Berharap Pemimpin yang Mengayomi
Tinta Media - Sudah jatuh, tertimpa tangga. Angin berputar, ombak bersabung. Ungkapan yang layak disematkan bagi kita, rakyat Indonesia. Setelah dua tahun berjibaku melawan wabah dengan segala kondisi yang sulit, sekarang kita berhadapan dengan kondisi yang sama beratnya.
Hari Sabtu, tanggal 3 September lalu, Presiden dengan jajaran menterinya mengumumkan kenaikan Pertalite, Solar, dan Pertamax. Alasan pun dikemukakan oleh mereka. APBN sudah terlalu berat menanggung subsidi untuk BBM yang bila dilanjutkan, diperkirakan akan mencapai 502 triliun rupiah. Itu sudah mengambil porsi besar pendapatan APBN. Sebagai ganti subsidi BBM yang dianggap oleh pemerintah salah sasaran, akan diberikan Bantuan Langsung Tunai kepada 24,6 juta masyarakat miskin sebesar 24,17 triliun.
Tentu mayoritas masyarakat menolak kenaikan BBM ini. Bhima Yudhistira, Ekonom Indef menilai kenaikan BBM yang diputuskan pemerintah adalah mekanisme yang tidak kreatif. Ini adalah ungkapan yang mewakili isi hati ratusan juta rakyat Indonesia. Langkah menaikkan BBM akan menimbulkan efek domino yang menakutkan, seperti PHK masal, kenaikan harga pangan, transportasi, dan lainnya. Para ekonom memperkirakan inflasi tahun ini akan mencapai angka 7%.
Pemerintah juga tutup mata, padahal sejak ancang-ancang menaikkan harga BBM, Badan Pusat Statistik sudah mengingatkan bahwa jumlah orang miskin akan bertambah 1 juta orang karena kenaikan BBM. Bantuan pengganti subsidi sebesar 150 ribu setiap bulannya pasti tidak akan bisa menutupi harga kebutuhan pokok yang semakin melangit.
Kebijakan khas kapitalis tengah dijalankan oleh pemerintah, yaitu mencabut subsidi, menaikkan harga BBM, mengabaikan hak rakyat untuk memenuhi kebutuhannya. Semua dilakukan bukan untuk rakyat, tetapi untuk memuluskan liberalisasi migas dari hulu sampai hilir. Rakyat ramai-ramai menyanyikan lagu "Kumenangiiis ..." atas ketidakpedulian penguasa akan penderitaan rakyatnya.
Padahal, semua sektor kekayaan ada di Indonesia. Hutan, gas alam, emas, minyak, hasil pertanian, perikanan ada di negeri kita. Hasilnya melimpah. Akan tetapi, semua habis diserahkan kepada swasta dan asing. Rakyat hanya gigit jari.
APBN hanya bisa mengambil pemasukan dari pajak dan utang. Sekali lagi, inilah konsekuensi sistem ekonomi kapitalis, membebaskan sumber daya alam tidak terbatas dimiliki oleh swasta dan asing.
Tentu kita merindukan pemimpin yang berpihak kepada rakyat, memikirkan, dan menyejahterahkan rakyatnya. Namun, hal itu mustahil kita temukan di sistem kapitalis. Tidak seperti apa yang terjadi di masa kejayaan peradaban Islam. Beberapa Khalifah terkenal kisahnya karena berhasil menyejahterahkan seluruh rakyat. Hingga tidak ada satu pun mustahiq (orang yang berhak menerima zakat).
Kehidupan dalam sistem Khilafah, mulai dari Kholifah pertama hingga ke-Khilafahan terakhir, Khilafah Turki Utsmani, bukan hanya berhasil menyejahterahkan rakyat, tetapi juga aktif membantu negara-negara lain yang sedang tertimpa bencana. Semua itu bukan semata karena mereka kreatif, tetapi karena berharap rida Rabb-nya dengan menegakkan syariat-Nya.
Oleh: Khamsiyatil Fajriyah
Sahabat Tinta Media