Tinta Media: Menderita
Tampilkan postingan dengan label Menderita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Menderita. Tampilkan semua postingan

Jumat, 01 November 2024

Wakil Rakyat Sejahtera, Rakyat Menderita



Tinta Media - Pengalihan Rumah Jabatan Anggota (RJA) DPR RI periode 2024-2029 menjadi tunjangan perumahan dinilai ICW (Indonesian Corruption Watch) mempersulit pengawasan  dalam penggunaan dana tersebut. Terlebih, tunjangan ini ditransferkan secara langsung ke rekening pribadi masing-masing dari anggota dewan. Minimnya akses pengawasan tersebut akan berdampak pada pemborosan anggaran dan adanya potensi penyalahgunaan anggaran. 

Selain itu, upaya pengalihan ini tidak memiliki perencanaan sehingga diduga hanya untuk memperkaya anggota DPR saja tanpa memikirkan kesehjateraan dan nasib rakyat. Terlebih, tunjangan rumah dinas ini berasal dari anggaran negara yang bersumber dari pajak masyarakat. 

Karena itu, ICW mendesak Sekertaris Jendral DPR Dr. Ir. Indra Iskandar, M.Si., M.I.Kom. untuk mencabut surat Setjen DPR nomor B/733/RT.01/09/2024 yang salah satunya berkaitan dengan tunjangan perumahan. 

Namun, Indra mengatakan bahwa uang tunjangan perumahan akan tetap dimasukan dalam komponen gaji sehingga diberikan setiap bulan untuk para anggota DPR RI. Menurut Indra, hal itu sudah menjadi hak para anggota dewan untuk menggunakan tunjangan tersebut, (tirto.id, Sabtu, 12/10/2024).

Adanya tunjangan rumah dinas bagi anggota DPR ini menambah panjang daftar fasilitas yang diterima oleh anggota dewan, mulai dari mobil, rumah, serta tunjangan-tunjangan lainnya. Tentunya, rakyat berharap dengan banyaknya tunjangan yang diterima akan semakin memudahkan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat. 

Rakyat berharap, para anggota dewan bisa menyampaikan aspirasi bagi kesehjateraan mereka, menjalankan peran dan fungsi dengan lebih baik sesuai dengan apa yang diharapkan rakyat. Namun, realitanya anggota dewan periode saat ini belum bisa mewujudkan harapan rakyat. Kerja mereka pun seakan tidak optimal. 

Seharusnya anggota dewan menjadi wakil dari suara rakyat. Kenyataannya, mereka hanya mencari kekayaan pribadi dan lupa akan peran serta tugasnya. Mereka berlomba-lomba ingin menjadi anggota dewan dengan menggunakan berbagai cara agar  terpilih, entah dengan cara halal ataupun haram.

Mereka membuat janji-janji dan iming-iming manis kepada rakyat. Namun, kita lihat bagaimana mereka lupa akan janji-janji tersebut ketika sudah mendapatkan jabatan. Mereka tidak peduli, bahkan membuat banyak kebijakan yang merugikan dan menyengsarakan rakyat. 

Tunjangan rumah jabatan bagi anggota dewan ini mau tidak mau menjadi satu pemborosan anggaran negara. Padahal, anggaran negara ini bersumber dari pajak rakyat. Kita tahu, rakyat semakin menderita dengan banyaknya pajak dari berbagai aspek. Namun, ternyata hasil pajak itu malah diberikan untuk kenyamanan anggota dewan. 

Terlebih, muncul persoalan lain. Adanya tunjangan ini semakin mempersulit pengawasan penggunaan dana tersebut karena ditransfer ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan. Maka, wajar jika ada anggapan bahwa tunjangan ini hanya memperkaya mereka. 

Ironisnya, tunjangan tersebut diberikan di tengah realita rakyat yang saat ini masih kesulitan untuk memiliki rumah. Mereka hidup dalam penderitaan dan jauh dari kata sejahtera

Inilah yang terjadi pada sistem saat ini, yaitu kapitalisme yang menyebabkan begitu banyak ketimpangan. Sistem ini memisahkan agama dari kehidupan. Tolok ukur kebahagian dalam sistem ini adalah terpenuhinya kebutuhan jasadiah atau materi. Maka, mereka akan berlomba-lomba mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan nasib orang lain, baik dengan jalan halal ataupun haram. 

Mereka sering menyalahgunakan jabatan untuk meraih tujuan yang diharapkan. Wakil rakyat bukanlah sebagai wadah aspirasi dalam menyuarakan suara rakyat. Namun, sebagai ladang guna memperkaya diri pribadi. Mereka sudah tidak peduli bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban.

Dalam sistem Islam, ada Majelis Umat yang berperan sebagai wakil rakyat. Namun, peran dan fungsinya jelas berbeda dengan anggota dewan dalam sistem demokrasi. Majelis Umat murni mewakili umat untuk menyampaikan aspirasi dan suara rakyat atas dasar keimanan, ketakwaan kepada Allah Swt, serta kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi pelayan dan penyambung lidah rakyat. Mereka tidak menetapkan undang-undang atau hukum.

Dalam Islam, suatu jabatan adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Amanah ini dijalankan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan kepentingan rakyat karena sejatinya penguasa adalah pelayan bagi rakyat. 

Dalam Islam, diatur tentang harta dan kepemilikan, serta kemanfaatannya. Kepemilikan harta dibagi menjadi tiga.

Pertama, harta milik individu, seperti sawah, kebun, dan ladang. 

Kedua, harta milik rakyat secara umum, yaitu sumber daya alam yang dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan untuk rakyat guna memenuhi semua kebutuhan hidup rakyat. 

Ketiga, harta milik negara, seperti kharaj, jizyah, fa'i, dan sejenisnya. 

Sistem ekonomi Islam akan memberikan jaminan kesehjateraan dan keadilan bagi seluruh rakyat. Tidak ada lagi ketimpangan  dalam segala aspek kehidupan. Dalam pengaturan ini, harta milik rakyat dan negara tidak bisa dimiliki dan diekpoitasi oleh individu. Maka, hanya dengan menerapkan sistem Islam secara kaffahlah semua persoalan akan mendapatkan solusi. Wallahu a'lam bish shawwab



Oleh: Iske
Sahabat Tinta Media

Rabu, 21 Desember 2022

Pemimpin Berpesta, Rakyat Menderita

Tinta Media - Di tengah kemalangan yang menimpa sebagian masyarakat, seorang pejabat tertinggi negeri ini melangsungkan pernikahan anaknya dengan hajatan dan resepsi yang begitu mewah, tak hanya mewah acara ini pun memanfaatkan sejumlah fasilitas negara untuk alasan keamanan. okezone.com (11/12/2022) 

Sekitar 10.800 personel gabungan TNI-Polri diterjunkan untuk mengamankan pernikahan tersebut, bahkan anjing K-9 juga dilibatkan untuk melaksanakan tugas sterilisasi dan deteksi bahan peledak selama prosesi tasyakuran. Ratusan CCTV juga digunakan untuk membantu pengamanan resepsi, bahkan beberapa petinggi lainnya memantau secara langsung acara resepsi unduh mantu. Selain itu, sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju juga membantu acara pernikahan tersebut. okezone.com (10/11/2022). 

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengkritik hal ini.

"Tugas utama seorang menteri adalah membantu pemerintah dalam mengurus negara, bukan dalam hal mengurusi hajat pribadi," menurutnya. 

Hal senada juga diungkapkan oleh salah seorang warganet yang mengaku wartawan. Alasan mengapa dia tidak meliput acara pernikahan tersebut karena menurutnya keluarga pejabat ini dinilai tidak memiliki empati kepada rakyat yang sedang susah. 

Pernikahan mewah di tengah penderitaan rakyat yang menjadi korban gempa, PHK, dan stunting, sepatutnya tidak terjadi. Penguasa harusnya memiliki kepekaan dan empati yang tinggi terhadap kondisi rakyat. 

Pemimpin Demokrasi, Krisis Empati 

Dalam sistem demokrasi, sifat kepemimpinan tersebut cenderung terkikis habis. Sekulerisme yang menjadi asas sistem ini berprinsip memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dalam aktivitas dan tanggung jawab kepemimpinan. 

Sejatinya, agama berfungsi untuk membentuk, menumbuhkan, dan menjaga sifat-sifat kebaikan pada sosok pemimpin terhadap rakyatnya. Jika agama justru dijauhkan dari kepemimpinan negara, maka akan lahir penguasa yang tidak merasa sungkan atau bersalah memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. 

Demokrasi juga dipastikan membentuk kepemimpinan yang bersifat transaksional antara penguasa dengan para kapitalis yang membiayai perjalanan menuju kursi kekuasaan. 

Konsekuensinya, kalaupun dalam sistem ini terdapat berbagai aturan tentang urusan rakyat, tetapi selalu akan ditemukan porsi keuntungan bagi para kapitalis yang jauh melebihi porsi kesejahteraan dan belas kasih (rifqun) bagi rakyat. Tak heran jika keberadaan penguasa di tengah rakyat seolah menjadi pencitraan semata. 

Pemimpin Taat, Peduli Rakyat 

Realita tersebut sangat berbeda dengan sistem kepemimpinan Islam yang disebut khilafah. Dalam khilafah, akidah Islam menjadi asas kepemimpinan. Karena itu, terwujudlah sosok penguasa yang sangat takut melalaikan tanggung jawab mereka kepada rakyat, sebab mereka menyadari bahwa kepemimpinan akan berimplikasi pada kehidupan akhirat. 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, _"Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat ...."_ (HR. Abu Dawud Ibnu Majah dan Al Hakim. 

Dalam khilafah, syariat Islam menjadi panduan saat menjalankan aktivitas dan tanggung jawab kepemimpinan. Syariat Islam menetapkan bahwa penguasa haruslah menjadi ra'in, yakni pengurus dan pemelihara serta menjadi junnah (pelindung) bagi rakyatnya. 

Kesadaran terhadap akidah dan syariah Islam ini akan menghasilkan sifat wara' (berhati-hati) dalam menggunakan fasilitas negara. Penguasa hanya akan menggunakannya untuk kepentingan mengurus rakyat dan tidak akan memanfaatkan untuk pribadinya walaupun hanya sedikit. 

Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah salah satu teladan penguasa seperti ini, diriwayatkan bahwa ketika beliau sedang menyelesaikan tugas di ruang kerjanya hingga larut malam, datanglah putranya meminta izin untuk menyampaikan suatu hal kepadanya. 

Khalifah Umar bin Abdul Aziz lantas mempersilakan putranya masuk dan mendekat lalu bertanya, "Ada apa putraku datang ke sini? Untuk urusan keluarga kita ataukah negara?" 

Sang putra menjawab, bahwa kedatangannya adalah untuk urusan keluarga. Mendengar jawaban putranya, Khalifah Umar bin Abdul Aziz langsung meniup lampu penerang di atas meja sehingga ruangan menjadi gelap gulita. 

Tindakan beliau ini membuat putranya heran dan menanyakan mengapa ayahnya melakukan itu? 

Sang khalifah pun menjawab _"anakku lampu itu ayah gunakan untuk bekerja sebagai pejabat negara, minyak untuk menyalakan lampu itu dibeli dengan uang negara, sedangkan engkau datang ke sini akan membahas urusan keluarga kita."_ 

Kemudian khalifah memanggil pembantunya untuk mengambilkan lampu pribadinya. 

Beliau pun berkata, "minyak untuk menyalakannya dibeli dari uang kita sendiri."

Meski dalam kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz fasilitas negara yang dimaksud hanyalah berupa lampu penerang, tetapi beliau tidak mau menggunakannya untuk urusan pribadi walau hanya sebentar. 

Sungguh luar biasa dengan sifat dan perilaku penguasa yang demikian. Tak heran jika selama 1300 tahun keberadaan khilafah, rakyat mendapat perhatian dan pelayanan yang luar biasa dari penguasa kondisi ini tentu tidak pernah bisa diwujudkan oleh sistem demokrasi sekuler seperti saat ini.

Oleh: Edah Purnawati
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab