Kasak-kusuk Kenaikan Harga Mie Instan, Bukti Belum Total Swasembada
Tinta Media - Direktur Center of Economies and Law Studies, Bima Yudistira mengatakan jika harga mie instan naik tiga kali lipat, maka garis kemiskinan berisiko akan naik, karena mie instan banyak dikonsumsi oleh banyak kalangan masyarakat, sehingga data menunjukan bahwa kenaikan harga mie instan ada di posisi kelima yang dapat menyebabkan naiknya garis kemiskinan yang paling besar di, terutama pada kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Indonesia merupakan peringkat kedua sebagai konsumen mie instan terbanyak di dunia. Meskipun kurang mengandung gizi baik, tetapi mie instan sangat digemari oleh semua kalangan dan dijadikan makanan konsumsi sehari-hari. Ini karena harganya murah dan langsung dapat dinikmati secara instan.
Simpang siur kenaikan harga mie instan cukup meresahkan publik. Hal ini akan mengganggu kemaslahatan dan pemenuhan pangan rakyat. Banyak yang menyatakan bahwa beberapa faktor penyebab kenaikan mie instan adalah sebagai berikut:
Pertama, minimnya ketersediaan bahan pangan di pasaran. Ketika stok menipis, maka bahan pangan akan melambung tinggi,
Kedua, naiknya harga bahan-bahan tambahan pada mie instan, seperti cabe dan minyak goreng.
Ketiga, pemerintah biasanya akan mengeluarkan kebijakan impor untuk menutupi kekurangan bahan pangan.
Di saat yang bersamaan, pemerintah telah mengunggulkan swasembada beras. Seharusnya realitas yang menyebabkan naiknya harga mie instan menjadi pendorong kebijakan yang menghasilkan swasembada pangan secara bervariasi, yaitu dalam berbagai bahan pangan lain yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pemerintah tidak bisa membiarkan swasembada terjadi pada makanan pokok saja, sedangkan bahan pangan lain bergantung pada impor. Selama ini, impor sering dijadikan solusi oleh pemerintah, sebagai cara untuk menutupi kekurangan bahan pangan.
Ketiadaan upaya Indonesia untuk swasembada berbagai jenis bahan pangan dalam memenuhi bahan pokok dan gizi masyarakat, menjadikan Indonesia bergantung pada impor, sehingga abai untuk mewujudkan kemandirian pangan. Padahal, Indonesia merupakan negeri yang sangat luas daratannya dan subur tanahnya, dapat ditanami berbagai tumbuhan untuk bahan berbagai komoditas. Namun, untuk kebutuhan gandum (sebagai bahan dasar mie instan dan produk lainnya), harus mengimpor dari negara lain.
Tentu ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan lahan pertanian di negeri ini, sehingga berefek pada rendahnya kemandirian pemenuhan pangan bagi masyarakat Indonesia. Penyebab utamanya yaitu karena sistem yang diterapkan saat ini adalah sistem yang berasaskan materi dan manfaat semata, yaitu sistem kapitalis-liberal. Sistem ini menempatkan kepentingan para kapital (korporasi) di atas kepentingan rakyat.
Keberadaan negara yang seharusnya bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, malah membuat berbagai kebijakan yang pro-korporasi, termasuk dalam pemenuhan kebutuhan pangan rakyat negeri ini. Mulai dari bahan baku hingga bahan siap konsumsi, semisal mie instan, semua diserahkan kepada para korporasi. Ini dijadikan lahan bisnis mereka.
Korporasi hanya berorientasi pada keuntungan yang sebesar-besarnya, tanpa mempedulikan daya beli rakyat sebagai konsumennya. Dalam hal ini, negara hanya berperan sebagai regulator yang mengeluarkan kebijakan bagi para pengusaha agar bisa melakukan aktivitas ekonomi dengan 'nyaman', walaupun pemasukan bagi kas negara sangat sedikit.
Sementara itu, rakyat dibiarkan berjuang mencari nafkah, di tengah sulitnya lapangan pekerjaan. Mereka berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhannya, di tengah naiknya berbagai komoditas kebutuhan pangan, termasuk mie instan.
Hal ini berbeda dengan negara (khilafah) yang menerapkan Islam kaffah. Negara akan memastikan bahwa kebutuhan rakyat terpenuhi, baik sandang, pangan, maupun papan. Terutama kebutuhan pangan yang merupakan kebutuhan keseharian, akan dipastikan agar rakyat mudah mendapatkannya dengan harga murah, atau mendapatkannya secara gratis, dengan tetap memastikan kualitas gizi yang cukup bagi kesehatan rakyat.
Hal ini diasaskan pada politik pertanian Islam, yang menjadikan negara meningkatkan produksi pertanian dan distribusi pangan yang adil dan merata. Negara tidak akan melakukan ekspor pangan hingga kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi. Negara juga tidak akan melakukan impor tanpa batas dengan menciptakan kemandirian pangan dalam berbagai komoditas.
Dalam pengelolaan lahan, negara tidak akan membiarkan lahan pertanian habis untuk sektor industri atau pembangunan infrastruktur. Hal ini karena lahan pertanian sangat erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Dengan menerapkan aturan Islam dalam berbagai kebijakan yang dikeluarkannya, maka akan terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Wallahu alam bishawab.
Oleh: Elah Hayani
Sahabat Tinta Media