Tinta Media: Media
Tampilkan postingan dengan label Media. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Media. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 November 2023

Pengamat: Posisi Pengguna Media Sosial Hanya Nunut


 
Tinta Media - Pengamat Media Sosial Pompy Syaiful mengatakan, posisi pengguna media sosial itu  hanya nunut (ikut).
 
“Pengguna media sosial itu hanya nunut. Facebook, Instagram, TokTok, semuanya gratis, sehingga aturannya mengikuti aturan pemiliknya. Aturan yang mereka buat seperti raja yang tidak pernah salah. Kalau raja salah kembali ke ketentuan awal,” ungkapnya di Kabar Petang: Bikin Geram! Platform Medsos Blokir Konten Bela P4lestina, melalui kanal Khilafah News, Ahad (12/11/2023).
 
Ia juga menjelaskan secara umum setiap media sosial membuat algoritma yang mengatur arus pesan di media sosial.
 
“Dalam pelacakannya, jika ada akun yang terindikasi melanggar keyword  algoritma yang ditetapkan oleh  media sosial tertentu biasanya akun tersebut terkena shadow banned,“ jelasnya.
 
Selain itu, lanjutnya, ada keyword khusus di beberapa kejadian yang ketika mengupload kata dengan keyword itu kena shadow banned.
 
“Contohnya dulu kalau kita mengupload tulisan yang tertera kata Habib Riziq atau FPI itu juga terkena banned. Bisa jadi ini masalah politik dan merupakan permintaan dari pemerintah agar membatasi keyword tertentu,” terangnya.
 
Agar tidak kena banned, ujarnya, maka harus menghindari penulisan keyword itu. 

“Biasanya teman-teman influencer  menggunakan  kata yang mungkin susunannya gabungan dari huruf dan sebagainya untuk menghindari shadow banned,” imbuhnya.
 
Media Konvensional
 
Pompy menerangkan, Barat di bawah jaringan Zionis menguasai media konvensional sehingga seluruh tayangan di televisi dunia yang ditampilkan, dalam pengawasan mereka.
 
“Namun ketika di sosial media itu kan enggak bisa seperti itu. Banyak yang bisa diakalin dan sebagainya,” imbuhnya.
 
Pompy juga menjelaskan, kalau di media sosial bisa saja Barat kecolongan.“Pengguna media sosial menggunakan trik masing-masing sehingga bisa menyiarkan rekaman-rekaman underground seperti yang dirilis oleh para  pejuang Hamas,” cetusnya.
 
Selain itu, menurutnya, meski pemilik media sosial itu pro Zionis tetap serba salah. “Kalau dihilangkan semuanya, mereka kan bisnisnya di situ. Jadi tetap tidak bisa benar-benar membatasi,” tukasnya.
 
 Dan pengguna sosial media, ujarnya, akan menemukan caranya untuk menyebarluaskan berita.
 
“Perlawanan itu terus bergerak seperti air. Walau dibendung  jika semakin banyak terkapitasi  airnya tetap akan melewati bendungan itu,” tamsilnya. 
 
Barat, ucapnya, justru mendukung Palestina karena melihat kekejaman Zionis Yahudi di media sosial.
 
“Dengan media sosial ini saya rasa kita punya jalan untuk menggulingkan penguasa-penguasa pengkhianat yang hanya diam saja melihat saudara-saudara kita di Palestina,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun

Rabu, 02 Agustus 2023

IJM: Sikap Kritis Media Massa seakan Dikondisikan Melunak



Tinta Media - Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnu Wardana menduga, sikap kritis media massa seakan dikondisikan melunak.
 
"Patut diduga, sikap kritis media massa seakan dikondisikan melunak," ujarnya dalam program Aspirasi: Perpres Jurnalisme! di kanal Youtube Justice Monitor, Ahad (30/7/2023).
 
Ia mengungkapkan,  rancangan baru Perpres (Peraturan Presiden) Jurnalisme menuai pro kontra. "Banyak pihak melontarkan kritik terhadap Peraturan Presiden Jurnalisme ini," tandasnya.
 
Pasalnya, Agung melanjutkan, kehadiran Perpres Jurnalisme  berpotensi akan membunuh beberapa media dan para kreator.  "Terlebih sudah banyak sekali kreator yang ikut andil dalam pembuatan berita yang berkualitas bagi masyarakat Indonesia," kata dia.
 
Agung juga mengatakan, jargon kebebasan berperilaku yang menjadi salah satu aset demokrasi menunjukkan standar ganda. “Seakan menegaskan adanya anomali (ketidaknormalan) sistematis dan kian mengarahkan pada iklim otoriter,” ucapnya.
 
Agung pun mengkhawatirkan, dengan cara ini ada upaya untuk menutupi keburukan kinerja pemerintahan.
 
"Pada akhirnya otoritarianisme (kepatuhan buta) dikhawatirkan digunakan sebagai mekanisme ampuh untuk membungkam opini-opini yang kontra penguasa," tuturnya.
 
Untuk kebaikan kedepan, dia lantas mengingatkan bahwa pada zaman manapun mutlak dan pasti membutuhkan kritik masukan.
 
"Ancaman pemberangusan media kritis dan berkualitas maupun oposisi perlu diwaspadai," pesannya.
 
Ia berpendapat, jika ke depan sederet kegagalan rezim manapun dalam mengemban amanah rakyat yang diberitakan se apik mungkin hingga publik menerima sebuah kebenaran realitas akhirnya menjadi kabur.
 
"Masyarakat tidak mengetahui lagi mana yang benar dan mana yang salah, mana suara kebenaran dan mana narasi kebencian," sesalnya. [] Muhar

Jumat, 15 April 2022

Haramkan Khilafah, Pakar Fikih Kontemporer: Pendapat Itu Salah Jika Tak Berdasar Dalil

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1f5tvDlmh4duNX8a63wCKROjQZOv45_1N

Tinta Media - Pendapat Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof. Dr. Mahfud MD. yang menyebut tentang haram mendirikan negara ala Nabi (khilafah) dinilai salah oleh Pakar Fiqh Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, M.Si.

“Kalaupun orang itu mempunyai pangkat yang tinggi tapi kalau argumentasinya tidak mempunyai dalil atau dasar, ya salah,” tuturnya pada rubrik Diskusi Media Umat: Mendirikan Negara Ala Nabi, Haramkah? Ahad (10/4/2022) di kanal YouTube Media Umat.

Sebaliknya, kata Ustaz Shiddiq, walaupun orang itu biasa-biasa saja, akan tetapi argumennya mempunyai dasar yang kuat, yaitu benar. “Itulah kaidah kita untuk menyikapi pendapat. Jangan apriori karena dia seorang menteri hukum, segala macam, terus otomatis benar, tentu tidak!” tegasnya.

Menurutnya, pendapat itu yang dilihat argumennya, bukan pangkat atau golongannya. “Walaupun yang mengucapkan itu bergelar Profesor, Doktor dan seterusnya, tapi kan sebuah pendapat itu yang dilihat argumennya, bukan pangkat atau golongan orang itu,”ungkapnya.

Kyai Shiddiq menjelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an ada pelajaran yang penting untuk diambil. Ada ayat: “Qul haatu burhanakum inkuntum soodiqin.” Artinya: “Katakanlah: ‘datangkanlah bukti-buktimu, argumen-argumenmu, kalau kamu adalah orang-orang yang benar’.” Islam mengajarkan benar tidaknya tergantung kepada peluruhan atau argumen. “Kalau memang argumennya tidak ada, apa bisa itu disebut pendapat yang benar?” tanyanya.

Sedangkan pada kesempatan itu, Mahfud MD menyebut haram hukumnya mendirikan sebuah negara layaknya pada zaman Nabi Muhammad SAW karena katanya tidak ada nabi lagi dan tidak akan turun wahyu lagi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Ustaz Shiddiq tidak membenarkan argumen Mahfud MD tersebut dengan memberikan beberapa poin kritik sebagai berikut: Bahwa berakhirnya wahyu dan tiadanya nabi lagi, tidaklah berarti haram bagi umat Islam mendirikan Negara ala Nabi. Sebab Nabi SAW pada saat di Madinah, mempunyai dua kedudukan sebelum meninggal, yaitu: pertama, kedudukan sebagai nabi (manshib al nubuwwah), dan kedua, sekaligus kedudukan kepemimpinan (manshib ar ri`asah) sebagai kepala negara.

“Maka ketika Nabi wafat, kedudukan kenabian (manshib al nubuwwah) berhenti (wahyu dan nabi tak ada lagi), sedang kedudukan kepemimpinan (manshib ar ri`asah) sebagai kepala negara, tetap berlanjut,” jelasnya.

Ia memaparkan bahwa wafatnya Nabi SAW ini menjadi pertanda tugas kenabian ini berakhir, tidak ada lagi nabi dan wahyu lagi. Namun walau tugas kenabian berakhir, tugas kepemimpinan negara ini tak berakhir, melainkan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah sebagai kepala negara Khilafah pengganti Nabi SAW. Dengan demikian, para khalifah tersebut, hakikatnya telah meneruskan negara ala Nabi Muhammad SAW. “Negara ala Nabi Muhammad SAW inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Khulafah atau Imamah,” paparnya.

Dalil bahwa walau tugas kenabian Nabi SAW berakhir, namun tugas kepemimpinan negara tak berakhir, disabdakan sendiri oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits shahih yak: “Dahulu Bani Israil dipimpin dan diatur segala urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan nabi lainnya. Dan sesungguhnya tak ada lagi nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak…" (HR Muslim, no 1842).

Menurutnya, hadits Nabi saw tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa:

Pertama, tidak ada lagi nabi lagi setelah beliau. Ini artinya, kedudukan pertama bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kenabian (manshib al nubuwwah) dengan mendapat wahyu langsung dari Allah, telah berakhir dengan wafatnya beliau.

Kedua, akan ada khalifah-khalifah setelah wafatnya Nabi SAW. Ini artinya, kedudukan kedua bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kepemimpinan (manshib ar ri`asah), tidaklah berakhir, melainkan digantikan dan diteruskan oleh para khalifah setelah wafatnya Nabi saw.

Ustaz Shiddiq menyimpulkan, ketika para khalifah itu menggantikan Nabi saw sebagai kepala negara, mereka tidak mendapat wahyu lagi, karena wahyu tidak turun lagi. Para khalifah itu pun juga bukan nabi-nabi, karena tidak ada nabi lagi setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Mereka hanyalah khalifah, manusia biasa, bukan Nabi, dan berpegang dengan wahyu yang terbukukan (Al Qur`an dan As Sunnah), bukan mendapat wahyu langsung dari Allah,

“Lalu, bagaimana mungkin mendirikan negara ala nabi dikatakan haram?” pungkasnya.[]Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab