendapatkannya dengan harga  murah, atau mendapatkannya secara gratis, dengan tetap memastikan kualitas gizi yang cukup bagi kesehatan rakyat.

Hal ini diasaskan pada politik pertanian Islam, yang menjadikan negara meningkatkan produksi pertanian dan distribusi pangan yang adil dan merata. Negara tidak akan melakukan ekspor pangan hingga kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi. Negara juga tidak akan melakukan impor tanpa batas dengan menciptakan kemandirian pangan dalam berbagai komoditas.

Dalam pengelolaan lahan,  negara tidak akan membiarkan lahan pertanian habis untuk sektor industri atau pembangunan infrastruktur. Hal ini karena lahan pertanian sangat erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Dengan menerapkan aturan Islam dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkannya, maka akan terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Wallahu alam bishawab.

Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media

Selasa, 23 Agustus 2022

Spekulasi Kenaikan Harga Mie Instan, Bukti Belum Total Swasembada Pangan

Tinta Media - Ironis, belakangan ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan spekulasi harga mie instan yang disebut-sebut bisa naik 3 kali lipat. Hal itu dikatakan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, sebab harga gandum saat ini tengah naik dan pasokan pun sulit. Sebelumnya, Presiden Jokowi pun sempat menyinggung hal tersebut.

Belum selesai dengan climate change, kita pun dihadapkan pada perang Ukraina-Rusia. Dalam kondisi tersebut, ada 180 juta ton gandum tidak bisa keluar. Hal ini tentu berimbas pada kondisi di Indonesia.

Dalam konteks pemenuhan kebutuhan pangan rakyat, tentu kita tidak bisa sekadar beralih konsumsi pada bahan pangan lainnya, terlebih Indonesia adalah negara agraris. Sudah bertahun-tahun lamanya kebutuhan gandum kita selalu bergantung pada hasil impor. Hal ini menunjukkan bahwa negeri yang kaya akan SDA ini masih jauh dari predikat negara mandiri dan berswasembada pangan. 

Bukankah ini menjadi tantangan untuk mewujudkan swasembada pangan? Bagaimana seharusnya kita menyikapi hal tersebut? Bagaimana seharusnya negara menyikapi kenaikan harga pangan? 

Ironis Negara Agraris

Sebagaimana pemberitaan, Menjelang HUT Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-77, Indonesia mendapat penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) sebagai pengakuan atas sistem pertanian-pangan yang tangguh dan swasembada beras periode tahun 2019-2021, melalui penggunaan teknologi inovasi padi. 

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih menilai, semestinya kebijakan yang diklaim oleh pemerintah bisa menggenjot produksi beras, dapat diimplementasikan untuk komoditas pangan yang lain, seperti kacang kedelai, gula, daging sapi, atau bahkan terigu.

Di samping itu, jika pemerintah memahami besarnya ketergantungan Indonesia terhadap gandum, bukankah seharusnya pemerintah membuat langkah yang nyata untuk mewujudkan swasembada bahan pangan lainnya selain beras?

Sebagai negara agraris, kondisi Indonesia sesungguhnya begitu ironis. Hal ini karena Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri secara total. Kondisi ini diperparah dengan ketidakseriusan pemerintah untuk membangun pertanian. Padahal, pertanian itu menyangkut hidup dan mati umat manusia.

Di samping itu, aspek pertanian yang tidak terurus telah menambah angka kemiskinan masyarakat Indonesia. Jika swasembada beras dapat terwujud dengan adanya dukungan pemerintah melalui pembangunan irigasi pertanian, mengapa hal itu tidak dilakukan untuk bahan pangan lainnya? Bukankah kebutuhan rakyat terhadap gandum, gula, terigu, dan sejenisnya pun sangat penting?

Merunut Masalah

Aspek pertanian tidak bisa terpisah dari sektor lain yang mendukung berlangsungnya kehidupan manusia, mulai dari kebijakan pemerintah di sektor pertanian, pengelolaan tanah, penemuan inovasi, dan juga dukungan sektor industri yang menopang sektor pertanian. Aksi industrialisasi dan pengembangan wilayah yang massif makin berdampak pada kian menyempitnya lahan pertanian.

Kasus alih fungsi lahan banyak terjadi. Meskipun berbagai kebijakan hadir untuk mengerem laju alih fungsi lahan, tetapi kenyataan berkata lain. Tumpang tindih kebijakan sudah menciptakan hukum rimba di tengah masyarakat. Begitu banyak masyarakat yang harus merelakan lahan milik mereka demi mengejar target pembangunan yang kapitalistik.

Alhasil, konversi lahan pertanian menjadi pabrik atau bisnis perumahan makin massif. Kalaupun masih ada lahan tersisa, kualitasnya makin jauh berkurang karena sudah tercemar limbah pabrik dan rumah tangga.

Selain itu, dukungan pemerintah dalam pengadaan pupuk dinilai masih sangat kurang. Harga pupuk nonsubsidi pun sangat mencekik para petani. Sementara itu, pemberian pupuk bersubsidi masih menimbulkan keluhan dari para petani. Hal ini karena selisih antara kebutuhan dan jumlah pupuk subsidi sangat jomplang.

Kebutuhan petani terhadap pupuk per 2021 sudah mencapai 24 juta ton/tahun. Sedangkan yang disalurkan pemerintah hanya 9 juta ton/tahun. Alokasi pupuk ini pun hanya ditujukan kepada para petani padi, sedangkan sektor lainnya tidak. Padahal, kebijakan ketahanan pangan itu meliputi seluruh kebutuhan pangan masyarakat.

Karut-marut kebijakan di bidang pertanian ini tidak lepas dari paradigma sistemis yang dijalankan pemerintah. Cita-cita mewujudkan ketahanan, bahkan kedaulatan pangan seolah jauh dari harapan para petani. Semrawutnya pengelolaan sektor pertanian seiring laju pembangunan yang kapitalistik, telah menciptakan stigma lekatnya kemiskinan terhadap para petani. Walhasil, negeri ini agraris, tetapi petaninya gigit jari. Rakyat pun harus menanggung kenaikan harga pangan karena bahan baku yang selalu bergantung dari hasil impor negara lain.

Tentu kita butuh satu paradigma khusus untuk mengukuhkan cita-cita kedaulatan pangan secara sistemis. Islam memiliki pandangan khusus untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang hakiki. Lalu bagaimana caranya?

Perspektif Islam

Untuk mewujudkan swasembada dan kedaulatan pangan di seluruh jenis pangan, negeri ini butuh politik pertanian yang visioner. Dalam Islam, politik pertanian kekhilafahan terdiri atas dua strategi penting. 

Pertama, intensifikasi, yaitu peningkatan produktivitas pertanian yang meliputi pengadaan bibit unggul, pupuk berkualitas, inovasi berbasis teknik pertanian modern, dan dukungan sarana prasarana lainnya untuk mengembangkan sektor pertanian.

Kedua, ekstensifikasi pertanian, yaitu dengan menambah luas area yang akan ditanami. Dalam Islam, negara berhak mengambil tanah dari orang yang menelantarkan tanah selama tiga tahun berturut-turut. Tanah tersebut lalu pemerintah berikan kepada siapa saja yang mampu mengelolanya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang memiliki sebidang tanah, maka hendaknya dia menanaminya atau hendaklah ia berikan kepada saudaranya. Apabila ia mengabaikannya, maka hendaklah tanahnya diambil.”

Atas hal ini, aspek produktivitas pertanian dapat terkontrol. Di sisi lain, pemerintah pun dapat mengerahkan para pegawai negeri, khususnya dari departemen pertanahan, untuk mengawasi tanah-tanah yang dimiliki rakyat. Jelas ini membutuhkan komunikasi lintas sektor demi terwujudnya kemaslahatan umat.

Melalui pengawasan tanah produktif ini, akan tercipta atmosfer kondusif dan semangat kerja yang produktif dari para petani. Jadi, aspek intensifikasi yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara, bersamaan dengan ekstensifikasi pertanian yang memadai akan mampu menopang terwujudnya swasembada pangan.

Di samping itu, kebijakan politik pertanian ini diiringi dengan politik industri yang menjadikan negara mandiri dalam menyediakan sarana dan prasarana, seperti alat maupun mesin pertanian. Dengan demikian, khilafah akan menjadi negara yang mandiri dan tidak bergantung pada negara lain.

Dampak dari seluruh strategi ini adalah bahan baku akan melimpah dan hasil pertanian pun meningkat. Etos kerja pertanian pun menjadi kondusif. Walhasil, cita-cita swasembada dan kedaulatan pangan bukanlah sekadar harapan. Ada langkah-langkah strategis untuk mewujudkan itu semua, dan Islam punya solusinya. Wallahu a'lam.

Oleh: Willy Waliah
Sahabat Tinta Media

Jumat, 19 Agustus 2022

MMC: Isu Pekan Ini dari Kemerdekaan Hingga Kenaikan Mie Instan

Tinta Media - Narator Muslimah Media Center (MMC) berhasil merangkum lima isu yang menjadi berita penting dalam akhir pekan ini dari perayaan kemerdekaan hingga kenaikan mie instan.

“Dalam sepekan terakhir Muslimah Media Center berhasil merangkum lima berita penting,” tuturnya dalam Program Isu Pekan Ini: Makna Kemerdekaan Hakiki hingga Isu Mie Instan Naik Harga, Senin (15/8/2022), di kanal Youtube Muslimah Media Center.
Isu pertama adalah tentang perayaan kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus. Menurutnya negeri ini belum lepas dari berbagai problem walaupun telah lepas dari penjajahan fisik.
“Negeri ini masih diliputi berbagai problem, seperti utang yang menggunung, kemiskinan, kesenjangan, disintegrasi, korupsi, dan sebagainya,” ujarnya.
Selanjutnya ia menilai, problem-problem ini harusnya menjadi evaluasi negeri ini untuk meraih kemerdekaan yang hakiki. Negara merdeka adalah negara yang terbebas dari penjajahan baik fisik, politik, ekonomi, juga budaya.
“Negara bebas menerapkan aturannya dalam melindungi rakyatnya. Tidak lagi ada tekanan dari negara yang pernah menjajahnya atau lainnya. Dan bagi umat Islam tentu saja negara tersebut haruslah sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah Swt. dan dicontohkan Rasulullah Saw., yaitu negara yang menerapkan aturan Allah,” nilainya.
Isu kedua, ia menguraikan perkataan Komjen Gatot Eddy Pramono bahwa dunia pendidikan memasuki tahun ajaran baru khususnya di tingkat perguruan tinggi harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan kekerasan. Berdasarkan catatan Global Terrorism Index 2022 menyebutkan bahwa sepanjang 2021 terdapat 5226 aksi terorime di seluruh dunia.
“Terutama yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi yang didasarkan pada pemahaman agama yang salah paham dan gerakan tersebut adalah intoleransi, radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme,” urainya.
Ia mengkritisi tudingan radikalisme yang diarahkan kepada umat Islam dan kaum muslimin yang menginginkan kembalinya Islam Kafah.
“Tentu saja ini tuduhan yang tidak mendasar dan tuduhan ini malah digunakan untuk mengarahkan pemuda bersikap moderat,” kritiknya.
Isu ketiga, berita harga mie instan yang diproyeksi naik tiga kali lipat. Hal ini imbas dari kenaikan harga tepung akibat dari naiknya harga gandum. Tetapi isu ini telah dibantah oleh pihak Indomie.
“Padahal mie instan merupakan sumbangan bahan pangan kelima terhadap garis kemiskinan yang paling besar. Simpang-siur kenaikan mie instan cukup meresahkan publik karena akan mengganggu kemaslahatan dan pemenuhan pangan rakyat,” tuturnya.
Di saat yang sama, pemerintah mengunggulkan prestasi swasembada beras. Baginya kebijakan tersebut harusnya menjadi pendorong bagi pemerintah untuk menghasilkan swasembada pangan yang hakiki dengan variasi bahan yang dibutuhkan.
“Harusnya swasembada beras menjadi pendorong untuk menghasilkan kebijakan dalam swasembada pangan lainnya, tidak bisa pada makanan pokok saja tetapi bahan pangan lain tergantung pada impor,” ucapnya.
Ia pun menegaskan aturan Islam mampu mewujudkan swasembada pangan.
“Hanya aturan Islam yang memiliki aturan komprehensif yang mampu menyiapkan perangkat sistemik mewujudkan swasembada pangan,” tegasnya.
Isu keempat, berita tentang prediksi habisnya kuota BBM bersubsidi sebelum akhir tahun 2022. Ia memaparkan perkiraan dari pengamat Energy Watch, Mamit Setiawan bahwa stok pertalite habis di bulan Oktober 2022 jika tidak ada penambahan kuota.
“Kuota BBM bersubsidi selalu menjadi alasan penyebab kelangkaan, padahal pemerintah bisa saja menambah kuota yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan kelompok masyarakat yang bersubsidi,” paparnya
Narator mempertanyakan kebijakan pemerintah tidak menambah kuota BBM bersubsidi.
“Tapi mengapa tidak dilakukan (menambah kuota BBM bersubsidi)?” tanyanya.
Ia mengatakan munculnya spekulasi dari sebagian masyarakat tentang kelangkaan BBM bersubsidi sebagai upaya menaikkan harga BBM.
“Tak ayal sebagian masyarakat berspekulasi bahwa hal ini sengaja dibiarkan sebagai prakondisi menaikkan harga BBM,” katanya.
“Umat hari ini membutuhkan sistem aturan kehidupan yang mampu menyediakan kebutuhan energi bagi masyarakat dengan harga murah bahkan gratis,” ungkapnya.
Isu kelima, berita tentang serangan dan penikaman terhadap penulis Salman Rushdie pada acara sastra pada Jum’at (12/8/2022) di negara bagian Amerika Serikat.
“Rushdie merupakan satu penulis yang paling dicari pemerintah Iran. Ini lantaran, novelnya yang terbit tahun 1988 The Satanic Verses (ayat-ayat setan), yang dianggap sebagian kaum muslimin sebagai penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw.,” ujarnya.
Narator mengkritisi dunia barat yang sangat menyokong para pendusta agama Islam dengan memberikan dorongan bagi para penjahat agama sejenis ini untuk mengampanyekan kesesatannya.
“Kasus penikaman Salman Rushdie seharusnya mengingatkan kita bahwa dunia barat sangat menyokong para pendusta agama Islam,” kritiknya.
Ia mengakhirinya dengan mengingatkan semangat umat Islam jangan hanya terbatasi pada menghukum penista agama.
“Tetapi umat Islam harus mengarahkan untuk menghentikan hegemonik sekularisme yang memfasilitasi penistaan agama,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab