Tinta Media: Menulis
Tampilkan postingan dengan label Menulis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Menulis. Tampilkan semua postingan

Kamis, 08 September 2022

Teruslah Menulis agar Hidupmu Berkah dan Indah

Tinta Media - Sering kita merasa tidak punya waktu, sehingga tidak sempat untuk menulis. Padahal, dengan menulis, waktu akan lebih berharga, tidak terbuang sia-sia.

Sering kita merasa tidak mampu, padahal menulis adalah kebiasaan. Pada awalnya harus dipaksa, tetapi perlahan akan menjadi biasa. Pada akhirnya, terasa ada yang hilang saat satu hari tidak menulis. 

Jika tidak pernah mencoba, bagaimana bisa kita mengatakan tidak punya kemampuan? Jangan pula bilang tidak punya ide, padahal ide banyak bersliweran di sekitar kita. Kepekaan menangkap ide harus diasah agar tajam, juga kepekaan terhadap apa yang ada disekitar.

Meskipun sibuk bekerja, baik di rumah atau di kantor, yakinlah masih ada waktu luang yang sering tidak dimanfaatkan di tengah kesibukan. Saat kita suka menulis, waktu luang akan sungguh berharga meskipun hanya beberapa menit saja. 

Saat ide melintas dalam pikiran, kita segera catat dan jangan biarkan dia hilang tanpa diikat dengan menulis. Bahkan, bisa saja dalam satu waktu tiba-tiba bermunculan beberapa ide yang bisa dikupas dari berbagai sudut pandang yang menarik.

Meskipun sedang sibuk, usahakan berhenti sejenak hanya untuk mengikat ide-ide menarik untuk ditulis. Zaman sekarang tidaklah sulit. Dengan HP di tangan, kita bisa sewaktu-waktu mencatat ide yang tiba-tiba muncul melintas dalam pikiran.

Simpan di dalam bank ide agar suatu saat bisa dibuka kembali untuk dikembangkan dengan menambah satu kalimat, bahkan satu paragraf jika punya waktu luang. Meskipun hanya satu kata, ide itu sungguh sangat berharga dan bisa ditambah, dirangkai jadi kalimat. Kemudian, beberapa kalimat untuk membentuk satu paragraf. Akhirnya, satu tulisan siap untuk direvisi dan diupload agar lebih banyak yang  bisa membacanya.

Jika jenuh dengan pengembangan satu ide, kamu bisa beralih ke ide lain yang sudah tersimpan di bank ide. Saya yakin, sesibuk apa pun kita, masih ada waktu untuk menulis. Tinggal buka bank ide yang berisi ide-ide menarik yang sudah dikumpulkan dan siap untuk dikembangkan sampai bisa menyelesaikannya.

Waktu mau istirahat ataupun saat bangun dari tidur adalah waktu tepat untuk menulis. Sempatkan beberapa menit untuk mengalirkan buah pikiran kita agar tidak beku dan ilmu juga terus bertambah. Saat itu, pandangan kita semakin jernih dan tajam. 

Ibarat air sumur, ilmu tidak akan habis dan bahkan terus bertambah karena Allah. Yang lebih penting lagi, pemahaman kita menjadi lebih jernih, karena ide-ide yang ada di kepala tidak dibiarkan membeku, tetapi terus mengalir. Insyaallah semua itu menjadi amal jariyah saat ada yang membaca tulisan kita, tercerahkan, kemudian berubah menjadi lebih baik. 

Kemampuan menulis akan terus meningkat jika kita terus mengasahnya, baik dari segi kualitas tulisan maupun kecepatan dalam menuangkan ide, juga kemampuan merangkai kata-kata sehingga tersusun menarik dan lebih mudah dipahami. 

Jangan putus asa atau merasa tidak punya waktu, sehingga berhenti menulis. Padahal, jika kita terus paksa diri untuk menulis, perlahan menjadi kebiasaan yang menyenangkan, yang lebih penting lagi agar kita tidak termasuk orang-orang yang merugi karena telah menyia-nyiakan waktu yang cukup berharga dengan berbagai aktifitas yang tidak ada manfaatnya.

Teruslah menulis, dan yakinlah hidup ini terasa lebih indah dengan  menulis. Menulis membuat pikiran jadi jernih. Beban dan masalah akan lebih ringan karena semua dialirkan lewat tulisan. Semuanya yang ada disekitar dan pengalaman hidup menjadi ide menarik untuk ditulis dan dibagi pada orang lain. Ide Islami yang menginspirasi bisa menjadi jejak-jejak kebaikan yang kita tinggalkan saat harus kembali menghadap kapadaNya. Masihkah kita bilang tidak punya waktu untuk menulis, padahal dengan menulis waktu terlalu berharga jika kita biarkan tanpa berkarya.

Jangan berhenti menulis, karena menulis menjadikan ilmu kita berkah dan bertambah. Apa yang kita tahu bisa dibagi lewat tulisan. Sungguh akan bermanfaat bagi yang membaca apalagi isinya tentang kebaikan Islam. Belum lagi manfaat untuk diri sendiri. Ilmu bertambah dan pemahaman menjadi kuat dan utuh dari apa yang masih lemah dan pengetahuan sepotong-sepotong. Ibarat sumur, meskipun terus diambil dan dibiarkan mengalir, tapi air dalam sumur tidak berkurang tapi terus bertambah dan jernih. Seperti itulah saat ilmu, dari apa yang kita tahu, kita bagi ke orang lain lewat tulisan. Allah akan terus menambah ilmu kita dan membuatnya menjadi jernih meskipun hidup dalam sistem yang kotor.

Agar tidak berhenti menulis ada beberapa hal yang harus diperhatikan. 

Pertama, menejemen waktu sehingga kita bisa menggunakan waktu sebaik mungkin untuk menulis, tanpa ada waktu yang terbuang sia-sia, hanya diam tidak berbuat apa-apa, atau hanya untuk hal mubah yang tidak membawa kebaikan. 

Kedua, mindset harus diubah, tidak merasa sok sibuk, padahal masih banyak waktu yang terbuang sia-sia. 

Ketiga, sebelum masuk peraduan dan bermimpi indah, sempatkan untuk mengalirkan ide-ide menarik lewat tulisan. Satu kalimat, dua kalimat bahkan satu paragraf yang nantinya bisa kita lanjutkan saat ada waktu di sela-sela kesibukan. Yakinlah kamu bisa dan segera menyelesaikan satu tulisan. 

Keempat,  segera bagi di media sosial agar lebih banyak yang bisa membaca tulisan kita sehingga banyak yang terinspirasi dan berubah menjadi lebih baik. 

Kelima, panting dipahami bahwa banyak manfaat yang akan kita dapat, tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga orang lain. 

Pastinya, dengan menulis, jejak-jajak kebaikan tercipta dengan karya yang kita buat. Mengalirkan amal jariyah selama tulisan kita masih terus dibaca dan bisa merubah pemahaman yang salah menjadi lurus dan tertunjuki ke jalan yang benar dengan Islam.

Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media



Sabtu, 13 Agustus 2022

Bikin SN Itu Nikmat, Jika...

Tinta Media - Membuat berita lugas atau Straight News (SN) itu akan terasa nikmat jika Sahabat mengikuti beberapa tahapan berikut, tulis Admin Tinta Media, Muhammad Al Akrom Billah, dalam grup whatsapp "Sahabat Straight News" Sabtu (13/8/2022).

Mengawali tulisannya, Muhammad menulis kata-kata persembahan, "Teruntuk Semua Sahabat SN", tulisnya.

Dikatakannya, ada empat tahapan agar seorang yang belajar dan atau jadi penulis berita dapat merasakan nikmatnya menulis SN, "4 Tahap menuju Nikmatnya Bikin Straight News (SN)," kata Muhammad dalam judul tulisannya.

Untuk rincian dan penjelasan empat tahapan tersebut, Muhammad, menyebutkan, pertama DIPAKSA. Paksakan diri untuk terus bisa bikin SN tiap hari, suka atau tidak, ringan ataupun berat, cepat atau lambat asal jangan terlewat. Terus paksakan diri.

Kedua, KEBIASAAN. Beberapa bentuk paksaan akan berubah menjadi ‘kebiasaan’. Kita akan merasa aneh jika tidak bikin SN sehari saja.

Ketiga, KEBUTUHAN. Kebiasaan yang terus di lakukan akan berubah menjadi ‘kebutuhan’. Di tahap ini sudah mulai tumbuh benih-benih cinta bikin SN, akan merasa rugi jika tidak bikin dan,

Keempat, KENIKMATAN. Pada tahap ini membuat SN sudah menjadi ‘candu’. Bikin SN adalah ‘kenikmatan’. Sedangkan ketika terlewat tidak bikin SN akan membuat diri resah. Yang perlu kita lakukan adalah ‘istiqomah’ dan mengajak, memotivasi diri dan sahabat-sahabat SN lainnya untuk terus semangat bikin SN agar mereka pun dapat merasakan nikmatnya bikin SN." Demikian urainya. 

Diakhir tulisannya, Muhammad menekankan pesan penting yang harus ada dalam jiwa Sahabat SN, "Ingat, kebaikan itu seperti pantulan bola, semakin semangat kita memantulkannya kepada yang lain, maka akan semakin kencang semangat yang akan kita terima," pesannya menekankan. [] Arip

Kamis, 11 Agustus 2022

𝐓𝐈𝐃𝐀𝐊 𝐒𝐄𝐊𝐀𝐃𝐀𝐑 𝑩𝑬𝑨𝑼𝑻𝑰𝑭𝑼𝑳, 𝐉𝐔𝐃𝐔𝐋 𝐉𝐔𝐆𝐀 𝐇𝐀𝐑𝐔𝐒 𝑷𝑶𝑾𝑬𝑹𝑭𝑼𝑳𝑳(𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔)

Tinta Media - Judul sangat penting dalam semua jenis tulisan termasuk dalam penulisan karangan khas (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠/FN). Saking pentingnya, judul itu diibaratkan dengan kepala. Diibaratkan dengan kepala khususnya wajah. Selain sebagai identitas tulisan, judul juga sebagai daya tarik awal untuk membuat mata pembaca berhenti pada judul tersebut untuk kemudian membaca paragraf pertama dan seterusnya. 

Makanya, judul yang dibuat itu harus 𝑏𝑒𝑎𝑢𝑡𝑖𝑓𝑢𝑙 (menarik). Selain mengandung kepentingan pembaca, sejumlah kata yang disusun juga diupayakan mengandung bunyi akhiran sama. Misal: 𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑆𝑒𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐵𝑒𝑎𝑢𝑡𝑖(𝒇𝒖𝒍), 𝐽𝑢𝑑𝑢𝑙 𝐽𝑢𝑔𝑎 𝐻𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑃𝑜𝑤𝑒𝑟(𝒇𝒖𝒍𝒍). Sama-sama berbunyi akhir 𝘂𝗹 bahkan 𝐟𝐮𝐥. Pembaca yang berkepentingan dalam membuat judul mestilah tertarik dengan judul seperti ini. Benar enggak?
.
Selain harus 𝑏𝑒𝑎𝑢𝑡𝑖𝑓𝑢𝑙, judul juga harus 𝑝𝑜𝑤𝑒𝑟𝑓𝑢𝑙𝑙 (kuat). Judul yang kuat itu judul yang dapat mencerminkan isi tulisan dalam beberapa kata saja. Semakin mewakili isi tulisan, maka semakin kuatlah judul. Semakin melenceng dari tulisan, maka akan semakin lemah dan berdampak pada kekecewaan pembaca.  
.
Agar tidak mengecewakan pembaca, judul haruslah sesuai dengan isi pesan yang disampaikan dalam tulisan. Oleh karena itu, ambillah judul dari benang merah tulisan atau diambil dari frasa yang terdapat dalam tulisan FN agar menjadi 𝑝𝑜𝑤𝑒𝑟𝑓𝑢𝑙𝑙. Bisa ditulis secara lugas, bisa pula puitis. Diupayakan pendek, meski panjang pun tak mengapa. Yang penting jadi 𝑏𝑒𝑎𝑢𝑡𝑖𝑓𝑢𝑙.  
.
Salah satu contoh judul FN yang memenuhi dua kriteria tersebut adalah 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖. Judul tersebut dicetuskan Redaksi Pelaksana Tabloid Media Umat Mujiyanto. Judul aslinya dari saya adalah 𝐷𝑒𝑘𝑟𝑖𝑡 𝑃𝑟𝑒𝑠𝑖𝑑𝑒𝑛 𝑀𝑒𝑛𝑔𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 𝑈𝑚𝑎𝑡 𝐼𝑠𝑙𝑎𝑚. Tentu saja saya langsung sepakat dengan judul 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 karena tiga alasan. 
.
𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂, judul yang saya buat dan editan dari Mas Muji, begitu sapaan akrab saya kepada senior dan guru saya ini, sama-sama mewakili frasa yang ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa Pancasila bukanlah kesepakatan para pendiri bangsa Indonesia. 
.
Karena, sedari awal (Sidang BPUPKI) hingga Sidang Konstituante, 𝑓𝑜𝑢𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑓𝑎𝑡ℎ𝑒𝑟 dari kalangan ulama dan aktivis Islam menginginkan Islam sebagai dasar negara. Namun atas pengkhianatan berkali-kali dari salah seorang pendiri bangsalah maka Islam tak jua jadi dasar negara.
.
𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂, “Dekrit Presiden Mengkhianati Umat Islam” itu hanya mewakili salah satu adegan dalam FN tepatnya mewakili adegan 𝑒𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 (bagian akhir). Sedangkan “Janji Itu Dikhianati” bukan hanya mewakili 𝑒𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 tetapi juga mewakili batang tubuh tulisan (𝑏𝑜𝑑𝑦 𝑜𝑓 𝑤𝑟𝑖𝑡𝑖𝑛𝑔). 
.
Coba baca FN 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 (silakan klik https://bit.ly/3tMuXMK), maka Anda akan menemukan pengkhianatan terhadap janji-janji yang telah diberikan tampak sebagai benang merah. Sehingga judul tersebut dapat dinilai lebih 𝑝𝑜𝑤𝑒𝑟𝑓𝑢𝑙𝑙.
.
𝑲𝒆𝒕𝒊𝒈𝒂, judulnya lebih singkat dan puitis sehingga lebih enak dibaca tanpa mengurangi makna. Sehingga judul tersebut dapat dinilai lebih 𝑏𝑒𝑎𝑢𝑡𝑖𝑓𝑢𝑙. 
.
Pembahasan lebih lanjut tentang judul, silakan baca 𝑇𝑖𝑝𝑠 𝑇𝑎𝑘𝑡𝑖𝑠 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑙𝑖𝑠 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑆𝑎𝑛𝑔 𝐽𝑢𝑟𝑛𝑎𝑙𝑖𝑠 𝐽𝑖𝑙𝑖𝑑 𝐼: 𝑇𝑒𝑘𝑛𝑖𝑘 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑙𝑖𝑠 𝑂𝑝𝑖𝑛𝑖, 𝑏𝑎𝑏 𝑇𝑖𝑝𝑠 𝑀𝑒𝑚𝑏𝑢𝑎𝑡 𝐽𝑢𝑑𝑢𝑙 𝑂𝑝𝑖𝑛𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑀𝑒𝑛𝑎𝑟𝑖𝑘 atau klik https://bit.ly/3BqgtXP. Ya, meskipun judulnya seolah ditujukan hanya untuk menulis judul opini tetapi sebenarnya itu berlaku juga untuk FN karena kaidahnya sama saja dengan kaidah judul berbagai jenis tulisan jurnalistik lainnya termasuk FN.[]
.
.
Depok, 12 Muharam 1444 H | 9 Agustus 2022 M
.
Joko Prasetyo 
Jurnalis
.
.
______
.
Hitam putih adalah pembeda yang tegas antara hak dan batil. Hitamnya kehidupan jahiliah menjadi terang benderangnya kehidupan islami, ditandai dengan hijrahnya Rasulullah SAW, para shahabat dan kaum Muslim dari Mekah ke Madinah yang dimulai sejak bulan Muharam tahun pertama Hijriah, 1444 tahun yang lalu.
.
Dalam rangka menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharam 1444 Hijriah, Pustaka Abdurrahman Auf mengadakan program promo buku halaman dalam hitam putih:
.
Tɪᴘs Tᴀᴋᴛɪs Mᴇɴᴜʟɪs ᴅᴀʀɪ Sᴀɴɢ Jᴜʀɴᴀʟɪs
𝐉𝐢𝐥𝐢𝐝 𝟏: 𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐎𝐩𝐢𝐧𝐢
Karya: Joko Prasetyo
.
𝐒𝐩𝐞𝐬𝐢𝐟𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢 𝐛𝐮𝐤𝐮:
- ukuran A5
- cover artcarton 260 gram plus laminating doft
- isi HVS 70 gram
- jilid lem binding (softcover)
- jumlah halaman 104 bolak-balik
.
Harga Normal: Rp140.000,-
𝐇𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐏𝐫𝐨𝐦𝐨 (𝟏 𝐀𝐠𝐮𝐬𝐭𝐮𝐬 - 𝟏𝟓 𝐀𝐠𝐮𝐬𝐭𝐮𝐬 𝟐𝟎𝟐𝟐): 𝐑𝐩𝟏𝟐𝟓.𝟎𝟎𝟎,-
Harga halaman dalam berwarna (𝑓𝑢𝑙𝑙 𝑐𝑜𝑙𝑜𝑢𝑟): Rp185.000,-
.
Harga belum termasuk ongkos kirim.
.
𝗣𝗲𝘀𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗱𝗶:
Pustaka Abdurrahman Auf
wa.me/6282112880274
Surel: pustakaabdurrahmanauf@gmail.com

Rabu, 10 Agustus 2022

𝐏𝐀𝐒𝐓𝐈𝐊𝐀𝐍 𝐀𝐍𝐀𝐓𝐎𝐌𝐈 𝐅𝐍 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐀𝐍𝐃𝐀 𝐁𝐔𝐀𝐓 𝐒𝐔𝐃𝐀𝐇 𝐋𝐄𝐍𝐆𝐊𝐀𝐏! (𝑇𝑒𝑘𝑛𝑖𝑘 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑙𝑖𝑠 𝐹𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑁𝑒𝑤𝑠)


Tinta Media - Bukan hanya makhluk hidup yang perlu diketahui anatominya, banyak hal termasuk berbagai produk jurnalistik perlu diketahui tidak terkecuali karangan khas (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠 /FN). Tujuan mempelajari anatomi karangan khas adalah untuk mempelajari bagian-bagian yang menyusun FN serta fungsinya masing-masing. 

Sebagaimana anatomi manusia yang terdiri dari  
- kepala; 
- leher; 
- batang tubuh (yang meliputi dada dan perut); 
- dua lengan dan tangan; serta dua tungkai dan kaki, 
anatomi rekonstruksi peristiwa yang dikemas dalam bentuk cerita juga memiliki tubuh yang terdiri dari 
- judul (𝑡𝑖𝑡𝑙𝑒); 
- teras (𝑙𝑒𝑎𝑑 /paragraf pertama); 
- batang tubuh tulisan (𝑏𝑜𝑑𝑦 𝑜𝑓 𝑤𝑟𝑖𝑡𝑖𝑛𝑔/𝑡𝑜𝑟𝑠𝑜); dan 
- penutup (𝑒𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔). 

Jadi, 
- bila FN tanpa judul seperti manusia tanpa kepala; 
- FN tanpa teras seperti manusia tanpa leher; 
- FN tanpa batang tubuh tulisan seperti FN tanpa dada dan perut; dan
- FN tanpa penutup seperti FN tanpa tangan dan kaki. 

Bila memahami anatomi FN, maka Anda dapat menilai naskah FN yang disodorkan kepada Anda atau naskah yang Anda buat itu sudah memenuhi semua bagian anatomi FN atau belum. Maka, pastikan FN yang Anda buat sudah lengkap secara anatomis. Karena, setiap bagian penyusun FN memiliki fungsi yang saling menguatkan dan tidak dapat digantikan oleh bagian lainnya.[] 

Depok, 12 Muharam 1444 H | 9 Agustus 2022 M

Joko Prasetyo 
Jurnalis


______

Hitam putih adalah pembeda yang tegas antara hak dan batil. Hitamnya kehidupan jahiliah menjadi terang benderangnya kehidupan islami, ditandai dengan hijrahnya Rasulullah SAW, para shahabat dan kaum Muslim dari Mekah ke Madinah yang dimulai sejak bulan Muharam tahun pertama Hijriah, 1444 tahun yang lalu.
.
Dalam rangka menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharam 1444 Hijriah, Pustaka Abdurrahman Auf mengadakan program promo buku halaman dalam hitam putih:
.
Tɪᴘs Tᴀᴋᴛɪs Mᴇɴᴜʟɪs ᴅᴀʀɪ Sᴀɴɢ Jᴜʀɴᴀʟɪs
𝐉𝐢𝐥𝐢𝐝 𝟏: 𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐎𝐩𝐢𝐧𝐢
Karya: Joko Prasetyo
.
𝐒𝐩𝐞𝐬𝐢𝐟𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢 𝐛𝐮𝐤𝐮:
- ukuran A5
- cover artcarton 260 gram plus laminating doft
- isi HVS 70 gram
- jilid lem binding (softcover)
- jumlah halaman 104 bolak-balik
.
Harga Normal: Rp140.000,-
𝐇𝐚𝐫𝐠𝐚 𝐏𝐫𝐨𝐦𝐨 (𝟏 𝐀𝐠𝐮𝐬𝐭𝐮𝐬 - 𝟏𝟓 𝐀𝐠𝐮𝐬𝐭𝐮𝐬 𝟐𝟎𝟐𝟐): 𝐑𝐩𝟏𝟐𝟓.𝟎𝟎𝟎,-
Harga halaman dalam berwarna (𝑓𝑢𝑙𝑙 𝑐𝑜𝑙𝑜𝑢𝑟): Rp185.000,-
.
Harga belum termasuk ongkos kirim.
.
𝗣𝗲𝘀𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗷𝘂𝗴𝗮 𝗱𝗶:
Pustaka Abdurrahman Auf
wa.me/6282112880274
Surel: pustakaabdurrahmanauf@gmail.com

Minggu, 24 Juli 2022

𝐓𝐈𝐏𝐒 𝐀𝐆𝐀𝐑 𝐌𝐔𝐃𝐀𝐇 𝐌𝐄𝐍𝐔𝐋𝐈𝐒 𝐊𝐀𝐋𝐈𝐌𝐀𝐓/𝐏𝐀𝐑𝐀𝐆𝐑𝐀𝐅 𝐏𝐄𝐑𝐓𝐀𝐌𝐀 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔)

Tinta Media - Pernah enggak Anda mengalami kesulitan ketika hendak memulai menuliskan kalimat pertama pada paragraf pertama? Padahal ide untuk menulis bahkan kerangka karangan juga sudah terbayang jelas di benak. Tapi anehnya, ketika mau menulis kok terasa sulit. Begitu bukan yang Anda rasakan? 

Masalah tersebut terjadi karena semuanya terbayang berbarengan di kepala. Jadi membuat Anda kehilangan fokus adegan apa yang mau ditulis duluan. Adegan yang mau ditulis duluan di paragraf pertama itu disebut 𝑎𝑛𝑔𝑙𝑒.

𝐴𝑛𝑔𝑙𝑒 merupakan sudut pandang penulisan yang pertama kali ditulis di kalimat pertama pada paragraf pertama. Istilah 𝑎𝑛𝑔𝑙𝑒 ini diadopsi dari dunia fotografi. Nah, bila saya sedang merasa kesulitan membuat kalimat pertama ketika menulis karangan khas (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠 /FN), biasanya saya akan bertindak seolah-olah sebagai fotografer yang sedang memotret suatu kejadian. 

Dalam demonstrasi, misalnya. Seorang fotografer bisa saja memotret dari jauh sekumpulan orang yang sedang berdemo untuk menunjukkan suasana; atau fokus kepada salah seorang pendemo yang mengacungkan poster sehingga dengan mudah pembaca menangkap pesan yang disampaikan poster tersebut.

Coba perhatikan foto yang dipotret fotografer tersebut (enggak ada di unggahan status ini, semuanya termasuk fotografernya hanya ada di benak saya dan Anda saja, he… he…). Foto pertama kelihatan sekerumunan orang di pinggir jalan. Sebagian ada yang tampak mengangkat poster, ada beberapa yang membentangkan spanduk, dan yang di atas mobil komando tampak sedang orasi. Enggak ada adegan lain kan? Misal, adegan ketika mereka masih di rumahnya masing-masing, atau adegan beragam laku yang mereka perbuat usai demo. Sama sekali tidak ada!

Jadi adegannya hanya itu saja bukan? Hanya semua yang tertangkap kamera dalam sekali jepret saja. Maka Anda tuliskan saja yang Anda lihat di foto tersebut, jangan tuliskan hal lain yang tidak ada di foto. Camkan itu! He… he… 

Begitu juga dengan foto yang kedua. Mesti di dalam foto itu hanya ada satu adegan saja bukan? Misalnya, foto orang yang sedang mengacungkan poster. Pastilah yang terlihat adalah foto orang yang sedang mengacungkan poster. Sama sekali tidak ada adegan orang tersebut berangkat dari rumah untuk pergi demo, tidak ada pula adegan orang tersebut makan mi ayam setelah demo. Padahal sejatinya (anggap saja begitu), dia itu berangkat demonya dari rumah, usai demo makan mi ayam. Oke deh saya ngaku, saya sih yang biasanya usai demo lalu makan mi ayam. He… he… 

𝐂𝐚𝐫𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬𝐤𝐚𝐧𝐧𝐲𝐚

Maka, ketika Anda hendak menulis angle, jangan lupa bersikaplah seperti fotografer. Potretlah salah satu adegan dalam benak Anda. Bayangkan potret tersebut kuat-kuat, jangan pindah ke adegan lain. Perhatikan semua yang ada di potret tersebut, lalu tuliskanlah. 

Oke, dari seluruh rangkaian peristiwa demonstrasi tersebut sudah dipotret salah satu adegannya. Lantas bagaimana menuliskannya? Menuliskan angle bisa menggunakan segala macam kemungkinan dari urutan rumus 5 W + 1 H (𝑤ℎ𝑜 [siapa], 𝑤ℎ𝑎𝑡 [apa/sedang apa], 𝑤ℎ𝑒𝑛 [kapan], 𝑤ℎ𝑒𝑟𝑒 [di mana], 𝑤ℎ𝑦 [mengapa], dan ℎ𝑜𝑤 [bagaimana]).

Pilihlah salah satunya yang dianggap: lebih menarik, lebih penting, lebih menggambarkan suasana peristiwa, lebih berdampak, atau lebih lainnya yang memang dinilai layak untuk dituliskan pertama kali.

Bila memotret suasana, salah satu kemungkinannya bisa seperti ini:

Sekitar 20 ribu massa ormas Islam dari Jabodetabek dan sekitarnya melakukan aksi tolak pemimpin kafir, Ahad (4/9/2016) di silang Monas sisi patung kuda, Jakarta. Spanduk dan poster bertuliskan 𝐻𝑎𝑟𝑎𝑚 𝑃𝑒𝑚𝑖𝑚𝑝𝑖𝑛 𝐾𝑎𝑓𝑖𝑟 dan kalimat yang senada dibentangkan dan diacungkan para demonstran. Di atas mobil komando, dengan lantang orator pun berteriak, “Haram memilih pemimpin kafir!”

Nah, begitu juga saya ketika hendak menulis karangan khas 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 (silakan klik https://bit.ly/3tMuXMK). Banyak adegan yang terbayang di dalam benak. Ada adegan ketika sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia); ada adegan ketika sidang Konstituante; dan adegan-adegan lainnya. 

Saat mau menuliskannya, saya memotret suasana sidang Konstituante. Mengapa? Karena itu yang paling terbayang, maklumlah dari kecil hingga dewasa saya tinggal di Bandung, dan Gedung Merdeka (yang dulu digunakan untuk Sidang Konstituante) sudah sering saya lihat. Jadi bagi saya lebih mudah membayangkan gedung tersebut.  

Bila 𝑎𝑛𝑔𝑙𝑒 suasana demo di atas diadaptasi menjadi angle suasana karangan khas 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖, maka rekonstruksinya bisa seperti di bawah ini:

Sekitar 550 orang berkumpul di dalam Gedung Merdeka, Bandung pada 10 November 1956. Dalam bangunan klasik dua tingkat berlantaikan marmer mengkilap khas kolonial 𝑎𝑟𝑡 𝑑𝑒𝑐𝑜, Presiden Soekarno melantik wakil rakyat hasil pemilu 1955 sebagai anggota Konstituante (lembaga yang membahas perubahan dasar negara dan undang-undang dasar). Pelantikan tersebut menandakan pula dimulainya sidang. 

Sedangkan 𝑎𝑛𝑔𝑙𝑒 pemotretan yang fokus kepada salah satu detail (misal: pendemo yang mengacungkan poster), salah satu kemungkinannya seperti ini:

Sembari mengacungkan poster bertuliskan 𝐻𝑎𝑟𝑎𝑚 𝑃𝑒𝑚𝑖𝑚𝑝𝑖𝑛 𝐾𝑎𝑓𝑖𝑟, Joko Prasetyo bersama ribuan demonstran lainnya yang berasal dari Jabodetabek dan sekitarnya, berteriak, “Allahu Akbar!” ketika mendengar orator meneriakkan haramnya memilih pemimpin kafir, Ahad (4/9/2016) di silang Monas sisi patung kuda, Jakarta.

𝐴𝑛𝑔𝑙𝑒 tersebut bila diaplikasikan kepada FN 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 maka kalimat pertama sekaligus paragraf pertamanya bisa seperti ini:

Dengan lantang dan blak-blakan Buya Hamka mengingatkan. “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka…,” tegas ulama yang berafiliasi ke Partai Masyumi, dalam pidatonya di hadapan lebih dari 500 peserta Sidang Konstituante (1956-1959) di Gedung Merdeka, Bandung. 


Oh iya, pembahasan penulisan angle banyak persamaannya dengan pembahasan penulisan 𝑙𝑒𝑎𝑑 (teras/paragraf pertama) karena seperti yang sudah disinggung, angle adalah kalimat pertama pada paragraf pertama alias bagian dari teras. Jadi, mau tidak mau, ketika salah satunya dibahas, lainnya mesti saja terbahas. 

Jadi bila Anda kesulitan menuliskan paragraf pertama, bahkan kalimat pertama, jangan lupa potret saja salah satu adegan peristiwa di benak Anda. Bekukan adegan tersebut lalu tuliskanlah di kalimat pertama dan seterusnya hingga menjadi paragraf pertama. Coba praktikkan deh, semoga menulis kalimat pertama dan paragraf pertama jadi lebih mudah. 𝐴𝑎𝑚𝑖𝑖𝑛.[]

Depok, 25 Dzulhijjah 1443 H | 24 Juli 2022 M

Joko Prasetyo 
Jurnalis

Rabu, 13 Juli 2022

𝐘𝐔𝐊 𝐁𝐔𝐀𝐓 𝐏𝐄𝐑𝐓𝐀𝐍𝐘𝐀𝐀𝐍 𝐂𝐀𝐂𝐈𝐍𝐆 𝐀𝐆𝐀𝐑 𝐈𝐃𝐄 𝐈𝐍𝐒𝐏𝐈𝐑𝐀𝐓𝐈𝐅 𝐓𝐄𝐑𝐏𝐀𝐍𝐂𝐈𝐍𝐆 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐹𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑁𝑒𝑤𝑠)

Tinta Media - Salah satu kendala dalam membuat karangan khas (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠/FN) adalah merasa bingung atau merasa tak punya ide untuk menulis. Padahal berbagai peristiwa yang dapat direkonstruksi ke dalam bentuk cerita sangat berlimpah di dalam otak. 

Bila memori otak diibaratkan kolam, maka berbagai peristiwa inspiratif itu merupakan ikan yang sangat banyak berenang-renang di dalamnya. Oleh karena itu, Anda haruslah memancing agar terpilih peristiwa tertentu menjadi rancangan yang tersusun di dalam pikiran alias terpancing.

Lantas bagaimana caranya membuat pertanyaan cacing? Banyak sekali. Beberapa di antaranya sebagai berikut.


𝐌𝐞𝐦𝐚𝐧𝐜𝐢𝐧𝐠 𝐝𝐢 𝐊𝐨𝐥𝐚𝐦 𝐒𝐞𝐧𝐝𝐢𝐫𝐢

Memancing di kolam sendiri artinya menggali ide untuk membuat kisah hidup sendiri. Maka peristiwa yang akan diceritakan kembali tentu saja terkait diri sendiri. Coba ingat-ingat, satu saja peristiwa yang paling berkesan yang Anda alami selama hidup ini. Setelah ingat, fokuskan ingatan Anda pada peristiwa tersebut dengan menjawab beberapa pertanyaan cacing yang mengarah pada rekonstruksi kejadian di dalam benak.

Peristiwa-peristiwa berkesan dimaksud sejatinya ada banyak. Di antaranya sebagai berikut. 

𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑠𝑡𝑖𝑤𝑎 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘 𝐼𝑠𝑙𝑎𝑚𝑛𝑦𝑎 𝐴𝑛𝑑𝑎, 𝑏𝑖𝑙𝑎 𝑑𝑢𝑙𝑢𝑛𝑦𝑎 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑀𝑢𝑠𝑙𝑖𝑚. Poin utama yang harus muncul ketika merekonstruksi dalam benak, salah satu caranya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan cacing di bawah ini: 

𝟷. 𝙼𝚎𝚗𝚐𝚊𝚙𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚞𝚔 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚍𝚎𝚐𝚊𝚗/𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚊𝚕𝚊𝚖𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚠𝚊𝚔𝚒𝚕𝚒 𝚓𝚊𝚠𝚊𝚋𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝.

𝟸. 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚝𝚒𝚝𝚒𝚔 𝚝𝚘𝚕𝚊𝚔 𝚙𝚎𝚛𝚞𝚋𝚊𝚑𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚗𝚘𝚗-𝙼𝚞𝚜𝚕𝚒𝚖 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝙼𝚞𝚜𝚕𝚒𝚖? 𝙹𝚊𝚠𝚊𝚋𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊 𝚙𝚎𝚖𝚊𝚙𝚊𝚛𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚞𝚝𝚞𝚜𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚖𝚒𝚕𝚒𝚑 𝚖𝚊𝚜𝚞𝚔 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚢𝚊𝚑𝚊𝚍𝚊𝚝.

𝟹. 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚕𝚒𝚔𝚊-𝚕𝚒𝚔𝚞𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚞𝚕𝚊𝚒 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚕𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚎𝚗𝚊𝚕 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚜𝚎𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚞𝚔 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖? 𝙹𝚊𝚠𝚊𝚋𝚕𝚊𝚑 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚒𝚗𝚒 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚜𝚎𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚒𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚠𝚊𝚋 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚗𝚘𝚖𝚘𝚛 𝚔𝚎𝚍𝚞𝚊.  

𝟺. 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚗𝚘𝚗-𝙼𝚞𝚜𝚕𝚒𝚖? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚔𝚎𝚓𝚊𝚍𝚒𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚠𝚊𝚔𝚒𝚕𝚒 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝. 

𝟻. 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚙𝚊𝚜𝚌𝚊-𝚖𝚊𝚜𝚞𝚔 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚔𝚎𝚓𝚊𝚍𝚒𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚠𝚊𝚔𝚒𝚕𝚒 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝. 

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑠𝑡𝑖𝑤𝑎 ℎ𝑖𝑗𝑟𝑎ℎ𝑛𝑦𝑎 𝐴𝑛𝑑𝑎 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑎𝑑𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎𝑡 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑠𝑦𝑎𝑟𝑖𝑎𝑡 𝑠𝑒ℎ𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑡𝑎𝑎𝑡. Poin utama yang harus muncul ketika merekonstruksi dalam benak misalnya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini:

𝟷. 𝙼𝚎𝚗𝚐𝚊𝚙𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚑𝚒𝚓𝚛𝚊𝚑? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚍𝚎𝚐𝚊𝚗/𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚊𝚕𝚊𝚖𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚠𝚊𝚔𝚒𝚕𝚒 𝚓𝚊𝚠𝚊𝚋𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝.

𝟸. 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚝𝚒𝚝𝚒𝚔 𝚝𝚘𝚕𝚊𝚔 𝚙𝚎𝚛𝚞𝚋𝚊𝚑𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚞𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚛𝚒𝚔𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚝𝚊𝚊𝚝? 𝙹𝚊𝚠𝚊𝚋𝚊𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊 𝚙𝚎𝚖𝚊𝚙𝚊𝚛𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚞𝚝𝚞𝚜𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚖𝚒𝚕𝚒𝚑 𝚑𝚒𝚓𝚛𝚊𝚑 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝.

𝟹. 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚕𝚒𝚔𝚊-𝚕𝚒𝚔𝚞𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚞𝚕𝚊𝚒 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚜𝚞𝚔𝚊 𝚖𝚊𝚔𝚜𝚒𝚊𝚝 𝚜𝚎𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚊𝚕𝚞 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚊𝚝? 𝙹𝚊𝚠𝚊𝚋𝚕𝚊𝚑 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚒𝚗𝚒 𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚜𝚎𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚒𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚠𝚊𝚋 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚗𝚘𝚖𝚘𝚛 𝚔𝚎𝚍𝚞𝚊. 

𝟺. 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚎𝚠𝚊𝚓𝚒𝚋𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚜𝚎𝚌𝚊𝚛𝚊 𝚔𝚊𝚏𝚏𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚋𝚎𝚕𝚞𝚖 𝚑𝚒𝚓𝚛𝚊𝚑? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚔𝚎𝚓𝚊𝚍𝚒𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚠𝚊𝚔𝚒𝚕𝚒 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝. 

𝟻. 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚙𝚊𝚜𝚌𝚊-𝚜𝚊𝚍𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚋𝚎𝚛𝚔𝚘𝚖𝚒𝚝𝚖𝚎𝚗 𝚞𝚗𝚝𝚞𝚔 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚜𝚎𝚌𝚊𝚛𝚊 𝚔𝚊𝚏𝚏𝚊𝚑? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚔𝚎𝚓𝚊𝚍𝚒𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚠𝚊𝚔𝚒𝚕𝚒 𝚙𝚊𝚗𝚍𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝. 

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑚𝑒𝑟𝑒𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑟𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑏𝑎ℎ𝑛𝑦𝑎 𝑠𝑒𝑠𝑒𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑘𝑜𝑛𝑑𝑖𝑠𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑘𝑜𝑛𝑑𝑖𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑡𝑜𝑙𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑙𝑎𝑘𝑎𝑛𝑔. Perhatikan 5 pertanyaan pada poin pertama dan 5 pertanyaan pada poin kedua. Pola pertanyaannya sama persis bukan? Pola tersebut sangat cocok ditanyakan untuk merekonstruksi berubahnya seseorang dari suatu kondisi menjadi kondisi yang bertolak belakang. 

Misalnya: 
- 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚊𝚍𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚋𝚎𝚛𝚔𝚎𝚛𝚞𝚍𝚞𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚋𝚎𝚛𝚔𝚎𝚛𝚞𝚍𝚞𝚗𝚐; 
- 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚊𝚍𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚓𝚎𝚛𝚊𝚝 𝚛𝚒𝚋𝚊 𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚊𝚔𝚝𝚒𝚟𝚒𝚜 𝚊𝚗𝚝𝚒-𝚛𝚒𝚋𝚊; 
- 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚐𝚘𝚗𝚝𝚊-𝚐𝚊𝚗𝚝𝚒 𝚙𝚊𝚌𝚊𝚛 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚊𝚔𝚝𝚒𝚟𝚒𝚜 𝚊𝚗𝚝𝚒-𝚙𝚊𝚌𝚊𝚛𝚊𝚗; 
- 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚊𝚍𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚞𝚜𝚞𝚑𝚒 𝚍𝚊𝚔𝚠𝚊𝚑 𝚔𝚑𝚒𝚕𝚊𝚏𝚊𝚑 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚙𝚎𝚓𝚞𝚊𝚗𝚐 𝚔𝚑𝚒𝚕𝚊𝚏𝚊𝚑; 
- 𝚍𝚊𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚎𝚖𝚒𝚜𝚊𝚕𝚗𝚢𝚊.  

Pola pertanyaan yang sama bisa juga digunakan untuk memancing ide rekonstruksi kejadian dari kondisi yang buruk menjadi kondisi yang baik, dari kondisi yang baik ke kondisi yang lebih baik. Bahkan, 𝑛𝑎𝑢𝑑𝑧𝑢𝑏𝑖𝑙𝑙𝑎ℎ𝑖 𝑚𝑖𝑛 𝑑𝑧𝑎𝑙𝑖𝑘, bisa memancing ide rekonstruksi kejadian dari kondisi yang baik menjadi buruk, dari kondisi yang buruk menjadi lebih buruk. 

𝐾𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡, 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑠𝑡𝑖𝑤𝑎 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝐴𝑛𝑑𝑎 𝑑𝑖𝑢𝑗𝑖 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑠𝑎𝑘𝑖𝑡𝑛𝑦𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑐𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑠𝑒ℎ𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑚𝑏𝑢𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑚𝑎𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑖 𝐴𝑛𝑑𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑎𝑏𝑎𝑟 𝑚𝑒𝑛𝑔ℎ𝑎𝑑𝑎𝑝𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑡𝑎𝑎𝑡 𝑠𝑦𝑎𝑟𝑖𝑎𝑡. Pertanyaan pancingannya bisa seperti di bawah ini:

𝟷. 𝚂𝚒𝚊𝚙𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊𝚕 𝚍𝚊𝚗 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚜𝚒𝚊𝚙𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚔𝚒𝚝? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚜𝚘𝚜𝚘𝚔 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊𝚕 𝚍𝚊𝚗 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚔𝚒𝚝 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝.

𝟸. 𝙰𝚙𝚊 𝚍𝚊𝚖𝚙𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚊𝚐𝚒 𝙰𝚗𝚍𝚊? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚐𝚊𝚖𝚋𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝚋𝚊𝚑𝚠𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚝/𝚍𝚒𝚕𝚎𝚖𝚊𝚝𝚒𝚜 𝚋𝚊𝚐𝚒 𝙰𝚗𝚍𝚊.

𝟹. 𝙱𝚊𝚐𝚊𝚒𝚖𝚊𝚗𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚝𝚊𝚜𝚒 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚒𝚗𝚒? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚋𝚞𝚊𝚝𝚊𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚊𝚙𝚊𝚝 𝚍𝚒𝚜𝚒𝚖𝚙𝚞𝚕𝚔𝚊𝚗 𝚋𝚊𝚑𝚠𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚒𝚝𝚞 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚍𝚊𝚙𝚒/𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚝𝚊𝚜𝚒 𝚔𝚎𝚗𝚢𝚊𝚝𝚊𝚊𝚗 𝚘𝚛𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚛𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊𝚕 𝚍𝚊𝚗 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚜𝚊𝚔𝚒𝚝.

𝟺. 𝙼𝚎𝚗𝚐𝚊𝚙𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝚖𝚞𝚜𝚒𝚋𝚊𝚑 𝚒𝚝𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚖𝚙𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊? 𝙲𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚜𝚊𝚝𝚞 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚎𝚋𝚎𝚛𝚊𝚙𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚠𝚊𝚋 𝚙𝚎𝚛𝚝𝚊𝚗𝚢𝚊𝚊𝚗 𝚒𝚗𝚒. 

𝟻. 𝚂𝚎𝚖𝚙𝚊𝚝𝚔𝚊𝚑 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚑𝚊𝚖𝚙𝚒𝚛 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚋𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚝𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚗𝚊𝚖𝚞𝚗 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚔𝚎𝚖𝚋𝚊𝚕𝚒 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛? 𝚂𝚎𝚖𝚙𝚊𝚝𝚔𝚊𝚑 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚕𝚊𝚗𝚐𝚐𝚊𝚛 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝 𝚍𝚊𝚗 𝚊𝚔𝚑𝚒𝚛𝚗𝚢𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚝𝚘𝚋𝚊𝚝 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚍𝚊𝚙𝚒 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚒𝚗𝚒? 𝙱𝚒𝚕𝚊 𝚙𝚎𝚛𝚒𝚜𝚝𝚒𝚠𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚊𝚍𝚊, 𝚋𝚊𝚐𝚞𝚜 𝚍𝚒𝚌𝚎𝚛𝚒𝚝𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚓𝚞𝚐𝚊 𝚜𝚎𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚔𝚒𝚜𝚊𝚑𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚕𝚎𝚋𝚒𝚑 𝚑𝚒𝚍𝚞𝚙.

Salah satu hasil FN-nya seperti yang ditulis Siti Aisyah ketika merekonstruksi peristiwa dilematis karena orang yang dicintainya ada yang meninggal dunia dan ada yang sakit dalam waktu bersamaan, 𝐷𝑖 𝐴𝑛𝑡𝑎𝑟𝑎 𝐷𝑢𝑎 𝑃𝑖𝑙𝑖ℎ𝑎𝑛, 𝐼𝑏𝑢 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑆𝑢𝑎𝑚𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝐴𝑛𝑎𝑘𝑘𝑢? https://bit.ly/3AK43tg.

𝐾𝑒𝑙𝑖𝑚𝑎, 𝑚𝑜𝑚𝑒𝑛-𝑚𝑜𝑚𝑒𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝐴𝑛𝑑𝑎 𝑑𝑖𝑢𝑗𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖 𝑚𝑎𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑖 𝐴𝑛𝑑𝑎 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝 𝑏𝑒𝑟𝑢𝑝𝑎𝑦𝑎 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑡𝑎𝑎𝑡 𝑠𝑦𝑎𝑟𝑖𝑎𝑡 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑘𝑎𝑠𝑢𝑠 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑜𝑖𝑛 𝑘𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑗𝑎. Ada banyak kasus sepola yang dapat dipancing dengan lima pertanyaan pada poin keempat tersebut. 

Misalnya:
- 𝙰𝚍𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚔𝚎𝚕𝚞𝚊𝚛𝚐𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝚊𝚝𝚊𝚞 𝚙𝚎𝚗𝚎𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚠𝚊𝚛𝚐𝚊 𝚕𝚒𝚗𝚐𝚔𝚞𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚖𝚙𝚊𝚝 𝚝𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊𝚕 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚊𝚔𝚠𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚙𝚊𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚛𝚎𝚔𝚊 𝚜𝚎𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚖𝚋𝚞𝚕𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙𝚒 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚍𝚊𝚙𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝;

- 𝙰𝚍𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚎𝚔𝚘𝚗𝚘𝚖𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚝𝚎𝚛𝚊𝚜𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚊𝚝 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚖𝚙𝚊 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚜𝚎𝚑𝚒𝚗𝚐𝚐𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚒𝚖𝚋𝚞𝚕𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙𝚒 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚑𝚊𝚍𝚊𝚙𝚒𝚗𝚢𝚊 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝;

- 𝙰𝚍𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊 𝚍𝚒𝚙𝚎𝚌𝚊𝚝𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚙𝚎𝚔𝚎𝚛𝚓𝚊𝚊𝚗 𝚐𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚕𝚊𝚔𝚞𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚔𝚝𝚒𝚟𝚒𝚝𝚊𝚜 𝚊𝚖𝚊𝚛 𝚖𝚊𝚔𝚛𝚞𝚏 𝚗𝚊𝚑𝚒 𝚖𝚞𝚗𝚐𝚔𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚖𝚞𝚑𝚊𝚜𝚊𝚋𝚊𝚑 𝚕𝚒𝚕 𝚑𝚞𝚔𝚔𝚊𝚖 (𝚖𝚎𝚗𝚐𝚘𝚛𝚎𝚔𝚜𝚒 𝚙𝚎𝚗𝚐𝚞𝚊𝚜𝚊) 𝚗𝚊𝚖𝚞𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝;

- 𝙰𝚍𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊 𝚍𝚒𝚌𝚊𝚌𝚒𝚖𝚊𝚔𝚒𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚋𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚒𝚙𝚊𝚔𝚜𝚊 𝚖𝚎𝚕𝚎𝚙𝚊𝚜𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚛𝚞𝚍𝚞𝚗𝚐 𝚍𝚊𝚗 𝚓𝚒𝚕𝚋𝚊𝚋 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚞𝚝𝚞𝚜𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚝𝚞𝚙 𝚊𝚞𝚛𝚊𝚝 𝚜𝚎𝚌𝚊𝚛𝚊 𝚜𝚎𝚖𝚙𝚞𝚛𝚗𝚊 𝚜𝚎𝚜𝚞𝚊𝚒 𝚝𝚞𝚗𝚝𝚞𝚝𝚊𝚗 𝚊𝚓𝚊𝚛𝚊𝚗 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖, 𝚗𝚊𝚖𝚞𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝;

- 𝙰𝚍𝚊 𝚖𝚊𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚋𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊 𝚍𝚒𝚌𝚊𝚌𝚒𝚖𝚊𝚔𝚒𝚗𝚢𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚋𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚍𝚒𝚙𝚎𝚛𝚜𝚎𝚔𝚞𝚜𝚒/𝚔𝚛𝚒𝚖𝚒𝚗𝚊𝚕𝚒𝚜𝚊𝚜𝚒 𝚔𝚎𝚝𝚒𝚔𝚊 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚖𝚎𝚖𝚞𝚝𝚞𝚜𝚔𝚊𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚍𝚊𝚔𝚠𝚊𝚑𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚓𝚊𝚛𝚊𝚗 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝙰 𝚜𝚊𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚉, 𝚍𝚊𝚛𝚒 𝚊𝚔𝚒𝚍𝚊𝚑 𝚜𝚊𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚔𝚑𝚒𝚕𝚊𝚏𝚊𝚑, 𝚗𝚊𝚖𝚞𝚗 𝙰𝚗𝚍𝚊 𝚝𝚎𝚝𝚊𝚙 𝚋𝚎𝚛𝚜𝚊𝚋𝚊𝚛 𝚍𝚊𝚗 𝚝𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚢𝚊𝚛𝚒𝚊𝚝;

- 𝚍𝚊𝚗 𝚊𝚍𝚊-𝚊𝚍𝚊 𝚕𝚊𝚒𝚗𝚗𝚢𝚊 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚎𝚙𝚘𝚕𝚊, 𝚑𝚎… 𝚑𝚎…

𝐾𝑒𝑒𝑛𝑎𝑚, 𝑘𝑖𝑠𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑟ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛 (𝑠𝑢𝑐𝑐𝑒𝑠𝑠 𝑠𝑡𝑜𝑟𝑦). Selain berbagai kisah di atas, ada juga kisah keberhasilan dalam upaya Anda meraih sesuatu bukan? Munculkan berbagai pertanyaan cacing, mulai dari mengapa Anda bisa sukses melakukan hal tersebut hingga Anda mensyukurinya. 

Tetapi, tetap jawabannya berupa cerita peristiwa yang mengambarkan usaha Anda yang pantang menyerah ketika meraih cita-cita dimaksud. Dan seterusnya, dan seterusnya, saya percaya Anda bisalah cari pertanyaan cacing sendiri he… he… Tetapi sekali lagi ingat, apa pun pertanyaannya jawabannya harus dalam bentuk cerita. 

Kenapa jawabannya harus berupa cerita? Karena Anda sedang merekonstruksi kejadian yang dikemas dalam bentuk cerita. Kalau jawabannya bukan dalam bentuk cerita, maka jadinya nanti bukan karangan khas, tetapi opini (penyikapan Anda atas suatu peristiwa). 

Terkait menulis opini silakan Anda baca buku Tɪᴘs Tᴀᴋᴛɪs Mᴇɴᴜʟɪs ᴅᴀʀɪ Sᴀɴɢ Jᴜʀɴᴀʟɪs 𝐉𝐢𝐥𝐢𝐝 𝟏: 𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐎𝐩𝐢𝐧𝐢 (silakan klik https://bit.ly/3AAWzsK). Ngiklan he… he… Iklan ini penting bagi saya, agar istri senang melihat saya nulis. Selain berbagi ilmu dengan Anda sekalian, saya pun jadi dapat cuan. Aamiin.


𝐌𝐞𝐦𝐚𝐧𝐜𝐢𝐧𝐠 𝐝𝐢 𝐊𝐨𝐥𝐚𝐦 𝐎𝐫𝐚𝐧𝐠

Memancing di kolam orang artinya menggali ide untuk membuat kisah hidup orang lain. Maka peristiwa yang akan diceritakan kembali tentu saja terkait diri orang tersebut (bukan diri Anda). Pola pertanyaannya juga sama persis, bedanya kali ini Anda yang bertanya (mewawancarai) orang lain. Ubahlah pertanyaan-pertanyaan cacing di atas menjadi pertanyaan yang Anda tujukan kepada orang lain. Hasilnya, tentu saja bisa Anda bikin FN tentang orang tersebut.


𝐌𝐞𝐦𝐚𝐧𝐜𝐢𝐧𝐠 𝐝𝐢 𝐏𝐞𝐫𝐩𝐮𝐬𝐭𝐚𝐤𝐚𝐚𝐧

Diakui, memang saya agak memaksakan diri menamai subjudul ini dengan istilah memancing di perpustakaan he… he… tapi maksudnya begini 𝑙ℎ𝑜, Anda juga bisa mengangkat kisah hidup orang-orang yang pernah ditulis (dalam berbagai buku, artikel, berita, dan lainnya); maupun dari suara/video (kisah di 𝑌𝑜𝑢𝑇𝑢𝑏𝑒, radio, 𝑝𝑜𝑑𝑐𝑎𝑠𝑡, dan lainnya). 

Jadi dengan membaca atau mendengar/menonton itu semua, Anda bisa memancing dengan berbagai pertanyaan cacing di atas. Tentu saja pertanyaan cacing tersebut diajukan kepada diri Anda sendiri.

Kemudian, Anda jawab pakai bahasa Anda sendiri (kecuali kalimat kutipan langsung dari narasumber dalam kolam perpustakaan), sehingga menjadi karya yang bukan salin tempel (𝑐𝑜𝑝𝑦 𝑝𝑎𝑠𝑡𝑒/copas). Sumbernya pun bisa satu atau lebih dari satu video/suara/teks, yang penting semua pertanyaan cacing tersebut terjawab.


𝐌𝐚𝐬𝐮𝐤𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞 𝐄𝐦𝐛𝐞𝐫

Jangan lupa, setelah ikannya terpancing segera masukan ke ember tempat penyimpan ikan. Ember tersebut bisa berupa tulisan ataupun rekaman suara jawaban-jawaban pertanyaan cacing tersebut. Ikan-ikan tersebut nantinya diolah menjadi ikan bakar (FN pola kronologis); ikan goreng (FN pola 𝑓𝑙𝑎𝑠ℎ𝑏𝑎𝑐𝑘); atau pecel ikan (FN pola lainnya). 

Sedangkan cara mengolah ikan tersebut, eh, membuat alur cerita FN tersebut dapat Anda pelajari dengan menyimak bab 𝐵𝑢𝑎𝑖 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑐𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝐴𝑙𝑢𝑟 𝐶𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝐾𝑖𝑠𝑎ℎ 𝑁𝑦𝑎𝑡𝑎 pada pada tautan https://bit.ly/3nRrc5g.


𝐎𝐛𝐬𝐞𝐫𝐯𝐚𝐬𝐢

Ya, subjudul ini enggak mungkin saya paksakan menggunakan diksi memancing lagi, tetapi tetap pakai bahasa aslinya yakni observasi karena saya belum dapat padanan pemisalan yang pas kalau tetap pakai istilah memancing. Tapi yang jelas, observasi itu Anda berada di lokasi peristiwa terjadi. 

Anda amati secara seksama, masukan ke dalam ember ikan hal-hal yang menurut Anda itu penting, menarik dan atau penting dengan cara mencatatnya, merekamnya, dan atau mengingat-ingatnya. Untuk kemudian pada kesempatan yang pas dijadikan bahan tulisan FN. 

Misalnya: ketika Anda melakukan kunjungan ke objek wisata yang bersejarah; melihat suatu peristiwa yang inspiratif, terjebak di dalam suatu peristiwa penting dan atau menarik. Catat saja, insyaAllah kelak diperlukan untuk menulis FN. 

Banyak FN yang saya tulis yang sumbernya adalah observasi. Salah satu di antaranya adalah FN 𝐾𝑒𝑡𝑖𝑘𝑎 𝐷𝑖𝑑𝑒𝑠𝑎𝑘 𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑇𝑒𝑟𝑏𝑖𝑡𝑘𝑎𝑛 𝐼𝑀𝐵 𝐾𝑒𝑑𝑢𝑏𝑒𝑠 𝐴𝑚𝑒𝑟𝑖𝑘𝑎, 𝐵𝑒𝑔𝑖𝑛𝑖𝑙𝑎ℎ 𝐶𝑎𝑟𝑎 𝐽𝑜𝑘𝑜𝑤𝑖 𝐵𝑒𝑟𝑘𝑒𝑙𝑖𝑡 https://bit.ly/3wIcDHa. Saya mencatat berbagai pernyataan penting dan menarik dari semua tokoh yang berbicara dalam peristiwa tersebut, untuk kemudian saya pilih yang relevan sehingga jadilah FN di atas. 
.
Bagaimana perasaan Anda melihat gerak-gerik dan pernyataan Presiden, eh, Gubernur Jokowi dalam FN di atas? He… he… Ingat, perasaan Anda itu sama sekali tidak saya tulis bukan? Tapi itulah target yang saya inginkan ketika Anda membacanya.


𝐁𝐞𝐫𝐛𝐚𝐠𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐥𝐚𝐦𝐚𝐧

Seperti yang sudah disinggung di atas, ide untuk menulis karangan khas sangatlah melimpah. Namun saya pribadi sering kali memancingnya dengan cara dikaitkan dengan peristiwa politik yang hangat bahkan sedang panas-panasnya. 

Contoh kasus: berulang kalinya pernyataan politis dari para pejabat dan juga kelompok-kelompok latah yang menyebut, 

𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊 𝚖𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚜𝚎𝚙𝚊𝚔𝚊𝚝𝚊𝚗 𝑓𝑜𝑢𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑓𝑎𝑡ℎ𝑒𝑟𝑠 (𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚋𝚊𝚗𝚐𝚜𝚊 𝙸𝚗𝚍𝚘𝚗𝚎𝚜𝚒𝚊). 

Agar ide muncul, maka saya membuat pertanyaan cacing: 

𝙱𝚎𝚗𝚊𝚛𝚔𝚊𝚑 𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊 𝚖𝚎𝚛𝚞𝚙𝚊𝚔𝚊𝚗 𝚔𝚎𝚜𝚎𝚙𝚊𝚔𝚊𝚝𝚊𝚗 𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚋𝚊𝚗𝚐𝚜𝚊?

Untuk menjawabnya, siapa saja yang mau menulis karangan khasnya mau tidak mau mesti mendalami sejarah terkait lahirnya Pancasila dan berbagai peristiwa sejarah yang menunjukkan benar atau tidaknya pernyataan tersebut. 

Mendalaminya bisa dengan berbagai cara. Salah satu caranya dengan studi pustaka (memancing di perpustakaan ha… ha… pakai diksi memancing lagi). Di antaranya, membaca risalah sidang BPUPKI dan PPKI, risalah sidang Konstituante, dan referensi lain yang terkait. Misal, buku biografi salah satu peserta sidang BPUPKI, buku biografi salah satu peserta sidang Konstituante, dan buku-buku lain yang terkait pembahasan. 

Fokuskan pada pencarian jawaban terhadap pertanyaan di atas. Tapi dalam praktiknya sangat mungkin menemukan peristiwa lain yang penting dan atau menarik. Jangan mudah tergoda untuk berganti fokus. Hal lain tersebut cukup saja ditandai dan bisa diagendakan untuk bahan tulisan berikutnya.

Maka, akhirnya terbitlah karangan khas yang berjudul 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 (silakan klik https://bit.ly/3tMuXMK). Karangan khas tersebut sama sekali tidak menyinggung pernyataan yang menyebut, “Pancasila merupakan kesepakatan para pendiri bangsa Indonesia).” Tapi, siapa pun yang membaca FN 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 normalnya akan berkesimpulan pernyataan para pejabat dan orang-orang yang latah tersebut hanyalah hoaks belaka. Benar enggak?

Oh iya, salah satu ciri FN yang baik itu ketika ingin menyatakan pesan utama bahwa sesuatu itu hoaks, sama sekali tidak mengatakan hal tersebut itu hoaks, tapi cukup saja merekonstruksi suatu peristiwa yang secara umumnya pembaca akan menyimpulkan bahwa sesuatu itu hoaks. 

Itulah salah satu seninya membuat 𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠, tidak 𝑠𝑡𝑟𝑎𝑖𝑔ℎ𝑡/𝑡𝑜 𝑡ℎ𝑒 𝑝𝑜𝑖𝑛𝑡 (lugas/langsung pada pokok permasalahan) sebagaimana berita lugas (𝑠𝑡𝑟𝑎𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑛𝑒𝑤𝑠/SN). 

Jadi, yang disampaikan penulis kepada pembaca itu bukan kesimpulannya sebagaimana SN, tetapi rekonstruksi suatu peristiwa sedemikian rupa sehingga peristiwanya tergambar jelas di benak pembaca agar pembaca menyimpulkan sendiri yang tentu saja kesimpulannya seperti yang penulis maui. Menarik bukan?[]

Depok, 12 Dzulhijjah 1443 H | 11 Juli 2022 M

Joko Prasetyo 
Jurnalis

Jumat, 01 Juli 2022

𝐁𝐄𝐃𝐀 𝐃𝐄𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐂𝐄𝐑𝐏𝐄𝐍, 𝐊𝐀𝐑𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐊𝐇𝐀𝐒 𝐁𝐔𝐊𝐀𝐍𝐋𝐀𝐇 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐊𝐇𝐀𝐘𝐀𝐋𝐀𝐍 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐹𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑁𝑒𝑤𝑠)

Tinta Media - Karena peristiwa yang direkonstruksinya dikemas dalam bentuk cerita, maka penyajian karangan khas (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠/FN) mirip dengan cerita pendek (cerpen) maupun novel. Bahkan ada saja di antara Anda yang mengira FN itu ya cerpen/novel. Padahal sejatinya berbeda. 

Perbedaannya adalah semua unsur cerita yang ditulis dalam karangan khas itu nyata (nonfiksi) sedangkan dalam cerpen/novel itu minimal salah satu unsurnya adalah khayalan (fiksi). 

Jadi, meski bentuk penyajiannya berupa cerita dan memiliki banyak kesamaan unsur dengan cerpen (cerita pendek) maupun novel namun karangan khas bukanlah khayalan sedangkan cerpen/novel merupakan khayalan. 

Maka, semua unsur FN (tokoh; karakter dan kepribadian tokoh; tingkah laku dan perkataan tokoh; lokasi, waktu, dan suasana peristiwa yang diceritakan) itu memang harus benar-benar terjadi. Berbeda dengan cerpen (cerita pendek) dan novel yang ---minimal salah satu dari unsur di atas itu--- hanyalah khayalan belaka.

Oleh karena itu cerpen tidak bisa dikatakan sebagai produk jurnalistik meskipun kerap dimuat di media massa. Begitu juga dengan novel yang ditulis berseri (bersambung) dalam media massa, juga tak bisa disebut produk jurnalistik. Keduanya adalah produk sastra, bukan jurnalistik. Karena produk jurnalistik itu tidak boleh berupaya khayalan. 

Perhatikan baik-baik tiga kategori cerita di bawah ini:
1. Cerita khayalan.
2. Cerita khayalan terinspirasi kisah nyata (sebagian nyata sebagian khayalan).
3. Cerita kisah nyata.

Kategori mana ya yang termasuk FN? Benar, hanya kategori tiga saja yang termasuk FN, sisanya sudah termasuk cerpen/novel.

Sekarang sudah paham 𝑘𝑎𝑛 perbedaan antara FN dengan cerpen?[]

Depok, 2 Dzulhijjah 1443 H | 1 Juli 2022 M

Joko Prasetyo 
Jurnalis

𝐆𝐀𝐘𝐀 𝐏𝐄𝐍𝐔𝐋𝐈𝐒𝐀𝐍 𝐒𝐀𝐍𝐆𝐀𝐓 𝐁𝐄𝐑𝐏𝐄𝐍𝐆𝐀𝐑𝐔𝐇 𝐏𝐀𝐃𝐀 𝐏𝐄𝐍𝐘𝐀𝐉𝐈𝐀𝐍 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐹𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑁𝑒𝑤𝑠)


Tinta Media - Gaya penulisan setiap penulis karangan khas (rekonstruksi suatu peristiwa ke dalam bentuk cerita/𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠/FN) berbeda-beda. Peristiwa yang sama pastilah akan berbeda hasilnya ketika ditulis oleh orang yang berbeda karena cara pengungkapannya memang beragam. 

Perbedaannya ditentukan oleh banyak hal. Di antaranya adalah wawasan si penulis terkait peristiwa yang akan diceritakan; pilihan temanya (terkait pilihan tema, silakan baca tips taktis 𝑇𝑒𝑚𝑎, 𝐽𝑖𝑤𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑅𝑒𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑟𝑢𝑘𝑠𝑖 𝐾𝑒𝑗𝑎𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛 dengan mengklik https://bit.ly/3Nui9Sp); tokoh-tokoh yang diceritakan; kutipan-kutipan kalimat dan perbuatan si tokoh yang dipilih.

Terakhir, kemampuan secara teknis si penulis dalam menulis karangan khas baik dari sisi kesesuaiannya dengan kaidah jurnalistik maupun jam duduk, eh, jam terbangnya dalam praktik menulis karangan khas. 

Di gaya penulisan inilah istilah seni relevan disematkan kepada karangan khas. Semakin luas wawasan penulisnya dan semakin piawai dalam menyajikannya maka akan semakin indah dan bermutu tinggi karya karangan khasnya. Makanya, gaya penulisan menjadi unsur FN yang sangat berpengaruh dalam menarik tidaknya cerita yang disajikan. 

𝐁𝐞𝐫𝐛𝐚𝐠𝐢 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐥𝐚𝐦𝐚𝐧 

Dalam membuat FN, saya biasanya mengumpulkan banyak pertanyaan di benak lalu menjawabnya sendiri (mewawancarai diri sendiri he… he…). Jawaban-jawabannya ada yang seketika terjawab (karena informasi terkait pertanyaan tersebut sudah ada di benak), ada pula yang mengharuskan saya mencari jawaban dengan berbagai cara (observasi, wawancara orang lain, dan atau studi pustaka).

Jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebutlah yang nantinya direkonstruksi menjadi alur cerita FN (terkait tips taktis tentang alur cerita silakan baca 𝐵𝑢𝑎𝑖 𝑃𝑒𝑚𝑏𝑎𝑐𝑎 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝐴𝑙𝑢𝑟 𝐶𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝐾𝑖𝑠𝑎ℎ 𝑁𝑦𝑎𝑡𝑎 dengan mengklik https://bit.ly/3ua341o). 

Pertanyaan-pertanyaan dimaksud, sebagaimana layaknya seorang jurnalis, memang selalu seputar 5W1H (yakni: siapa/𝑤ℎ𝑜, sedang apa/𝑤ℎ𝑎𝑡, kapan/𝑤ℎ𝑒𝑛, di mana/𝑤ℎ𝑒𝑟𝑒, mengapa/𝑤ℎ𝑦, dan bagaimana ceritanya/ℎ𝑜𝑤).

Misalnya, ketika hendak menuliskan FN tentang sejarah dasar negara Indonesia modern. Jelaslah banyak tokoh yang terlibat di dalamnya. Tokoh mana saja yang akan diceritakan (𝑤ℎ𝑜)? Tentu saja tokoh yang berkaitan dengan perumusan dasar negara. Ternyata tokoh-tokoh yang telibat terbagi pada dua kubu: kubu Islam versus kubu sekuler. 

Dari kubu Islam, misalnya, siapa saja yang mau dikutip (masih 𝑤ℎ𝑜)? Ada banyak, salah satunya adalah Ki Bagoes Hadikoesoemo. Mengapa harus Ki Bagoes (𝑤ℎ𝑦)? Karena setelah saya membaca beberapa referensi terkait Sidang BPUPKI/PPKI (Mei-Juli 1945); Penghapusan Tujuh Kata Pasca-Proklamasi (18 Agustus 1945); Sidang Konstituante (1956-1959), peran Ki Bagoes sangat vital dan berdampak. Salah satu dampaknya adalah adanya Pemilu 1955 dan Sidang Konstituante.   

Kalimat apa yang mau dikutip dari Ki Bagoes (𝑤ℎ𝑎𝑡)? Salah satunya pernyataan Ki Bagoes yang mengusulkan agar kata ‘bagi pemeluk-pemeluknya’ dicoret. Jadi bunyinya hanya ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariah Islam’. Kapan Ki Bagoes menyatakannya (𝑤ℎ𝑒𝑛)? 14 Juli 1945. Di mana (where)? Pada Sidang BPUPKI di Jakarta.

Mengapa kalimat itu dikutip (𝑤ℎ𝑦 lagi)? Karena beberapa alasan. 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, karena memiliki arti yang berbeda secara signifikan. “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya” itu hanya mengikat bagi individu Muslim. Sedangkan, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam” itu maknanya negara harus menjalankan syariat Islam (mengikat negara). 

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, Soekarno (tokoh kubu sekuler/Muslim yang tak mau menjadikan Islam sebagai dasar negara), menolak mentah-mentah usul Ki Bagoes, karena secara ideologis itu sangat bertentangan dengan sekularisme. 

Namun, karena Soekarno sangat piawai dalam berdiplomasi maka alasan yang diungkapkan adalah Ki Bagoes menyalahi kesepakatan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Buktinya apa? Pada 18 Agustus 1945, secara sepihak Soekarno mengubahnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 𝐿ℎ𝑎!?

Sangat-sangat bertentangan dengan kesepakatan Piagam Jakarta bukan? Apalagi dari sisi makna “Ketuhanan Yang Maha Esa” hanya mengakui Tuhan itu Esa, tidak terkandung konsekuensi bahwa kaum Muslim, apalagi negara, harus terikat aturan Islam. Bandingkan dengan usulannya Ki Bagoes untuk dasar negara yang berbunyi, “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”.

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, saya secara pribadi belum pernah membaca pernyataan tersebut di berbagai tulisan produk jurnalistik dari penulis lainnya (jadi, kalau memang belum ada, maka FN saya menjadi FN pertama yang mengutipnya pada 2010 dengan judul 𝐾𝑖 𝐵𝑎𝑔𝑜𝑒𝑠 𝐻𝑎𝑑𝑖𝑘𝑜𝑒𝑠𝑜𝑒𝑚𝑜, 𝑃𝑒𝑗𝑢𝑎𝑛𝑔 𝑆𝑦𝑎𝑟𝑖𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 𝑆𝑜𝑒𝑘𝑎𝑟𝑛𝑜, dan pada 2017 dengan judul 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖).

Padahal pernyataan tersebut sangat penting dipublikasikan sebagai produk jurnalistik agar publik mengetahuinya. Karena jumlahnya tentu saja jauh lebih sedikit publik yang membaca buku (apalagi buku sejarah) daripada membaca berita (FN merupakan salah satu bentuk penyajian berita) bukan? Tapi bila Anda tidak memviralkan berita tersebut, ya produk jurnalistiknya hanya sebagai buku harian saja. 

Dengan pola yang sama (bertanya dan menjawab sendiri), maka terhimpunlah sejumlah nama tokoh kubu Islam dan tokoh kubu sekuler, dengan berbagai pernyataannya. Semuanya disusun sedemikian rupa ke dalam alur cerita dan suasana yang melingkupinya sehingga menjawab pertanyaan ℎ𝑜𝑤.

Maka, jadilah FN yang memenuhi 5W1H yang ---insyaAllah--- enak dibaca dan menggugah. Silakan buktikan dengan membaca FN yang berjudul 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 (silakan klik https://bit.ly/3tMuXMK).

Padahal proses pembuatannya 𝑛𝑗𝑙𝑖𝑚𝑒𝑡 (sulit dan banyak hambatan) 𝑙ℎ𝑜. Meski demikian pengerjaannya tetap harus fokus dan tidak panik; perluas wawasan dengan diawali memunculkan berbagai pertanyaan dan jawabannya untuk meningkatkan pemahaman. 

Dalam prosesnya, harus tetap cermat dan penuh kesabaran. Dan satu lagi, secara teknis memang Anda harus belajar teknik menulis FN. Kemudian meningkat kemampuan dengan terus menerus mempraktikkannya.

Oh iya, bila FN 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 menurut Anda penting untuk diketahui khalayak, baiknya diviralkan. Semoga menjadi pahala jariah kita bersama dari setiap membaca yang tercerahkan sehingga (semakin) bersemangat memperjuangkan Islam. Aamiin.[]

Depok, 30 Dzulqa’dah 1443 H | 29 Juni 2022 M

Joko Prasetyo 
Jurnalis

Kamis, 30 Juni 2022

𝐉𝐀𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐋𝐔𝐏𝐀 𝐒𝐄𝐑𝐓𝐀𝐊𝐀𝐍 𝐋𝐀𝐓𝐀𝐑 𝐓𝐄𝐌𝐏𝐀𝐓, 𝐖𝐀𝐊𝐓𝐔, 𝐃𝐀𝐍 𝐒𝐔𝐀𝐒𝐀𝐍𝐀 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀𝐍𝐘𝐀 𝐘𝐀…(𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔)

Tinta  Media - Karena fokus dan keasyikan menyajikan sepak terjang tokoh, beberapa penulis karangan khas (rekonstruksi suatu peristiwa yang dikemas ke dalam bentuk cerita/𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠/FN) terkadang lupa mencantumkan latar waktu, tempat, dan suasana cerita. 

Penulis FN yang tidak mencantumkan latar tempat kadang suka saya tegur dengan pertanyaan, “Lokasi kejadiannya di Mars atau di mana ini?” 

Beberapa penulis hanya mencantumkan nama hari. Ahad, misalnya. Kontan saja saya pertanyakan dengan kalimat, “Ini Ahad kapan? Ahad kemarin, Ahad pekan depan, Ahad tahun lalu, atau Ahad kapan-kapan?”

Sedangkan penulis yang sudah jadi reporter dan terbiasa menulis berita lugas (rekonstruksi peristiwa yang langsung pada pokok permasalahan/straight news/SN), tidak ada masalah dengan penulisan waktu dan tempat, karena sudah terbiasa dengan membuat naskah yang memenuhi standar dasar informasi yang menjawab enam pertanyaan dasar. Enam pertanyaan dasar tersebut dikenal dengan sebutan 5W1H, yakni siapa (𝑤ℎ𝑜), sedang apa (𝑤ℎ𝑎𝑡), kapan (𝑤ℎ𝑒𝑛), di mana (𝑤ℎ𝑒𝑟𝑒), mengapa (𝑤ℎ𝑦), dan bagaimana ceritanya (ℎ𝑜𝑤).

Namun yang jadi masalah, beberapa di antara mereka tidak menyinggung sama sekali latar suasana cerita. Walhasil naskah yang dibuatnya sama dengan SN. Kritik pun saya layangkan, “Diminta bikin FN kok jadinya SN?”

Siapa di antara pembaca yang pernah mengalami nasib ditegur 𝑐𝑜𝑎𝑐ℎ 𝑘𝑖𝑙𝑙𝑒𝑟 seperti di atas? Ayo curhat di kolom komentar. Ha… ha…  Ya, salah satu di antara Anda ada yang bilang langsung ke saya, bahwa saya seperti itu. Waduh, padahal saya hanya menyampaikan masalah apa adanya lho agar terlihat jelas kesalahannya, lalu diberikan solusinya. He… he… 

Ingat baik-baik, tidak ada satu peristiwa yang terjadi di dunia ini tanpa adanya latar tempat, latar waktu, dan suasana yang melingkupinya. Maka, ketika Anda hendak membuat FN, jangan lupa cantumkan pula ketiganya. Karena yang Anda tulis ini kisah nyata bukan? Selain itu, memang tempat, waktu, dan suasana merupakan unsur yang harus ada dalam naskah karangan khas.


Perbedaan

Agar Anda dapat membedakan FN dengan jenis tulisan lainnya, coba simak baik-baik empat poin di bawah ini. 

𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑏𝑖𝑙𝑎 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑡𝑢𝑚𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑜 𝑠𝑎𝑗𝑎, 𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑖𝑘𝑎𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 𝑗𝑢𝑟𝑛𝑎𝑙𝑖𝑠𝑡𝑖𝑘. 

Contoh: 

𝙱𝚞𝚢𝚊 𝙷𝚊𝚖𝚔𝚊.

Terus kenapa dengan Buya Hamka? Jenis tulisan macam apa ini? Enggak jelas banget, kan?

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑏𝑖𝑙𝑎 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑎𝑛𝑡𝑢𝑚𝑘𝑎𝑛 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑜 𝑑𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑗𝑎, ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑖𝑗𝑎𝑑𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑚𝑒, 𝑒𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑏𝑖𝑠𝑎 𝑑𝑖𝑗𝑎𝑑𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑆𝑁 𝑎𝑝𝑎𝑙𝑎𝑔𝑖 𝐹𝑁.

Contoh: 
“𝙱𝚒𝚕𝚊 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊, 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚓𝚞 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗 𝚔𝚎 𝚗𝚎𝚛𝚊𝚔𝚊 … " 

𝙱𝚞𝚢𝚊 𝙷𝚊𝚖𝚔𝚊

Keren banget bukan kalau dibikin meme? Apalagi ditambah foto Buya Hamka yang bersurban dan peci. Wah, pesan yang disampaikan jadi lebih kuat di benak pembaca. Tapi jelas ini bukan FN.

 
𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑜, 𝑤ℎ𝑎𝑡, 𝑤ℎ𝑒𝑛, 𝑑𝑎𝑛 𝑤ℎ𝑒𝑟𝑒 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑝𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 𝑡𝑒𝑡𝑎𝑝𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛𝑎 𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 (𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑟𝑢𝑝𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 ℎ𝑜𝑤) 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑐𝑎𝑛𝑡𝑢𝑚, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑛𝑎𝑠𝑘𝑎ℎ𝑛𝑦𝑎 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑆𝑁 𝑠𝑎𝑗𝑎.

Contoh:  

“𝙱𝚒𝚕𝚊 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊, 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚓𝚞 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗 𝚔𝚎 𝚗𝚎𝚛𝚊𝚔𝚊 …," 𝚞𝚓𝚊𝚛 𝙱𝚞𝚢𝚊 𝙷𝚊𝚖𝚔𝚊, 𝚍𝚊𝚕𝚊𝚖 𝚂𝚒𝚍𝚊𝚗𝚐 𝙺𝚘𝚗𝚜𝚝𝚒𝚝𝚞𝚊𝚗𝚝𝚎 𝚙𝚊𝚍𝚊 𝟷𝟿𝟻𝟽 𝚍𝚒 𝙶𝚎𝚍𝚞𝚗𝚐 𝙼𝚎𝚛𝚍𝚎𝚔𝚊, 𝙱𝚊𝚗𝚍𝚞𝚗𝚐.

𝐾𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡, 𝐹𝑁 𝑚𝑒𝑛𝑢𝑛𝑡𝑢𝑡 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑠𝑒𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 ℎ𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑎𝑛 𝑖𝑡𝑢 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎, 𝑏𝑎ℎ𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑢𝑎𝑠𝑎𝑛𝑎 𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 (𝑏𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑛𝑦𝑎𝑎𝑛 ℎ𝑜𝑤) 𝑚𝑒𝑠𝑡𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑔𝑎𝑚𝑏𝑎𝑟 𝑗𝑢𝑔𝑎. 

Contoh:

𝙳𝚎𝚗𝚐𝚊𝚗 𝚕𝚊𝚗𝚝𝚊𝚗𝚐 𝚍𝚊𝚗 𝚋𝚕𝚊𝚔-𝚋𝚕𝚊𝚔𝚊𝚗, 𝙱𝚞𝚢𝚊 𝙷𝚊𝚖𝚔𝚊 𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚒𝚗𝚐𝚊𝚝𝚔𝚊𝚗 𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚎𝚜𝚎𝚛𝚝𝚊 𝚂𝚒𝚍𝚊𝚗𝚐 𝙺𝚘𝚗𝚜𝚝𝚒𝚝𝚞𝚊𝚗𝚝𝚎 (𝟷𝟿𝟻𝟼-𝟷𝟿𝟻𝟿). “𝙱𝚒𝚕𝚊 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚒𝚗𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝚋𝚎𝚛𝚍𝚊𝚜𝚊𝚛𝚔𝚊𝚗 𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊, 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚓𝚞 𝚓𝚊𝚕𝚊𝚗 𝚔𝚎 𝚗𝚎𝚛𝚊𝚔𝚊 …," 𝚝𝚎𝚐𝚊𝚜 𝚊𝚗𝚐𝚐𝚘𝚝𝚊 𝚏𝚛𝚊𝚔𝚜𝚒 𝙿𝚊𝚛𝚝𝚊𝚒 𝙼𝚊𝚜𝚢𝚞𝚖𝚒 𝚒𝚝𝚞 𝚙𝚊𝚍𝚊 𝟷𝟿𝟻𝟽 𝚍𝚒 𝙶𝚎𝚍𝚞𝚗𝚐 𝙼𝚎𝚛𝚍𝚎𝚔𝚊, 𝙱𝚊𝚗𝚍𝚞𝚗𝚐. 𝚃𝚎𝚗𝚝𝚞 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚑𝚊𝚍𝚒𝚛𝚒𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚔𝚎𝚓𝚞𝚝 𝚖𝚎𝚗𝚍𝚎𝚗𝚐𝚊𝚛 𝚙𝚎𝚛𝚗𝚢𝚊𝚝𝚊𝚊𝚗 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚊𝚔𝚝𝚒𝚏 𝚍𝚒 𝚘𝚛𝚖𝚊𝚜 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝙼𝚞𝚑𝚊𝚖𝚖𝚊𝚍𝚒𝚢𝚊𝚑 𝚝𝚎𝚛𝚜𝚎𝚋𝚞𝚝. 𝚃𝚒𝚍𝚊𝚔 𝚜𝚊𝚓𝚊 𝚙𝚒𝚑𝚊𝚔 𝚙𝚎𝚗𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝙿𝚊𝚗𝚌𝚊𝚜𝚒𝚕𝚊, 𝚓𝚞𝚐𝚊 𝚙𝚊𝚛𝚊 𝚙𝚎𝚗𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚗𝚎𝚐𝚊𝚛𝚊 𝙸𝚜𝚕𝚊𝚖 𝚜𝚊𝚖𝚊-𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚝𝚎𝚛𝚔𝚎𝚓𝚞𝚝.

Bagaimana? Terbayang beda bukan antara FN dengan produk jurnalistik lainnya? Bukan hanya beda, tetapi juga terasa lebih hidup. Benar enggak? Jadi, ketika menulis FN, jangan lupa cantumkan latar waktu, tempat, dan suasana ya.

Mengapa? Seperti yang sudah disinggung di atas, tidak ada satu peristiwa yang terjadi di dunia ini tanpa adanya latar tempat, latar waktu, dan suasana yang melingkupinya. Sedangkan, FN adalah jenis tulisan yang mencoba mengajak pembaca seolah menyaksikan kejadian tersebut. 

Dalam contoh kasus di atas, pembaca diajak menyaksikan langsung ketika Buya Hamka berpidato dalam Sidang Konstituante. Oh iya, Anda teriak Allahu Akbar enggak ketika menyaksikan Buya Hamka berpidato demikian?[]

Depok, 29 Dzulqa’dah 1443 H | 28 Juni 2022 M

Joko Prasetyo 
Jurnalis

Rabu, 29 Juni 2022

𝐁𝐔𝐀𝐈 𝐏𝐄𝐌𝐁𝐀𝐂𝐀 𝐃𝐄𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐀𝐋𝐔𝐑 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐊𝐈𝐒𝐀𝐇 𝐍𝐘𝐀𝐓𝐀(𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔)

Tinta Media - Ibarat pariwisata, alur cerita merupakan rute perjalanan wisata yang disusun sedemikan rupa agar wisatawan mendapatkan pengalaman perjalanan yang sangat berkesan ketika melihat beberapa objek wisata dan mendengar penjelasannya dari pemandu. 

Maka, bila Anda mendatangi objek wisata yang sama tetapi menggunakan jasa travel dan pemandu yang berbeda, tentu saja akan mendapatkan kesan dan informasi yang berbeda. Mengapa? Karena memang pola perjalanan wisatanya dan titik tekan informasi yang disampaikan pemandunya juga berbeda. 

Begitu juga ketika Anda membaca karangan khas (𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠/FN) akan mendapatkan efek tertentu yang berbeda pula ketika membaca naskah dari penulis berbeda dan alur cerita yang berbeda, padahal objek ceritanya sama. Karena, 𝑎𝑙𝑢𝑟 𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 memang merupakan jalinan peristiwa dalam cerita untuk memperoleh efek tertentu. 

Efek dimaksud sangat tergantung kepada tema (silakan baca 𝑇𝑒𝑚𝑎, 𝐽𝑖𝑤𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑅𝑒𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑟𝑢𝑘𝑠𝑖 𝐾𝑒𝑗𝑎𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝐷𝑖𝑐𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎𝑘𝑎𝑛 dengan mengklik https://bit.ly/3tUAbX1). Apakah Anda ingin membuat pembaca marah terhadap kezaliman? Ingin melawan kezaliman? Setuju dengan Islam? Ataupun ingin pembaca turut memperjuangkan Islam? Itu semua merupakan salah empat, eh, salah satu efek yang sebaiknya ditetapkan dalam merekonstruksi kejadian yang Anda ceritakan dalam bentuk cerita kepada para pembaca.

Coba Anda baca FN yang berjudul 𝐽𝑎𝑛𝑗𝑖 𝐼𝑡𝑢 𝐷𝑖𝑘ℎ𝑖𝑎𝑛𝑎𝑡𝑖 (silakan klik https://bit.ly/3tMuXMK). Efek atau kesan apa yang Anda rasakan ketika membaca FN tersebut? Apa yang Anda rasakan pula usai membaca FN tersebut? Coba saya tebak, semua yang Anda rasakan tidak keluar dari empat efek di atas. Benar enggak? InsyaAllah, benar ya.

Sebagaimana rute dan panduan wisata yang tak boleh berjalan tanpa perencanaan ketika membuka jasa travel wisata, maka ketika menulis FN pun alur cerita merupakan salah satu unsur FN yang tak boleh dibuat asal-asalan apalagi diabaikan. Bagi Anda yang kesulitan membuat alurnya, semoga pembahasan enam adegan dan pola cerita di bawah ini dapat membantu.

𝐄𝐧𝐚𝐦 𝐀𝐝𝐞𝐠𝐚𝐧

Alur cerita yang ideal itu mengandung enam macam adegan. 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑎𝑙𝑎𝑛. Seperti namanya dalam paragraf-paragraf awal FN yang dibuat berisi pengenalan. Umumnya berupa pengenalan terhadap tokoh cerita dan konteksnya. 

Contoh: Memperkenalkan tokoh-tokoh yang merumuskan dasar negara dalam sidang BPUPKI. Mereka berada dalam sidang yang diselenggaran penjajah Jepang dan disaksikan tujuh perwakilan penjajah Jepang tersebut untuk merumuskan dasar negara dan undang-undang dasar. 

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑝𝑒𝑚𝑖𝑐𝑢 𝑚𝑢𝑛𝑐𝑢𝑙𝑛𝑦𝑎 𝑘𝑜𝑛𝑓𝑙𝑖𝑘. Pada paragraf-paragraf ini diceritakan peristiwa yang menjadi pemicu munculnya masalah yang menimpa tokoh/subjek cerita. 

Contoh: para tokoh dalam sidang BPUPKI terbagi menjadi dua kubu; satu kubu ingin Islam sebagai dasar negara (kubu Islam); kubu lainnya ingin bukan Islam sebagai dasar negara (kubu sekuler). 

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑘𝑜𝑛𝑓𝑙𝑖𝑘 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑘𝑖𝑛 𝑚𝑒𝑟𝑢𝑚𝑖𝑡. Pada paragraf-paragraf ini diceritakan perkembangan cerita yang membuat masalah semakin rumit. 

Contoh: terjadi perdebatan antara tokoh yang beda kubu mempertahankan prinsipnya masing-masing.

Dalam paragraf-paragraf ini bisa saja diceritakan peristiwanya hendak antiklimaks tetapi ternyata muncul masalah baru yang lebih pelik (konflik tingkat 2). 

Contoh: Disepakatilah Piagam Jakarta. Salah satu tokoh kubu Islam protes. Lalu tokoh kubu sekuler meredam protes. Tapi usai proklamasi tokoh kubu sekuler mengkhianati Piagam Jakarta. Tokoh kubu Islam dibujuk untuk setuju dengan dalih enam bulan lagi diadakan pemilu Maret 1946 untuk memilih anggota Konstituante yang merumuskan dasar negara dan undang-undang dasar.

Belum juga dapat diatasi, muncul lagi masalah yang lebih berat (konflik tingkat 3). 

Contoh: Enam bulan lewat, tapi janji tak dipenuhi. Bahkan sampai tahun 1953, sang tokoh kubu Islam yang menerima janji tokoh kubu sekuler meninggal dunia tapi pemilu belum juga terlaksana. Emosi kubu Islam naik kembali dan mendesak diadakannya pemilu. 

𝐾𝑒𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡, 𝑘𝑙𝑖𝑚𝑎𝑘𝑠. Pada paragraf-paragraf ini diceritakan konflik/masalahnya sudah membuncah. Pembuncahan yang lebih mantap itu juga masih bersengkarut dengan konflik tingkat 2. 

Contoh: Kejadian pada sidang BPUPKI seakan terulang di sidang Konsituante. Dalam sidang hasil pemilu 1955 menghasilkan dua blok besar yakni kubu Islam yang tetap bernama Blok Islam versus kubu sekuler yang berganti nama menjadi Blok Pancasila. Perdebatan sengit kembali terjadi.  

Klimaks tingkat 3 juga bisa dimasukan, agar alur cerita semakin seru. 

Contoh: Pernyataan Buya Hamka dalam sidang Konstituante yang menyebut, “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka…”  

𝐾𝑒𝑙𝑖𝑚𝑎, 𝑎𝑛𝑡𝑖𝑘𝑙𝑖𝑚𝑎𝑘𝑠. Pada paragraf-paragraf ini diceritakan masalah tersebut sudah mulai teruari, terlepas terurai ke arah yang diinginkan tokoh/subjek cerita atau sebaliknya, tetapi yang jelas ketegangan berangsur mulai mereda. Begitu juga bila di poin ketiga menyajikan konflik tingkat lanjut maka di antiklimaks ini juga konflik tingkat lanjut itu juga mulai terurai.

Contoh: Pada akhir sidang tahun 1958, penyusunan konstitusi telah mencapai 90 persen dari seluruh materi UUD. Namun masih saja terjadi perdebatan sengit soal dasar negara. Lalu Soekarno meminta Konstituante menentukan tenggat untuk segera menyelesaikan pekerjaannya nanti pada 26 Maret 1960. 

𝐾𝑒𝑒𝑛𝑎𝑚, 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑒𝑙𝑒𝑠𝑎𝑖𝑎𝑛. Pada paragraf ini cerita diakhiri. Isinya, bisa penyelesaian yang menyenangkan; menyedihkan; menegaskan kembali pesan di paragraf awal; atau menggantung. Tentu saja menggantung di sini bukan berarti ceritanya terpotong, melainkan si penulis sengaja tidak menyimpulkan ke salah satu dari tiga penyelesaian di atas. Alasannya bisa karena penulis ingin membiarkan pembaca memutuskan sendiri penyelesaiannya atau memang lantaran kejadiannya juga belum bisa diprediksi bakal berujung ke mana. 

Contoh:  penyelesaian yang menyedihkan/mengecewakan bagi blok Islam. Anehnya, meski 𝑑𝑒𝑎𝑑𝑙𝑖𝑛𝑒 masih sembilan bulan lagi, tiada angin tiada hujan, pada 5 Juni 1959, Soekarno mengeluarkan dekrit presiden pembubaran Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Sejak itu, dimulailah masa baru yang sangat represif dan kemudian lebih dikenal dengan istilah masa Demokrasi Terpimpin.


𝐏𝐨𝐥𝐚 𝐀𝐥𝐮𝐫 𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚

Berdasarkan keenam adegan di atas maka dapat dibuat beberapa pola alur ceritanya. 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑝𝑜𝑙𝑎 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟/𝑝𝑜𝑙𝑎 𝑘𝑟𝑜𝑛𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖𝑠. Dari paragraf-paragraf awal hingga paragraf terakhir secara berurutan polanya berupa: pengenalan --) pemicu munculnya konflik --) konflik semakin merumit --) klimaks --) antiklimaks --) penyelesaian. Pola ini yang paling umum digunakan dalam penulisan alur cerita FN.

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑝𝑜𝑙𝑎 𝑘𝑖𝑙𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑙𝑖𝑘 (𝑓𝑙𝑎𝑠ℎ𝑏𝑎𝑐𝑘). Untuk memberikan kesan yang dramatis di awal-awal paragraf maka pola kilas balik cocok digunakan karena pembaca langsung disuguhi konflik yang semakin merumit. Polanya: konflik semakin merumit --) pengenalan --) pemicu munculnya konflik --) klimaks --) antiklimaks --) penyelesaian.

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑝𝑜𝑙𝑎 𝑎𝑐𝑎𝑘. Sesuai namanya. Polanya tidak seperti urutan pada kedua pola di atas. Polanya ya terserah si penulisnya. Mau mulai dari mana saja bebas. Bahkan mau mulai dari penyelesaian terlebih dahulu bisa lho. 

Sebaiknya pola ini hanya dilakukan bila Anda memang sudah bisa membuat FN dengan dua pola sebelumnya. Karena, bila tak dapat menyusunnya dengan landai dan presisi di setiap pergantian adaegannya, cerita yang disajikan terkesan melompat-lompat alias tidak menyambung dari satu adegan ke adegan lainnya.

Coba tebak, FN Janji Itu Dikhianati menggunakan pola yang mana?


𝐌𝐞𝐧𝐚𝐫𝐢𝐤

Apa pun pola yang diambil dalam penulisan alur cerita FN, yang paling menarik tentu saja mengandung konflik. Apalagi konfliknya sampai bertingkat. Nah, FN yang seperti itu pastilah lebih seru lagi dibacanya. Apalagi yang bertingkat-tingkat, jauh lebih seru lagi. Dijamin, insyaAllah. 

Tapi ingat, bila peristiwa yang diangkat menjadi karangan khasnya tidak mengandung konflik, ya jangan dipaksakan menjadi ada konflik, apalagi sampai dibuat konflik bertingkat. Kalau dipaksakan, berarti sudah bukan rekonstruksi peristiwa lagi melainkan sudah rekonstruksi khayalan. 

Kalau sudah khayalan, namanya bukan karangan khas lagi tetapi sudah masuk cerita fiktif (khayalan) yang hanya layak dimuat di cerpen/novel. Pembahasan cerpen/novel bukan lagi dibahas di disiplin ilmu jurnalistik tetapi di disiplin ilmu sastra. 

Ingat, Anda menulis FN itu untuk membuai pembaca dengan alur cerita kisah nyata, bukan khayalan. Kalau khayalan ini diklaim sebagai FN, jadi hoaks namanya. Jangan sekalipun mencoba untuk melakukannya ya.[]


Depok, 25 Dzulqa’dah 1443 H | 24 Juni 2022 M

Joko Prasetyo
Jurnalis

Selasa, 28 Juni 2022

𝐇𝐈𝐃𝐔𝐏𝐊𝐀𝐍 𝐂𝐄𝐑𝐈𝐓𝐀 𝐃𝐄𝐍𝐆𝐀𝐍 𝐊𝐀𝐑𝐀𝐊𝐓𝐄𝐑 𝐓𝐎𝐊𝐎𝐇 𝐔𝐓𝐀𝐌𝐀 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔)


Tinta Media - Begitu mendengar nama Mukidi Ngaciro apa yang terbayang dalam benak Anda? Sebagian dari Anda mungkin ada yang menjawab “plonga-plongo” ada juga yang menjawab “lugu”. Lebih jauh lagi, mesti ada yang mengatakan, “sekuler” bahkan “islamofobia”. Benar enggak? Nah, dua jawaban pertama itu masuk ke dalam kategori karakter. Sedangkan dua jawaban terakhir itu termasuk kepribadian.

Ketika Anda merekonstruksi suatu peristiwa ke dalam bentuk cerita (karangan khas/𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠 /FN), karakter dan kepribadian tokoh yang diceritakan itu haruslah digambarkan dengan kuat, terutama si tokoh utamanya. Mengapa? Karena pencantuman karakter dan kepribadian itu bagian dari unsur FN yang harus ada. 

Mengapa harus ada? Agar FN yang dibuat itu benar-benar hidup di benak pembaca. Tadi saya di atas baru menyebut nama tokohnya saja, Anda langsung menyebut karakternya dan kepribadiannya kan? Bahkan dapat dipastikan ketika menjawab pun sosoknya hidup di benak Anda. Ayo mengaku! He… he…  

Nah, yang jadi masalah itu tidak semua pembaca mengetahui karakter dan kepribadian tokoh yang Anda tuliskan dalam FN, maka tak cukup sekadar menuliskan namanya saja. Kecuali kalau Anda memang mau membuat FN tentang Mukidi Ngaciro, itu lain cerita. He… he… Tapi meski Anda membuat FN tentang Mukidi Ngaciro pun, tetap karakter dan kepribadiannya itu mesti digambarkan. 

Tujuannya, untuk menyamakan informasi antara pembaca dengan Anda. Karena, siapa tahu di antara pembaca FN Anda itu adalah orang yang mendapatkan informasi karakter dan kepribadian yang berbeda. Misal, menganggap dia itu seperti Khalifah Umar bin Khattab ra. Waduh, jauh panggang dari api. Tapi memang faktanya ada kok yang termakan hoaks seperti itu, maka sekali lagi, karakter dan kepribadian itu penting dideskripsikan. 

Lantas bagaimana cara mendeskripsikannya? Ada banyak cara, sebagiannya seperti yang diulas di bawah ini. 

𝐊𝐚𝐫𝐚𝐤𝐭𝐞𝐫

Setidaknya ada tiga cara menggambarkan karakter tokoh dalam menyajikan FN. 𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑘𝑒𝑠𝑖𝑚𝑝𝑢𝑙𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑢𝑡 𝑛𝑎𝑚𝑎 𝑘𝑎𝑟𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑒𝑠𝑘𝑟𝑖𝑝𝑠𝑖𝑘𝑎𝑛𝑛𝑦𝑎. Penulis langsung saja menyebut karakternya tanpa menyebut fakta yang mendukung kesimpulan tersebut. Misal, si penulis ingin menunjukkan bahwa si tokoh itu karakternya plonga-plongo maka langsung saja tulis 𝑝𝑙𝑜𝑛𝑔𝑎-𝑝𝑙𝑜𝑛𝑔𝑜, tanpa merekonstruksi kejadiannya sama sekali. 

Contoh: 
Dia terkenal sebagai orang yang plonga-plongo. 

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑑𝑖𝑠𝑖𝑚𝑝𝑢𝑙𝑘𝑎𝑛 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑦𝑒𝑏𝑢𝑡𝑘𝑎𝑛 𝑛𝑎𝑚𝑎 𝑘𝑎𝑟𝑎𝑘𝑡𝑒𝑟𝑛𝑦𝑎. Nama karakter si tokoh sama sekali tidak disebutkan. Tetapi pembaca dapat menyimpulkan nama karakter tersebut dari deskripsi perbuatan, mimik dan pilihan kata si tokoh yang dituliskan penulis. Misal, penulis ingin menunjukkan karakter si tokoh itu plonga-plongo. Maka, salah satu penggambarannya bisa seperti contoh di bawah ini. 

Contoh: 
Tatapan matanya seolah kosong, mulutnya agak terbuka ketika lawan bicaranya sedang menjelaskan sesuatu. Bukan kali ini saja dia seperti itu. 

𝐾𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎, 𝑘𝑜𝑚𝑏𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎𝑛𝑦𝑎. Selain ditulis nama karakter si tokohnya, diceritakan pula salah satu adegan atau mendeskripsikan kebiasaan yang memperkuat kesimpulan tersebut. Misal, penulis ingin menunjukkan karakter si tokoh itu plonga-plongo. Maka, salah satu penggambarannya bisa seperti contoh di bawah ini. 

Contoh: 
Tatapan matanya seolah kosong, mulutnya agak terbuka ketika lawan bicaranya sedang menjelaskan sesuatu. Bukan kali ini saja dia plonga-plongo seperti itu.

Penggambaran karakter yang paling baik adalah cara kedua. Dikatakan terbaik karena memenuhi dua hal penting. (1) Pembaca dapat menyimpulkan dari deskripsi perbuatan, mimik dan pilihan kata si tokoh yang dituliskan penulis karangan khas. Artinya, penulis berhasil menyampaikan pesan yang sama persis ke benak pembaca. Buktinya, pembaca menyimpulkan nama karakter sesuai dengan yang ditargetkan penulis. (2) Lebih aman atau lebih sulit untuk dikenai delik hukum karena penulis hanya menyampaikan fakta saja, tidak menuduh (menyebut nama karakter).

Penggambaran yang paling tidak direkomendasikan adalah cara pertama. Dikatakan tidak direkomendasikan karena masuk ke dalam dua masalah serius. (1) Sebagian pembaca mestilah tidak sependapat dengan penyematan karakter tersebut kepada sang tokoh karena sangat mungkin di benak pembaca itu tidak ada adegan mulut menganga (karena dia tak pernah melihat mulut si tokoh menganga), lebih parahnya lagi bahkan si pembaca tak mengerti plonga-plongo itu artinya mulut menganga. (2) Rentan terkena delik hukum pencemaran nama baik. 


𝐊𝐞𝐩𝐫𝐢𝐛𝐚𝐝𝐢𝐚𝐧

Selain karakter, yang tak kalah pentingnya untuk digambarkan adalah kepribadian (𝑠𝑦𝑎𝑘𝑠𝑖𝑦𝑎ℎ) tokoh yang diceritakan, terutama tokoh utamanya. Kepribadian bukanlah karakter tetapi perpaduan yang khas antara pola pikir dan pola sikap si tokoh yang diceritakan. 

Misal, tokohnya beragama Islam. Maka, si tokoh pun bisa diidentifikasi pembaca sebagai tokoh yang islami (misal: ingin Islam diterapkan secara kaffah), sekuler (misal: tak mau Islam diterapkan secara kaffah), ataupun islamofobia (misal: memusuhi upaya penerapan syariat Islam secara kaffah).

Penggambarannya juga sama dengan karakter. Bisa berupa kesimpulan. Bila si tokohnya berkepribadian Islam, bisa saja dituliskan bahwa si tokoh itu taat beragama. Namun lebih baik tanpa menuliskan frasa 𝑡𝑎𝑎𝑡 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑔𝑎𝑚𝑎, tapi cukup saja menceritakan salah satu kejadian yang pembaca secara umum bisa menyimpulkan bahwa sang tokoh itu taat beragama. Selain itu, bisa juga mengombinasikan keduanya; selain ditulis taat beragama, diceritakan pula salah satu adegan yang memperkuat kesimpulan tersebut.

Lantas, bagaimana kepribadian Mukidi Ngaciro? Tadi siapa ya yang di awal paragraf menjawab “sekuler” dan “islamofobia”? Silakan gambarkan kepribadiannya di kolom komentar. He… he…[] 

Depok, 26 Dzulqa’dah 1443 H | 25 Juni 2022 M

Joko Prasetyo
Jurnalis

𝐒𝐄𝐓𝐈𝐀 𝐏𝐀𝐃𝐀 𝐒𝐀𝐓𝐔 𝐒𝐔𝐃𝐔𝐓 𝐏𝐀𝐍𝐃𝐀𝐍𝐆 𝐓𝐔𝐋𝐈𝐒𝐀𝐍, 𝐌𝐔𝐃𝐀𝐇𝐊𝐀𝐍 𝐏𝐄𝐌𝐁𝐀𝐂𝐀 𝐓𝐀𝐍𝐆𝐊𝐀𝐏 𝐏𝐄𝐒𝐀𝐍 (𝐓𝐞𝐤𝐧𝐢𝐤 𝐌𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝑭𝒆𝒂𝒕𝒖𝒓𝒆 𝑵𝒆𝒘𝒔)


Tinta Media - Salah satu cara untuk memudahkan pembaca menangkap pesan yang disampaikan, maka penulis haruslah mengambil perspektif/sudut pandang penulisan tertentu secara konsisten. Sudut pandang penulisan (𝑝𝑜𝑖𝑛𝑡 𝑜𝑓 𝑣𝑖𝑒𝑤 /PoV) adalah visi penulis dalam merekonstruksi kejadian ke dalam bentuk cerita (karangan khas/ 𝑓𝑒𝑎𝑡𝑢𝑟𝑒 𝑛𝑒𝑤𝑠 /FN). Maka, PoV menjadi salah satu unsur FN yang tak boleh diabaikan.

Sebenarnya ada beberapa sudut pandang penulisan namun yang paling sering digunakan dalam FN ada dua. 

𝑃𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎, 𝑠𝑢𝑑𝑢𝑡 𝑝𝑎𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎 (𝑃𝑜𝑉-1). Jadi seolah-olah salah satu tokoh dalam FN tersebut bercerita langsung kepada pembaca. Salah satu tokoh dimaksud bisa tokoh utamanya atau bukan tokoh utamanya. Ciri yang paling menonjolnya adalah menggunakan kata pengganti orang pertama (aku/saya/kami) dalam kalimat tak langsung. 

Contoh: 

𝘔𝘦𝘴𝘬𝘪𝘱𝘶𝘯 𝘢𝘨𝘢𝘬 𝘳𝘪𝘴𝘪𝘩, 𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘢𝘬𝘶, 𝘏 𝘈𝘤𝘦 𝘚𝘶𝘩𝘢𝘦𝘳𝘪, 𝘥𝘪𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘮𝘱𝘪𝘯 𝘥𝘰𝘢 𝘴𝘦𝘬𝘪𝘵𝘢𝘳 20 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘣 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘶, 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 (𝘜𝘕) 𝘥𝘪𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘎𝘳𝘢𝘧𝘪𝘬𝘢 𝘋𝘦𝘴𝘢 𝘗𝘶𝘵𝘳𝘢, 𝘚𝘳𝘦𝘯𝘨𝘴𝘦𝘯𝘨 𝘚𝘢𝘸𝘢𝘩, 𝘑𝘢𝘨𝘢𝘬𝘢𝘳𝘴𝘢, 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯. 

𝘔𝘢𝘬𝘭𝘶𝘮𝘭𝘢𝘩, 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘪𝘵𝘶, 𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 2005, 𝘮𝘦𝘳𝘶𝘱𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘭𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢𝘬𝘶, 𝘨𝘶𝘳𝘶 𝘚𝘔𝘒 𝘉𝘰𝘳𝘰𝘣𝘶𝘥𝘶𝘳, 𝘊𝘪𝘭𝘢𝘯𝘥𝘢𝘬 𝘒𝘒𝘖, 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯, 𝘥𝘪𝘵𝘶𝘨𝘢𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘸𝘢𝘴𝘪 𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘯𝘢𝘶𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘠𝘢𝘺𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘉𝘶𝘥𝘪 𝘔𝘶𝘭𝘪𝘢 𝘓𝘰𝘶𝘳𝘥𝘦𝘴 𝘪𝘵𝘶. 

𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘦𝘯𝘢𝘴𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘴 𝘪𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮. “𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘒𝘳𝘪𝘴𝘵𝘦𝘯?” 𝘱𝘢𝘯𝘤𝘪𝘯𝘨𝘬𝘶.  

𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯, 𝘣𝘦𝘵𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘨𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢. “𝘌𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬, 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘳𝘶𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘔𝘶𝘴𝘭𝘪𝘮!” 𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢. 

𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘵𝘶. “𝘌𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘗𝘢𝘬 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪 𝘸𝘢𝘫𝘪𝘣 𝘥𝘰𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘫𝘢𝘳, 𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘰𝘢𝘯𝘺𝘢,” 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢. 

𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘮𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘒𝘢𝘵𝘰𝘭𝘪𝘬 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘵𝘦𝘳𝘴𝘦𝘣𝘶𝘵. “𝘚𝘦𝘥𝘪𝘬𝘪𝘵 𝘗𝘢𝘬, 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪𝘵𝘰𝘵𝘢𝘭 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘤𝘶𝘮𝘢 𝘭𝘪𝘮𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘯 𝘴𝘢𝘫𝘢!” 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢.

𝐾𝑒𝑑𝑢𝑎, 𝑠𝑢𝑑𝑢𝑡 𝑝𝑎𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑒𝑡𝑖𝑔𝑎 (𝑃𝑜𝑉-3). Ceritanya disampaikan oleh pihak ketiga alias penulis. Penulis bisa berperan sebagai pengamat atau orang yang mengetahui segalanya (alur cerita, karakter tokoh yang diceritakan, suasana cerita, lokasi peristiwa). Ciri yang paling menonjolnya adalah tidak menggunakan kata pengganti orang pertama (aku/saya/kami) dalam kalimat tak langsung.

Contoh:

𝘔𝘦𝘴𝘬𝘪𝘱𝘶𝘯 𝘢𝘨𝘢𝘬 𝘳𝘪𝘴𝘪𝘩, 𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘏 𝘈𝘤𝘦 𝘚𝘶𝘩𝘢𝘦𝘳𝘪 𝘥𝘪𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘮𝘱𝘪𝘯 𝘥𝘰𝘢 𝘴𝘦𝘬𝘪𝘵𝘢𝘳 20 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘣 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘶, 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 (𝘜𝘕) 𝘥𝘪𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘎𝘳𝘢𝘧𝘪𝘬𝘢 𝘋𝘦𝘴𝘢 𝘗𝘶𝘵𝘳𝘢, 𝘚𝘳𝘦𝘯𝘨𝘴𝘦𝘯𝘨 𝘚𝘢𝘸𝘢𝘩, 𝘑𝘢𝘨𝘢𝘬𝘢𝘳𝘴𝘢, 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯. 

𝘔𝘢𝘬𝘭𝘶𝘮𝘭𝘢𝘩, 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘪𝘵𝘶, 𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 2005, 𝘮𝘦𝘳𝘶𝘱𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘭𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘣𝘢𝘨𝘪 𝘨𝘶𝘳𝘶 𝘚𝘔𝘒 𝘉𝘰𝘳𝘰𝘣𝘶𝘥𝘶𝘳, 𝘊𝘪𝘭𝘢𝘯𝘥𝘢𝘬 𝘒𝘒𝘖, 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯, 𝘥𝘪𝘵𝘶𝘨𝘢𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘸𝘢𝘴𝘪 𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘯𝘢𝘶𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘠𝘢𝘺𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘉𝘶𝘥𝘪 𝘔𝘶𝘭𝘪𝘢 𝘓𝘰𝘶𝘳𝘥𝘦𝘴 𝘪𝘵𝘶. 

𝘈𝘤𝘦 𝘱𝘶𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘢𝘴𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘴 𝘪𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮. “𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘒𝘳𝘪𝘴𝘵𝘦𝘯?” 𝘱𝘢𝘯𝘤𝘪𝘯𝘨 𝘈𝘤𝘦. 

𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯, 𝘣𝘦𝘵𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘨𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘪𝘢 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢. “𝘌𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬, 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘳𝘶𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘔𝘶𝘴𝘭𝘪𝘮!” 𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢. 

𝘐𝘢 𝘱𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘵𝘶. “𝘌𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘗𝘢𝘬 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪 𝘸𝘢𝘫𝘪𝘣 𝘥𝘰𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘫𝘢𝘳, 𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘰𝘢𝘯𝘺𝘢,” 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢. 

𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘈𝘤𝘦 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘮𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘒𝘢𝘵𝘰𝘭𝘪𝘬 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘵𝘦𝘳𝘴𝘦𝘣𝘶𝘵. “𝘚𝘦𝘥𝘪𝘬𝘪𝘵 𝘗𝘢𝘬, 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪𝘵𝘰𝘵𝘢𝘭 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘤𝘶𝘮𝘢 𝘭𝘪𝘮𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘯 𝘴𝘢𝘫𝘢!” 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢.

Penggunaan sudut pandang haruslah konsisten. Bila di awal menggunakan sudut pandang orang pertama tokoh utama maka sampai akhir karangan khas mesti menggunakan Pov-1 tokoh utama, jangan berpindah ke PoV-1 bukan tokoh utama, apalagi ke PoV-3. Begitu juga sebaliknya, bila sedari awal menggunakan PoV-3 sampai akhir FN pun harus menggunakan sudut pandang orang ketiga, jangan beralih ke PoV-1. 

Apa sih tujuannya? Tentu saja untuk memudahkan pembaca mengikuti alur yang disajikan penulis. Karena pergantian PoV dalam satu karya FN berpotensi besar membuyarkan fokus pembaca dalam membayangkan cerita yang disampaikan penulis.  

Berikut contoh gonta-ganti VoP yang tentunya bakal membuat pembaca kebingungan membacanya:

𝘔𝘦𝘴𝘬𝘪𝘱𝘶𝘯 𝘢𝘨𝘢𝘬 𝘳𝘪𝘴𝘪𝘩, 𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘏 𝘈𝘤𝘦 𝘚𝘶𝘩𝘢𝘦𝘳𝘪 𝘥𝘪𝘢𝘮 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘪𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘪𝘮𝘱𝘪𝘯 𝘥𝘰𝘢 𝘴𝘦𝘬𝘪𝘵𝘢𝘳 20 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘴𝘢𝘭𝘪𝘣 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘵𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦 𝘬𝘦𝘱𝘢𝘭𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘢𝘩𝘶, 𝘴𝘦𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 (𝘜𝘕) 𝘥𝘪𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘎𝘳𝘢𝘧𝘪𝘬𝘢 𝘋𝘦𝘴𝘢 𝘗𝘶𝘵𝘳𝘢, 𝘚𝘳𝘦𝘯𝘨𝘴𝘦𝘯𝘨 𝘚𝘢𝘸𝘢𝘩, 𝘑𝘢𝘨𝘢𝘬𝘢𝘳𝘴𝘢, 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯. 

𝘔𝘢𝘬𝘭𝘶𝘮𝘭𝘢𝘩, 𝘴𝘢𝘢𝘵 𝘪𝘵𝘶, 𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 2005, 𝘮𝘦𝘳𝘶𝘱𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘢𝘭𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘣𝘢𝘨𝘪𝘬𝘶, 𝘨𝘶𝘳𝘶 𝘚𝘔𝘒 𝘉𝘰𝘳𝘰𝘣𝘶𝘥𝘶𝘳, 𝘊𝘪𝘭𝘢𝘯𝘥𝘢𝘬 𝘒𝘒𝘖, 𝘑𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘵𝘢𝘯, 𝘥𝘪𝘵𝘶𝘨𝘢𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘸𝘢𝘴𝘪 𝘶𝘫𝘪𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘯𝘢𝘶𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘠𝘢𝘺𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘉𝘶𝘥𝘪 𝘔𝘶𝘭𝘪𝘢 𝘓𝘰𝘶𝘳𝘥𝘦𝘴 𝘪𝘵𝘶. 

𝘈𝘬𝘶 𝘱𝘶𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘢𝘴𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘵𝘢𝘩𝘶, 𝘢𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘢𝘯𝘵𝘢𝘳𝘢 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘥𝘪 𝘬𝘦𝘭𝘢𝘴 𝘪𝘵𝘶 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮. “𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘒𝘳𝘪𝘴𝘵𝘦𝘯?” 𝘱𝘢𝘯𝘤𝘪𝘯𝘨 𝘈𝘤𝘦. 

𝘕𝘢𝘮𝘶𝘯, 𝘣𝘦𝘵𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘨𝘦𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘬𝘦𝘵𝘪𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢. “𝘌𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬, 𝘣𝘢𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘳𝘶𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘔𝘶𝘴𝘭𝘪𝘮!” 𝘶𝘯𝘨𝘬𝘢𝘱 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢. 

𝘐𝘢 𝘱𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘥𝘰𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘵𝘶. “𝘌𝘮𝘢𝘯𝘨 𝘗𝘢𝘬 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪 𝘸𝘢𝘫𝘪𝘣 𝘥𝘰𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘫𝘢𝘳, 𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘰𝘢𝘯𝘺𝘢,” 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘴𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢. 

𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘫𝘶𝘮𝘭𝘢𝘩 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢 𝘒𝘢𝘵𝘰𝘭𝘪𝘬 𝘥𝘪 𝘚𝘔𝘒 𝘵𝘦𝘳𝘴𝘦𝘣𝘶𝘵. “𝘚𝘦𝘥𝘪𝘬𝘪𝘵 𝘗𝘢𝘬, 𝘬𝘢𝘭𝘢𝘶 𝘥𝘪𝘵𝘰𝘵𝘢𝘭 𝘱𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘤𝘶𝘮𝘢 𝘭𝘪𝘮𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘴𝘦𝘯 𝘴𝘢𝘫𝘢!” 𝘫𝘢𝘸𝘢𝘣 𝘴𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘪𝘴𝘸𝘢.

Bingung enggak bacanya? Ini masalah serius dalam FN karena 𝐻 𝐴𝑐𝑒 𝑆𝑢ℎ𝑎𝑒𝑟𝑖/𝐴𝑐𝑒 dan 𝑎𝑘𝑢 itu adalah orang yang sama tetapi malah terkesan jadi dua tokoh yang berbeda. Menyesatkan bukan? Maka, sekali lagi, jangan coba-coba bikin PoV seperti itu ya. Memang ada istilah PoV campuran, tapi tidak begitu cara buatnya. Dan baiknya juga tak perlulah membuat FN dengan PoV campuran, karena membuatnya lebih sulit lagi guna memastikan pembaca tidak salah paham. Maka, pastikanlah Anda menggunakan salah satu PoV secara konsisten dalam satu naskah FN. 

Jadi, setia itu bukan hanya dengan pasangan aja, tapi pada PoV juga, 𝐸𝑎𝑎𝑎 … []

Depok, 23 Dzulqa’dah 1443 H | 22 Juni 2022 M 

Joko Prasetyo
Jurnalis
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab