Tinta Media: Mengelola
Tampilkan postingan dengan label Mengelola. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mengelola. Tampilkan semua postingan

Jumat, 16 Februari 2024

Menakar Keseriusan Negara Mengelola Potensi Migas Raksasa


Tinta Media - Tak diragukan lagi, potensi Indonesia dari segi kekayaan alamnya sangat melimpah, baik berupa tambang migas, kelautan, dan lain-lain.

Menurut Shinta Damayanti selaku sekretaris SKK Migas (Satuan Kerja khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas bumi), sampai saat ini terdapat 128 area cekungan (basin) migas yang terdeteksi di Indonesia, sebanyak 68 cekungan  belum di eksplorasi. Sekretaris SKK ini juga menyampaikan bahwa SKK migas berhasil menemukan dua sumber gas besar atau giant discovery di tahun 2023.

Berdasarkan pernyataan dari sekretaris SKK, kita bisa melihat bahwa potensi migas di Indonesia sangat luar biasa, baik yang sudah dieksplorasi maupun yang belum. Potensi raksasa ini harusnya mendapatkan perhatian besar dari negara untuk mengelolanya.

Sayangnya, negara yang tegak di atas ideologi kapitalisme saat ini masih mengharapkan kehadiran para investor dalam hal pengelolaan migas ini, baik investor swasta maupun asing. 

Konsep pengelolaan SDA versi kapitalisme yang membuka kran besar bagi para investor asing tentu akan membuat negara ini rugi besar karena seolah penguasaan SDA migas ada pada investor asing. Negara hanya berperan sebagai regulator, yakni yang menyediakan regulasi untuk para investor.

Konsep Sistem Ekonomi Islam dalam Pengelolaan Migas

Sektor tambang migas yang depositnya cukup banyak dalam sistem ekonomi Islam masuk kategori milik umum atau milik rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. 

"Manusia berserikat  (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api." (HR Abu Dawud). 

Dalam penuturan Anas ra. Hadis tersebut ditambah dengan redaksi, "Wa tsamanuhu haram (harganya haram)". Artinya, dilarang untuk memperjualbelikan. 

Barang-barang tambang seperti minyak bumi beserta turunannya, seperti bensin, gas, dan lain-lain, termasuk listrik, hutan, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai dan laut, semuanya telah ditetapkan oleh syariah sebagai milkiyah al-'ammah (kepemilikan umum). Negara mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat. Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dilakukan dengan dua cara, yaitu:

Pertama, pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat. Api, air, padang rumput, jalan, laut, samudra, sungai besar, dan lain-lain bisa dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu. Namun, negara tetap berperan dalam melakukan pengawasan pemanfaatan milik umum ini agar tidak menimbulkan kemadaratan bagi masyarakat. 

Kedua, pemanfaatan di bawah pengelolaan negara. Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan  mudah dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat karena membutuhkan keahlian, teknologi tinggi, serta biaya besar seperti minyak bumi, gas alam dan barang tambang lainnya dikelola oleh negara. Negara akan melakukan proses eksplorasi bahan tersebut sekaligus akan mengelolanya. Hasil dari pengelolaan ini akan dimasukkan ke kas baitul mal, kemudian didistribusikan  pendapatannya sesuai dengan ijtihad khalifah demi kemaslahatan umat.

Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara boleh menjualnya kepada rakyat, tetapi hanya sebatas untuk menutupi biaya produksi. Negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat untuk konsumsi rumah tangga dengan mendasarkan pada asas mencari keuntungan semata. Jika dijual kepada pihak luar negeri, negara boleh mencari keuntungan semaksimal mungkin.

Adapun keuntungan penjualan kepada rakyat untuk kepentingan produksi komersial dan ekspor ke luar negeri digunakan untuk:

Pertama, dibelanjakan untuk semua keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran, dan distribusi. 

Kedua, dibagikan kepada kaum muslimin atau seluruh rakyat. Negara boleh membagikan kepemilikan umum berupa listrik, air minum, gas, minyak, dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya, atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan rakyat. Barang-barang tambang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya tembaga, batu bara boleh dijual ke luar negeri dan keuntungannya termasuk keuntungan pemasaran dalam negeri dibagikan ke seluruh rakyat, dalam bentuk uang, barang, atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah sakit gratis dan pelayanan umum lainnya.

Maka, sudah seharusnya negara bersungguh-sungguh dalam mengelola potensi migas raksasa yang dimiliki Indonesia agar kesejahteraan benar-benar bisa dirasakan oleh setiap individu masyarakat. Tentunya, kesungguhan negara hanya akan tampak tatkala negara menjadikan Islam sebagai sistem atau aturan dalam seluruh aspek kehidupan, tak hanya dalam berekonomi, tetapi juga dalam berpolitik, dan seluruh aspek lainnya.

Wallahu 'alam bishshawab.



Oleh: Aisyah Ummu Azra 
(Aktivis Muslimah) 

Kamis, 11 Agustus 2022

Begini Cara Syariah Mengelola Hutan

Tinta Media - Pakar Fikih Kontemporer KH M Shidiq al-Jawi, S.Si., M.S.I., (USAJ)  menjelaskan delapan  ketentuan syariah Islam terpenting dalam pengelolaan hutan.

“Pertama, syariah telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat, yaitu hutan (al-ghaabaat) termasuk dalam kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘ammah),” tuturnya di akun telegram pribadinya, Selasa (9/8/2022).

Ketentuan ini , lanjut USAJ, didasarkan pada hadits Nabi SAW riwayat Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.”

“Kedua, pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja, bukan oleh pihak lain, misalnya swasta atau asing,” terangnya.

Ketiga, jelas USAJ, pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi, sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi (ditangani pemerintahan propinsi/wilayah).

“Meskipun pengelolaan hutan menurut syariah adalah di tangan negara, tidak berarti semua urusan hutan ditangani oleh pemerintah pusat (Khalifah),” tegasnya.

USAJ menambahkan, hal-hal yang menyangkut kebijakan politik, seperti pengangkatan Dirjen Kehutanan, dan kebijakan keuangan (maaliyah), ada di tangan Khalifah sebagai pemimpin pemerintah pusat.

“Sedangkan hal-hal yang menyangkut administratif (al-idariyah) dalam pengelolaan hutan, ditangani oleh pemerintahan wilayah (propinsi). Misalnya pengurusan surat menyurat kepegawaian dinas kehutanan, pembayaran gaji pegawai kehutanan, pengurusan jual beli hasil hutan untuk dalam negeri, dan sebagainya,” imbuhnya.

Keempat, terang  USAJ, negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam Baitul Mal (Kas Negara) dan mendistribusikan dananya sesuai kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum-hukum syariah.

“Segala pendapatan hasil hutan menjadi sumber pendapatan kas negara (Baitul Mal) dari sektor Kepemilikan Umum. Mengenai distribusi hasil hutan, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariah Islam,” tandasnya.
 
Kelima, lanjut  USAJ, negara boleh melakukan kebijakan hima atas hutan tertentu untuk suatu kepentingan khusus.

“Hima artinya kebijakan negara memanfaatkan suatu kepemilikan umum untuk suatu keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan jihad fi sabilillah,” jelasnya.

Keenam, negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan. Dan ketujuh, negara wajib mencegah segala bahaya (dharar) atau kerusakan (fasad) pada hutan.

“Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang-cabang peraturan teknis yang penting. Antara lain, negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan. Misalnya teknologi TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Negara wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati (biodiversity), melakukan penelitian kehutanan, dan sebagainya,” jelasnya.
 
Kedelapan, lanjutnya, negara berhak menjatuhkan sanksi ta’zir yang tegas atas segala pihak yang merusak hutan.

“Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan di luar batas yang dibolehkan, dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi ta’zir yang tegas oleh negara (peradilan),” tandasnya.

Ta’zir ini, jelas USAJ,  dapat berupa denda, cambuk, penjara, bahkan sampai hukuman mati, tergantung tingkat bahaya dan kerugian yang ditimbulkannya.

“Prinsipnya, ta’zir harus sedemikian rupa menimbulkan efek jera agar kejahatan perusakan hutan tidak terjadi lagi dan hak-hak seluruh masyarakat dapat terpelihara. Seorang cukong illegal loging, misalnya, dapat digantung lalu disalib di lapangan umum atau disiarkan TV nasional,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab