Tinta Media: Membaca
Tampilkan postingan dengan label Membaca. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Membaca. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 September 2024

Kalau Hanya Baca Sekilas Tidak Dapat Apa-Apa

Tinta Media - “Sudah di baca Bab 16?” Ucap Om Joy balik bertanya saat salah satu peserta bertanya tentang penulisan ending yang merupakan bagian dari anatomi FN di pertemuan ketiga dalam acara pelatihan menulis Feature News, Rabu 28 Agustus 2024 via daring.

“Sudah Om!” jawab penanya itu.

 “Dibaca dengan lampirannya?” pancing Om Joy.

“Belum!” jawab penanya.

“Sekalipun teori membuat FN yang ada dalam buku “Tips Taktis Menulis dari Sang Jurnalis jilid 2” sudah dibaca, tetapi kalau membacanya sekilas, apalagi tidak diikuti dengan membaca  instruksi yang ada dalam bab-bab tersebut,  seperti membaca lampirannya misalnya, maka tidak akan mendapatkan apa-apa, tidak akan mendapatkan ilmu tentang menulis FN!” ujar Om Joy tampak kecewa karena muridnya tidak serius mengikuti instruksinya.

Dari raut wajahnya,  tampak penyesalan dari penanya karena ketidakpatuhannya mengikuti instruksi gurunya.

“Dari bab satu sampai bab 16 di  buku itu, saya susun dengan berurutan termasuk instruksi membaca lampiran dalam setiap babnya ditujukan  agar pembaca menguasai cara menulis FN murni, sehingga membacanya harus serius dan utuh. Kalau bacanya sekilas tidak akan mendapatkan apa-apa,” tandasnya memotivasi peserta agar serius membaca buku dan mengikuti instruksi.

Mencantumkan Sumber Rujukan

“Bagaimana cara mencantumkan sumber rujukan dalam FN yang kami buat,” tanya peserta yang lain.

“Jika yang ingin diceritakan sudah banyak dibincangkan orang, orang sudah banyak yang tahu, saya enggak sebut rujukannya. Tetapi kalau pernyataan yang sensitif, barulah disebut rujukannya,” jawab pengasuh Tinta Media itu.

Agar peserta memiliki gambaran utuh tentang  seperti apa pernyataan sensitif sehingga perlu mencantumkan rujukan,  Om Joy mencontohkan di halaman 105 di buku itu, “Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka...,” ia membacakan pernyataan dimaksud.

Menurutnya, pernyataan itu sensitif, sehingga perlu mencantumkan rujukannya, yang ia tulis di paragraf selanjutnya. Ia lalu menampilkan paragraf itu melalui layar monitor: “Tentu saja para hadirin dalam sidang Konstituante itu terkejut mendengar pernyataan lelaki yang aktif di ormas Muhammadiyah tersebut. Tidak saja pihak pendukung Pancasila, juga para pendukung negara Islam sama-sama terkejut,” ujar KH Irfan Hamka menceritakan ketegasan sang ayah seperti tertulis dalam bukunya yang berjudul Kisah-Kisah Abadi Bersama Ayahku Hamka.

“Itu contoh pernyataan sensitif dan bagaimana mencantumkan rujukannya,” tandasnya.

 Om Joy juga mengingatkan kepada peserta agar jangan sampai  pencantuman sumber di teks membuat pembaca terganggu menikmati alur cerita.

“Tetapi tidak masalah kan Om, jika di bawah tulisan dicantumkan buku-buku yang menjadi sumber rujukan tulisan?” tanya peserta lagi.

“Enggak masalah!” jawab Om Joy. 

Kutipan

Salah satu peserta masih belum paham saat membaca kutipan, “ Nyawa saya...saya berikan hanya untuk 2 hal. Pertama, ibu dan ayah. Kedua untuk Islam.”

Kutipan itu ada di salah satu FN yang dibuat Om Joy dengan judul ‘Khotbah Jumat pun di Atas Rantis Brimob.’

“Apakah kutipan tersebut adalah teras/lead yang menjadi bagian dari anatomi FN,” tanyanya.

“Tentang kutipan yang sering muncul di FN saat dimuat oleh media, itu bukan bagian dari FN tetapi bagian dari lay out untuk mengisi ruang kosong jika beritanya kurang panjang,  dan juga untuk menambah artistik tampilan,” jawab Om Joy.

FN Rasa SN

Di detik-detik terakhir sebelum acara berakhir, ada peserta yang minta dijelaskan tentang FN rasa SN.

“Detailnya akan dibahas di pertemuan Sabtu mendatang. Silakan baca bab 17. Jangan lupa lampirannya dibaca juga!” jawab Om Joy sekaligus mengakhiri pertemuan itu.

Oleh: Irianti Aminatun, Sahabat Tinta Media

Sabtu, 11 Juni 2022

TIPS MENGURANGI POTENSI KESALAHPAHAMAN PEMBACA


Tinta Media - Salah satu cara yang harus dilakukan untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi potensi kesalahpahaman pembaca atas pesan yang disampaikan penulis, maka semua produk teks jurnalistik termasuk opini haruslah ditulis dengan kalimat efektif. Kalimat efektif adalah kalimat yang sesuai dengan pedoman ejaan bahasa, memiliki subjek dan predikat yang jelas, serta tidak bermakna ganda, sehingga pesan yang disampaikan penulis sama dengan yang diterima pembaca. Lantas, bagaimana cara mengetahui kalimat yang dibuat sudah efektif? Berikut beberapa tipsnya. Semoga dapat membantu.

PERTAMA, SEMUA KALIMAT YANG DITULIS HARUS SESUAI DENGAN PEDOMAN EJAAN BAHASA. 

Tulisan yang dibuat harus sesuai dengan pedoman ejaan bahasa jurnalistik yang digunakan media massa yang ditarget untuk memuat opini Anda. Bila media tersebut menggunakan bahasa Indonesia, maka naskah opini yang dikirim haruslah sesuai dengan pedoman umum ejaan bahasa Indonesia (PUEBI). Bila tidak, selain tulisannya menyalahi tata bahasa Indonesia, juga membuka peluang lebih besar untuk timbulnya kesalahpahaman di benak pembaca. 

Contohnya terkait huruf kapital (menggunakan atau tidak menggunakan huruf kapital) di awal kata dan spasi (dengan atau tanpa spasi) dalam frasa. Meskipun redaksi katanya sama, bila penggunaannya (huruf kapital dan spasi) berbeda, maknanya akan berbeda pula. Perhatikan perbedaannya pada ketiga contoh di bawah ini:

1. Kepala Budi dipalu terasa pusing.
2. Kepala Budi di Palu terasa pusing. 
3. Kepala Budi di palu terasa pusing.

Bila maksud penulis ‘kepala Budi terasa pusing karena dipukul menggunakan palu’, maka kalimat yang efektifnya adalah nomor satu (dipalu). Namun bila penulis menuliskannya menggunakan nomor dua (di Palu), maka kalimatnya menjadi tidak efektif. Karena, pembaca yang merujuk PUEBI akan mengira bahwa maksud penulis bukan ‘dipukul pakai palu’ tetapi ‘berada di Kota Palu’.

Sebaliknya, bila maksud penulis ‘kepala Budi pusing ketika berada di Kota Palu’, maka kalimat yang efektifnya adalah nomor dua (di Palu). Namun bila penulis menuliskannya menggunakan nomor satu (dipalu), maka kalimatnya menjadi tidak efektif. Karena, pembaca yang merujuk PUEBI akan mengira bahwa maksud penulis ‘bukan ketika berada di Kota Palu’ tetapi ‘dipukul pakai palu’.

Lantas bagaimana dengan contoh nomor tiga? Apa pun yang dimaksud penulis, dan apa pun pesan yang ditangkap pembaca, maka secara PUEBI, kalimat tersebut bermakna ‘kepala Budi terasa pusing ketika berada/menempel di palu (alat untuk memukul paku, bukan Kota Palu)’.

Kalimatnya benar-benar tidak efektif kan?  Bahkan maknanya tidak masuk akal! Palunya sebesar apa coba sehingga Budi bisa berada di palu? Kecuali Budi itu adalah nama makhluk yang lebih kecil dari palu. Misal, Budi itu nama semut. He… he…. Tapi kok tahu ya semutnya pusing? Nah, kan!

Maka harus dipahami perbedaan awalan di- dengan kata depan di.  Awalan di- merupakan imbuhan yang berfungsi untuk membuat kalimat menjadi pasif dan penulisannya digabung dengan kata benda atau kata kerja di depannya. Contoh: di- + palu = dipalu. Artinya: Dipukul pakai palu. 

Sedangkan, kata depan di berfungsi untuk menunjukkan keterangan tempat atau menunjukkan keterangan waktu. Penulisannya harus dipisah (pakai spasi) dengan kata di depannya. Contoh: di + palu = di palu. Artinya, berada pada palu atau menempel pada palu. Contoh lain: di + Palu = di Palu. Artinya, berada di Kota Palu. Karena, bila Palu itu nama tempat maka huruf awalnya harus pakai huruf kapital. Kalau palu itu nama benda/alat huruf awalnya jangan pakai huruf kapital. 

Lihat, itu baru salah satu contoh penggunaan huruf kapital dan penggunaan spasi. Maknanya sangat jauh sekali bukan? Belum lagi membahas contoh pedoman umum lainnya dalam ejaan bahasa Indonesia (EBI). Misal: pedoman memiringkan kata, penggunaan tanda baca, penggunaan tanda kutip ganda. Di sinilah relevansinya mengapa Anda harus menulis kalimat sesuai dengan PUEBI. Ayo, buka dan pelajari baik-baik PUEBI-nya ya.

KEDUA, MEMILIKI SUBJEK DAN PREDIKAT YANG JELAS. 

Bila subjeknya dan atau predikatnya tidak jelas, maka, kalimat yang dihasilkan tidaklah efektif. 

Contoh di atas (dipalu, di Palu, di palu), bisa juga jadi contoh penggunaan predikat yang tak jelas. Karena tak jelas apakah (dipalu, di Palu, di palu) tersebut sebagai predikat atau sebagai keterangan tempat. Bila maksudnya adalah predikat, maka yang benar menggunakan frasa: dipalu. Bila keterangan tempat maka yang benar menggunakan frasa: di palu, di Palu.   

Sedangkan contoh kalimat yang terkait subjek, salah satunya seperti tiga contoh di bawah ini. 

1. Perhatian! Yang membawa telepon seluler harap dimatikan sebelum shalat berjamaah.
2. Perhatian! Yang membawa telepon seluler harap mematikan telepon selulernya sebelum shalat berjamaah. 
3. Perhatian! Matikanlah telepon seluler Anda sebelum shalat berjamaah.

Meskipun penulisannya rancu sebagaimana contoh nomor satu, pastilah yang dimaksud penulis adalah telepon selulernya (objek) yang dimatikan (predikat), tetapi bila pembacanya mengacu kepada PUEBI, maka makna yang ditangkap adalah orang yang membawa telepon selulernya (subjek) yang dimatikan (predikat).  

Agar kalimatnya menjadi efektif maka harus jelas subjeknya berpredikat apa. Salah satunya seperti contoh nomor dua. Contoh nomor dua di atas jelas sekali maknanya yakni orang yang membawa telepon seluler (subjek) yang mematikan (predikat) telepon selulernya (objek). 

Bagaimana dengan contoh nomor tiga? Contoh nomor tiga ini unik, meski tak disebut secara tertulis subjeknya (orang yang mematikan ponsel), tetapi maknanya jelas sekali bahwa objek (telepon seluler Anda) yang dimatikan (predikat). Jadi, walau subjeknya tak disebut tetapi tetap tergolong kalimat efektif karena jelas objek yang diperlakukan (predikat) oleh subjek itu adalah ponsel. Karena fokus bahasannya pada ponsel (objek) yang harus dimatikan (predikat), tak jadi masalah bila subjeknya tak disebut. 

Lebih dari itu, contoh nomor tiga juga termasuk kalimat efesien. Mengapa dikatakan efesien? Karena mampu mengurangi kata bahkan frasa tanpa mengurangi keefektifannya. Dalam kasus contoh tersebut mampu menghilangkan frasa subjek (Yang membawa telepon seluler) tanpa mengubah pesan yang disampaikan (mematikan ponsel).  

KETIGA, TIDAK BERMAKNA GANDA.

Kalimat yang ambigu (bermakna ganda) tentu saja berpeluang besar membuat kalimat tidak efektif alias makna yang dimaksud penulis bisa berbeda sama sekali dengan makna yang ditangkap pembaca. 

Contoh pembahasan tentang predikat (dipalu, di Palu, di palu). Misal: Kepala Budi di palu terasa pusing. Maknanya apa sih? Mestilah ada yang memaknai (1) dipukul pakai palu, (2) ketika berada di Kota Palu, bahkan bila konsisten terhadap PUEBI maka kalimat tersebut jadi tidak masuk akal karena mana mungkin manusia yang bernama Budi (3) berada di palu (alat untuk memukul palu)? Tapi masuk akal juga sih, bila palunya adalah palu raksasa. Ha…ha…  

Contoh ambigu lainnya seperti pada ketidakjelasan subjek pada kalimat: Yang membawa telepon seluler harap dimatikan sebelum shalat berjamaah. Karena yang dimatikan itu ada dua kemungkinan yakni (1) orang yang membawa ponsel, atau (2) ponselnya.

Demikianlah tipsnya. Semoga dapat membantu Anda bisa membedakan kalimat efektif versus tidak efektif. Dengan demikian Anda bisa menulis dengan kalimat efektif sehingga dapat menghilangkan atau setidaknya mengurangi secara signifikan potensi munculnya kesalahpahaman dari pembaca. Aamiin.[]

Depok, 26 Syawal 1443 H | 27 Mei 2022 M

Joko Prasetyo
Jurnalis
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab