Tinta Media: Mental
Tampilkan postingan dengan label Mental. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mental. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 16 Maret 2024

Fenomena Caleg Gagal, Bukti Lemahnya Mental


Tinta Media - Setelah euforia pemilu Februari lalu, ternyata bukan hanya terjadi pada caleg namun banyak tim sukses yang mengalami tekanan mental, hingga depresi. Hal ini terjadi akibat hasil pemilu tidak sesuai dengan harapan mereka. Karena calegnya gagal mendapatkan kursi, beberapa tim sukses menarik kembali amplop serangan fajar mereka. Ada juga yang marah pada tim sukses lawan, sebab calegnya lah yang menang, ironisnya bahkan ada tim sukses yang sampai bunuh diri. Mengerikan sekali efek pemilu tahun ini, bagaimana bisa terjadi? 

Dalam laman TvOneNews.com 19/02/2024. Banyak para caleg dan tim sukses yang tertekan sebab hasil pemilu tidak sesuai dengan keinginan mereka. Mereka merasa telah berusaha semaksimal mungkin memperjuangkan calegnya, mulai dari sosialisasi, hingga memberikan bantuan dalam bentuk uang dan sembako pada masyarakat, namun tetap saja mereka kalah saat perhitungan suara. Salah satu tim sukses bahkan mengambil kembali uang yang sudah diberikan kepada warga, sebagai rasa kecewa sebab gagalnya caleg yang dia usahakan. 

Namun hanya beberapa warga yang mengembalikan uang serangan fajar tersebut, mereka beralasan uangnya sudah digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, dan juga para warga tidak pernah meminta, mereka hanya menerima. Caleg dan tim sukses yang kalah merasa dirugikan. Ada juga tim sukses yang mendatangi padepokan dalam rangka menenangkan diri dan mendekat pada sang pencipta. Beberapa kejadian ini memperlihatkan begitu lemahnya iman caleg dan tim suksesnya. Mereka hanya bersiap untuk menang tapi tidak siap mengalami kekalahan. 

Tentu saja kekalahan ini membuat mereka sangat dirugikan, sebab telah menggelontorkan dana yang sangat banyak untuk kepentingan sosialisasi hingga pemilu. Ini juga membuktikan betapa mereka sangat menginginkan kekuatan, dengan harapan akan mendapatkan banyak keuntungan ketika sudah menjabat. Oleh karena itulah mereka rela mengeluarkan dana besar di awal untuk membeli suara rakyat. 

Jabatan Dan Keuntungan Dalam Kapitalisme 

Tahun ini semakin banyak orang yang berebut ingin mendapatkan kursi legislatif, mereka merasa kursi ini merupakan gerbang menuju keuntungan besar.

Pemahaman inilah yang membuat mereka rela menjual berbagai aset berharga yang dimilikinya seperti rumah, tanah, mobil, perhiasan, untuk menjadi modal awal perjuangan sosialisasinya, bahkan ada yang rela berhutang besar pada bank demi tujuannya meraih kemenangan. 

Biaya yang dikeluarkan tentu sangat besar, untuk sosialisasi pada masyarakat, percetakan baliho, bantuan sembako, gaji tim sukses, dan yang paling penting untuk amplop serangan fajar. Wajar saja jika mereka depresi dan mengalami tekanan berat saat mengalami kegagalan, sebab sudah keluar modal yang sangat besar. Sementara rakyat yang menerima sogokan berkedok bantuan itu sadar bahwa mereka akan mendapatkan banyak keuntungan ketika sudah menang, inilah sebabnya rakyat merasa perlu menerima pemberian mereka, apalagi ini sudah menjadi rahasia umum setiap kali pemilu. 

Islam memandang Jabatan Pemerintahan 

Dalam Islam setiap hal yang dilakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat nanti, apalagi jabatan, seorang pemimpin akan bertanggung jawab atas nasib yang dipimpinnya. Itu sebabnya pemimpin haruslah amanah kepada rakyat, dan ini merupakan beban yang sangat berat, sebab akan ditanyai di hadapan Allah Swt nantinya. 

Contohnya pada kisah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab yang rela memikul sendiri karung gandum ke rumah rakyatnya yang kelaparan dan tidak memiliki makanan apa pun untuk dimakan, hal ini diketahuinya saat ia berkeliling bersama ajudannya sambil menyamar. Dalam waktu lain, Umar menangis ketika mengetahui ada keledai yang terperosok ke jurang dan mati akibat jalanan rusak yang tidak rata. Ini semua karena takutnya Umar akan ditanyai Allah Swt kelak tentang tanggung jawabnya sebagai pemimpin umat. 

Dalam Islam negara dipimpin oleh Khalifah, syarat mutlak menjadi pemimpin dalam Islam haruslah orang yang bertakwa, sebab orang yang bertakwa tidak akan menzalimi dan berbuat keburukan kepada rakyatnya. Penguasa dalam Islam bukanlah orang-orang yang sibuk mencari keuntungan, bukan pula yang mengumpulkan harta sebanyak- banyaknya. Sebab contoh pemimpin yang luar biasa amanah sudah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, yang tidurnya hanya beralaskan kain tipis, dan hidup sederhana. 

Di dalam Islam tidak ada Kampanye atau janji-janji palsu politik yang diumbar sebelum pemilu, pemilihan pemimpin dalam Islam juga sederhana, jujur dan tidak mengeluarkan biaya yang besar. Pemilihan berlangsung adil dan sesuai dengan syariat Islam. Orang-orang yang dicalonkan juga sangat luar biasa ketakwaannya, bukan orang yang cinta dunia, atau hanya memandang materi semata. Sebab mereka sadar tanggung jawab berat yang harus diemban untuk rakyatnya, dan Allah maha mengetahui segalanya.
Wallahu A'lam Bisshowab.


Oleh: Audina Putri 
(Aktivis Muslimah Pekanbaru) 

Minggu, 03 Maret 2024

Rusaknya Mental dan Moral Remaja di Sistem Kapitalisme


Tinta Media - Pemuda hari ini banyak yang terkena penyakit mental illness. Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) dalam survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10 – 17 tahun di Indonesia menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental, sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. ( UGM.CO 24/10/2022)

Ini tentunya tidak terjadi tanpa sebab. Ini semua berasal dari kesalahan pendidikan di Indonesia. Kita tahu bahwa pendidikan di Indonesia hanya berdasar pada transfer ilmu saja dan hanya terbatas pada nilai semata, sehingga menjadikan remaja hanya kuat dalam teori keilmuan, tetapi lemah dalam mental dan adab. Belum lagi hukum di negeri ini yang seakan menjadikan murid lebih berkuasa daripada guru .

Kita bisa lihat bahwa kehidupan remaja saat ini begitu rusak.  Adab remaja saat ini membuat kita merasa miris. Mereka  berani melawan dan membentak guru, tidak mau disalahkan atas  kesalahannya, bahkan jika guru melawan dengan fisik yang terukur, maka guru seakan bersalah dengan dilaporkan ke polisi. Tidak sedikit dari guru yang sudah tertangkap hanya karena masalah tersebut. Ini kan aneh? 

Guru yang memberikan pendidikan dan arahan yang benar dengan mengingatkan dan melakukan amar makruf nahi mungkar justru disalahkan. Bagaimana Remaja di negeri ini bisa menjadi penerus bangsa yang hebat, penerus yang layak mengemban amanah dakwah terhadap negeri ini, jika adab mereka rusak dan mental mereka lemah?

Oleh karena itulah dibutuhkan sistem pendidikan yang benar, yang bisa mencetak pemimpin hebat selayak Muhammad al-Fatih. Beliau dibina dengan pendidikan yang benar dengan tsaqafah dan keimanan yang kuat, sehingga menjadikannya bukti bisyarah Rasulullah saw. 

Beliau dibina dengan fisik dan mental yang kuat. Bahkan, beliau sering dipukul dengan rotan saat menempuh pendidikan. Belum lagi transfer karakter yang dilakukan oleh gurunya, Syekh Aaq Syamsudin dan Ahmad Al Qurani yang menjadikannya pemimpin berkarakter Rasulullah saw.

Inilah yang menjadikan Muhammad al-Fatih sebagai pemimpin hebat sepanjang masa. Ia menaklukkan konstantinopel di usia 21 tahun dan pandai dalam 7 bahasa sekaligus di usia 17 tahun. 

Pendidikan seperti ini tentunya tidak bisa dilakukan dalam sistem demokrasi sekuler seperti sekarang. Pendidikan yang dibutuhkan saat ini adalah pendidikan dengan sistem Islam yang mendidik remaja untuk menjadi pemimpin masa depan.
Ketika meneliti sejarah, kita bisa menyaksikan bahwa semua itu telah terbukti secara nyata. Islam menjadi pusat peradaban ilmu yang besar. Peradaban Islam menghasilkan ilmuwan-ilmuwan muslim terkenal yang hingga saat ini karya mereka tetap abadi. menjadi awal perkembangan pendidikan ketika Barat masih dalam Dark Age. 

Tentunya, sistem pendidikan ini tidak akan bisa terwujud tanpa sebuah institusi yang menerapkan Islam secara sempurna, yaitu sistem khilafah yang menaungi seluruh umat yang ada di negeri ini. Sistem inilah yang akan menerapkan aturan terbaik dari Sang Pencipta Yang Maha Baik. Oleh karena itu, inilah waktunya untuk umat bersatu (it is time to be one ummah), beralih ke sistem yang berdasar pada Al-Qur'an dan Sunnah.



Oleh: Azzaky Ali Amrullah
Santri Kelas X Ponpes Al Amri

Minggu, 25 Februari 2024

Revolusi Mental



Tinta Media - Ngeri-ngeri sedap melihat mental pemuda saat ini. Masih teringat jelas 10 tahun lalu ketika gerakan revolusi mental digaungkan. Dalah satunya di institusi pendidikan. Tujuannya adalah untuk membentuk karakter siswa supaya memiliki budi pekerti yang luhur. 

Sepuluh tahun lalu juga masih terngiang bagaimana revolusi mental digunakan guna menghapus korupsi, juga berbagai aksi kriminalitas lain.

Sepuluh tahun telah berlalu, tetapi revolusi mental ternyata bukan solusi atas degradasi moral pemuda negeri ini. Mereka yang masih disebut ‘remaja’ bukan hanya melakukan aksi kenakalan macam tawuran di jalan. Namun, lebih mengenaskan saat mereka jadi pelaku tindak kejahatan.

Seperti yang terjadi baru-baru ini, seorang pemuda yang 20 hari sejak dia melakukan aksi pembunuhan akan berusia 17 tahun, melakukan aksi keji membantai  satu keluarga di Panajam Paser Utara. Motifnya tak jauh dari kisah asmara yang ditolak. Akhirnya, golok pun bertindak. Sebegitu rapuhkah mental pemuda hari ini sampai harus membantai satu keluarga saat cinta ditolak? 

Dalam kasus lain, saat orang tua tak mampu memenuhi banyak maunya, tak segan seorang anak menganiaya dan menghilangkan nyawa mereka yang merawatnya sejak bayi. Duh, rasanya sudah kehabisan kata untuk menggambarkan perilaku pemuda saat ini. 

Mau menghujat juga serba salah karena faktanya semua itu bukan sepenuhnya salah mereka juga. Mungkin saja tanpa kita sadari, ada sumbangsih kita, masyarakat, bahkan negara yang telah lalai untuk mengarahkan dan mengondisikan mereka supaya tumbuh jadi pemuda hebat. 

Saat ini, pemuda dipaksa untuk tumbuh dalam lumpur kotor, padahal mereka adalah sosok yang diharapkan untuk jadi mutiara umat. Instansi pendidikan juga tampaknya tak mampu mengemban revolusi mental bagi siswa. 

Saat ini sekolah disibukkan dengan berbagai administrasi akreditasi bagi guru dan sekolah. Hal itu mengalihkan fokus guru untuk mendidik muridnya. 

Era kapitalisme juga telah mengalihkan orientasi sekolah untuk mencari uang, bukan mengajarkan ilmu, apalagi membentuk karakter siswa. 

Maka, revolusi mental jelas bukanlah solusi. Sangat disayangkan ketika kita mendefinisikan pemuda usia di bawah 17 tahun masih dalam kategori anak di bawah umur. Konsekuensinya, jika mereka melakukan pelanggaran hukum, tak ada hukum tegas yang mampu menjeratnya.
 
Hal ini sangat berbeda ketika Islam menetapkan akil baligh sebagai batasan seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya. Karena itu, saat ada seseorang yang melakukan pelanggaran hukum syara’, maka hukumannya akan diterapkan dengan tegas. 

Saat dia membunuh, maka akan ada qisas, yakni hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya.

Pun ketika Islam diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, maka individu, masyarakat, juga negara berperan untuk membangun situasi kondusif untuk membentuk pemuda yang taat dan juga siap melanjutkan kegemilangan peradaban Islam.

Demikianlah Islam memandang pemuda sebagai potensi yang luar biasa untuk dijaga dan dibentuk menjadi sosok tangguh yang kelak menjadi harapan peradaban Islam.


Oleh: Elis Sulistiyani
Pengasuh Komunitas Muslimah Perindu Surga

Minggu, 10 Desember 2023

Julid Fi Sabilillah, Pengamat: Serangan Mental yang Membuat Mental Musuh


 
Tinta Media - Pengamat Media Sosial Rizqi Awal menilai julid fi sabilillah yang dilakukan netizen dalam menyerang akun-akun tentara Zionis Yahudi (IDF) merupakan serangan mental.
 
“Ini menjadi serangan mental yang membuat mental musuh, karena ketika mereka ingin memberikan gambaran dukungan kepada Isr4el justru yang mereka dapati serangan bertubi tubi yang pro Palestina dan perjuangan kaum muslimin di wilayah Gaza,” tuturnya di Kabar Petang: Blarr! Julid Fi Sabilillah Guncang Dunia, melalui kanal Youtube Khilafah News, Kamis (7/12/2023).
 
Rizqi menggambarkan bagaimana serangan itu bisa membuat mental musuh mental.
 
“Di awal-awal kita diajari oleh beberapa akun bagaimana menyerang musuh. Tapi setelah itu netizen itu kreatif luar biasa. Beberapa aplikasi sosial media dengan cara mereka masing-masing melakukan serangan yang cukup masif kepada individu-individu yang pro kepada Isr4el wabil khusus tentara-tentara Zionis Yahudi yang terlihat di berbagai gerakan sosial media itu. Akhirnya mereka stres dengan serangan-serangan yang dilakukan oleh netizen,” bebernya.
 
Rizqi juga mengatakan, data menjelaskan netizen Indonesia itu netizen yang paling tidak sopan nomor satu di dunia.
 
“Tapi di sisi lain, ketidaksopanan ini atau yang biasa disebut dengan kejulidan itu menjadi sesuatu yang berfaedah, ketika serangan-serangan dilakukan kepada tentara-tentara Isr4el dan pendukung entitas Zionis Yahudi,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.

Rabu, 15 November 2023

Tantangan Kesehatan Mental, Butuh Solusi Islam



Tinta Media - Dalam kurun waktu sepekan di bulan Oktober 2023 ini terdapat dua kasus dugaan bunuh diri di lingkungan mahasiswa yang cukup menyita perhatian. 

Pertama, kasus dugaan bunuh diri seorang mahasiswi berinisial NJW (20) yang ditemukan tewas di Mall Paragon Semarang, Jawa Tengah, pada Selasa (10/10/2023). Mahasiswi tersebut diduga kuat mengalami depresi sehingga nekat melompat dari lantai 4 Mall Paragon Semarang. 

Kedua, kasus dugaan bunuh diri seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Semarang berinisial EN (24) yang ditemukan tewas di kamar indekos di wilayah Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah pada Rabu (11/10/2023). 

Menurut data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI kasus bunuh diri sejak Januari hingga Oktober 2023 nyaris menyentuh angka 1000 kasus, tepatnya 971 kasus. Jumlah ini sudah melampaui kasus bunuh diri sepanjang tahun 2022 yang jumlahnya 900 kasus. 

Sangat disesalkan, bunuh diri sebagai tindakan yang dilarang agama kasusnya kian bertambah. Bahkan pelakunya adalah mahasiswa. Apa yang terjadi pada generasi kita?

Kesehatan Mental dan Penyebabnya

Banyaknya kasus bunuh diri di kalangan mahasiswa menyisakan tanya pada kita semua. Mahasiswa sebagai generasi yang mengenyam strata pendidikan paling tinggi ternyata belum mampu menyelesaikan persoalan dirinya sendiri. Mempunyai mental yang rapuh dan mudah menyerah. 

Banyak faktor yang turut memberikan pengaruh besar terhadap rapuhnya mental generasi. Keluarga menjadi faktor yang cukup dominan dalam membentuk karakter generasi. Keluarga yang rapuh, kurang harmonis, di penuhi pertengkaran, kurang perhatian dengan perkembangan anak dan pola asuh yang salah akan melahirkan generasi lemah dan bermasalah. Apalagi keluarga yang abai terhadap nilai-nilai agama, tentu generasi yang dihasilkan adalah generasi sekuler yang liberal. Lekat dengan budaya bebas dan hedonis. 

Ditambah dengan lingkungan yang tidak kondusif. Mempunyai crinkle sahabat yang tidak care bahkan cenderung toxic menyebabkan mahasiswa berada dalam pengaruh negatif. Mudah berbuat semaunya tanpa peduli kesalahannya bahkan nekat melakukan apa saja tanpa berpikir resikonya. 

Belum lagi perkembangan dunia digital yang  menjadikan mereka mudah mengakses informasi dari dunia luar serta penggunaan media sosial juga memberikan pengaruh besar pada perilaku mereka. Tanpa filter agama yang bagus tentulah akan mudah sekali mereka meniru gaya hidup para publik figur, mulai dari fashion yang mengikuti trend, barang branded, hobi shopping, dll. Apalah daya, jika tuntutan hidup yang tinggi tidak diimbangi dengan  pemasukan. Mudah mereka mengambil jalan instan meskipun dengan cara yang tidak benar. 

Lembaga pendidikan yang diharapkan mampu membangun karakter generasi dan mengounter hal-hal negatif ternyata masih lemah. Bahkan masih menyisakan beragam masalah. Biaya pendidikan yang mahal, tuntutan kampus yang tinggi, output yang kalah saing di dunia kerja masih menjadi masalah lapuk yang belum terselesaikan. Capaian pembelajaran lebih mengacu pada nilai akademik sedangkan nilai religius penanaman mindset hidup terkesan diabaikan. 

Gaung moderasi pada kurikulum terbaru di setiap jenjang pendidikan yang dianggap sebagai salah satu solusi persoalan negeri menjadikan pelajaran agama hanya sebagai pelengkap saja. Agama tidak perlu dibawa-bawa dalam setiap ranah. Penyelesaian masalah akan menjadi perkara yang orang boleh suka-suka. Mungkin, termasuk bunuh diri yang dianggap solusi keluar dari masalah yang dihadapi. 

Belum lagi beban hidup yang makin berat dan tuntutan hidup yang tinggi menjadikan orang semakin terkuras mentalnya. Tanpa ada penyelesaian yang pasti, tanpa hadirnya orang-orang yang peduli dan tanpa hadirnya negara, apakah kita. Manusia dengan segudang masalah. Apalagi tanpa di imbangi dengan nilai religi, tentulah akan mudah frustasi dan depresi.

Bunuh diri, bukan masalah yang berdiri sendiri. Banyak aspek yang berkaitan satu sama lain. Penyelesaiannya tidak cukup hanya mendatangi psikolog dan recovery mental. Lebih dari itu harus juga menyelesaikan problem ekonomi, sosial, pendidikan bahkan pemerintahan. Artinya, masalah bunuh diri butuh solusi yang kompleks dan sistemik. 

Solusi

Islam adalah agama yang sempurna. Mempunyai aturan yang lengkap dan mampu memberikan solusi atas setiap persoalan yang dihadapi oleh manusia. Ketika Islam dijauhkan dalam mengatur kehidupan, tentulah kerusakan yang akan didapatkan. Sudah selayaknya mengembalikan segala urusan hanya kepada Islam.

Islam menempatkan tanggung jawab pendidikan kepada negara. Dengan mengadakan pendidikan yang bisa diikuti semua kalangan. Karena pendidikan adalah hak setiap warga dan diselenggarakan negara tanpa dipungut biaya. 

Pendidikan yang berpijak pada pembentukan kepribadian yang Islami. Menanamkan aqidah Islam, dan mencetak individu yang beriman dan bertakwa. Dengan aqidah yang kuat  setiap muslim akan senantiasa berusaha dalam ketaatan. Akan senantiasa ada dalam kesabaran. Selalu berusaha menyelesaikan masalah sesuai dengan Syariat Islam. 

Muslim yang sudah terdidik akan membangun keluarganya dengan landasan aqidah. Menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Keluarga menjadi sekolah pertama, orang tua menjadi guru dan memberi teladan yang baik. Orang tua tidak hanya disibukkan dengan mencari nafkah dan harta. Tentulah anak akan tumbuh menjadi pribadi yang baik dengan mental yang sehat. 

Pendidikan yang berhasil akan menciptakan lingkungan sosial yang care. Menumbuhkan rasa persaudaraan yang semakin erat. Kita tidak hidup sendiri. Satu dengan yang lainya adalah saudara. Saling membantu, saling mengasihi, berlomba dalam kebaikan dan selalu beramar ma'ruf nahi munkar. Tentu seberat apapun beban hidup akan terasa ringan. 

Kaitannya dalam masalah ekonomi, Islam akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan pokok warganya dengan harga terjangkau dan mudah dicari. Menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi para laki-laki. Sehingga tidak ada perempuan yang harus meninggalkan anaknya karena membantu mencari nafkah. Peran yang seimbang akan menjadikan kesehatan mental anak dan orang tua selalu terjaga.

Negara yang selalu hadir dalam memberikan riayah kepada warganya. Tanggap dengan segala macam permasalahannya akan menjadikan masalah menjadi ringan. Hidup penuh dengan kesejahteraan. Semoga suatu saat nanti Islam akan bisa diterapkan dalam kehidupan. Wallahu Alam Bishowab.

Oleh : Ummu Fatimah, S. Pd.
Sahabat Tinta Media

Selasa, 11 April 2023

Negara Bertanggung Jawab atas Rendahnya Kesehatan Mental Rakyat


Tinta Media - Akhir-akhir ini Indonesia sedang digemparkan dengan berbagai kasus bunuh diri. Misal saja pada januri 2023, terdapat lima kasus bunuh diri yang dilakukan oleh remaja di Toraja. Ada juga seorang pria yang merupakan karyawan berusia 24 tahun tewas gantung diri di Ambon. Gantung diri juga dilakukan oleh seorang anak berusia 11 tahun di Banyuwangi. Tak lama, kasus gantung diri kembali terjadi dan dilakukan oleh gadis berusia 14 tahun di Jembrana, Bali, disusul kabar yang saat ini masih hangat diperbincangkan yaitu ditemukannya seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) inisial MPD yang tewas, diduga melompat dari lantai 18 apartemen di Jakarta Selatan.

Terakhir, warga Dusun Wirokerten RT 02 Kelurahan Wirokerten Kapanewon Banguntapan, Bantul menemukan NS, seorang lelaki berumur 38 tahun ditemukan gantung diri di dapur rumahnya sekitar pukul 17.00 WIB. Dia ditemukan oleh ibunya, S (58) yang kebetulan mencari anaknya tersebut karena tidak kelihatan  (SINDOnews.com, 9/3/2023). Menurut keterangan keluarga, NS baru satu minggu yang lalu pulang dari bekerja sebagai tukang bangunan di Bogor Jawa Barat. Informasi dari tetangga, NS terlihat ada gangguan psikis.

Menurut penelitian terbaru, insiden serupa bisa jadi jauh lebih tinggi dari jumlah korban yang terdata secara resmi. Penyebab utamanya diyakini terkait dengan masalah kesehatan mental dan kelemahan dalam sistem pendataan. 

Sebuah studi tahun 2022 menyatakan bahwa angka bunuh diri di Indonesia bisa jadi empat kali lebih tinggi dari data resmi. Menurut WHO, bunuh diri menjadi penyebab utama kematian ke-empat di antara usia 15-29 tahun secara global pada tahun 2019. (BBC News Indonesia, 25/01/2023)

Sungguh ironisnya negeri ini. Mengapa tidak? Banyak sekali kasus bunuh diri yang nampaknya tak hanya popular di kalangan dewasa saja, tetapi kini marak dilakukan oleh para remaja dan generasi pada usia produktif. Di usia yang seharusnya seseorang mampu untuk terus belajar menggapai impian dengan mengembangkan segala potensi unik yang dimiliki sehingga dia mampu menemukan cara mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya dalam hidup, nyatanya harus diakhiri dengan cara tragis dan mengenaskan, sehingga terenggutlah jiwa dan raganya. 

Melihat betapa banyak kasus bunuh diri yang terjadi saat ini, mengindikasikan bahwa mayarakat sedang mengalami gangguan kesehatan mental. hal ini tak terhindarkan karena disebabkan oleh beberapa faktor yakni: 

Pertama, saat ini sudah menjadi hal biasa seorang anak tumbuh tanpa penanaman akidah dalam keluarganya. Mereka terlalu sibuk mengejar dunia hingga lupa akan kewajiban sebagai orang tua. Alhasil, ketika mengalami berbagai tekanan, anak akan mudah rapuh dan tidak mampu menyelesaikan masalah dengan baik, sehingga jalan instan yang dipilih adalah dengan melakukan bunuh diri sebagaimana peristiwa yang saat ini banyak terjadi. Harapannya, semua masalah dapat terselesaikan ketika dirinya sudah tiada, meskipun dia mungkin tahu bahwa kematian bukanlah akhir segalanya. 

Kedua, lingkungan sebagai wadah pembentukan diri. Aspek ini menjadi pengaruh yang sangat dominan terhadap pembentukan pola pikir dan perilaku seorang anak. Lingkungan yang buruk hanya mengantarkan para pemuda ke suatu keadaan yang salah arah, pun sebaliknya.

Ketiga, negara dengan sistem yang ada saat ini ternyata tidaklah mampu menyelesaikan permasalahan generasi hari ini, meskipun keberadaannya diakui oleh dunia. Bukan hanya itu, sistem ini dapat dikatakan tidak layak, sebab pada faktanya tidak dapat memberikan pendidikan secara utuh sebagaimana mestinya negara memfasilitasi generasi muda agar dia mampu berdaya untuk negara dan tentunya tidak berlepas diri dari ajaran agama. 

Tidak ada kurikulum yang mampu membina para generasi menjadi seorang pemuda yang cerdas dan kuat. Yang ada hanyalah sebuah sistem sekuler dengan kurikulum yang menekan tanpa memberi ruang bagi mereka untuk mengembangkan kreativitas sebagaimana mestinya. 

Kurangnya pendidikan agama semakin membuat para generasi tak memiliki pegangan ketika sedang terombang-ambing tanpa tujuan. Tidak heran bila saat ini masyarakat sedang mengalami gangguan kesehatan mental yang sangat meresahkan. Lalu, bila sudah begini, siapa yang mau disalah kan?

Perilaku ini sebenarnya sangat rendah. Bagaimanapun, hasilnya tetap saja merefleksikan sesuatu yang rendah. Masalah ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam hidup. Tentu saja, yang demikian itu merupakan hasil dari sistem kehidupan yang dipercaya masyarakat di semua aspeknya. 

Nyatanya, aspek tersebut gagal mengangkat martabat manusia dengan taraf pikir yang tinggi. Semua mengerucut pada buruknya sistem dan penguasa yang abai atas masyarakat. Negara tampaknya telah gagal menghasilkan individu-individu yang terampil. Padahal, seorang muslim tahu dan tidak akan melakukan apa pun yang dapat membahayakan diri, bahkan sampai mengancam jiwanya. Cukuplah Allah Swt. bagi dia dengan menjadikan rida-Nya sebagai standar benar-salah, boleh-tidaknya dalam melakukan segala hal dalam hidupnya. 

Pemisahan agama dengan kehidupann merupakan hasil dari sistem sekuler yang melahirkan segala aturan buatan manusia tanpa melibatkan Sang Pencipta dalam pembuatannya, sehingga jangan berharap sakinah akan hadir dalam jiwanya. 

Kekayaan, ketenaran, pendidikan, dan standar kebahagiaan menurut mereka nyatanya didasarkan pada pencapaian materi, tanpa memperhitungkan aspek kejiwaan. Alhasil, keringlah jiwa manusia yang diikuti dengan rapuhnya nilai ruhiyah mereka, kemudian menggerogoti masyarakat. Materi selalu menjadi sesuatu yang memaksa manusia untuk berkompetisi agar bisa mendapatkan dengan menghalalkan berbagai cara.

Sistem ekonomi menjadikan si kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin, sehingga menyebabkan kesenjangan yang begitu luar biasa antarmereka. Hal ini semakin memperparah keadaan rakyat. Saat ini banyak orang berlomba-lomba di media dan kehidupan sosial mereka untuk pamer kekayaan dan kesuksesan. 

Anehnya, hal itu dilakukan juga oleh para penguasa di tengah banyaknya rakyat yang dilanda kemiskinan serta mengalami penderitaan. Hal ini tentu menimbulkan tekanan batin dan gangguan mental rakyat, sehingga pelampiasan emosi, kemarahan sering kali berujung pada tindak kriminalitas, menyakiti diri sendiri, atau bahkan bunuh diri.

Jadi, tak heran bila sistem bobrok ini melahirkan generasi dengan kesehatan mental yang rendah, tidak percaya diri dan tanpa tujuan. Ketika mendapatkan tekanan yang berat, dan pondasi akidah tidak terbentuk dalam diri yang menyebabkan ketenangan jiwa tak kunjung didapat. Alhasil, suicide (bunuh diri) menjadi pillihan. Parahnya, negara abai akan hal itu. Dengan tidak adanya kebijakan yang mampu menanggulangi permasalahan ini agar tidak terulang kembali membuktikan negara seakan tidak menganggap serius kasus-kasus bunuh diri yang menyedihkan ini.

Dalam sistem Islam, rida Allah Swt. merupakan sumber sejati kebahagiaan. Islam menjadikan akidah sebagai dasar atas pola asuh, kurikulum pendidikan, kehidupan bermasyarakat, ekonomi, politik, dan hukum, sehingga aturan tidak akan berubah secara signifikan, mendadak, apalagi melenceng dari fitrah manusia. 

Islam memandang bahwa prioritas utama yang wajib dan segera diwujudkan adalah kemaslahatan umat dalam menjalankan sistem pemerintahan. Oleh sebab itu, pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, bahkan kebutuhan jiwa yang berotientasi pada kesehatan mental masyarakat akan ditanggung sepenuhnya oleh negara melalui kaki tangan penguasa. 

Untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Sang Pencipta, Allah Swt., negara akan menciptakan kehidupan masyarakat yang terbiasa beramar makruf nahi mungkar. Dengan begitu, baik individu, keluarga, masyarakat, maupun para penguasa akan menjadikan ketakwaan kepada Allah sebagai amunisinya dalam mengarungi kehidupan. Nilai kerohanian akan timbul berkat kedekataannya kepada Allah Swt. Pondasi akidah yang kuat akan menentramkan jiwa setiap individu dalam masyarakat, serta menguatkan mental dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan. Sadar atas batasan hidup sebagaimana qada dan qadar, akan membuat setiap individu dalam masyarakat memaknai peristiwa yang terjadi dengan lebih baik.

Materi tidak akan menjadi tolak ukur atas kesuksesan dan kebahagiaan seseorang. Dengan begitu, akan muncul sakinah dalam hatinya, sabar menghadapi ujian, serta tidak tersilaukan dengan kemewahan dunia yang fana. Pada akhirnya, masyarakat akan sadar bahwa bunuh diri bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan suatu masalah, serta kesehatan mental masyarakat akan menjadi lebih baik karena adanya kedekatan setiap individu dengan Sang Pencipta, Allah Swt. yang didukung pula oleh negara yang berperan penting dalam mewujudkan kemaslahatan umat manusia. Wallahu'alam.

Oleh: Latifah Wahyu S.
Sahabat Tinta Media

Jumat, 04 November 2022

Kasus Gangguan Mental Naik, Seharusnya Butuh Solusi Sistemik

Tinta Media - Pandemi Covid-19 benar-benar telah memporak-porandakan perekonomian secara global. Wabah yang menyerang dunia semenjak tahun 2019 begitu membuat semua lapisan masyarakat terkena dampaknya baik secara fisik maupun mental. Secara fisik wabah ini telah menyerang kesehatan manusia, menyerang gangguan sistem kekebalan tubuh yang dapat mengakibatkan kematian. Tak sedikit orang yang terkena depresi akibat lockdown yang berkepanjangan. Pun secara ekonomi wabah ini telah menghantam perekonomian negara dan masyarakat hingga pada titik yang begitu rendah. 

Di Indonesia, angka kemiskinan pasca terjadinya pandemi tercatat naik secara signifikan. Hal ini tentu berdampak pada kondisi masyarakat, terutama pada masyarakat dengan pendapatan yang relatif rendah (seperti kaum buruh misalnya). Jumlah angka kemiskian yang semakin naik ini ternyata berbanding lurus dengan jumlah penderita gangguan kejiwaan. Betapa tidak, faktor ekonomi yang dialami masyarakat kurang mampu ini pun berimbas pada kondisi psikis mereka. Kebutuhan pokok yang harganya semakin tak terkendali, biaya kesehatan dan pendidikan yang mahal, naiknya harga BBM serta minimnya jumlah lapangan pekerjaan membuat kehidupan rakyat miskin semakin bertambah sulit. Dari sinilah muncul bermacam-macam gangguan metal meskipun faktor ekonomi ini hanya merupakan salah satu dari beberapa penyebab yang memicu adanya gangguan kejiwaan.

Sebenarnya peningkatan jumlah penderita ganggun mental ini sudah terjadi jauh sebelum masa pandemi Covid-19. Menurut riset yang dilakukan oleh IHME atau Institute of health Metrics and Evaluation by University of Washington terkait Global Burden of Desease 2019, gangguan kesehatan mental menjadi salah satu faktor penyebab paling atas dari seluruh beban penyakit yang ada di dunia. 

Jumlah pengidap gangguan kesehatan jiwa dengan gangguan perkembangan mental /intelektual (tidak termasuk pecandu alkohol dan narkotika) pada tahun 1990-2019 mencapai lebih dari 14 juta orang untuk jenis kelamin Perempuan dan lebih dari 12 juta orang untuk jenis kelamin laki-laki. Sementara itu jumlah laki-laki dan perempuan yang mengalami depresi sekitar 5 juta orang. Tingginya kasus gangguan mental ini menunjukkan bahwa kondisi negeri ini sedanag sakit. Begitu pula pada kasus melonjaknya angka kemiskinan, bisa dijadikan indikasi bahwa ada kekeliruan dengan tata kelola negara saat ini. Banyak faktor yang menyebabkan masalah ini (gangguan kejiwaan) terjadi baik internal mau pun eksternal termasuk lingkungan dan corak pembangunan yang kapitalistik. Maka untuk mengatsi masalah yang sangat complicated dibutuhkan solusi yang sistematik.

Gangguan kesehatan mental pada umumnya terjadi akibat faktor ekonomi. Sudah bukan rahasia bahwasannya kondisi ekonomi saat ini tenggah mengalami keterpurukan. Angka pengangguran meningkat, ditambah lagi pemangkasan jam kerja para buruh. Dominasi pekerja perempuan yang berdampak pada abainya peran ibu, menyebabkan tidak berfungsinya tugas dan kewajiban atau peranan masing-masing anggota keluarga. Hal inilah yang memicu kondisi disharmoni. Anak yang kurang mendapatkan perhatian, kondisi pengaruh lingkungan yang buruk serta minimnya pengetahuan agama menyebabkan generasi muda mudah mengalami depresi. Tidak adanya penanganan gangguan mental akibat komersialisasi layanan kesehatan menyebabkan kondisi semakin parah, akhirnya pelarian terakhir mereka adalah narkotika dan bunuh diri. 

Penyelesaian atas masalah gangguan mental, pendidikan, kesehatan, kemiskinan dan masalah lain yang seakan hanya setengah hati dan tambal sulam dari penguasa menjadikan kondisi negara semakin ruwet dan semrawut. Berbeda dengan sistem pemerintahan islam yang menerapkan hukum syariat. Penyelesaian atas masalah-masalah tersebut sangat terintegrasi dan sistemik. Islam mengatur segala urusan dengan sangat jelas. Kemiskinan sebagai salah satu penyebab gangguan kejiwaan pada maasyarakat diatasi dengan cara penjaminan kebutuhan akan sandang, pangan dan papan secara tidak langsung melalui penyediaan lapangan pekerjaan secara luas. Pemberian pelayanan pendidikan dan kesehatan secara cuma-cuma, sehingga tidak ada kasus anak putus sekolah karena tidak adanya biaya. Anak-anak pun bisa fokus sekolah atau kuliah tanpa harus pusing memikirkan kerja paruh waktu untuk membayar biaya sekolah atau kuliah. Jelas hal ini akan mengurangi potensi generasi muda z mengalami tekanan mental. Demikian juga para orang tua, dengan tidak adanya biaya sekolah atau kuliah tentu hal ini akan memudahkan mereka. Sebagai orang tua wali mereka tidak harus bekerja keras demi untuk membayar uang sekolah ataupun kuliah anak-anaknya.  

Lantas bagaimana negara Islam mendanai bidang kesehatan dan pendidikan sementara penguasa saat ini mensubsidi BBM saja merasa berat dan menganggap subsidi BBM adalah beban negara?

Pemasukan penguasa dalam sistem kapitalisme mengandalkan bea cukai dan pajak, sementara dalam negara Islam memiliki begitu banyak pemasukan. Kas negara Islam disebut baitul mal, pos-pos pemasukan baitul mal antara lain:

- Pos kepemilikan umun, terdiri dari fasilitas dan sarana umum seperti instalasi air dan listrik, infrastruktur jalan umum, kereta api, dan lain-lain. Sumber daya alam seperti padang rumput, air, api yang memiliki sifat pembentukan dasarnya menghalangi untuk dimiliki oleh individu. Barang tambang yang mana persediannya dalam jumlah sangat besar seperti tambang emas, batu bara, minyak, gas, batu mulia, nikel, tembaga, garam dan lain sebagainya.

- Pos kepemilikan negara yang terdiri dari ghanimah, fa’i, anfal, usyur, jizyah dan lain-lain.

- Pos zakat yang potensi masukannya sangatlah besar.

Dengan bermacam-macam jenis pemasukan inilah negara Islam mampu membiayai rakyatnya dalam hal pendidikan dan juga kesehatan sekaligus untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dengan terselesainya masalah kemiskinan, secara otomatis problematika gangguan kesehatan mental pun dapat diatasi. Apalagi didukung oleh sistem pendidikan berbasis akidah yang mampu menguatkan keimanan, ketaqwaan dan kondisi psikis mereka. 

Wallahu a’lam bish shawab. []

Oleh: Siti Fatimah
Pemerhati Sosial dan Generasi

Kamis, 20 Oktober 2022

Kiat-Kiat Bermental Sehat dalam Menghadapi Tantangan Hidup

Tinta Media - Berbicara tentang mental, maka tidak akan terlepas dari problema hidup. Ada orang yang sejak lahir memang bermasalah, tetapi tak jarang ada juga yang bermental rusak karena kondisi keluarga atau pun lingkungan tempat ia hidup. 

Setiap tanggal 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Jiwa. Hari kesehatan dunia ini dibentuk oleh lembaga kesehatan internasional bernama World Federation of Mental Health (WFMH). Lembaga ini bertanggung jawab untuk mengawasi kesehatan global dan mengedukasi negara-negara tentang pentingnya menjaga kesehatan mental warganya.

Menurut data WFMH, lebih 75 persen penduduk pengidap depresi di negara maju tidak mendapatkan penanganan yang memadai. Sedangkan pada negara berpenghasilan menengah ke bawah, penderita gangguan mental nyaris tidak memperoleh pengobatan sama sekali.

Negeri Nusantara ini bisa disebut sebagai negara yang tidak ramah kepada penderita gangguan mental, menurut badan kesehatan nasional tersebut. Pasalnya, ekonomi Indonesia termasuk menengah ke bawah.

Melalui laman resminya, World Federation of Mental Health (WFMH) telah menetapkan tema 'Make Mental Health & Well Being for ALL a Global Priority' untuk peringatan Hari Kesehatan Nasional tahun 2022. 

Tema ini, menurut badan tersebut memiliki makna bahwa kesejahteraan orang-orang dengan gangguan mental, tidak hanya ditanggung oleh pemerintah saja, tetapi juga masyarakat umum. Oleh karenanya, seluruh elemen masyarakat juga bertanggung jawab atas kesehatan mental orang-orang di sekitarnya.

Sejarah Hari Kesehatan Mental Global

Dikutip dari National Today, para pendiri WFMH awalnya memahami bahwa perlu adanya tindakan secara global untuk menanggulangi adanya kerusakan mental. Maka, dibentuklah badan ini pada tahun 1992. Program yang dilaksanakan adalah sosialisi kepada negara-negara di dunia mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental dan mendorong agar pemfasilitasan dan perbaikan penanganan seputar kesehatan mental.

Bukan Solusi

Niat baik lembaga WFMH memang perlu diapresiasi. Namun, apa yang mereka lakukan sejatinya bukan solusi mengatasi masalah kesehatan mental. Solusi mereka sebatas solusi parsial yang tidak menyelesaikan masalah hingga pada akarnya. Buktinya, sudah lebih dari 20 tahun melakukan edukasi, akan tetapi angka gangguan mental tetap terus bertambah.

Solusi yang ditawarkan lembaga ini malah memalingkan dunia dari masalah dan solusi sejati dari problem kesehatan mental. Dunia melihat imajinasi adanya air di tengah gurun pasir. Dunia diperlihatkan dan diminta puas dengan solusi yang tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah.

Menemukan solusi hakiki dari sebuah problem harus diawali dengan mencari akar dari masalah tersebut. Sebagaimana jika daun tampak layu, maka bukan daun yang perlu diobati, namun akarlah yang membutuhkan asupan gizi. 

Maka, jika seseorang memaksa untuk mengobati daunnya saja, daun tersebut tidak akan pernah sembuh, sebesar apa pun usaha orang tersebut. Sebab, masalah utama pohon tersebut bukan terletak pada daunnya, tetapi akar.

Perumpamaan ini juga berlaku untuk seluruh masalah yang ada di dunia ini. Selama yang diperbaiki bukanlah akarnya, tetapi sebatas cabang, maka baik masalah cabang atau pun akarnya tidak akan pernah terpecahkan.

Akar Masalah Kerusakan Mental

Lingkungan kapitalistiklah yang menjadi penyebab utama kerusakan mental masyarakat di dunia saat ini. Di dunia kapitalis ini, hukum rimba menjadi makanan sehari-hari. Dalam masyarakat kapitalis, siapa yang beruang, maka dialah yang berkuasa.

Maka, di dalam masyarakat seperti ini, karier, nilai, pandangan orang, kekayaan sangatlah dipandang tinggi. Orang yang tidak memiliki salah satu di antaranya akan merasa terusir dari masyarakat. Stres pada orang-orang seperti ini tidak terhindarkan.

Fakta di lapangan telah membuktikannya sendiri. Beberapa minggu yang lalu, mungkin masih hangat di benak kita, seorang pemuda yang bersumpah untuk bunuh diri jika dirinya tidak diterima di perguruan tinggi.

Kemudian beberapa hari yang lalu, ada seorang mahasiswa baru UGM yang nekad loncat dari salah satu hotel di Jogja. Polisi menyebutkan pelaku memiliki gangguan mental. (detik.com)

Namun, prestasi dan jabatan tinggi pun tidak bisa menghindarkan seseorang dari gangguan kesehatan mental. Sebab, kekayaan dan nilai tidak memastikan seseorang bisa bahagia dalam hidupnya. Buktinya, Jepang yang merupakan negara dengan tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi yang tinggi, tetapi angka bunuh dirinya tercatat nomor 1 sedunia. (kompas.com)

Di sisi lain, manusia tidak pernah puas dengan apa yang telah ia gapai. Sifat asli manusia jika tidak terkendali dengan baik adalah haus akan prestasi dan kekayaan. Walaupun memiliki kekayaan sebanyak gunung pun, karena kerakusannya, ia akan tetap berusaha mendapatkan yang lebih dan lebih lagi. Sifat ini jugalah yang selama ini menjadi bom waktu, merusak masyarakat secara perlahan.

Misalkan saja kasus broken home. Broken home selama ini menjadi penyebab terbanyak gangguan mental, terutama pada generasi muda. Dikutip dari laman halodoc.com, broken home pada anak dapat menimbulkan gangguan mental, termasuk depresi berat. Sedangkan 73,7 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di rumah, baik kekerasan secara emosional atau pun fisik. Sebagian kekerasan tersebut diakibatkan oleh broken home (https://tirto.id/cAnG)

Broken home itu sendiri diakibatkan karena berbagai faktor yang tidak terlepas dari nilai materi. Ayah bekerja, tetapi hasil jerih payahnya terasa tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Ibu pun bekerja dengan alasan membantu memenuhinya, atau dengan alasan agar hidup mereka bisa lebih mapan.

Alhasil, anak ditinggalkan di rumah dengan pembantu, jarang bertemu kedua orang tua. Kasih sayang dan perhatian pun tidak ia dapatkan. Akhirnya anak tersebut menjadi pribadi yang tertutup, tidak jarang malah terikut arus pergaulan yang semakin merusaknya dari sisi mana pun. Ia juga bisa menjadi anak nakal yang suka melampiaskan emosinya dengan hal-hal berbahaya, seperti menyakiti diri sendiri, tawuran, membuli orang lain, dan lainnya. 

Belum lagi, kedua orang tuanya yang tidak menjalin hubungan baik satu sama lain karena sibuk pada karier sendiri-sendiri pun rentan terlibat pertengkaran kecil maupun besar dan kerap kali akan berakhir pada perceraian. Karenanya, lagi-lagi anak pun menjadi korban.

Semua peristiwa tersebut tidak lain terjadi karena standar materi yang mereka junjung tinggi. Standar materi ini merupakan buah dari penerapan sistem kapitalis dalam kehidupan. Maka, untuk menyelesaikan masalah kerusakan mental, tidak cukup dengan mengedukasi masyarakat, menyelesaikan masalah broken home setiap keluarga, menyediakan layanan konseling, dan semisalnya. Namun, penyelesaian tersebut harus secara mendasar, yaitu mengganti sistem yang menyebabkan seluruh problematika sebelunya terjadi.

Selama kapitalisme, dengan standar kehidupan materialistiknya masih mencengkram kehidupan umat manusia, maka masalah gangguan mental pun tidak akan pernah terselesaikan. 

Sejatinya, negara pun bertanggung jawab menjadi penyebab maraknya gangguan mental hari ini. Negara lalai dalam meyediakan fasilitas pendidikan, menjamin kesejahteraan setiap keluarga, sehingga banyak keluarga yang tertuntut pencapaian ekonomi tinggi dan melupakan keluarga terutama ibu yang melupakan peran utamanya untuk mendidik generasi.

Sebab, dalam kapitalisme, negara  hanya berfungsi sebagai regulator, bukan pelayan. Maka, dia hanya memberikan sarana tanpa perlu memerhatikan apakah setiap orang telah mendapatkan layanan yang baik dan mencukupi.

Islam Sebagai Solusi

Hal ini sangat berbeda dengan negara Islam. Dalam Islam, kepala negara berfungsi sebagai ra’in atau penggembala. Sebagaimana penggembala, kepala negara bertanggung jawab atas apa yang dibutuhkan oleh setiap gembalaannya, baik dari kesehatan hingga keselamatan. Kepala negara akan bertanggung jawab di hadapan Allah Swt. terkait apa pun yang terjadi kepada setiap individu rakyatnya.

Rasulullah saw. bersabda yang artinya, “setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” 

Islam juga menetapkan kebahagian sejati adalah saat mendapatkan rids Allah Swt., bukan materi. Dengan begitu, manusia terhindar dari tuntutan dunia materialistik yang menyesakkan.

Dengan standar hidup demikian, manusia akan berusaha untuk taat semaksimal mungkin kepada Allah Swt., termasuk taat pada ketentuan bahwa ibu adalah pendidikan pertama bagi anak. Karenanya pula, negara pun akan mengatur bagaimana ibu agar bisa memenuhi peran tersebut dengan baik dan tidak tersibukkan dengan perkara lain, termasuk ekonomi.

Oleh karenanya, hanya Islam yang berhak menggantikan kapitalisme sebagai konsep hidup dunia hari ini. Kapitalisme sejatinya adalah masalah pokok penyebab kerusakan mental di seluruh dunia. Maka, ia harus diganti dan Islamlah yang bisa menggantikannya. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh: Wafi Mu’tashimah
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 15 Oktober 2022

Jadikan Manusia Bermental Rapuh, MMC: Sistem Kapitalisme Gagal Atur Kehidupan

Tinta Media - Muslimah Media Center (MMC) mengungkap kegagalan sistem kapitalisme dalam mengatur kehidupan, sehingga menciptakan manusia-manusia bermental rapuh.

“Tidak bisa dipungkiri bahwa kesehatan mental telah menjadi masalah kesehatan yang belum terselesaikan di tengah-tengah masyarakat baik di tingkat global maupun nasional. Keberadaan Hari Kesehatan Mental Sedunia yang ada sejak tahun 1992 menunjukkan bahwa sistem kapitalisme gagal dalam mengatur kehidupan, sehingga menciptakan manusia-manusia bermental rapuh," tutur narator dalam serba-serbi MMC: Peringati Hari Mental Sedunia Penyakit Mental Masih Pelik dalam Kapitalisme di kanal youtube Muslimah Media Center, Senin (10/10/2022).

Menurutnya, kapitalisme dengan asasnya sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan membuat banyak orang termasuk kaum muslimin tidak memahami tujuan hidupnya.

“Masyarakat sekuler merasa bahwa hidup ini hanyalah mencari kesenangan dunia yang berstandar pada materi sehingga ketika materi, harga dan jabatan, prestis, tidak mampu digapai. Masyarakat akan gagal dan merasa disingkirkan dari hiruk-pikuk kehidupan maka cepat ataupun lambat banyak orang yang akan mengalami depresi dan putus harapan, begitupun ketika ditimpa ujian atau kesulitan hidup,” bebernya. 

"Masyarakat sekuler tidak akan mampu menanganinya dengan cara yang benar justru memilih bunuh diri," tambah narator.

Selain itu sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi negara ini, menurutnya, telah melegalkan aturan yang dibuat oleh manusia yang serba terbatas dan sarat akan kepentingan. "Penguasa akan membuat kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat namun menguntungkan golongannya dan elit kapital, kehidupan rakyat semakin sempit di tengah naiknya harga-harga kebutuhan hidup, PHK masalah kerja terjadi di mana-mana, tidak ada jaminan negara bagi rakyat. Rakyat seakan dibiarkan sendiri menghadapi kesulitan hidup," terangnya. 

“Penguasa dalam sistem kapitalisme hanya bertindak sebagai regulator kebijakan, bukan pelayan umat. Maka tidak heran meski berpuluh-puluh tahun hari kesehatan mental diperingati justru isu kesehatan mental makin merajalela karena sistem kapitalisme-lah yang merupakan pabrik penyakit mental itu sendiri,” paparnya.

Sistem Islam

Hal ini sangat berbeda dengan negara yang menerapkan Islam secara sempurna, lanjut narator, negara khilafah, karena hanya Islam satu-satunya agama dan sistem hidup yang lurus sesuai fitrah penciptaan, menyejahterakan dan mampu mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. 

"Pemimpin dalam Islam akan benar-benar memosisikan diri sebagai ra’in (pengurus urasan rakyat) dan bertanggung jawab karena ia yakin dan menyadari betul bahwa kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat," ungkapnya.

“Khilafah melalui sistem pendidikan islam berbasis akidah mampu mencetak orang-orang yang bermental kuat kuat dan berjiwa kepemimpinan. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk syaksiyyah islamiyyah (kepribadian islam) dan mencetak para ahli, baik ilmu agama maupun ahli ilmu terapan. Pembentukan kepribadian islam akan membentuk masyarakat memiliki keimanan yang kokoh dan senantiasa terikat dengan syariat islam maka masyarakat yang terbentuk adalah orang-orang shalih dan menstandarkan kebahagiaan pada ridha Allah semata,” jelas narator panjang.

Menurutnya, pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia sehingga negara khilafah bertanggungjawab untuk mewujudkan pendidikan terbaik yang mudah diakses setiap rakyatnya.

Narator mengutip kitab Mukaddimah Ad-Dustur UUD negara Islam dalam pasal 173 yang menyebutkan, “negara wajib menyelenggarakan pendidikan berdasarkan apa yang dibutuhkan manusia di dalam kancah kehidupan bagi setiap indivdu baik laki-laki maupun perempuan dalam dua jenjang pendidikan; jenjang pendidikan dasar dan jenjang pendidikan menengah. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melanjutkan pendidikan secara cuma-cuma.”

Berjalanannya sistem pendidikan yang demikian, kata Narator,  tentunya harus didukung oleh sistem ekonomi yang kuat. Khilafah akan menerapkan sistem ekonomi islam berbasis Baitul mal sehingga mendapatkan sumber-sumber pemasukan negara bagi pembiayaan pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Biaya pendidikan akan diambil dari pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara (fai’ dan kharaj). 

"Inilah gambaran sistem islam yang mampu mencetak generasi cemerlang bermental kokoh selama 13 abad lamanya. Hanya dengan penerapan sistem Islam di bawah naungan khilafah rakyat akan sejahtera, senantiasa dalam ketaatan dan bahagia hakiki,” pungkasnya.[] Khaeriyah Nasruddin

Minggu, 03 Juli 2022

Hampir Satu Milyar Penduduk Dunia Alami Gangguan Mental, Aktivis Muslimah: Saatnya Akhiri Loyalitas kepada Sistem Global Kapitalisme


Tinta Media - Tanggapi rilis WHO tentang hampir satu milyar penduduk dunia alami gangguan mental, Aktivis Muslimah Ustazah Iffah Ainur Rochmah menyarankan kepada umat Islam untuk mengakhiri loyalitas (kepercayaannya) kepada sistem global kapitalisme.

"Maka ini adalah sebuah data yang mestinya mengingatkan kita semua dan menampar dunia pada hari ini untuk mengakhiri loyalitas (kepercayaannya) kepada sistem global kapitalisme," tuturnya kepada Tinta Media, Senin (27/6/2022).

Menurutnya, pemicu dari munculnya gangguan mental yang dialami hampir semilyar penduduk dunia ini adalah pemberlakuan aturan-aturan di dalam sistem yang berlaku hari ini, yaitu sistem kapitalisme.

"Pemberlakuan sistem ekonomi menghasilkan kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang luar biasa ekstrimnya," tandasnya.

Ia memandang, pemberlakuan sistem sosial hari ini, menghasilkan keluarga ataupun hubungan antar masyarakat yang luar biasa sulit untuk mengharmonisasi, bahkan kemudian juga menghasilkan persoalan-persoalan moralitas seperti adanya kekerasan seksual karena sangat banyaknya paparan aurat yang terbuka, kebebasan seksual yang dipertontonkan, dan seterusnya.

Demikian pula, lanjutnya, ini disokong oleh media yang tentu saja tidak bisa ada media yang sampai ke tengah-tengah masyarakat, kecuali diizinkan oleh sistem yang ada. "Karena itu, benar ini adalah satu bencana bagi masyarakat dunia," tegasnya.

Namun, ia menyampaikan bahwa harus disadar, termasuk WHO tidak boleh hanya menginformasikan kesehatan mental banyak orang itu terganggu sampai sekian banyak. Tapi mestinya PBB juga objektif menyatakan bahwa ada problem sistemik, karena ini sesungguhnya gampang sekali disimpulkan dari apa yang berjalan dari sistem hari ini.

"Belum lagi apa yang dinyatakan oleh  WHO ada ketidakmampuan orang-orang yang punya masalah kesehatan mental ini untuk mengakses layanan kesehatan. Nah ini juga problem sistemik," imbuhnya.

Ia menilai tidak semua layanan kesehatan bisa diperoleh dengan mudah. Karena semuanya berbayar. Kalau ingin mendapatkan fasilitas lebih, tentu saja harus membayar lebih.

"Nah apa pelajaran yang bisa kita ambil?  tentu saja ini mengingatkan kita semua bahwa sesungguhnya memang semua aturan kehidupan, sistem yang tidak berlandaskan kepada hukum-hukum Allah, tidak dilandaskan kepada tuntunan Ilahi. Padahal Allah sudah memberikan tuntunan-Nya, tapi diabaikan bahkan ditolak mentah-mentah," sesalnya.

Maka, ujar Ustazah Iffah, yang terjadi adalah kerusakan, kesengsaraan, bagi umat manusia. Seharusnya ini mendorong kita untuk mencari sistem alternatif yang sesungguhnya itu bisa didapatkan di dalam sistem Islam. Karena Islam punya tuntunan yang lengkap untuk mengatur semua aspek kehidupan.

"Dan dulu, praktik pemberlakuan sistem Islam ini, sudah dicontohkan oleh para Khulafa. Khulafaurrosyidin maupun para khalifah. Dan kesehatan mental itu bisa ditekan sedemikian rupa bahkan orang yang mengalami gangguan kesehatan mental itu juga bisa diselesaikan dengan treatment atau dengan perlakuan-perlakuan yang diberikan oleh sistem yang ada," paparnya.

Ustazah Iffah menyampaikan, ada satu tempat di mana masih ada jejak perawatan terhadap gangguan kesehatan mental yang dulu disediakan oleh sistem Khilafah yaitu oleh Khilafah Utsmaniyah.

"Di mana di situ negara punya tanggung jawab penuh, bahwa ada orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan mental yang jumlahnya mungkin tidak banyak, tapi negara menyediakan fasilitas untuk menangani mereka agar tidak mengganggu kehidupan mereka, berikutnya agar tidak menjadi hal yang buruk bagi masyarakat," pungkasnya.
[]'Azimatul Azka

Sabtu, 02 Juli 2022

Hampir Satu Milyar Penduduk Dunia Alami Gangguan Kesehatan Mental, Ustazah Iffah: Indikasi Sistem Saat Ini Banyak Persoalan


Tinta Media - Menanggapi rilis WHO yang menyampaikan bahwa hampir satu milyar penduduk dunia alami gangguan kesehatan mental, Aktivis Muslimah Ustazah Iffah Ainur Rochmah mengungkapkan, hal itu sebagai indikasi atau penanda bahwa sistem yang berjalan di dunia ini menghasilkan banyak persoalan.

"Nah ini kita bisa jadikan sebagai indikasi atau sebagai penanda bahwa sistem yang berjalan di dunia ini menghasilkan banyak persoalan," tuturnya kepada Tinta Media, Senin (27/06/2022).

Ia mengurai berbagai persoalan sistemik yang muncul. Mulai dari persoalan ekonomi,  persoalan keluarga (berupa tidak harmonisnya hubungan keluarga, retaknya keluarga), kemudian tidak harmonisnya hubungan antar individu-individu di masyarakat, persoalan sosial, dan persoalan politik  yang terjadi karena pengaturan berbagai urusan kehidupan masyarakat tidak diselesaikan dengan baik.

Tidak Ada Harmonisasi

Menurutnya, munculnya gangguan kesehatan mental paling besar diakibatkan oleh tidak adanya harmonisasi. Baik harmonisasi di dalam hubungan keluarga, di dalam hubungan sosial antar individu masyarakat maupun kemudian terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan masyarakat khususnya kebutuhan ekonomi, kebutuhan layanan kesehatan, dan seterusnya.

"Coba kita bayangkan ketika tidak baik-baik saja atau tidak harmonis, kondisi tidak ideal dalam kehidupan berkeluarga, maka kita bisa saksikan ada anak-anak yang sejak kecil menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar atau konflik, maka ini menjadi satu pukulan mental tersendiri bagi anak-anak," paparnya.

Bahkan, lanjutnya, di usia dewasa banyak juga orang yang kemudian mengatakan, "Oh saya tidak mau berumah tangga, karena saya tidak ingin nanti mengalami kondisi yang sama dengan orang tua," kutipnya.

Kekerasan dalam Rumah Tangga

"Apalagi kalau mereka melihat terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, misalnya adanya kekerasan fisik yang dilakukan oleh keluarganya baik kepada ibu ataupun kepada anak-anak. Ini juga menjadi trauma tersendiri dan mengakibatkan gangguan mental, gangguan kesehatan mental pada anak-anak," terangnya.

Belum lagi, ungkap Ustazah Iffah, kalau kita lihat karena banyaknya anak-anak itu terpapar content-content kekerasan  atau mereka juga menyaksikan, mengalami langsung menjadi korban kekerasan itu di dalam keluarganya, maka mereka menduplikasi, mereka meniru apa yang dilakukan oleh orang-orang dewasa di sekitar mereka, yang mereka tonton di media, maka ini juga membuat mereka melakukan buliying (perundungan) serupa kepada yang lainnya, belum lagi soal kekerasan seksual, dan seterusnya.

"Nah ini memang berakibat pada gangguan-gangguan kesehatan  mental, baik pada anak-anak di usia tumbuh kembang mereka, ataupun pada saat mereka di usia yang lebih dewasa," ujarnya.

Mereka yang pada usia anak-anak mengalami kekerasan seksual misalnya, maka di usia dewasa juga akan mengalami trauma tersendiri atau bahkan ada sebagian yang disampaikan oleh riset-riset yang ada, bahwa pelaku kekerasan seksual bahkan predator seksual itu adalah orang-orang yang dulunya di masa kecil, mereka mengalami kekerasan serupa.

Kekerasan Ekonomi

Ustazah Iffah memandang, orang yang mengalami atau orang yang menghadapi kehidupan yang sangat sulit secara ekonomi (secara ekonomi mereka mengalami kesulitan), mereka tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, maka ada semacam persoalan gangguan kesehatan mental di usia yang lebih dewasa.

"Mereka seperti ingin take revenge (seperti ingin balas dendam). Kita bisa lihat beberapa waktu yang lalu kasus crazy rich 'yang melakukan' bisnis penipuan, trading, kemudian sejenisnya, itu adalah orang-orang yang dia katakan, 'Dulu saya punya orang tua yang tidak bisa memenuhi kebutuhan saya, secara ekonomi sangat sulit'," kutipnya.

Ia menilai ungkapan 'secara ekonomi sangat sulit' itu tidak dipahami sebagai hal yang tidak bisa diterima secara mudah, karena mereka melihat ada orang lain yang bisa memiliki apa saja. Jadi, ada kesenjangan yang luar biasa. Orang yang kaya sangat kaya, orang yang miskin sangat juga miskin.

"Nah, ini juga menyebabkan gangguan gangguan pada kesehatan mental. Nah, otomatis kalau kita merunut dari beberapa contoh kasus tadi, kita bisa lihat memang problem kesehatan mental ini bukan problem yang bersifat subjektif dialami oleh individu-individu yang tak mampu menghadapi msalahnya, bukan hanya itu. Tapi ini adalah problem sistemik," pungkasnya. []'Aziimatul Azka
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab