Tinta Media: Menulis
Tampilkan postingan dengan label Menulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Menulis. Tampilkan semua postingan

Rabu, 13 Juli 2022

𝐘𝐔𝐊 𝐁𝐔𝐀𝐓 𝐏𝐄𝐑𝐓𝐀𝐍𝐘𝐀𝐀𝐍 𝐂𝐀𝐂𝐈𝐍𝐆 𝐀𝐆𝐀𝐑 𝐈𝐃𝐄 𝐈𝐍𝐒𝐏𝐈𝐑𝐀𝐓𝐈𝐅 𝐓𝐄𝐑𝐏𝐀𝐍𝐂𝐈𝐍𝐆 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐹𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑁𝑒𝑤𝑠)

Tinta Media - Salah satu kendala dalam membuat karangan khas (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠/FN) adalah merasa bingung atau merasa tak punya ide untuk menulis. Padahal berbagai peristiwa yang dapat direkonstruksi ke dalam bentuk cerita sangat berlimpah di dalam otak. 

Bila memori otak diibaratkan kolam, maka berbagai peristiwa inspiratif itu merupakan ikan yang sangat banyak berenang-renang di dalamnya. Oleh karena itu, Anda haruslah memancing agar terpilih peristiwa tertentu menjadi rancangan yang tersusun di dalam pikiran alias terpancing.

Lantas bagaimana caranya membuat pertanyaan cacing? Banyak sekali. Beberapa di antaranya sebagai berikut.


𝐌𝐞𝐦𝐚𝐧𝐜𝐢𝐧𝐠 𝐝𝐢 𝐊𝐨𝐥𝐚𝐦 𝐒𝐞𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢

Memancing di kolam sendiri artinya menggali ide untuk membuat kisah hidup sendiri. Maka peristiwa yang akan diceritakan kembali tentu saja terkait diri sendiri. Coba ingat-ingat, satu saja peristiwa yang paling berkesan yang Anda alami selama hidup ini. Setelah ingat, fokuskan ingatan Anda pada peristiwa tersebut dengan menjawab beberapa pertanyaan cacing yang mengarah pada rekonstruksi kejadian di dalam benak.

Peristiwa-peristiwa berkesan dimaksud sejatinya ada banyak. Di antaranya sebagai berikut. 

𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑠𝑡𝑖𝑤𝑎 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘 𝐼𝑠𝑙𝑎𝑚𝑛𝑦𝑎 𝐴𝑛𝑑𝑎, 𝑏𝑖𝑙𝑎 𝑑𝑢𝑙𝑢𝑛𝑦𝑎 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑀𝑢𝑠𝑙𝑖𝑚. Poin utama yang harus muncul ketika merekonstruksi dalam benak, salah satu caranya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan cacing di bawah ini: 

𝟷. 𝙼𝚎𝚗𝚐𝚊𝚙𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚞𝚔 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚍𝚎𝚐𝚊𝚗/𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚊𝚕𝚊𝚖𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚠𝚊𝚔𝚒𝚕𝚒 𝚓𝚊𝚠𝚊𝚋𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝.

𝟸. 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚝𝚒𝚝𝚒𝚔 𝚝𝚘𝚕𝚊𝚔 𝚙𝚎𝚛𝚞𝚋𝚊𝚑𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚗𝚘𝚗-𝙼𝚞𝚜𝚕𝚒𝚖 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝙼𝚞𝚜𝚕𝚒𝚖? 𝙹𝚊𝚠𝚊𝚋𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊 𝚙𝚎𝚖𝚊𝚙𝚊𝚛𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚞𝚝𝚞𝚜𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚖𝚒𝚕𝚒𝚑 𝚖𝚊𝚜𝚞𝚔 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚢𝚊𝚑𝚊𝚍𝚊𝚝.

𝟹. 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚕𝚒𝚔𝚊-𝚕𝚒𝚔𝚞𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚞𝚕𝚊𝚒 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚕𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚎𝚗𝚊𝚕 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚜𝚎𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚞𝚔 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖? 𝙹𝚊𝚠𝚊𝚋𝚕𝚊𝚑 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚒𝚗𝚒 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚜𝚎𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚒𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚠𝚊𝚋 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚗𝚘𝚖𝚘𝚛 𝚔𝚎𝚍𝚞𝚊.  

𝟺. 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚗𝚘𝚗-𝙼𝚞𝚜𝚕𝚒𝚖? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚔𝚎𝚓𝚊𝚍𝚒𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚠𝚊𝚔𝚒𝚕𝚒 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝. 

𝟻. 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚙𝚊𝚜𝚌𝚊-𝚖𝚊𝚜𝚞𝚔 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚔𝚎𝚓𝚊𝚍𝚒𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚠𝚊𝚔𝚒𝚕𝚒 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝. 

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑠𝑡𝑖𝑤𝑎 ℎ𝑖𝑗𝑟𝑎ℎ𝑛𝑦𝑎 𝐴𝑛𝑑𝑎 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑑𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑡 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑦𝑎𝑟𝑖𝑎𝑡 𝑠𝑒ℎ𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑡𝑎𝑎𝑡. Poin utama yang harus muncul ketika merekonstruksi dalam benak misalnya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini:

𝟷. 𝙼𝚎𝚗𝚐𝚊𝚙𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚑𝚒𝚓𝚛𝚊𝚑? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚍𝚎𝚐𝚊𝚗/𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚊𝚕𝚊𝚖𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚠𝚊𝚔𝚒𝚕𝚒 𝚓𝚊𝚠𝚊𝚋𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝.

𝟸. 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚝𝚒𝚝𝚒𝚔 𝚝𝚘𝚕𝚊𝚔 𝚙𝚎𝚛𝚞𝚋𝚊𝚑𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚞𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚛𝚒𝚔𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚝𝚊𝚊𝚝? 𝙹𝚊𝚠𝚊𝚋𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊 𝚙𝚎𝚖𝚊𝚙𝚊𝚛𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚞𝚝𝚞𝚜𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚖𝚒𝚕𝚒𝚑 𝚑𝚒𝚓𝚛𝚊𝚑 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝.

𝟹. 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚕𝚒𝚔𝚊-𝚕𝚒𝚔𝚞𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚞𝚕𝚊𝚒 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚜𝚞𝚔𝚊 𝚖𝚊𝚔𝚜𝚒𝚊𝚝 𝚜𝚎𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚊𝚕𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚊𝚝? 𝙹𝚊𝚠𝚊𝚋𝚕𝚊𝚑 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚒𝚗𝚒 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚜𝚎𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚒𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚠𝚊𝚋 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚗𝚘𝚖𝚘𝚛 𝚔𝚎𝚍𝚞𝚊. 

𝟺. 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚎𝚠𝚊𝚓𝚒𝚋𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚜𝚎𝚌𝚊𝚛𝚊 𝚔𝚊𝚏𝚏𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚑𝚒𝚓𝚛𝚊𝚑? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚔𝚎𝚓𝚊𝚍𝚒𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚠𝚊𝚔𝚒𝚕𝚒 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝. 

𝟻. 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚙𝚊𝚜𝚌𝚊-𝚜𝚊𝚍𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚔𝚘𝚖𝚒𝚝𝚖𝚎𝚗 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚜𝚎𝚌𝚊𝚛𝚊 𝚔𝚊𝚏𝚏𝚊𝚑? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚔𝚎𝚓𝚊𝚍𝚒𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚠𝚊𝚔𝚒𝚕𝚒 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝. 

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑟𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑒𝑠𝑒𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑘𝑜𝑛𝑑𝑖𝑠𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑑𝑖𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑜𝑙𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑙𝑎𝑘𝑎𝑛𝑔. Perhatikan 5 pertanyaan pada poin pertama dan 5 pertanyaan pada poin kedua. Pola pertanyaannya sama persis bukan? Pola tersebut sangat cocok ditanyakan untuk merekonstruksi berubahnya seseorang dari suatu kondisi menjadi kondisi yang bertolak belakang. 

Misalnya: 
- 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚊𝚍𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚋𝚎𝚛𝚔𝚎𝚛𝚞𝚍𝚞𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚋𝚎𝚛𝚔𝚎𝚛𝚞𝚍𝚞𝚗𝚐; 
- 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚊𝚍𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚓𝚎𝚛𝚊𝚝 𝚛𝚒𝚋𝚊 𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚊𝚔𝚝𝚒𝚟𝚒𝚜 𝚊𝚗𝚝𝚒-𝚛𝚒𝚋𝚊; 
- 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚐𝚘𝚗𝚝𝚊-𝚐𝚊𝚗𝚝𝚒 𝚙𝚊𝚌𝚊𝚛 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚊𝚔𝚝𝚒𝚟𝚒𝚜 𝚊𝚗𝚝𝚒-𝚙𝚊𝚌𝚊𝚛𝚊𝚗; 
- 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚊𝚍𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚞𝚜𝚞𝚑𝚒 𝚍𝚊𝚔𝚠𝚊𝚑 𝚔𝚑𝚒𝚕𝚊𝚏𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚙𝚎𝚓𝚞𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚑𝚒𝚕𝚊𝚏𝚊𝚑; 
- 𝚍𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚎𝚖𝚒𝚜𝚊𝚕𝚗𝚢𝚊.  

Pola pertanyaan yang sama bisa juga digunakan untuk memancing ide rekonstruksi kejadian dari kondisi yang buruk menjadi kondisi yang baik, dari kondisi yang baik ke kondisi yang lebih baik. Bahkan, 𝑛𝑎𝑢𝑑𝑧𝑢𝑏𝑖𝑙𝑙𝑎ℎ𝑖 𝑚𝑖𝑛 𝑑𝑧𝑎𝑙𝑖𝑘, bisa memancing ide rekonstruksi kejadian dari kondisi yang baik menjadi buruk, dari kondisi yang buruk menjadi lebih buruk. 

𝐾𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡, 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑠𝑡𝑖𝑤𝑎 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝐴𝑛𝑑𝑎 𝑑𝑖𝑢𝑗𝑖 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑠𝑎𝑘𝑖𝑡𝑛𝑦𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑐𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑠𝑒ℎ𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑚𝑏𝑢𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑖 𝐴𝑛𝑑𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑎𝑏𝑎𝑟 𝑚𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑑𝑎𝑝𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑡𝑎𝑎𝑡 𝑠𝑦𝑎𝑟𝑖𝑎𝑡. Pertanyaan pancingannya bisa seperti di bawah ini:

𝟷. 𝚂𝚒𝚊𝚙𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊𝚕 𝚍𝚊𝚗 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚜𝚒𝚊𝚙𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚔𝚒𝚝? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚜𝚘𝚜𝚘𝚔 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊𝚕 𝚍𝚊𝚗 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚔𝚒𝚝 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝.

𝟸. 𝙰𝚙𝚊 𝚍𝚊𝚖𝚙𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚊𝚐𝚒 𝙰𝚗𝚍𝚊? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚐𝚊𝚖𝚋𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚋𝚊𝚑𝚠𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚝/𝚍𝚒𝚕𝚎𝚖𝚊𝚝𝚒𝚜 𝚋𝚊𝚐𝚒 𝙰𝚗𝚍𝚊.

𝟹. 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚝𝚊𝚜𝚒 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚒𝚗𝚒? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚋𝚞𝚊𝚝𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚊𝚙𝚊𝚝 𝚍𝚒𝚜𝚒𝚖𝚙𝚞𝚕𝚔𝚊𝚗 𝚋𝚊𝚑𝚠𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚒𝚝𝚞 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚍𝚊𝚙𝚒/𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚝𝚊𝚜𝚒 𝚔𝚎𝚗𝚢𝚊𝚝𝚊𝚊𝚗 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚛𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊𝚕 𝚍𝚊𝚗 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚜𝚊𝚔𝚒𝚝.

𝟺. 𝙼𝚎𝚗𝚐𝚊𝚙𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝚖𝚞𝚜𝚒𝚋𝚊𝚑 𝚒𝚝𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚖𝚙𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚠𝚊𝚋 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚒𝚗𝚒. 

𝟻. 𝚂𝚎𝚖𝚙𝚊𝚝𝚔𝚊𝚑 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚑𝚊𝚖𝚙𝚒𝚛 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚗𝚊𝚖𝚞𝚗 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚔𝚎𝚖𝚋𝚊𝚕𝚒 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛? 𝚂𝚎𝚖𝚙𝚊𝚝𝚔𝚊𝚑 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚕𝚊𝚗𝚐𝚐𝚊𝚛 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝 𝚍𝚊𝚗 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚝𝚘𝚋𝚊𝚝 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚍𝚊𝚙𝚒 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚒𝚗𝚒? 𝙱𝚒𝚕𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚊𝚍𝚊, 𝚋𝚊𝚐𝚞𝚜 𝚍𝚒𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚓𝚞𝚐𝚊 𝚜𝚎𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚔𝚒𝚜𝚊𝚑𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚕𝚎𝚋𝚒𝚑 𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙.

Salah satu hasil FN-nya seperti yang ditulis Siti Aisyah ketika merekonstruksi peristiwa dilematis karena orang yang dicintainya ada yang meninggal dunia dan ada yang sakit dalam waktu bersamaan, 𝐷𝑖 𝐴𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎 𝐷𝑢𝑎 𝑃𝑖𝑙𝑖ℎ𝑎𝑛, 𝐼𝑏𝑢 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑆𝑢𝑎𝑚𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝐴𝑛𝑎𝑘𝑘𝑢? https://bit.ly/3AK43tg.

𝐾𝑒𝑙𝑖𝑚𝑎, 𝑚𝑜𝑚𝑒𝑛-𝑚𝑜𝑚𝑒𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝐴𝑛𝑑𝑎 𝑑𝑖𝑢𝑗𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖 𝑚𝑎𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑖 𝐴𝑛𝑑𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑝𝑎𝑦𝑎 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑡𝑎𝑎𝑡 𝑠𝑦𝑎𝑟𝑖𝑎𝑡 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑜𝑖𝑛 𝑘𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑗𝑎. Ada banyak kasus sepola yang dapat dipancing dengan lima pertanyaan pada poin keempat tersebut. 

Misalnya:
- 𝙰𝚍𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚔𝚎𝚕𝚞𝚊𝚛𝚐𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚙𝚎𝚗𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚠𝚊𝚛𝚐𝚊 𝚕𝚒𝚗𝚐𝚔𝚞𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚖𝚙𝚊𝚝 𝚝𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊𝚕 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚊𝚔𝚠𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚙𝚊𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚛𝚎𝚔𝚊 𝚜𝚎𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚖𝚋𝚞𝚕𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙𝚒 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚍𝚊𝚙𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝;

- 𝙰𝚍𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚎𝚔𝚘𝚗𝚘𝚖𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚝 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚖𝚙𝚊 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚜𝚎𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚖𝚋𝚞𝚕𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙𝚒 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚍𝚊𝚙𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝;

- 𝙰𝚍𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊 𝚍𝚒𝚙𝚎𝚌𝚊𝚝𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚎𝚔𝚎𝚛𝚓𝚊𝚊𝚗 𝚐𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚕𝚊𝚔𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚔𝚝𝚒𝚟𝚒𝚝𝚊𝚜 𝚊𝚖𝚊𝚛 𝚖𝚊𝚔𝚛𝚞𝚏 𝚗𝚊𝚑𝚒 𝚖𝚞𝚗𝚐𝚔𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚖𝚞𝚑𝚊𝚜𝚊𝚋𝚊𝚑 𝚕𝚒𝚕 𝚑𝚞𝚔𝚔𝚊𝚖 (𝚖𝚎𝚗𝚐𝚘𝚛𝚎𝚔𝚜𝚒 𝚙𝚎𝚗𝚐𝚞𝚊𝚜𝚊) 𝚗𝚊𝚖𝚞𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝;

- 𝙰𝚍𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊 𝚍𝚒𝚌𝚊𝚌𝚒𝚖𝚊𝚔𝚒𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚋𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚒𝚙𝚊𝚔𝚜𝚊 𝚖𝚎𝚕𝚎𝚙𝚊𝚜𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚛𝚞𝚍𝚞𝚗𝚐 𝚍𝚊𝚗 𝚓𝚒𝚕𝚋𝚊𝚋 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚞𝚝𝚞𝚜𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚝𝚞𝚙 𝚊𝚞𝚛𝚊𝚝 𝚜𝚎𝚌𝚊𝚛𝚊 𝚜𝚎𝚖𝚙𝚞𝚛𝚗𝚊 𝚜𝚎𝚜𝚞𝚊𝚒 𝚝𝚞𝚗𝚝𝚞𝚝𝚊𝚗 𝚊𝚓𝚊𝚛𝚊𝚗 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖, 𝚗𝚊𝚖𝚞𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝;

- 𝙰𝚍𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊 𝚍𝚒𝚌𝚊𝚌𝚒𝚖𝚊𝚔𝚒𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚋𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚒𝚙𝚎𝚛𝚜𝚎𝚔𝚞𝚜𝚒/𝚔𝚛𝚒𝚖𝚒𝚗𝚊𝚕𝚒𝚜𝚊𝚜𝚒 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚞𝚝𝚞𝚜𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚍𝚊𝚔𝚠𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚓𝚊𝚛𝚊𝚗 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝙰 𝚜𝚊𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚉, 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚔𝚒𝚍𝚊𝚑 𝚜𝚊𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚔𝚑𝚒𝚕𝚊𝚏𝚊𝚑, 𝚗𝚊𝚖𝚞𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝;

- 𝚍𝚊𝚗 𝚊𝚍𝚊-𝚊𝚍𝚊 𝚕𝚊𝚒𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚎𝚙𝚘𝚕𝚊, 𝚑𝚎… 𝚑𝚎…

𝐾𝑒𝑒𝑛𝑎𝑚, 𝑘𝑖𝑠𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑟ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛 (𝑠𝑢𝑐𝑐𝑒𝑠𝑠 𝑠𝑡𝑜𝑟𝑦). Selain berbagai kisah di atas, ada juga kisah keberhasilan dalam upaya Anda meraih sesuatu bukan? Munculkan berbagai pertanyaan cacing, mulai dari mengapa Anda bisa sukses melakukan hal tersebut hingga Anda mensyukurinya. 

Tetapi, tetap jawabannya berupa cerita peristiwa yang mengambarkan usaha Anda yang pantang menyerah ketika meraih cita-cita dimaksud. Dan seterusnya, dan seterusnya, saya percaya Anda bisalah cari pertanyaan cacing sendiri he… he… Tetapi sekali lagi ingat, apa pun pertanyaannya jawabannya harus dalam bentuk cerita. 

Kenapa jawabannya harus berupa cerita? Karena Anda sedang merekonstruksi kejadian yang dikemas dalam bentuk cerita. Kalau jawabannya bukan dalam bentuk cerita, maka jadinya nanti bukan karangan khas, tetapi opini (penyikapan Anda atas suatu peristiwa). 

Terkait menulis opini silakan Anda baca buku Tɪᴘs Tᴀᴋᴛɪs Mᴇɴᴜʟɪs ᴅᴀʀɪ Sᴀɴɢ Jᴜʀɴᴀʟɪs 𝐉𝐢𝐥𝐢𝐝 𝟏: 𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐎𝐩𝐢𝐧𝐢 (silakan klik https://bit.ly/3AAWzsK). Ngiklan he… he… Iklan ini penting bagi saya, agar istri senang melihat saya nulis. Selain berbagi ilmu dengan Anda sekalian, saya pun jadi dapat cuan. Aamiin.


𝐌𝐞𝐦𝐚𝐧𝐜𝐢𝐧𝐠 𝐝𝐢 𝐊𝐨𝐥𝐚𝐦 𝐎𝐫𝐚𝐧𝐠

Memancing di kolam orang artinya menggali ide untuk membuat kisah hidup orang lain. Maka peristiwa yang akan diceritakan kembali tentu saja terkait diri orang tersebut (bukan diri Anda). Pola pertanyaannya juga sama persis, bedanya kali ini Anda yang bertanya (mewawancarai) orang lain. Ubahlah pertanyaan-pertanyaan cacing di atas menjadi pertanyaan yang Anda tujukan kepada orang lain. Hasilnya, tentu saja bisa Anda bikin FN tentang orang tersebut.


𝐌𝐞𝐦𝐚𝐧𝐜𝐢𝐧𝐠 𝐝𝐢 𝐏𝐞𝐫𝐩𝐮𝐬𝐭𝐚𝐤𝐚𝐚𝐧

Diakui, memang saya agak memaksakan diri menamai subjudul ini dengan istilah memancing di perpustakaan he… he… tapi maksudnya begini 𝑙ℎ𝑜, Anda juga bisa mengangkat kisah hidup orang-orang yang pernah ditulis (dalam berbagai buku, artikel, berita, dan lainnya); maupun dari suara/video (kisah di 𝑌𝑜𝑢𝑇𝑢𝑏𝑒, radio, 𝑝𝑜𝑑𝑐𝑎𝑠𝑡, dan lainnya). 

Jadi dengan membaca atau mendengar/menonton itu semua, Anda bisa memancing dengan berbagai pertanyaan cacing di atas. Tentu saja pertanyaan cacing tersebut diajukan kepada diri Anda sendiri.

Kemudian, Anda jawab pakai bahasa Anda sendiri (kecuali kalimat kutipan langsung dari narasumber dalam kolam perpustakaan), sehingga menjadi karya yang bukan salin tempel (𝑐𝑜𝑝𝑦 𝑝𝑎𝑠𝑡𝑒/copas). Sumbernya pun bisa satu atau lebih dari satu video/suara/teks, yang penting semua pertanyaan cacing tersebut terjawab.


𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞 𝐄𝐦𝐛𝐞𝐫

Jangan lupa, setelah ikannya terpancing segera masukan ke ember tempat penyimpan ikan. Ember tersebut bisa berupa tulisan ataupun rekaman suara jawaban-jawaban pertanyaan cacing tersebut. Ikan-ikan tersebut nantinya diolah menjadi ikan bakar (FN pola kronologis); ikan goreng (FN pola 𝑓𝑙𝑎𝑠ℎ𝑏𝑎𝑐𝑘); atau pecel ikan (FN pola lainnya). 

Sedangkan cara mengolah ikan tersebut, eh, membuat alur cerita FN tersebut dapat Anda pelajari dengan menyimak bab 𝐵𝑢𝑎𝑖 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑐𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝐴𝑙𝑢𝑟 𝐶𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝐾𝑖𝑠𝑎ℎ 𝑁𝑦𝑎𝑡𝑎 pada pada tautan https://bit.ly/3nRrc5g.


𝐎𝐛𝐬𝐞𝐫𝐯𝐚𝐬𝐢

Ya, subjudul ini enggak mungkin saya paksakan menggunakan diksi memancing lagi, tetapi tetap pakai bahasa aslinya yakni observasi karena saya belum dapat padanan pemisalan yang pas kalau tetap pakai istilah memancing. Tapi yang jelas, observasi itu Anda berada di lokasi peristiwa terjadi. 

Anda amati secara seksama, masukan ke dalam ember ikan hal-hal yang menurut Anda itu penting, menarik dan atau penting dengan cara mencatatnya, merekamnya, dan atau mengingat-ingatnya. Untuk kemudian pada kesempatan yang pas dijadikan bahan tulisan FN. 

Misalnya: ketika Anda melakukan kunjungan ke objek wisata yang bersejarah; melihat suatu peristiwa yang inspiratif, terjebak di dalam suatu peristiwa penting dan atau menarik. Catat saja, insyaAllah kelak diperlukan untuk menulis FN. 

Banyak FN yang saya tulis yang sumbernya adalah observasi. Salah satu di antaranya adalah FN 𝐾𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝐷𝑖𝑑𝑒𝑠𝑎𝑘 𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑇𝑒𝑟𝑏𝑖𝑡𝑘𝑎𝑛 𝐼𝑀𝐵 𝐾𝑒𝑑𝑢𝑏𝑒𝑠 𝐴𝑚𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎, 𝐵𝑒𝑔𝑖𝑛𝑖𝑙𝑎ℎ 𝐶𝑎𝑟𝑎 𝐽𝑜𝑘𝑜𝑤𝑖 𝐵𝑒𝑟𝑘𝑒𝑙𝑖𝑡 https://bit.ly/3wIcDHa. Saya mencatat berbagai pernyataan penting dan menarik dari semua tokoh yang berbicara dalam peristiwa tersebut, untuk kemudian saya pilih yang relevan sehingga jadilah FN di atas. 
.
Bagaimana perasaan Anda melihat gerak-gerik dan pernyataan Presiden, eh, Gubernur Jokowi dalam FN di atas? He… he… Ingat, perasaan Anda itu sama sekali tidak saya tulis bukan? Tapi itulah target yang saya inginkan ketika Anda membacanya.


𝐁𝐞𝐫𝐛𝐚𝐠𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐥𝐚𝐦𝐚𝐧

Seperti yang sudah disinggung di atas, ide untuk menulis karangan khas sangatlah melimpah. Namun saya pribadi sering kali memancingnya dengan cara dikaitkan dengan peristiwa politik yang hangat bahkan sedang panas-panasnya. 

Contoh kasus: berulang kalinya pernyataan politis dari para pejabat dan juga kelompok-kelompok latah yang menyebut, 

𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊 𝚖𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚜𝚎𝚙𝚊𝚔𝚊𝚝𝚊𝚗 𝑓𝑜𝑢𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑓𝑎𝑡ℎ𝑒𝑟𝑠 (𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚋𝚊𝚗𝚐𝚜𝚊 𝙸𝚗𝚍𝚘𝚗𝚎𝚜𝚒𝚊). 

Agar ide muncul, maka saya membuat pertanyaan cacing: 

𝙱𝚎𝚗𝚊𝚛𝚔𝚊𝚑 𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊 𝚖𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚜𝚎𝚙𝚊𝚔𝚊𝚝𝚊𝚗 𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚋𝚊𝚗𝚐𝚜𝚊?

Untuk menjawabnya, siapa saja yang mau menulis karangan khasnya mau tidak mau mesti mendalami sejarah terkait lahirnya Pancasila dan berbagai peristiwa sejarah yang menunjukkan benar atau tidaknya pernyataan tersebut. 

Mendalaminya bisa dengan berbagai cara. Salah satu caranya dengan studi pustaka (memancing di perpustakaan ha… ha… pakai diksi memancing lagi). Di antaranya, membaca risalah sidang BPUPKI dan PPKI, risalah sidang Konstituante, dan referensi lain yang terkait. Misal, buku biografi salah satu peserta sidang BPUPKI, buku biografi salah satu peserta sidang Konstituante, dan buku-buku lain yang terkait pembahasan. 

Fokuskan pada pencarian jawaban terhadap pertanyaan di atas. Tapi dalam praktiknya sangat mungkin menemukan peristiwa lain yang penting dan atau menarik. Jangan mudah tergoda untuk berganti fokus. Hal lain tersebut cukup saja ditandai dan bisa diagendakan untuk bahan tulisan berikutnya.

Maka, akhirnya terbitlah karangan khas yang berjudul 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 (silakan klik https://bit.ly/3tMuXMK). Karangan khas tersebut sama sekali tidak menyinggung pernyataan yang menyebut, “Pancasila merupakan kesepakatan para pendiri bangsa Indonesia).” Tapi, siapa pun yang membaca FN 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 normalnya akan berkesimpulan pernyataan para pejabat dan orang-orang yang latah tersebut hanyalah hoaks belaka. Benar enggak?

Oh iya, salah satu ciri FN yang baik itu ketika ingin menyatakan pesan utama bahwa sesuatu itu hoaks, sama sekali tidak mengatakan hal tersebut itu hoaks, tapi cukup saja merekonstruksi suatu peristiwa yang secara umumnya pembaca akan menyimpulkan bahwa sesuatu itu hoaks. 

Itulah salah satu seninya membuat 𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠, tidak 𝑠𝑡𝑟𝑎𝑖𝑔ℎ𝑡/𝑡𝑜 𝑡ℎ𝑒 𝑝𝑜𝑖𝑛𝑡 (lugas/langsung pada pokok permasalahan) sebagaimana berita lugas (𝑠𝑡𝑟𝑎𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑛𝑒𝑤𝑠/SN). 

Jadi, yang disampaikan penulis kepada pembaca itu bukan kesimpulannya sebagaimana SN, tetapi rekonstruksi suatu peristiwa sedemikian rupa sehingga peristiwanya tergambar jelas di benak pembaca agar pembaca menyimpulkan sendiri yang tentu saja kesimpulannya seperti yang penulis maui. Menarik bukan?[]

Depok, 12 Dzulhijjah 1443 H | 11 Juli 2022 M

Joko Prasetyo 
Jurnalis

Jumat, 01 Juli 2022

𝐁𝐄𝐃𝐀 𝐃𝐄𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐂𝐄𝐑𝐏𝐄𝐍, 𝐊𝐀𝐑𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐊𝐇𝐀𝐒 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍𝐋𝐀𝐇 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐊𝐇𝐀𝐘𝐀𝐋𝐀𝐍 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐹𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑁𝑒𝑤𝑠)

Tinta Media - Karena peristiwa yang direkonstruksinya dikemas dalam bentuk cerita, maka penyajian karangan khas (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠/FN) mirip dengan cerita pendek (cerpen) maupun novel. Bahkan ada saja di antara Anda yang mengira FN itu ya cerpen/novel. Padahal sejatinya berbeda. 

Perbedaannya adalah semua unsur cerita yang ditulis dalam karangan khas itu nyata (nonfiksi) sedangkan dalam cerpen/novel itu minimal salah satu unsurnya adalah khayalan (fiksi). 

Jadi, meski bentuk penyajiannya berupa cerita dan memiliki banyak kesamaan unsur dengan cerpen (cerita pendek) maupun novel namun karangan khas bukanlah khayalan sedangkan cerpen/novel merupakan khayalan. 

Maka, semua unsur FN (tokoh; karakter dan kepribadian tokoh; tingkah laku dan perkataan tokoh; lokasi, waktu, dan suasana peristiwa yang diceritakan) itu memang harus benar-benar terjadi. Berbeda dengan cerpen (cerita pendek) dan novel yang ---minimal salah satu dari unsur di atas itu--- hanyalah khayalan belaka.

Oleh karena itu cerpen tidak bisa dikatakan sebagai produk jurnalistik meskipun kerap dimuat di media massa. Begitu juga dengan novel yang ditulis berseri (bersambung) dalam media massa, juga tak bisa disebut produk jurnalistik. Keduanya adalah produk sastra, bukan jurnalistik. Karena produk jurnalistik itu tidak boleh berupaya khayalan. 

Perhatikan baik-baik tiga kategori cerita di bawah ini:
1. Cerita khayalan.
2. Cerita khayalan terinspirasi kisah nyata (sebagian nyata sebagian khayalan).
3. Cerita kisah nyata.

Kategori mana ya yang termasuk FN? Benar, hanya kategori tiga saja yang termasuk FN, sisanya sudah termasuk cerpen/novel.

Sekarang sudah paham 𝑘𝑎𝑛 perbedaan antara FN dengan cerpen?[]

Depok, 2 Dzulhijjah 1443 H | 1 Juli 2022 M

Joko Prasetyo 
Jurnalis

𝐆𝐀𝐘𝐀 𝐏𝐄𝐍𝐔𝐋𝐈𝐒𝐀𝐍 𝐒𝐀𝐍𝐆𝐀𝐓 𝐁𝐄𝐑𝐏𝐄𝐍𝐆𝐀𝐑𝐔𝐇 𝐏𝐀𝐃𝐀 𝐏𝐄𝐍𝐘𝐀𝐉𝐈𝐀𝐍 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐹𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑁𝑒𝑤𝑠)


Tinta Media - Gaya penulisan setiap penulis karangan khas (rekonstruksi suatu peristiwa ke dalam bentuk cerita/𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠/FN) berbeda-beda. Peristiwa yang sama pastilah akan berbeda hasilnya ketika ditulis oleh orang yang berbeda karena cara pengungkapannya memang beragam. 

Perbedaannya ditentukan oleh banyak hal. Di antaranya adalah wawasan si penulis terkait peristiwa yang akan diceritakan; pilihan temanya (terkait pilihan tema, silakan baca tips taktis 𝑇𝑒𝑚𝑎, 𝐽𝑖𝑤𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑅𝑒𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑟𝑢𝑘𝑠𝑖 𝐾𝑒𝑗𝑎𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛 dengan mengklik https://bit.ly/3Nui9Sp); tokoh-tokoh yang diceritakan; kutipan-kutipan kalimat dan perbuatan si tokoh yang dipilih.

Terakhir, kemampuan secara teknis si penulis dalam menulis karangan khas baik dari sisi kesesuaiannya dengan kaidah jurnalistik maupun jam duduk, eh, jam terbangnya dalam praktik menulis karangan khas. 

Di gaya penulisan inilah istilah seni relevan disematkan kepada karangan khas. Semakin luas wawasan penulisnya dan semakin piawai dalam menyajikannya maka akan semakin indah dan bermutu tinggi karya karangan khasnya. Makanya, gaya penulisan menjadi unsur FN yang sangat berpengaruh dalam menarik tidaknya cerita yang disajikan. 

𝐁𝐞𝐫𝐛𝐚𝐠𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐥𝐚𝐦𝐚𝐧 

Dalam membuat FN, saya biasanya mengumpulkan banyak pertanyaan di benak lalu menjawabnya sendiri (mewawancarai diri sendiri he… he…). Jawaban-jawabannya ada yang seketika terjawab (karena informasi terkait pertanyaan tersebut sudah ada di benak), ada pula yang mengharuskan saya mencari jawaban dengan berbagai cara (observasi, wawancara orang lain, dan atau studi pustaka).

Jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebutlah yang nantinya direkonstruksi menjadi alur cerita FN (terkait tips taktis tentang alur cerita silakan baca 𝐵𝑢𝑎𝑖 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑐𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝐴𝑙𝑢𝑟 𝐶𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝐾𝑖𝑠𝑎ℎ 𝑁𝑦𝑎𝑡𝑎 dengan mengklik https://bit.ly/3ua341o). 

Pertanyaan-pertanyaan dimaksud, sebagaimana layaknya seorang jurnalis, memang selalu seputar 5W1H (yakni: siapa/𝑤ℎ𝑜, sedang apa/𝑤ℎ𝑎𝑡, kapan/𝑤ℎ𝑒𝑛, di mana/𝑤ℎ𝑒𝑟𝑒, mengapa/𝑤ℎ𝑦, dan bagaimana ceritanya/ℎ𝑜𝑤).

Misalnya, ketika hendak menuliskan FN tentang sejarah dasar negara Indonesia modern. Jelaslah banyak tokoh yang terlibat di dalamnya. Tokoh mana saja yang akan diceritakan (𝑤ℎ𝑜)? Tentu saja tokoh yang berkaitan dengan perumusan dasar negara. Ternyata tokoh-tokoh yang telibat terbagi pada dua kubu: kubu Islam versus kubu sekuler. 

Dari kubu Islam, misalnya, siapa saja yang mau dikutip (masih 𝑤ℎ𝑜)? Ada banyak, salah satunya adalah Ki Bagoes Hadikoesoemo. Mengapa harus Ki Bagoes (𝑤ℎ𝑦)? Karena setelah saya membaca beberapa referensi terkait Sidang BPUPKI/PPKI (Mei-Juli 1945); Penghapusan Tujuh Kata Pasca-Proklamasi (18 Agustus 1945); Sidang Konstituante (1956-1959), peran Ki Bagoes sangat vital dan berdampak. Salah satu dampaknya adalah adanya Pemilu 1955 dan Sidang Konstituante.   

Kalimat apa yang mau dikutip dari Ki Bagoes (𝑤ℎ𝑎𝑡)? Salah satunya pernyataan Ki Bagoes yang mengusulkan agar kata ‘bagi pemeluk-pemeluknya’ dicoret. Jadi bunyinya hanya ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariah Islam’. Kapan Ki Bagoes menyatakannya (𝑤ℎ𝑒𝑛)? 14 Juli 1945. Di mana (where)? Pada Sidang BPUPKI di Jakarta.

Mengapa kalimat itu dikutip (𝑤ℎ𝑦 lagi)? Karena beberapa alasan. 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, karena memiliki arti yang berbeda secara signifikan. “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya” itu hanya mengikat bagi individu Muslim. Sedangkan, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam” itu maknanya negara harus menjalankan syariat Islam (mengikat negara). 

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, Soekarno (tokoh kubu sekuler/Muslim yang tak mau menjadikan Islam sebagai dasar negara), menolak mentah-mentah usul Ki Bagoes, karena secara ideologis itu sangat bertentangan dengan sekularisme. 

Namun, karena Soekarno sangat piawai dalam berdiplomasi maka alasan yang diungkapkan adalah Ki Bagoes menyalahi kesepakatan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Buktinya apa? Pada 18 Agustus 1945, secara sepihak Soekarno mengubahnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 𝐿ℎ𝑎!?

Sangat-sangat bertentangan dengan kesepakatan Piagam Jakarta bukan? Apalagi dari sisi makna “Ketuhanan Yang Maha Esa” hanya mengakui Tuhan itu Esa, tidak terkandung konsekuensi bahwa kaum Muslim, apalagi negara, harus terikat aturan Islam. Bandingkan dengan usulannya Ki Bagoes untuk dasar negara yang berbunyi, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”.

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, saya secara pribadi belum pernah membaca pernyataan tersebut di berbagai tulisan produk jurnalistik dari penulis lainnya (jadi, kalau memang belum ada, maka FN saya menjadi FN pertama yang mengutipnya pada 2010 dengan judul 𝐾𝑖 𝐵𝑎𝑔𝑜𝑒𝑠 𝐻𝑎𝑑𝑖𝑘𝑜𝑒𝑠𝑜𝑒𝑚𝑜, 𝑃𝑒𝑗𝑢𝑎𝑛𝑔 𝑆𝑦𝑎𝑟𝑖𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 𝑆𝑜𝑒𝑘𝑎𝑟𝑛𝑜, dan pada 2017 dengan judul 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖).

Padahal pernyataan tersebut sangat penting dipublikasikan sebagai produk jurnalistik agar publik mengetahuinya. Karena jumlahnya tentu saja jauh lebih sedikit publik yang membaca buku (apalagi buku sejarah) daripada membaca berita (FN merupakan salah satu bentuk penyajian berita) bukan? Tapi bila Anda tidak memviralkan berita tersebut, ya produk jurnalistiknya hanya sebagai buku harian saja. 

Dengan pola yang sama (bertanya dan menjawab sendiri), maka terhimpunlah sejumlah nama tokoh kubu Islam dan tokoh kubu sekuler, dengan berbagai pernyataannya. Semuanya disusun sedemikian rupa ke dalam alur cerita dan suasana yang melingkupinya sehingga menjawab pertanyaan ℎ𝑜𝑤.

Maka, jadilah FN yang memenuhi 5W1H yang ---insyaAllah--- enak dibaca dan menggugah. Silakan buktikan dengan membaca FN yang berjudul 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 (silakan klik https://bit.ly/3tMuXMK).

Padahal proses pembuatannya 𝑛𝑗𝑙𝑖𝑚𝑒𝑡 (sulit dan banyak hambatan) 𝑙ℎ𝑜. Meski demikian pengerjaannya tetap harus fokus dan tidak panik; perluas wawasan dengan diawali memunculkan berbagai pertanyaan dan jawabannya untuk meningkatkan pemahaman. 

Dalam prosesnya, harus tetap cermat dan penuh kesabaran. Dan satu lagi, secara teknis memang Anda harus belajar teknik menulis FN. Kemudian meningkat kemampuan dengan terus menerus mempraktikkannya.

Oh iya, bila FN 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 menurut Anda penting untuk diketahui khalayak, baiknya diviralkan. Semoga menjadi pahala jariah kita bersama dari setiap membaca yang tercerahkan sehingga (semakin) bersemangat memperjuangkan Islam. Aamiin.[]

Depok, 30 Dzulqa’dah 1443 H | 29 Juni 2022 M

Joko Prasetyo 
Jurnalis

Kamis, 30 Juni 2022

𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐋𝐔𝐏𝐀 𝐒𝐄𝐑𝐓𝐀𝐊𝐀𝐍 𝐋𝐀𝐓𝐀𝐑 𝐓𝐄𝐌𝐏𝐀𝐓, 𝐖𝐀𝐊𝐓𝐔, 𝐃𝐀𝐍 𝐒𝐔𝐀𝐒𝐀𝐍𝐀 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀𝐍𝐘𝐀 𝐘𝐀…(𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔)

Tinta  Media - Karena fokus dan keasyikan menyajikan sepak terjang tokoh, beberapa penulis karangan khas (rekonstruksi suatu peristiwa yang dikemas ke dalam bentuk cerita/𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠/FN) terkadang lupa mencantumkan latar waktu, tempat, dan suasana cerita. 

Penulis FN yang tidak mencantumkan latar tempat kadang suka saya tegur dengan pertanyaan, “Lokasi kejadiannya di Mars atau di mana ini?” 

Beberapa penulis hanya mencantumkan nama hari. Ahad, misalnya. Kontan saja saya pertanyakan dengan kalimat, “Ini Ahad kapan? Ahad kemarin, Ahad pekan depan, Ahad tahun lalu, atau Ahad kapan-kapan?”

Sedangkan penulis yang sudah jadi reporter dan terbiasa menulis berita lugas (rekonstruksi peristiwa yang langsung pada pokok permasalahan/straight news/SN), tidak ada masalah dengan penulisan waktu dan tempat, karena sudah terbiasa dengan membuat naskah yang memenuhi standar dasar informasi yang menjawab enam pertanyaan dasar. Enam pertanyaan dasar tersebut dikenal dengan sebutan 5W1H, yakni siapa (𝑤ℎ𝑜), sedang apa (𝑤ℎ𝑎𝑡), kapan (𝑤ℎ𝑒𝑛), di mana (𝑤ℎ𝑒𝑟𝑒), mengapa (𝑤ℎ𝑦), dan bagaimana ceritanya (ℎ𝑜𝑤).

Namun yang jadi masalah, beberapa di antara mereka tidak menyinggung sama sekali latar suasana cerita. Walhasil naskah yang dibuatnya sama dengan SN. Kritik pun saya layangkan, “Diminta bikin FN kok jadinya SN?”

Siapa di antara pembaca yang pernah mengalami nasib ditegur 𝑐𝑜𝑎𝑐ℎ 𝑘𝑖𝑙𝑙𝑒𝑟 seperti di atas? Ayo curhat di kolom komentar. Ha… ha…  Ya, salah satu di antara Anda ada yang bilang langsung ke saya, bahwa saya seperti itu. Waduh, padahal saya hanya menyampaikan masalah apa adanya lho agar terlihat jelas kesalahannya, lalu diberikan solusinya. He… he… 

Ingat baik-baik, tidak ada satu peristiwa yang terjadi di dunia ini tanpa adanya latar tempat, latar waktu, dan suasana yang melingkupinya. Maka, ketika Anda hendak membuat FN, jangan lupa cantumkan pula ketiganya. Karena yang Anda tulis ini kisah nyata bukan? Selain itu, memang tempat, waktu, dan suasana merupakan unsur yang harus ada dalam naskah karangan khas.


Perbedaan

Agar Anda dapat membedakan FN dengan jenis tulisan lainnya, coba simak baik-baik empat poin di bawah ini. 

𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑏𝑖𝑙𝑎 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑡𝑢𝑚𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑜 𝑠𝑎𝑗𝑎, 𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑖𝑘𝑎𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 𝑗𝑢𝑟𝑛𝑎𝑙𝑖𝑠𝑡𝑖𝑘. 

Contoh: 

𝙱𝚞𝚢𝚊 𝙷𝚊𝚖𝚔𝚊.

Terus kenapa dengan Buya Hamka? Jenis tulisan macam apa ini? Enggak jelas banget, kan?

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑏𝑖𝑙𝑎 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑡𝑢𝑚𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑜 𝑑𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑗𝑎, ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑖𝑗𝑎𝑑𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑚𝑒, 𝑒𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑖𝑗𝑎𝑑𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑆𝑁 𝑎𝑝𝑎𝑙𝑎𝑔𝑖 𝐹𝑁.

Contoh: 
“𝙱𝚒𝚕𝚊 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊, 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚓𝚞 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗 𝚔𝚎 𝚗𝚎𝚛𝚊𝚔𝚊 … " 

𝙱𝚞𝚢𝚊 𝙷𝚊𝚖𝚔𝚊

Keren banget bukan kalau dibikin meme? Apalagi ditambah foto Buya Hamka yang bersurban dan peci. Wah, pesan yang disampaikan jadi lebih kuat di benak pembaca. Tapi jelas ini bukan FN.

 
𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑜, 𝑤ℎ𝑎𝑡, 𝑤ℎ𝑒𝑛, 𝑑𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑒𝑟𝑒 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛𝑎 𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 (𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑟𝑢𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 ℎ𝑜𝑤) 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑐𝑎𝑛𝑡𝑢𝑚, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑛𝑎𝑠𝑘𝑎ℎ𝑛𝑦𝑎 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑆𝑁 𝑠𝑎𝑗𝑎.

Contoh:  

“𝙱𝚒𝚕𝚊 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊, 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚓𝚞 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗 𝚔𝚎 𝚗𝚎𝚛𝚊𝚔𝚊 …," 𝚞𝚓𝚊𝚛 𝙱𝚞𝚢𝚊 𝙷𝚊𝚖𝚔𝚊, 𝚍𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚂𝚒𝚍𝚊𝚗𝚐 𝙺𝚘𝚗𝚜𝚝𝚒𝚝𝚞𝚊𝚗𝚝𝚎 𝚙𝚊𝚍𝚊 𝟷𝟿𝟻𝟽 𝚍𝚒 𝙶𝚎𝚍𝚞𝚗𝚐 𝙼𝚎𝚛𝚍𝚎𝚔𝚊, 𝙱𝚊𝚗𝚍𝚞𝚗𝚐.

𝐾𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡, 𝐹𝑁 𝑚𝑒𝑛𝑢𝑛𝑡𝑢𝑡 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑖𝑡𝑢 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎, 𝑏𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛𝑎 𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 (𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 ℎ𝑜𝑤) 𝑚𝑒𝑠𝑡𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑔𝑎𝑚𝑏𝑎𝑟 𝑗𝑢𝑔𝑎. 

Contoh:

𝙳𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚕𝚊𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚊𝚗 𝚋𝚕𝚊𝚔-𝚋𝚕𝚊𝚔𝚊𝚗, 𝙱𝚞𝚢𝚊 𝙷𝚊𝚖𝚔𝚊 𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚒𝚗𝚐𝚊𝚝𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚎𝚜𝚎𝚛𝚝𝚊 𝚂𝚒𝚍𝚊𝚗𝚐 𝙺𝚘𝚗𝚜𝚝𝚒𝚝𝚞𝚊𝚗𝚝𝚎 (𝟷𝟿𝟻𝟼-𝟷𝟿𝟻𝟿). “𝙱𝚒𝚕𝚊 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊, 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚓𝚞 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗 𝚔𝚎 𝚗𝚎𝚛𝚊𝚔𝚊 …," 𝚝𝚎𝚐𝚊𝚜 𝚊𝚗𝚐𝚐𝚘𝚝𝚊 𝚏𝚛𝚊𝚔𝚜𝚒 𝙿𝚊𝚛𝚝𝚊𝚒 𝙼𝚊𝚜𝚢𝚞𝚖𝚒 𝚒𝚝𝚞 𝚙𝚊𝚍𝚊 𝟷𝟿𝟻𝟽 𝚍𝚒 𝙶𝚎𝚍𝚞𝚗𝚐 𝙼𝚎𝚛𝚍𝚎𝚔𝚊, 𝙱𝚊𝚗𝚍𝚞𝚗𝚐. 𝚃𝚎𝚗𝚝𝚞 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚑𝚊𝚍𝚒𝚛𝚒𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚔𝚎𝚓𝚞𝚝 𝚖𝚎𝚗𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚛 𝚙𝚎𝚛𝚗𝚢𝚊𝚝𝚊𝚊𝚗 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚊𝚔𝚝𝚒𝚏 𝚍𝚒 𝚘𝚛𝚖𝚊𝚜 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝙼𝚞𝚑𝚊𝚖𝚖𝚊𝚍𝚒𝚢𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝. 𝚃𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚙𝚒𝚑𝚊𝚔 𝚙𝚎𝚗𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊, 𝚓𝚞𝚐𝚊 𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚜𝚊𝚖𝚊-𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚔𝚎𝚓𝚞𝚝.

Bagaimana? Terbayang beda bukan antara FN dengan produk jurnalistik lainnya? Bukan hanya beda, tetapi juga terasa lebih hidup. Benar enggak? Jadi, ketika menulis FN, jangan lupa cantumkan latar waktu, tempat, dan suasana ya.

Mengapa? Seperti yang sudah disinggung di atas, tidak ada satu peristiwa yang terjadi di dunia ini tanpa adanya latar tempat, latar waktu, dan suasana yang melingkupinya. Sedangkan, FN adalah jenis tulisan yang mencoba mengajak pembaca seolah menyaksikan kejadian tersebut. 

Dalam contoh kasus di atas, pembaca diajak menyaksikan langsung ketika Buya Hamka berpidato dalam Sidang Konstituante. Oh iya, Anda teriak Allahu Akbar enggak ketika menyaksikan Buya Hamka berpidato demikian?[]

Depok, 29 Dzulqa’dah 1443 H | 28 Juni 2022 M

Joko Prasetyo 
Jurnalis

Rabu, 29 Juni 2022

𝐁𝐔𝐀𝐈 𝐏𝐄𝐌𝐁𝐀𝐂𝐀 𝐃𝐄𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐀𝐋𝐔𝐑 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐊𝐈𝐒𝐀𝐇 𝐍𝐘𝐀𝐓𝐀(𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔)

Tinta Media - Ibarat pariwisata, alur cerita merupakan rute perjalanan wisata yang disusun sedemikan rupa agar wisatawan mendapatkan pengalaman perjalanan yang sangat berkesan ketika melihat beberapa objek wisata dan mendengar penjelasannya dari pemandu. 

Maka, bila Anda mendatangi objek wisata yang sama tetapi menggunakan jasa travel dan pemandu yang berbeda, tentu saja akan mendapatkan kesan dan informasi yang berbeda. Mengapa? Karena memang pola perjalanan wisatanya dan titik tekan informasi yang disampaikan pemandunya juga berbeda. 

Begitu juga ketika Anda membaca karangan khas (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠/FN) akan mendapatkan efek tertentu yang berbeda pula ketika membaca naskah dari penulis berbeda dan alur cerita yang berbeda, padahal objek ceritanya sama. Karena, 𝑎𝑙𝑢𝑟 𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 memang merupakan jalinan peristiwa dalam cerita untuk memperoleh efek tertentu. 

Efek dimaksud sangat tergantung kepada tema (silakan baca 𝑇𝑒𝑚𝑎, 𝐽𝑖𝑤𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑅𝑒𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑟𝑢𝑘𝑠𝑖 𝐾𝑒𝑗𝑎𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛 dengan mengklik https://bit.ly/3tUAbX1). Apakah Anda ingin membuat pembaca marah terhadap kezaliman? Ingin melawan kezaliman? Setuju dengan Islam? Ataupun ingin pembaca turut memperjuangkan Islam? Itu semua merupakan salah empat, eh, salah satu efek yang sebaiknya ditetapkan dalam merekonstruksi kejadian yang Anda ceritakan dalam bentuk cerita kepada para pembaca.

Coba Anda baca FN yang berjudul 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 (silakan klik https://bit.ly/3tMuXMK). Efek atau kesan apa yang Anda rasakan ketika membaca FN tersebut? Apa yang Anda rasakan pula usai membaca FN tersebut? Coba saya tebak, semua yang Anda rasakan tidak keluar dari empat efek di atas. Benar enggak? InsyaAllah, benar ya.

Sebagaimana rute dan panduan wisata yang tak boleh berjalan tanpa perencanaan ketika membuka jasa travel wisata, maka ketika menulis FN pun alur cerita merupakan salah satu unsur FN yang tak boleh dibuat asal-asalan apalagi diabaikan. Bagi Anda yang kesulitan membuat alurnya, semoga pembahasan enam adegan dan pola cerita di bawah ini dapat membantu.

𝐄𝐧𝐚𝐦 𝐀𝐝𝐞𝐠𝐚𝐧

Alur cerita yang ideal itu mengandung enam macam adegan. 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑎𝑙𝑎𝑛. Seperti namanya dalam paragraf-paragraf awal FN yang dibuat berisi pengenalan. Umumnya berupa pengenalan terhadap tokoh cerita dan konteksnya. 

Contoh: Memperkenalkan tokoh-tokoh yang merumuskan dasar negara dalam sidang BPUPKI. Mereka berada dalam sidang yang diselenggaran penjajah Jepang dan disaksikan tujuh perwakilan penjajah Jepang tersebut untuk merumuskan dasar negara dan undang-undang dasar. 

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑝𝑒𝑚𝑖𝑐𝑢 𝑚𝑢𝑛𝑐𝑢𝑙𝑛𝑦𝑎 𝑘𝑜𝑛𝑓𝑙𝑖𝑘. Pada paragraf-paragraf ini diceritakan peristiwa yang menjadi pemicu munculnya masalah yang menimpa tokoh/subjek cerita. 

Contoh: para tokoh dalam sidang BPUPKI terbagi menjadi dua kubu; satu kubu ingin Islam sebagai dasar negara (kubu Islam); kubu lainnya ingin bukan Islam sebagai dasar negara (kubu sekuler). 

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑘𝑜𝑛𝑓𝑙𝑖𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑘𝑖𝑛 𝑚𝑒𝑟𝑢𝑚𝑖𝑡. Pada paragraf-paragraf ini diceritakan perkembangan cerita yang membuat masalah semakin rumit. 

Contoh: terjadi perdebatan antara tokoh yang beda kubu mempertahankan prinsipnya masing-masing.

Dalam paragraf-paragraf ini bisa saja diceritakan peristiwanya hendak antiklimaks tetapi ternyata muncul masalah baru yang lebih pelik (konflik tingkat 2). 

Contoh: Disepakatilah Piagam Jakarta. Salah satu tokoh kubu Islam protes. Lalu tokoh kubu sekuler meredam protes. Tapi usai proklamasi tokoh kubu sekuler mengkhianati Piagam Jakarta. Tokoh kubu Islam dibujuk untuk setuju dengan dalih enam bulan lagi diadakan pemilu Maret 1946 untuk memilih anggota Konstituante yang merumuskan dasar negara dan undang-undang dasar.

Belum juga dapat diatasi, muncul lagi masalah yang lebih berat (konflik tingkat 3). 

Contoh: Enam bulan lewat, tapi janji tak dipenuhi. Bahkan sampai tahun 1953, sang tokoh kubu Islam yang menerima janji tokoh kubu sekuler meninggal dunia tapi pemilu belum juga terlaksana. Emosi kubu Islam naik kembali dan mendesak diadakannya pemilu. 

𝐾𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡, 𝑘𝑙𝑖𝑚𝑎𝑘𝑠. Pada paragraf-paragraf ini diceritakan konflik/masalahnya sudah membuncah. Pembuncahan yang lebih mantap itu juga masih bersengkarut dengan konflik tingkat 2. 

Contoh: Kejadian pada sidang BPUPKI seakan terulang di sidang Konsituante. Dalam sidang hasil pemilu 1955 menghasilkan dua blok besar yakni kubu Islam yang tetap bernama Blok Islam versus kubu sekuler yang berganti nama menjadi Blok Pancasila. Perdebatan sengit kembali terjadi.  

Klimaks tingkat 3 juga bisa dimasukan, agar alur cerita semakin seru. 

Contoh: Pernyataan Buya Hamka dalam sidang Konstituante yang menyebut, “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka…”  

𝐾𝑒𝑙𝑖𝑚𝑎, 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑘𝑙𝑖𝑚𝑎𝑘𝑠. Pada paragraf-paragraf ini diceritakan masalah tersebut sudah mulai teruari, terlepas terurai ke arah yang diinginkan tokoh/subjek cerita atau sebaliknya, tetapi yang jelas ketegangan berangsur mulai mereda. Begitu juga bila di poin ketiga menyajikan konflik tingkat lanjut maka di antiklimaks ini juga konflik tingkat lanjut itu juga mulai terurai.

Contoh: Pada akhir sidang tahun 1958, penyusunan konstitusi telah mencapai 90 persen dari seluruh materi UUD. Namun masih saja terjadi perdebatan sengit soal dasar negara. Lalu Soekarno meminta Konstituante menentukan tenggat untuk segera menyelesaikan pekerjaannya nanti pada 26 Maret 1960. 

𝐾𝑒𝑒𝑛𝑎𝑚, 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑒𝑙𝑒𝑠𝑎𝑖𝑎𝑛. Pada paragraf ini cerita diakhiri. Isinya, bisa penyelesaian yang menyenangkan; menyedihkan; menegaskan kembali pesan di paragraf awal; atau menggantung. Tentu saja menggantung di sini bukan berarti ceritanya terpotong, melainkan si penulis sengaja tidak menyimpulkan ke salah satu dari tiga penyelesaian di atas. Alasannya bisa karena penulis ingin membiarkan pembaca memutuskan sendiri penyelesaiannya atau memang lantaran kejadiannya juga belum bisa diprediksi bakal berujung ke mana. 

Contoh:  penyelesaian yang menyedihkan/mengecewakan bagi blok Islam. Anehnya, meski 𝑑𝑒𝑎𝑑𝑙𝑖𝑛𝑒 masih sembilan bulan lagi, tiada angin tiada hujan, pada 5 Juni 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit presiden pembubaran Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sejak itu, dimulailah masa baru yang sangat represif dan kemudian lebih dikenal dengan istilah masa Demokrasi Terpimpin.


𝐏𝐨𝐥𝐚 𝐀𝐥𝐮𝐫 𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚

Berdasarkan keenam adegan di atas maka dapat dibuat beberapa pola alur ceritanya. 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑝𝑜𝑙𝑎 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟/𝑝𝑜𝑙𝑎 𝑘𝑟𝑜𝑛𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖𝑠. Dari paragraf-paragraf awal hingga paragraf terakhir secara berurutan polanya berupa: pengenalan --) pemicu munculnya konflik --) konflik semakin merumit --) klimaks --) antiklimaks --) penyelesaian. Pola ini yang paling umum digunakan dalam penulisan alur cerita FN.

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑝𝑜𝑙𝑎 𝑘𝑖𝑙𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑙𝑖𝑘 (𝑓𝑙𝑎𝑠ℎ𝑏𝑎𝑐𝑘). Untuk memberikan kesan yang dramatis di awal-awal paragraf maka pola kilas balik cocok digunakan karena pembaca langsung disuguhi konflik yang semakin merumit. Polanya: konflik semakin merumit --) pengenalan --) pemicu munculnya konflik --) klimaks --) antiklimaks --) penyelesaian.

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑝𝑜𝑙𝑎 𝑎𝑐𝑎𝑘. Sesuai namanya. Polanya tidak seperti urutan pada kedua pola di atas. Polanya ya terserah si penulisnya. Mau mulai dari mana saja bebas. Bahkan mau mulai dari penyelesaian terlebih dahulu bisa lho. 

Sebaiknya pola ini hanya dilakukan bila Anda memang sudah bisa membuat FN dengan dua pola sebelumnya. Karena, bila tak dapat menyusunnya dengan landai dan presisi di setiap pergantian adaegannya, cerita yang disajikan terkesan melompat-lompat alias tidak menyambung dari satu adegan ke adegan lainnya.

Coba tebak, FN Janji Itu Dikhianati menggunakan pola yang mana?


𝐌𝐞𝐧𝐚𝐫𝐢𝐤

Apa pun pola yang diambil dalam penulisan alur cerita FN, yang paling menarik tentu saja mengandung konflik. Apalagi konfliknya sampai bertingkat. Nah, FN yang seperti itu pastilah lebih seru lagi dibacanya. Apalagi yang bertingkat-tingkat, jauh lebih seru lagi. Dijamin, insyaAllah. 

Tapi ingat, bila peristiwa yang diangkat menjadi karangan khasnya tidak mengandung konflik, ya jangan dipaksakan menjadi ada konflik, apalagi sampai dibuat konflik bertingkat. Kalau dipaksakan, berarti sudah bukan rekonstruksi peristiwa lagi melainkan sudah rekonstruksi khayalan. 

Kalau sudah khayalan, namanya bukan karangan khas lagi tetapi sudah masuk cerita fiktif (khayalan) yang hanya layak dimuat di cerpen/novel. Pembahasan cerpen/novel bukan lagi dibahas di disiplin ilmu jurnalistik tetapi di disiplin ilmu sastra. 

Ingat, Anda menulis FN itu untuk membuai pembaca dengan alur cerita kisah nyata, bukan khayalan. Kalau khayalan ini diklaim sebagai FN, jadi hoaks namanya. Jangan sekalipun mencoba untuk melakukannya ya.[]


Depok, 25 Dzulqa’dah 1443 H | 24 Juni 2022 M

Joko Prasetyo
Jurnalis

Selasa, 28 Juni 2022

𝐇𝐈𝐃𝐔𝐏𝐊𝐀𝐍 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐃𝐄𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐊𝐀𝐑𝐀𝐊𝐓𝐄𝐑 𝐓𝐎𝐊𝐎𝐇 𝐔𝐓𝐀𝐌𝐀 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔)


Tinta Media - Begitu mendengar nama Mukidi Ngaciro apa yang terbayang dalam benak Anda? Sebagian dari Anda mungkin ada yang menjawab “plonga-plongo” ada juga yang menjawab “lugu”. Lebih jauh lagi, mesti ada yang mengatakan, “sekuler” bahkan “islamofobia”. Benar enggak? Nah, dua jawaban pertama itu masuk ke dalam kategori karakter. Sedangkan dua jawaban terakhir itu termasuk kepribadian.

Ketika Anda merekonstruksi suatu peristiwa ke dalam bentuk cerita (karangan khas/𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠 /FN), karakter dan kepribadian tokoh yang diceritakan itu haruslah digambarkan dengan kuat, terutama si tokoh utamanya. Mengapa? Karena pencantuman karakter dan kepribadian itu bagian dari unsur FN yang harus ada. 

Mengapa harus ada? Agar FN yang dibuat itu benar-benar hidup di benak pembaca. Tadi saya di atas baru menyebut nama tokohnya saja, Anda langsung menyebut karakternya dan kepribadiannya kan? Bahkan dapat dipastikan ketika menjawab pun sosoknya hidup di benak Anda. Ayo mengaku! He… he…  

Nah, yang jadi masalah itu tidak semua pembaca mengetahui karakter dan kepribadian tokoh yang Anda tuliskan dalam FN, maka tak cukup sekadar menuliskan namanya saja. Kecuali kalau Anda memang mau membuat FN tentang Mukidi Ngaciro, itu lain cerita. He… he… Tapi meski Anda membuat FN tentang Mukidi Ngaciro pun, tetap karakter dan kepribadiannya itu mesti digambarkan. 

Tujuannya, untuk menyamakan informasi antara pembaca dengan Anda. Karena, siapa tahu di antara pembaca FN Anda itu adalah orang yang mendapatkan informasi karakter dan kepribadian yang berbeda. Misal, menganggap dia itu seperti Khalifah Umar bin Khattab ra. Waduh, jauh panggang dari api. Tapi memang faktanya ada kok yang termakan hoaks seperti itu, maka sekali lagi, karakter dan kepribadian itu penting dideskripsikan. 

Lantas bagaimana cara mendeskripsikannya? Ada banyak cara, sebagiannya seperti yang diulas di bawah ini. 

𝐊𝐚𝐫𝐚𝐤𝐭𝐞𝐫

Setidaknya ada tiga cara menggambarkan karakter tokoh dalam menyajikan FN. 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑘𝑒𝑠𝑖𝑚𝑝𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑢𝑡 𝑛𝑎𝑚𝑎 𝑘𝑎𝑟𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑒𝑠𝑘𝑟𝑖𝑝𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎. Penulis langsung saja menyebut karakternya tanpa menyebut fakta yang mendukung kesimpulan tersebut. Misal, si penulis ingin menunjukkan bahwa si tokoh itu karakternya plonga-plongo maka langsung saja tulis 𝑝𝑙𝑜𝑛𝑔𝑎-𝑝𝑙𝑜𝑛𝑔𝑜, tanpa merekonstruksi kejadiannya sama sekali. 

Contoh: 
Dia terkenal sebagai orang yang plonga-plongo. 

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑑𝑖𝑠𝑖𝑚𝑝𝑢𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑢𝑡𝑘𝑎𝑛 𝑛𝑎𝑚𝑎 𝑘𝑎𝑟𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟𝑛𝑦𝑎. Nama karakter si tokoh sama sekali tidak disebutkan. Tetapi pembaca dapat menyimpulkan nama karakter tersebut dari deskripsi perbuatan, mimik dan pilihan kata si tokoh yang dituliskan penulis. Misal, penulis ingin menunjukkan karakter si tokoh itu plonga-plongo. Maka, salah satu penggambarannya bisa seperti contoh di bawah ini. 

Contoh: 
Tatapan matanya seolah kosong, mulutnya agak terbuka ketika lawan bicaranya sedang menjelaskan sesuatu. Bukan kali ini saja dia seperti itu. 

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑘𝑜𝑚𝑏𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎𝑛𝑦𝑎. Selain ditulis nama karakter si tokohnya, diceritakan pula salah satu adegan atau mendeskripsikan kebiasaan yang memperkuat kesimpulan tersebut. Misal, penulis ingin menunjukkan karakter si tokoh itu plonga-plongo. Maka, salah satu penggambarannya bisa seperti contoh di bawah ini. 

Contoh: 
Tatapan matanya seolah kosong, mulutnya agak terbuka ketika lawan bicaranya sedang menjelaskan sesuatu. Bukan kali ini saja dia plonga-plongo seperti itu.

Penggambaran karakter yang paling baik adalah cara kedua. Dikatakan terbaik karena memenuhi dua hal penting. (1) Pembaca dapat menyimpulkan dari deskripsi perbuatan, mimik dan pilihan kata si tokoh yang dituliskan penulis karangan khas. Artinya, penulis berhasil menyampaikan pesan yang sama persis ke benak pembaca. Buktinya, pembaca menyimpulkan nama karakter sesuai dengan yang ditargetkan penulis. (2) Lebih aman atau lebih sulit untuk dikenai delik hukum karena penulis hanya menyampaikan fakta saja, tidak menuduh (menyebut nama karakter).

Penggambaran yang paling tidak direkomendasikan adalah cara pertama. Dikatakan tidak direkomendasikan karena masuk ke dalam dua masalah serius. (1) Sebagian pembaca mestilah tidak sependapat dengan penyematan karakter tersebut kepada sang tokoh karena sangat mungkin di benak pembaca itu tidak ada adegan mulut menganga (karena dia tak pernah melihat mulut si tokoh menganga), lebih parahnya lagi bahkan si pembaca tak mengerti plonga-plongo itu artinya mulut menganga. (2) Rentan terkena delik hukum pencemaran nama baik. 


𝐊𝐞𝐩𝐫𝐢𝐛𝐚𝐝𝐢𝐚𝐧

Selain karakter, yang tak kalah pentingnya untuk digambarkan adalah kepribadian (𝑠𝑦𝑎𝑘𝑠𝑖𝑦𝑎ℎ) tokoh yang diceritakan, terutama tokoh utamanya. Kepribadian bukanlah karakter tetapi perpaduan yang khas antara pola pikir dan pola sikap si tokoh yang diceritakan. 

Misal, tokohnya beragama Islam. Maka, si tokoh pun bisa diidentifikasi pembaca sebagai tokoh yang islami (misal: ingin Islam diterapkan secara kaffah), sekuler (misal: tak mau Islam diterapkan secara kaffah), ataupun islamofobia (misal: memusuhi upaya penerapan syariat Islam secara kaffah).

Penggambarannya juga sama dengan karakter. Bisa berupa kesimpulan. Bila si tokohnya berkepribadian Islam, bisa saja dituliskan bahwa si tokoh itu taat beragama. Namun lebih baik tanpa menuliskan frasa 𝑡𝑎𝑎𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑔𝑎𝑚𝑎, tapi cukup saja menceritakan salah satu kejadian yang pembaca secara umum bisa menyimpulkan bahwa sang tokoh itu taat beragama. Selain itu, bisa juga mengombinasikan keduanya; selain ditulis taat beragama, diceritakan pula salah satu adegan yang memperkuat kesimpulan tersebut.

Lantas, bagaimana kepribadian Mukidi Ngaciro? Tadi siapa ya yang di awal paragraf menjawab “sekuler” dan “islamofobia”? Silakan gambarkan kepribadiannya di kolom komentar. He… he…[] 

Depok, 26 Dzulqa’dah 1443 H | 25 Juni 2022 M

Joko Prasetyo
Jurnalis

𝐒𝐄𝐓𝐈𝐀 𝐏𝐀𝐃𝐀 𝐒𝐀𝐓𝐔 𝐒𝐔𝐃𝐔𝐓 𝐏𝐀𝐍𝐃𝐀𝐍𝐆 𝐓𝐔𝐋𝐈𝐒𝐀𝐍, 𝐌𝐔𝐃𝐀𝐇𝐊𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐌𝐁𝐀𝐂𝐀 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐊𝐀𝐏 𝐏𝐄𝐒𝐀𝐍 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔)


Tinta Media - Salah satu cara untuk memudahkan pembaca menangkap pesan yang disampaikan, maka penulis haruslah mengambil perspektif/sudut pandang penulisan tertentu secara konsisten. Sudut pandang penulisan (𝑝𝑜𝑖𝑛𝑡 𝑜𝑓 𝑣𝑖𝑒𝑤 /PoV) adalah visi penulis dalam merekonstruksi kejadian ke dalam bentuk cerita (karangan khas/ 𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠 /FN). Maka, PoV menjadi salah satu unsur FN yang tak boleh diabaikan.

Sebenarnya ada beberapa sudut pandang penulisan namun yang paling sering digunakan dalam FN ada dua. 

𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑠𝑢𝑑𝑢𝑡 𝑝𝑎𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 (𝑃𝑜𝑉-1). Jadi seolah-olah salah satu tokoh dalam FN tersebut bercerita langsung kepada pembaca. Salah satu tokoh dimaksud bisa tokoh utamanya atau bukan tokoh utamanya. Ciri yang paling menonjolnya adalah menggunakan kata pengganti orang pertama (aku/saya/kami) dalam kalimat tak langsung. 

Contoh: 

𝘔𝘦𝘴𝘬𝘪𝘱𝘶𝘯 𝘢𝘨𝘢𝘬 𝘳𝘪𝘴𝘪𝘩, 𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘢𝘬𝘶, 𝘏 𝘈𝘤𝘦 𝘚𝘶𝘩𝘢𝘦𝘳𝘪, 𝘥𝘪𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘮𝘱𝘪𝘯 𝘥𝘰𝘢 𝘴𝘦𝘬𝘪𝘵𝘢𝘳 20 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘣 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘶, 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 (𝘜𝘕) 𝘥𝘪𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘎𝘳𝘢𝘧𝘪𝘬𝘢 𝘋𝘦𝘴𝘢 𝘗𝘶𝘵𝘳𝘢, 𝘚𝘳𝘦𝘯𝘨𝘴𝘦𝘯𝘨 𝘚𝘢𝘸𝘢𝘩, 𝘑𝘢𝘨𝘢𝘬𝘢𝘳𝘴𝘢, 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯. 

𝘔𝘢𝘬𝘭𝘶𝘮𝘭𝘢𝘩, 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘪𝘵𝘶, 𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 2005, 𝘮𝘦𝘳𝘶𝘱𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘭𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢𝘬𝘶, 𝘨𝘶𝘳𝘶 𝘚𝘔𝘒 𝘉𝘰𝘳𝘰𝘣𝘶𝘥𝘶𝘳, 𝘊𝘪𝘭𝘢𝘯𝘥𝘢𝘬 𝘒𝘒𝘖, 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯, 𝘥𝘪𝘵𝘶𝘨𝘢𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘸𝘢𝘴𝘪 𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘯𝘢𝘶𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘠𝘢𝘺𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘉𝘶𝘥𝘪 𝘔𝘶𝘭𝘪𝘢 𝘓𝘰𝘶𝘳𝘥𝘦𝘴 𝘪𝘵𝘶. 

𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘦𝘯𝘢𝘴𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘴 𝘪𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮. “𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘒𝘳𝘪𝘴𝘵𝘦𝘯?” 𝘱𝘢𝘯𝘤𝘪𝘯𝘨𝘬𝘶.  

𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯, 𝘣𝘦𝘵𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘨𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢. “𝘌𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬, 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘳𝘶𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘔𝘶𝘴𝘭𝘪𝘮!” 𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢. 

𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘵𝘶. “𝘌𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘗𝘢𝘬 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪 𝘸𝘢𝘫𝘪𝘣 𝘥𝘰𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘫𝘢𝘳, 𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘰𝘢𝘯𝘺𝘢,” 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢. 

𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘮𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘒𝘢𝘵𝘰𝘭𝘪𝘬 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘵𝘦𝘳𝘴𝘦𝘣𝘶𝘵. “𝘚𝘦𝘥𝘪𝘬𝘪𝘵 𝘗𝘢𝘬, 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪𝘵𝘰𝘵𝘢𝘭 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘤𝘶𝘮𝘢 𝘭𝘪𝘮𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘯 𝘴𝘢𝘫𝘢!” 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢.

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑠𝑢𝑑𝑢𝑡 𝑝𝑎𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎 (𝑃𝑜𝑉-3). Ceritanya disampaikan oleh pihak ketiga alias penulis. Penulis bisa berperan sebagai pengamat atau orang yang mengetahui segalanya (alur cerita, karakter tokoh yang diceritakan, suasana cerita, lokasi peristiwa). Ciri yang paling menonjolnya adalah tidak menggunakan kata pengganti orang pertama (aku/saya/kami) dalam kalimat tak langsung.

Contoh:

𝘔𝘦𝘴𝘬𝘪𝘱𝘶𝘯 𝘢𝘨𝘢𝘬 𝘳𝘪𝘴𝘪𝘩, 𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘏 𝘈𝘤𝘦 𝘚𝘶𝘩𝘢𝘦𝘳𝘪 𝘥𝘪𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘮𝘱𝘪𝘯 𝘥𝘰𝘢 𝘴𝘦𝘬𝘪𝘵𝘢𝘳 20 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘣 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘶, 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 (𝘜𝘕) 𝘥𝘪𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘎𝘳𝘢𝘧𝘪𝘬𝘢 𝘋𝘦𝘴𝘢 𝘗𝘶𝘵𝘳𝘢, 𝘚𝘳𝘦𝘯𝘨𝘴𝘦𝘯𝘨 𝘚𝘢𝘸𝘢𝘩, 𝘑𝘢𝘨𝘢𝘬𝘢𝘳𝘴𝘢, 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯. 

𝘔𝘢𝘬𝘭𝘶𝘮𝘭𝘢𝘩, 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘪𝘵𝘶, 𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 2005, 𝘮𝘦𝘳𝘶𝘱𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘭𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘨𝘶𝘳𝘶 𝘚𝘔𝘒 𝘉𝘰𝘳𝘰𝘣𝘶𝘥𝘶𝘳, 𝘊𝘪𝘭𝘢𝘯𝘥𝘢𝘬 𝘒𝘒𝘖, 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯, 𝘥𝘪𝘵𝘶𝘨𝘢𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘸𝘢𝘴𝘪 𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘯𝘢𝘶𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘠𝘢𝘺𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘉𝘶𝘥𝘪 𝘔𝘶𝘭𝘪𝘢 𝘓𝘰𝘶𝘳𝘥𝘦𝘴 𝘪𝘵𝘶. 

𝘈𝘤𝘦 𝘱𝘶𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘢𝘴𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘴 𝘪𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮. “𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘒𝘳𝘪𝘴𝘵𝘦𝘯?” 𝘱𝘢𝘯𝘤𝘪𝘯𝘨 𝘈𝘤𝘦. 

𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯, 𝘣𝘦𝘵𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘨𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪𝘢 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢. “𝘌𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬, 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘳𝘶𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘔𝘶𝘴𝘭𝘪𝘮!” 𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢. 

𝘐𝘢 𝘱𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘵𝘶. “𝘌𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘗𝘢𝘬 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪 𝘸𝘢𝘫𝘪𝘣 𝘥𝘰𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘫𝘢𝘳, 𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘰𝘢𝘯𝘺𝘢,” 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢. 

𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘈𝘤𝘦 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘮𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘒𝘢𝘵𝘰𝘭𝘪𝘬 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘵𝘦𝘳𝘴𝘦𝘣𝘶𝘵. “𝘚𝘦𝘥𝘪𝘬𝘪𝘵 𝘗𝘢𝘬, 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪𝘵𝘰𝘵𝘢𝘭 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘤𝘶𝘮𝘢 𝘭𝘪𝘮𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘯 𝘴𝘢𝘫𝘢!” 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢.

Penggunaan sudut pandang haruslah konsisten. Bila di awal menggunakan sudut pandang orang pertama tokoh utama maka sampai akhir karangan khas mesti menggunakan Pov-1 tokoh utama, jangan berpindah ke PoV-1 bukan tokoh utama, apalagi ke PoV-3. Begitu juga sebaliknya, bila sedari awal menggunakan PoV-3 sampai akhir FN pun harus menggunakan sudut pandang orang ketiga, jangan beralih ke PoV-1. 

Apa sih tujuannya? Tentu saja untuk memudahkan pembaca mengikuti alur yang disajikan penulis. Karena pergantian PoV dalam satu karya FN berpotensi besar membuyarkan fokus pembaca dalam membayangkan cerita yang disampaikan penulis.  

Berikut contoh gonta-ganti VoP yang tentunya bakal membuat pembaca kebingungan membacanya:

𝘔𝘦𝘴𝘬𝘪𝘱𝘶𝘯 𝘢𝘨𝘢𝘬 𝘳𝘪𝘴𝘪𝘩, 𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘏 𝘈𝘤𝘦 𝘚𝘶𝘩𝘢𝘦𝘳𝘪 𝘥𝘪𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘮𝘱𝘪𝘯 𝘥𝘰𝘢 𝘴𝘦𝘬𝘪𝘵𝘢𝘳 20 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘣 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘶, 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 (𝘜𝘕) 𝘥𝘪𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘎𝘳𝘢𝘧𝘪𝘬𝘢 𝘋𝘦𝘴𝘢 𝘗𝘶𝘵𝘳𝘢, 𝘚𝘳𝘦𝘯𝘨𝘴𝘦𝘯𝘨 𝘚𝘢𝘸𝘢𝘩, 𝘑𝘢𝘨𝘢𝘬𝘢𝘳𝘴𝘢, 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯. 

𝘔𝘢𝘬𝘭𝘶𝘮𝘭𝘢𝘩, 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘪𝘵𝘶, 𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 2005, 𝘮𝘦𝘳𝘶𝘱𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘭𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘣𝘢𝘨𝘪𝘬𝘶, 𝘨𝘶𝘳𝘶 𝘚𝘔𝘒 𝘉𝘰𝘳𝘰𝘣𝘶𝘥𝘶𝘳, 𝘊𝘪𝘭𝘢𝘯𝘥𝘢𝘬 𝘒𝘒𝘖, 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯, 𝘥𝘪𝘵𝘶𝘨𝘢𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘸𝘢𝘴𝘪 𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘯𝘢𝘶𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘠𝘢𝘺𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘉𝘶𝘥𝘪 𝘔𝘶𝘭𝘪𝘢 𝘓𝘰𝘶𝘳𝘥𝘦𝘴 𝘪𝘵𝘶. 

𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘶𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘢𝘴𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘴 𝘪𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮. “𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘒𝘳𝘪𝘴𝘵𝘦𝘯?” 𝘱𝘢𝘯𝘤𝘪𝘯𝘨 𝘈𝘤𝘦. 

𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯, 𝘣𝘦𝘵𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘨𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢. “𝘌𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬, 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘳𝘶𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘔𝘶𝘴𝘭𝘪𝘮!” 𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢. 

𝘐𝘢 𝘱𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘵𝘶. “𝘌𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘗𝘢𝘬 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪 𝘸𝘢𝘫𝘪𝘣 𝘥𝘰𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘫𝘢𝘳, 𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘰𝘢𝘯𝘺𝘢,” 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢. 

𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘮𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘒𝘢𝘵𝘰𝘭𝘪𝘬 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘵𝘦𝘳𝘴𝘦𝘣𝘶𝘵. “𝘚𝘦𝘥𝘪𝘬𝘪𝘵 𝘗𝘢𝘬, 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪𝘵𝘰𝘵𝘢𝘭 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘤𝘶𝘮𝘢 𝘭𝘪𝘮𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘯 𝘴𝘢𝘫𝘢!” 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢.

Bingung enggak bacanya? Ini masalah serius dalam FN karena 𝐻 𝐴𝑐𝑒 𝑆𝑢ℎ𝑎𝑒𝑟𝑖/𝐴𝑐𝑒 dan 𝑎𝑘𝑢 itu adalah orang yang sama tetapi malah terkesan jadi dua tokoh yang berbeda. Menyesatkan bukan? Maka, sekali lagi, jangan coba-coba bikin PoV seperti itu ya. Memang ada istilah PoV campuran, tapi tidak begitu cara buatnya. Dan baiknya juga tak perlulah membuat FN dengan PoV campuran, karena membuatnya lebih sulit lagi guna memastikan pembaca tidak salah paham. Maka, pastikanlah Anda menggunakan salah satu PoV secara konsisten dalam satu naskah FN. 

Jadi, setia itu bukan hanya dengan pasangan aja, tapi pada PoV juga, 𝐸𝑎𝑎𝑎 … []

Depok, 23 Dzulqa’dah 1443 H | 22 Juni 2022 M 

Joko Prasetyo
Jurnalis

𝐓𝐄𝐌𝐀, 𝐉𝐈𝐖𝐀𝐍𝐘𝐀 𝐑𝐄𝐊𝐎𝐍𝐒𝐓𝐑𝐔𝐊𝐒𝐈 𝐊𝐄𝐉𝐀𝐃𝐈𝐀𝐍 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐃𝐈𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀𝐊𝐀𝐍 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔)


Tinta Media - Meski tokoh yang diceritakan sama orangnya, bahkan peristiwa yang diangkatnya juga sama tetapi mengapa bila penulisnya berbeda, pesan yang ditangkap jadi berbeda pula? Tokoh Soekarno, misalnya. Dalam banyak tulisan digambarkan sebagai orang yang luar biasa hebatnya, tetapi dengan mengambil peristiwa yang sama bisa pula digambarkan betapa liciknya, lho. Semuanya, baik yang mengesankan hebat maupun licik, benar-benar merupakan rekonsruksi kejadian (bukan khayalan/fiksi). Bila fiksi, sudah keluar dari koridor jurnalistik. 

Perbedaan tersebut sebenarnya bukan karena beda penulisnya tetapi memang beda tema yang diambil si penulis. 𝑇𝑒𝑚𝑎 merupakan pokok pikiran yang menjiwai sebuah karangan khas (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠 /FN), mulai dari judul (𝑡𝑖𝑡𝑙𝑒) hingga paragraf terakhir (𝑒𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔). 

Rumusan tema itu merupakan unsur ekstringsik yang terbentuk dari ideologi, visi, misi tertentu yang sangat memengaruhi semua unsur instringsik yang disajikan dalam FN, mulai dari adegan apa saja dalam peristiwa tersebut ditulis, dan kalimat apa saja dalam peristiwa tersebut dikutip sehingga menjadi satu rekonstruksi kejadian yang menyampaikan pesan sesuai dengan unsur ekstringsiknya. 

𝐁𝐚𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐓𝐞𝐦𝐚
Banyak tema yang bisa diangkat. Namun, sebagai Muslim yang terikat hukum Islam yang juga sekaligus sebagai pengemban dakwah tentu saja mesti membatasi tema kepada hal-hal yang tidak melanggar koridor Islam. 

Walhasil, ketika merekonstruksi suatu peristiwa yang bertentangan dengan ajaran Islam, upayakan seoptimal mungkin temanya itu menggiring pembaca agar marah bahkan menginspirasi pembaca untuk melawan kezaliman. Begitu juga sebaliknya, bila peristiwanya itu sesuai dengan Islam, buatlah tema sedemikian rupa agar pembaca setuju bahkan menginspirasi pembaca untuk turut memperjuangkan Islam. 

Mengapa harus demikian? Karena memang dalam ajaran Islam, kaum Muslim wajib marah/benci dengan kezaliman bahkan wajib nahi mungkar. Wajib senang dengan kebaikan bahkan wajib amar makruf. Diharamkan untuk melakukan kebalikan dari kewajiban itu semua. 

Makanya, ketika menulis untuk dipublikasikan (meskipun bukan untuk dakwah) tetap diharamkan menyampaikan pesan yang berkebalikan dengan berbagai kewajiban di atas. Jadi, bila orang sekuler bisa nyaman membuat FN dengan tema yang kadang islami dan kadang bertentangan dengan Islam (tergantung manfaat yang didapat si penulis), maka Muslim bertakwa tentulah akan selalu konsisten membuat FN hanya dalam koridor Islam saja; apa pun risikonya yang ditimpakan oleh sesama makhluk (penguasa zalim, misalnya). Karena, dosa apalagi dosa jariah yang Allah SWT timpakan jauh lebih menakutkan dari kejahatan sesama makhluk. 

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang mengajak menuju hidayah maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya, tapi tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala-pahala mereka. Barangsiapa yang mengajak menuju kesesatan maka dia mendapatkan dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tapi tanpa mengurangi sedikit pun dari dosa-dosa mereka” (HR Muslim).

Hadits tersebut sudah lebih dari cukup dijadikan koridor harga mati yang tak dapat ditawar lagi dalam menentukan tema dalam setiap tulisan yang dibuat, termasuk FN. Berdasarkan tema tersebut maka tokoh-tokoh sekuler yang selama ini dipandang hebat, bisa berubah 180 derajat bila faktanya digali ulang lalu ditulis kembali sesuai tema yang telah ditetapkan di atas. Salah satunya seperti tampak dalam FN 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 (silakan klik https://bit.ly/3tMuXMK). Rasakan bedanya. Wallahu a'lam bish-shawab.[]

Depok, 21 Dzulqa’dah 1443 H | 20 Juni 2022 M

Joko Prasetyo
Jurnalis

Minggu, 26 Juni 2022

𝐒𝐄𝐍𝐈 𝐌𝐄𝐍𝐔𝐋𝐈𝐒𝐊𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐑𝐈𝐒𝐓𝐈𝐖𝐀 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐌𝐄𝐍𝐆𝐆𝐔𝐆𝐀𝐇 𝐏𝐄𝐌𝐁𝐀𝐂𝐀 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐹𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑁𝑒𝑤𝑠)


Tinta Media - Peristiwa apa sih yang membuat Anda marah? Peristiwa apa yang membuat Anda ingin melawan? Kalau peristiwa yang membuat Anda senang, apa? Peristiwa apa pula yang membuat Anda mendukung perjuangan? Rekonstruksikanlah semua jawabannya dengan kaidah jurnalistik tertentu maka jadilah 𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠 (FN/karangan khas). 

FN merupakan rekonstruksi suatu peristiwa dalam bentuk cerita yang membuat pembaca seolah-olah berada dalam kejadian tersebut (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 /membayangkan). Targetnya, membuat pembaca setuju atau paling tidak memahami dengan pesan yang ingin Anda sampaikan tetapi pesan tersebut sama sekali tidak Anda tulis. 

Karena itu, FN cocok sekali digunakan sebagai 𝑢𝑠𝑙𝑢𝑏 (cara teknis) dakwah tanpa menggurui. Dengan FN, Anda bisa membuat pembaca marah pada kezaliman tanpa disuruh marah. Dengan FN, Anda juga bisa membuat pembaca melawan kezaliman tanpa disuruh melawan. Dengan FN pula, Anda bisa membuat pembaca senang pada perjuangan Islam tanpa disuruh senang. Juga, bisa membuat pembaca mendukung perjuangan Islam tanpa disuruh mendukung.

Adapun kaidah jurnalistik dimaksud pada paragraf pertama di atas secara umum haruslah sesuai dengan bahasa jurnalistik media massa yang akan memuat FN tersebut. Bila media tersebut menggunakan bahasa Indonesia baku maka harus sesuai dengan bahasa jurnalistik Indonesia. Sebenarnya bukan hanya untuk karangan khas saja, semua produk jurnalistik media tersebut (opini, berita lugas, dan lainnya) mestilah sesuai dengan bahasa jurnalistik Indonesia.

Untuk mengetahui apa itu bahasa jurnalistik Indonesia, silakan baca artikel 𝑇𝑖𝑝𝑠 𝑎𝑔𝑎𝑟 𝑂𝑝𝑖𝑛𝑖 𝐴𝑛𝑑𝑎 𝑆𝑒𝑠𝑢𝑎𝑖 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑠𝑎 𝐽𝑢𝑟𝑛𝑎𝑙𝑖𝑠𝑡𝑖𝑘 𝐼𝑛𝑑𝑜𝑛𝑒𝑠𝑖𝑎 pada tautan https://bit.ly/3iL8Wbq. Walaupun tips tersebut ditujukan untuk penulisan opini, tapi kaidah jurnalistik secara umumnya sama saja dengan semua produk tulisan jurnalistik lainnya, termasuk FN.

Sedangkan kaidah jurnalistik secara khusus adalah yang terkait karangan khas. Di antaranya adalah unsur-unsur FN, ciri khas/perbedaan FN dengan tulisan lain; dan anatomi FN. InsyaAllah di kesempatan berikutnya dikupas satu per satu.

Berikut dua contoh FN. 
1. 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 (silakan klik https://bit.ly/3tMuXMK)
2. 𝐴𝑑𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑙𝑎𝑛 𝐴𝑘𝑖𝑑𝑎ℎ 𝑑𝑖 𝑆𝑀𝐾 𝐷𝑒𝑠𝑎 𝑃𝑢𝑡𝑒𝑟𝑎 (silakan klik https://bit.ly/3zSQ2t3)

Bagaimana perasaan Anda saat membaca masing-masing contoh FN tersebut? Bagaimana pula perasaan Anda setelah membaca masing-masing contoh FN tersebut? Bila berkenan, silakan menjawab dua pertanyaan tersebut di kolom komentar.[]

Depok, 20 Dzulqa’dah 1443 H | 19 Juni 2022 M


Joko Prasetyo
Jurnalis

Jumat, 24 Juni 2022

𝐒𝐖𝐀𝐒𝐔𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆 𝐍𝐀𝐒𝐊𝐀𝐇 𝐎𝐏𝐈𝐍𝐈 𝐒𝐄𝐁𝐄𝐋𝐔𝐌 𝐃𝐈𝐊𝐈𝐑𝐈𝐌 𝐈𝐓𝐔 𝐏𝐄𝐍𝐓𝐈𝐍𝐆!


Tinta Media - Selain pesan yang disampaikannya harus sesuai dengan visi misi media massa yang ditarget untuk memuat naskah opini Anda, redaksi kata yang ditulis pun haruslah diupayakan seoptimal mungkin 𝑧𝑒𝑟𝑜 𝑚𝑖𝑠𝑡𝑎𝑘𝑒 (tanpa kesalahan). 

“Tapi kan di media tersebut ada editor, biarlah dia yang memperbaikinya.” Mungkin sebagian dari Anda berpikir begitu. Coba sekarang dibalik, andai Anda yang menjadi editor lalu dihadapkan pada dua naskah yang sama-sama sesuai visi misi media, bedanya yang satu 𝑧𝑒𝑟𝑜 𝑚𝑖𝑠𝑡𝑎𝑘𝑒 sedangkan lainnya bertabur salah ketik. Naskah mana yang akan dipilih untuk dimuat? Kalau saya, tentulah memilih yang 𝑧𝑒𝑟𝑜 𝑚𝑖𝑠𝑡𝑎𝑘𝑒. 

Selain meringankan pekerjaan editor (yang insyaAllah berpahala), menulis 𝑧𝑒𝑟𝑜 𝑚𝑖𝑠𝑡𝑎𝑘𝑒 juga menunjukkan keprofesionalan Anda dalam berdakwah melalui tulisan. Bukankah berdakwah itu wajib? Tentu bila kewajiban dijalankan dengan lebih profesional akan lebih baik lagi bukan? Maka, mengedit sendiri (swasunting) sebelum dikirim ke media itu penting. Bagi yang kesulitan melakukan swasunting, semoga tips di bawah ini bisa membantu.

𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑝𝑎𝑠𝑡𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑢𝑑𝑢𝑙𝑛𝑦𝑎 𝑧𝑒𝑟𝑜 𝑚𝑖𝑠𝑡𝑎𝑘𝑒. Yang pertama kali dibaca oleh editor adalah judul. Maka, baca ulang judul beberapa kali secara perlahan dan pastikan semua kata yang ditulis di judul tidak ada yang salah ketik. Pastikan semua huruf awal di setiap kata pada judul ditulis pakai huruf kapital, kecuali yang terkategori partikel (di antaranya: di, demi, ke, dan, dengan, atau, kepada). Pastikan semua huruf awal pada kata partikel tetap berhuruf kecil kecuali berada di awal judul. Pastikan tidak ada tanda baca titik (.) dalam judul.

Contoh:
1. 
Ke Negeri Kinanah demi Totalitas Dakwah 
(Benar.)

2. 
Ke Negeri Kinamnah demi Totalitas Dakwah 
(Ada tipo dalam menuliskan kata 𝐾𝑖𝑛𝑎𝑛𝑎ℎ.)

3. 
Ke Negeri Kinanah Demi Totalitas Dakwah 
(Ada kesalahan dalam menulis hufur awal [d] pada partikel 𝑑𝑒𝑚𝑖 yang seharusnya tak boleh pakai huruf kapital.)
.
4. 
ke Negeri Kinanah demi Totalitas Dakwah 
(Ada kesalahan pada penulisan huruf awal (K) pada kata awal (Ke) di judul yang seharusnya pakai huruf kapital meskipun itu partikel.)

5. 
Ke Negeri Kinanah demi Totalitas Dakwah.
(Ada kesalahan berupa pembubuhan tanda baca titik [.] di akhir kalimat karena dalam judul tidak boleh ada tanda baca titik [.].)

Namun bila Anda masih bingung dengan semua aturan di atas, maka semua huruf dalam judul dibuat kapital saja tetapi tetap tidak boleh ada tanda baca titik (.). 

6.
KE NEGERI KINANAH DEMI TOTALITAS DAKWAH
(Benar.)

7.
KE NEGERI KINANAH DEMI TOTALITAS DAKWAH.
(Ada kesalahan berupa pembubuhan tanda baca titik [.] di akhir kalimat karena dalam judul tidak boleh ada tanda baca titik [.].)

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑝𝑎𝑠𝑡𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑟𝑎𝑔𝑟𝑎𝑓 𝑝𝑒𝑟 𝑝𝑎𝑟𝑎𝑔𝑟𝑎𝑓𝑛𝑦𝑎 𝑗𝑢𝑔𝑎 𝑧𝑒𝑟𝑜 𝑚𝑖𝑠𝑡𝑎𝑘𝑒. Bila editor sudah merasa cocok dengan judulnya, maka dia bakal membaca paragraf pertama, maka pastikan jangan sampai ada kesalahan ketik pula dalam pembubuhan tanda baca, besar kecilnya huruf, spasi, maupun tipo dalam penulisan kata/frasa. Pastikan semua kata/frasa yang bukan dari bahasa Indonesia baku dimiringkan. Setelah dibaca lebih dari sekali dan yakin tak ada kesalahan maka lakukan hal yang sama pada setiap paragraf berikutnya hingga paragraf terakhir.

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑝𝑎𝑠𝑡𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑙𝑖𝑠𝑎𝑛 𝑛𝑎𝑚𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔, 𝑔𝑒𝑙𝑎𝑟, 𝑑𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑏𝑎𝑡𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟. Cek ulang nama orang, gelar, dan jabatan orang yang dikutip ke mesin pencari kata Google untuk mengurangi kemungkinan salah dalam penulisan. Begitu juga dengan nama tempat, nama program dan lainnya, pastikan pula tidak keliru dalam penulisannya.

𝐾𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡, 𝑏𝑎𝑐𝑎 𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑘𝑎𝑙𝑖 𝑙𝑎𝑔𝑖 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑗𝑢𝑑𝑢𝑙 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎𝑖 𝑝𝑎𝑟𝑎𝑔𝑟𝑎𝑓 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟. Setelah semua tips di atas dilakukan, baca ulang sekali lagi secara jeli dari judul hingga paragraf terakhir. Bila masih ada kesalahan, langsung perbaiki. Bila sudah 𝑧𝑒𝑟𝑜 𝑚𝑖𝑠𝑡𝑎𝑘𝑒, berarti naskah sudah siap dikirimkan.

Memang terasa berat bagi yang belum terbiasa melakukan swasunting. Namun nikmati saja setiap prosesnya dalam upaya menjadikan menulis opini sebagai uslub dakwah. InsyaAllah pahala berlimpah Anda dapatkan dari setiap kesungguhan yang dilakukan agar opini yang disajikan enak dibaca, menarik, dan mencerahkan. Aamiin.[]

Depok, 14 Zulkaidah 1443 H | 13 Juni 2022 M

Joko Prasetyo
Jurnalis

Kamis, 23 Juni 2022

𝐓𝐈𝐆𝐀 𝐏𝐎𝐋𝐀 𝐎𝐏𝐈𝐍𝐈 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐇𝐀𝐑𝐔𝐒 𝐀𝐍𝐃𝐀 𝐊𝐄𝐓𝐀𝐇𝐔𝐈


Tinta Media - Ibarat mencari rumah teman tetapi tidak tahu rutenya, maka motor yang Anda kendarai itu akan keliling tak jelas hendak melewati jalan yang mana. Kira-kira seperti itu analoginya ketika Anda tidak mengatahui pola penulisan, maka opini yang dibuat jadi ke sana kemari tak fokus seperti apa alurnya. 

Sebaliknya, bila mengetahui peta ke arah tujuan, maka motor akan melaju ke jalan yang jelas menuju rumah yang dituju. Begitu juga bila penulis memahami alur pola penulisan yang akan dibuat, maka pesan yang disampaikan tinggal mengikuti saja pola yang sudah ditentukan. Bila Anda belum tahu alamat rumah saya, eh, alur pola penulisan, ada baiknya membaca tiga polanya di bawah ini. 

𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑎-𝑏𝑎ℎ𝑎𝑠𝑎𝑛-𝑠𝑜𝑙𝑢𝑠𝑖. Paragraf-paragraf awal memaparkan fakta yang akan dibahas. Paragraf-paragraf tengah membahas fakta tersebut dari sudut pandang tertentu (Islam ideologis, misalnya). Kemudian di paragraf-paragraf akhir dibahas solusinya. Pola seperti ini sangat popular, sebagian besar penulis opini menggunakan pola ini. 

Contoh: 𝐻𝑎𝑛𝑐𝑢𝑟𝑛𝑦𝑎 𝐹𝑖𝑡𝑟𝑎ℎ 𝑆𝑒𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝐼𝑏𝑢 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑆𝑖𝑠𝑡𝑒𝑚 𝐾𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙𝑖𝑠. Klik: https://bit.ly/3zvjIMz

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑙𝑎𝑛𝑔𝑠𝑢𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑠𝑖𝑘𝑎𝑝 𝑝𝑒𝑛𝑢𝑙𝑖𝑠. Sedari awal langsung menunjukkan sikap penulis terhadap fakta. Sikap dan fakta dimuat dalam paragraf yang sama. Tulisan seperti ini disebut opini lugas (𝑠𝑡𝑟𝑎𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑣𝑖𝑒𝑤𝑠). Pembahasan lebih lanjutnya bisa dibaca pada tips berjudul 𝑌𝑢𝑘 𝑃𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑃𝑒𝑚𝑖𝑘𝑖𝑟𝑎𝑛 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑙𝑖𝑠 𝑆𝑡𝑟𝑎𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑉𝑖𝑒𝑤𝑠. Klik: https://bit.ly/3B6vHyP

Contoh: 𝐴𝑑𝑎 𝑀𝑎𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑒𝑟𝑖𝑢𝑠 𝑑𝑖 𝐵𝑎𝑙𝑖𝑘 𝐷𝑖𝑡𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑝𝑛𝑦𝑎 𝑃𝑒𝑚𝑢𝑑𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑀𝑒𝑚𝑏𝑢𝑎𝑛𝑔 𝑆𝑒𝑠𝑎𝑗𝑒𝑛. Klik: https://bit.ly/3J3ylbl.

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛𝑎𝑙𝑜𝑔𝑖𝑎𝑛. Pesan utama yang akan disampaikan dianalogikan dengan hal lain untuk memudahkan pembaca memahami pesan utama tersebut.

Contoh: 𝑃𝑖𝑠𝑎𝑛𝑔 𝐺𝑜𝑟𝑒𝑛𝑔 𝑆𝑎𝑚𝑏𝑎𝑙 𝑑𝑎𝑛 𝐾ℎ𝑖𝑙𝑎𝑓𝑎ℎ. Klik: https://bit.ly/3QjPphS

Semoga tips di atas dapat membantu Anda dalam menulis opini secara mengalur sesuai pola yang telah ditentukan. Selamat berdakwah lewat tulisan! Semoga banyak yang tercerahkan. Aamiin.[]

Depok 13 Zulkaidah 1443 H | 12 Juni 2022 M

Joko Prasetyo
Jurnalis

Rabu, 22 Juni 2022

𝗧𝗜𝗣𝗦 𝗠𝗘𝗡𝗨𝗟𝗜𝗦 𝗣𝗔𝗥𝗔𝗚𝗥𝗔𝗙 𝗣𝗘𝗥𝗧𝗔𝗠𝗔 𝗗𝗘𝗡𝗚𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗥𝗔𝗚𝗔𝗠 𝗚𝗔𝗬𝗔


Tinta Media - Coba kumpulkan semua tulisan opini Anda. Perhatikan paragraf pertamanya. Apakah gayanya itu-itu saja atau sudah beraneka? Bila masih menggunakan gaya yang sama, ada baiknya mulai tulisan berikutnya gunakan teknik penulisan 𝑙𝑒𝑎𝑑 (paragraf pertama) yang berbeda. Meski beragam, tujuan menulis teras (𝑙𝑒𝑎𝑑) tetap saja sama yakni: menarik minat pembaca untuk membaca paragraf berikutnya. Maka, kalimat yang ditulis harus tetap sederhana (mudah dipahami khalayak secara umum) dan mengandung kepentingan pembaca. 

Berikut contoh kasus paragraf pertama yang berkebalikan dengan ketentuan di atas yang masuk ke meja kerja saya. 

Dalam bahasa Arab, kata 𝑡𝑎𝑠’𝑖𝑟 berasal dari kata 𝑠𝑎’𝑎𝑟𝑎-𝑦𝑎𝑠’𝑎𝑟𝑢-𝑠𝑎’𝑟𝑎𝑛, yang arti secara bahasanya adalah menyalakan. Namun, secara etimologi 𝑎𝑡-𝑡𝑎𝑠’𝑖𝑟 yang seakar katanya dengan 𝑎𝑠-𝑖𝑟 artinya adalah penetapan harga. Adapun istilah 𝑎𝑠-𝑠𝑖’𝑟 digunakan di pasar untuk penyebutan bagi harga (di pasar), yaitu dianalogikan sebagai aktivitas menyalakan nilai (harga) bagi barang.

Siapa yang mau meneruskan membaca ke paragraf berikutnya setelah membaca paragraf pertama di atas? Kalau 𝑙𝑒𝑎𝑑 di atas diloloskan untuk dimuat media massa, saya yakin lebih banyak yang enggan membaca paragraf berikutnya. Bahkan sangat mungkin lebih banyak lagi yang tidak tertarik membaca paragraf pertama tersebut begitu membaca judulnya: 𝐴𝑡-𝑇𝑎𝑠’𝑖𝑖𝑟 𝐵𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑆𝑜𝑙𝑢𝑠𝑖. Pasalnya judulnya juga tidak dipahami khalayak dan tidak mengandung kepentingan mereka secara umum.

Sama dengan pembahasan 𝑇𝑖𝑝𝑠 𝑀𝑒𝑚𝑏𝑢𝑎𝑡 𝐽𝑢𝑑𝑢𝑙 𝑂𝑝𝑖𝑛𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑀𝑒𝑛𝑎𝑟𝑖𝑘 (silakan klik: https://bit.ly/3QfOU8e) paragraf pertama juga harus dibuat sedemikian rupa agar memikat hati pembaca. Bila murni sekadar untuk dimuat media massa, baru baca paragraf pertama bahkan baru baca judulnya saja, naskah opini seperti itu biasanya sudah saya drop (berhenti membacanya/tidak dimuat). Namun karena untuk keperluan edukasi, maka saya baca hingga tuntas. 

Saya melihat pesan yang ingin disampaikan penulis itu bagus. Kurang lebih seperti inilah pesannya: 

(1) pematokan harga minyak goreng (migor) bukanlah solusi untuk mahalnya harga migor. Selain karena diharamkan Islam, ternyata secara faktual juga menimbulkan masalah baru. (2) Buktinya harganya meski sudah dipatok jadi Rp14 ribu rakyat tetap kesulitan mendapatkannya karena tetiba barangnya menjadi langka. 

(3) Migor jadi langka karena ditimbun tengkulak kelas kakap sampai pemerintah mencabut harga eceran tertinggi (HET). (4) Waktu produktif masyarakat banyak tersita sekadar untuk antre mendapatkan migor bahkan sampai ada yang mati gegera kelelahan mengantre. (5) Bermunculan migor merek baru murah (tetapi tetap di atas HET) yang sebenarnya hanyalah minyak curah yang sekadar diberi kemasan dan merek. 

Contoh kasus di atas tentu saja mewakili naskah-naskah serupa yang masuk ke meja kerja saya, memiliki gagasan bagus namun kesulitan bagaimana menyajikannya terutama dalam penulisan judul dan paragraf pertama. Bila Anda termasuk salah satunya, ada baiknya membaca tips di bawah ini hingga tuntas.

𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑟𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑠𝑎𝑛. Seperti namanya, teras ini berupa ringkasan, sehingga pembaca langsung tahu maksud dan tujuannya sejak di awal paragraf. Cocok ditulis bagi yang ingin menyampaikan pesan langsung pada pokok permasalahan. Jadi semua gagasan dalam naskah 𝐴𝑡-𝑇𝑎𝑠’𝑖𝑖𝑟 𝐵𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑆𝑜𝑙𝑢𝑠𝑖 (dari nomor 1 sampai 5 di atas) diperas diambil saripatinya lalu dituliskan di paragraf pertama. Contoh:

Sudahlah tidak menyelesaikan masalah, pematokan harga (𝑎𝑡-𝑡𝑎𝑠’𝑖𝑖𝑟) minyak goreng dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp14 ribu per liter malah menimbulkan masalah baru. Lebih parahnya lagi, dalam pandangan Islam ternyata pematokan harga migor itu hukumnya haram. 

Paragraf kedua dan seterusnya baiknya berupa argumen dan rincian dari paragraf pertama. Sehingga pembaca menyetujui kesimpulan penulis di atas atau setidaknya mengetahui mengapa penulis berkesimpulan seperti itu.

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑏𝑒𝑟𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎. Menggambarkan satu adegan tertentu saja ---suatu kejadian pada waktu tertentu dengan mendeskripsikan orang dan set tempat tertentu secara detail. Cocok ditulis bagi yang ingin menyampaikan kronologis kejadian. Agar mendapatkan kesan dramatis tentu yang paling pas adalah merekonstruksi kejadian meninggalnya seorang ibu yang kekelahan karena antre migor (sesuai gagasan nomor 4). 

Contoh:
Meski fisik sudah tak kuat, Rita Riyani (49 tahun) tetap saja memaksakan diri mengantre berjam-jam di sebuah pusat glosir di Kota Samarinda, Rabu (16/3/2022). Sudah dua hari dia keliling supermarket untuk mendapatkan minyak goreng namun selalu tidak kebagian. Makanya, ia tak mau melepaskan kesempatan ini sebelum migor dinyatakan habis. Namun, belumlah dirinya mendapatkan yang diidamkannya, tubuhnya ambruk. Ia pun dibawa ke rumah sakit. Dua hari kemudian meninggal. Dokter menyatakan kondisi yang membuatnya meregang nyawa lantaran pembuluh darahnya pecah akibat kelelahan.  

Paragraf kedua baiknya menjelaskan bahwa antrean terjadi di berbagai tempat di berbagai kota dan korban nyawa bukan hanya kasus itu saja. Lalu paragraf berikutnya menjelaskan bahwa kelangkaan migor ini terjadi setelah diumumkannya HET, dan seterusnya sebagaimana pesan nomor 1 sampai 5 di atas. 

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑑𝑒𝑠𝑘𝑟𝑖𝑝𝑡𝑖𝑓. Sekilas mirip dengan bercerita. Tapi bagi yang jeli dapat menangkap perbedaannya. Bila bercerita terikat dengan satu adegan, sedangkan deskriptif tidak boleh terikat dengan satu adegan. Teras ini cocok bagi penulis yang ingin memberikan gambaran umum terkait subjek beritanya. Misalnya, memberikan gambaran umum terkait pesan nomor 4. 

Contoh:
Antrean panjang agar dapat membeli minyak goreng terjadi di banyak kota dan kabupaten di Indonesia. Bahkan dalam beberapa kasus menimbulkan korban nyawa, di antaranya terjadi di Samarinda dan Berau. 

Paragraf kedua baiknya menjelaskan bahwa kelangkaan migor ini terjadi setelah diumumkannya HET, dan seterusnya sebagaimana pesan nomor 1 sampai 5 di atas. 

𝐾𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡, 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛. Seperti namanya, teras ini dimulai dengan kalimat tanya. Lihat contoh yang dibubuhi tanda tanya (?). Tujuannya, untuk menyambungkan informasi yang akan disampaikan dengan informasi yang ada di benak pembaca. Misal informasi terkait pesan nomor 4 di atas.

Contoh:
Masih ingat kasus meninggalnya seorang ibu di Samarinda gegara kelelahan antre migor? Sebagaimana banyak diberitakan media massa, ibu tersebut memaksakan diri mengantre berjam-jam di sebuah pusat glosir di Kota Samarinda, Rabu (16/3/2022). Namun, belumlah dirinya mendapatkan yang diidamkannya, tubuhnya ambruk. Ia pun dibawa ke rumah sakit, dua hari kemudian dokter menyatakan si ibu tersebut meninggal karena pembuluh darah pecah akibat kelelahan.   

Paragraf kedua baiknya menjelaskan bahwa antrean terjadi di berbagai tempat di berbagai kota dan korban nyawa bukan hanya kasus itu saja. Lalu paragraf berikutnya menjelaskan bahwa kelangkaan migor ini terjadi setelah diumumkannya HET, dan seterusnya sebagaimana pesan nomor 1 sampai 5 di atas. 

𝐾𝑒𝑙𝑖𝑚𝑎, 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑚𝑒𝑛𝑢𝑑𝑖𝑛𝑔. Dicirikan dengan menyebut (menuding) pembaca pada awal kalimat menggunakan kata ganti pembaca, misalnya: anda, kamu dan lain-lain. Tujuannya sama dengan teras pertanyaan. Bentuknya bisa kalimat seru atau juga kalimat tanya. Bedanya dalam teras pertanyaan tidak menyinggung kata ganti pembaca. Misalnya menuding terkait pesan nomor 4 di atas.
.l
Contoh:
Anda ikut antre juga enggak ketika minyak goreng langka? Kelangkaan terjadi sebenarnya bukan karena barangnya tidak ada tetapi para tengkulak kelas kakap menimbunnya lantaran mereka tak mau menjual migor sesuai harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. 

𝐾𝑒𝑒𝑛𝑎𝑚, 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑘𝑢𝑡𝑖𝑝𝑎𝑛. Dicirikan dengan mengutip pernyataan subjek tulisan yang dianggap menarik atau pun penting. Misal, dikutiplah kalimat yang dianggap menarik terkait poin nomor 4.

Contoh:
“Saya sangat kecewa karena hari ini sudah antre berjam-jam, minyak gorengnya tidak dapat. Kehabisan stoknya,” sesal Hartini yang mengantre untuk membeli migor di depan Indomaret Megang Kota Lubuklinggau, Senin (7/3/2022) sebagaimana diberitakan 𝐼𝑛𝑑𝑜𝑛𝑒𝑠𝑖𝑎𝑚𝑜𝑛𝑖𝑡𝑜𝑟.𝑐𝑜𝑚.

Paragraf kedua baiknya menjelaskan bahwa antrean terjadi di berbagai tempat di berbagai kota dan bahkan dalam beberapa kasus sampai menimbulkan korban nyawa. Lalu paragraf berikutnya menjelaskan bahwa kelangkaan migor ini terjadi setelah diumumkannya HET, dan seterusnya sebagaimana pesan nomor 1 sampai 5 di atas. 

𝐾𝑒𝑡𝑢𝑗𝑢ℎ, 𝑡𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑔𝑎𝑏𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛. Kombinasi dari beberapa teras. Tujuannya untuk menyatukan kekuatan masing-masing teras yang disatukan. Misal, menggabungkan teras kutipan dan teras ringkasan.

Contoh:
“Selain 𝑑𝑜𝑚𝑒𝑠𝑡𝑖𝑐 𝑚𝑎𝑟𝑘𝑒𝑡 𝑜𝑏𝑙𝑖𝑔𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 (DMO) dan 𝑑𝑜𝑚𝑒𝑠𝑡𝑖𝑐 𝑝𝑟𝑖𝑐𝑒 𝑜𝑏𝑙𝑖𝑔𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 (DPO), per tanggal 1 Februari 2022 kami juga akan memberlakukan penetapan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng,” kata Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi dalam konferensi pers, Kamis (27/1/2022). Kalimat tersebut seolah solusi atas mahalnya migor namun ternyata menimbulkan berbagai masalah baru. Lebih parahnya lagi, dalam pandangan Islam ternyata pematokan harga (HET/𝑎𝑡-𝑡𝑎𝑠’𝑖𝑖𝑟) migor itu hukumnya haram. 
.
.
Paragraf kedua dan seterusnya baiknya berupa argumen dan rincian dari paragraf pertama. Sehingga pembaca menyetujui kesimpulan penulis di atas atau setidaknya mengetahui mengapa penulis berkesimpulan seperti itu.

Nah, itulah tujuh alternatif gaya yang dapat dipilih untuk dijadikan paragraf pertama. 

Oh iya, si penulis naskah di atas memberikan argumen mengapa dirinya memilih judul dan paragraf pertama seperti itu. Menurutnya, "Agar pembaca penasaran apa itu 𝑎𝑡-𝑡𝑎𝑠’𝑖𝑖𝑟 lalu membaca paragraf pertama yang berisi penjelasan akar katanya."

Argumen tersebut tentu saja hanya berlaku bagi kelompok orang yang memiliki gambaran (walau sedikit) tentang istilah dalam sistem ekonomi Islam tersebut dan orang yang memiliki rasa penasaran yang tinggi, namun dapat dipastikan jumlah mereka tidaklah sebanyak kelompok pembaca lainnya yang tak memiliki informasi apa pun terkait istilah 𝑎𝑡-𝑡𝑎𝑠’𝑖𝑖𝑟 dan atau tidak memiliki rasa penasaran yang tinggi terkait hal yang tidak dimengertinya itu. Padahal kedua kelompok pembaca tersebut sama-sama berkepentingan dengan permasalahan kelangkaan migor.

Pertanyaannya, tulisan di kirim ke media massa itu tujuannya untuk dibaca kelompok pembaca yang sedikit atau kelompok pembaca yang banyak? Tentu saja kalau memungkinkan untuk dibaca kedua kelompok tersebut bukan? Agar dakwah lewat tulisan dapat sampai ke sebanyak-banyaknya pembaca. Benar enggak?[]

Depok, 12 Zulkaidah 1443 H | 11 Juni 2022 M 


Joko Prasetyo
Jurnalis

Senin, 20 Juni 2022

𝐓𝐈𝐏𝐒 𝐌𝐄𝐌𝐁𝐔𝐀𝐓 𝐉𝐔𝐃𝐔𝐋 𝐎𝐏𝐈𝐍𝐈 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐌𝐄𝐍𝐀𝐑𝐈𝐊


Tinta Media - Mengapa Anda membaca tips ini? Karena membaca judulnya bukan? Judul memang sangat penting dalam semua produk jurnalistik tak terkecuali tulisan opini. Judul adalah identitas tulisan (seperti nama yang merupakan identitas manusia), sekaligus daya tarik awal untuk membuat mata pembaca berhenti pada judul tersebut. 

Makanya, judul ditulis lebih menonjol daripada bagian tulisan lainnya. Bila setelah membaca judul tertarik, maka pembaca akan membaca bagian tulisan lainnya. Namun, tak jarang pembaca malah kecewa karena ternyata isi tulisan tidak sesuai dengan judul. Lantas bagaimana agar judul dapat ditulis secara menarik namun tak mengecewakan pembaca? Tips di bawah ini semoga dapat membantu Anda yang kesulitan membuatnya. 

𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑝𝑖𝑙𝑖ℎ𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑎𝑡𝑎-𝑘𝑎𝑡𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑚𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟𝑡𝑖 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑎𝑐𝑎 𝑠𝑒𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑢𝑚𝑢𝑚. Ingat, opini yang dikirim ke media massa itu untuk dikonsumsi pembaca secara umum. Jadi, upayakan judul yang dibuat tidak menggunakan istilah khusus di bidang disiplin ilmu tertentu yang tidak populer di tengah masyarakat.

Contoh:  
1. 𝐴𝑡-𝑇𝑎𝑠’𝑖𝑖𝑟 Bukan Solusi
2. Pematokan Harga Bukan Solusi Mahalnya Migor

Judul yang pertama menggunakan frasa 𝑎𝑡-𝑡𝑎𝑠’𝑖𝑖𝑟, istilah khusus di bidang ekonomi Islam yang bermakna pematokan harga. Sedangkan judul kedua menggunakan bahasa yang umumnya dipahami oleh pembaca.  

Judul mana yang membuat Anda lebih tertarik untuk membaca lebih lanjut? Bila memilih judul yang pertama, berarti Anda termasuk orang yang memiliki gambaran makna 𝑎𝑡-𝑡𝑎𝑠’𝑖𝑖𝑟 atau setidaknya memiliki rasa kepenasaran yang tinggi dengan sesuatu yang tak diketahui/dimengerti. 

Sayangnya, sebagian (kalau tak mau dikatakan sebagian besar) pembaca itu tidak memiliki gambaran sama sekali dengan frasa tersebut dan tak ada rasa penarasan untuk mencari tahu apa artinya. 

Maka, sebagai penulis yang berharap opininya dibaca khalayak yang lebih banyak, tentu saja judul kedua yang menjadi pilihan. 

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑝𝑎𝑠𝑡𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑡𝑎-𝑘𝑎𝑡𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑖𝑙𝑖ℎ 𝑚𝑒𝑤𝑎𝑘𝑖𝑙𝑖 𝑘𝑒𝑝𝑒𝑛𝑡𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑎𝑐𝑎. Mengapa Anda masih membaca sampai kalimat ini? Bisa dipastikan, penyebab awalnya lantaran judul tips yang ditulis di atas mewakili kepentingan Anda. Benar bukan? He… he… 

Jadi, meskipun judul ditulis menggunakan kata-kata yang dapat dipahami pembaca secara umum, tetapi bagi pembaca yang tak berkepentingan, mestilah setelah membaca judul, tak akan meneruskan membaca ke paragraf pertama apalagi sampai paragraf ini. Maka pastikan judul yang Anda buat mengandung kepentingan pembaca. 

Baca ulang dua contoh judul di atas, mana yang menurut Anda mengandung kepentingan pembaca? Bagi pembaca yang ingin mendapatkan minyak goreng (migor) dengan harga terjangkau tentu saja judul kedua lebih menarik banyak pembaca dibanding judul yang pertama. Kemungkinan besar pembaca akan bertanya-tanya karena kepentingannya merasa terusik, “Kok bisa mematok harga bukan solusi mahalnya migor?”

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑟𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑖𝑎𝑛 𝑗𝑢𝑑𝑢𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑢𝑛𝑦𝑖 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑎𝑚𝑎. Bila memungkinkan, gunakanlah judul yang memiliki rima (pengulangan bunyi yang berselang) ataupun akhiran bunyi katanya sama. 

Contoh: 
1. Bertakwa Sampai Mati
2. Taat Syariat Hingga Akhir Hayat

Judul yang pertama dan kedua itu maknanya sama. Tapi Anda lebih suka baca yang mana? Tentu saja yang kedua bukan?

Contoh lainnya: 
- Ke Mesir untuk Optimalisasi Dakwah ---) Ke Negeri Kinanah demi Totalitas Dakwah
- Meski Sakit-sakitan Tetap Rajin Berdakwah ---) Aktif Berdakwah Meski Fisik Lemah

𝐾𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡, 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑙𝑖𝑚𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎. Untuk menimbulkan penasaran pembaca, judul bisa juga ditulis menggunakan kalimat tanya. Kalimat tanya tersebut akan merangsang rasa kepenasaran pembaca yang mungkin saja sebelumnya tak terpikir olehnya. Selain itu, kalimat tanya juga bisa digunakan sebagai bantalan hukum (agar tak mudah kena delik hukum) bila judul yang ditulis itu sensitif. 

Contoh: 
1. Pancasila Bertentangan dengan Islam?
2. Apakah Bunga Bank dan Miras Sesuai Pancasila?

𝐾𝑒𝑙𝑖𝑚𝑎, 𝑗𝑢𝑑𝑢𝑙 𝑑𝑎𝑛 𝑖𝑠𝑖 𝑡𝑢𝑙𝑖𝑠𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑠𝑒𝑠𝑢𝑎𝑖. Faktor utama yang membuat pembaca kecewa dengan tulisan yang dibacanya karena judul tak sesuai dengan isi. Agar sesuai, maka lebih baik judul diambil dari tema (pokok pikiran). Boleh juga judul diambil dari frasa yang paling menarik di dalam tulisan. 

Hanya saja bila diambil dari frasa yang paling menarik, maknanya haruslah dekat dengan tema. Kalau terlalu jauh tentu akan berkesan bombastis (terlalu muluk), membuat ekspektasi pembaca tinggi (ketika baca judul) lalu kecewa (usai membaca keseluruhan tulisan).

Itulah lima tips membuat judul yang menarik pembaca. Semoga kita bisa mempraktikkannya dalam setiap tulisan opini yang dibuat. Sehingga, pesan dakwah yang disampaikan dalam tulisan opini kita lebih besar lagi peluangnya untuk dibaca. Aamiin.[]

Depok, 9 Zulkaidah 1443 H | 8 Juni 2022 M 


Joko Prasetyo
Jurnalis
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab