Tinta Media: Maulid
Tampilkan postingan dengan label Maulid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Maulid. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 September 2024

Makna Maulid Nabi, Bukan Sekadar Perayaan


Tinta Media - Tanggal 12 Rabiulawal diperingati sebagai hari kelahiran Nabi Muhammad saw. Acara ini merupakan momen untuk mengekspresikan cinta dan penghormatan terhadap Nabi Muhammad saw. serta meneladani ajaran dan akhlak beliau. Perayaan ini sering diisi dengan acara doa, ceramah, pembacaan puisi, dan berbagai kegiatan keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kecintaan terhadap ajaran Islam. 

Rasulullah Muhammad saw. adalah seorang Nabi utusan Allah, yang memberi kabar gembira, peringatan bagi manusia, dan suri teladan bagi umat. Nabi Muhammad saw. juga diutus sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam. 

Allah Swt. berfirman:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya [21]: 107)

Begitu juga firman Allah di dalam Surat Al-Ahzab ayat 21:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik (uswah hasanah) bagi kalian, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Akhir dan ia banyak menyebut Allah.

Maulid Nabi Lebih dari Sekadar Perayaan 

Menurut Al-‘Allamah Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani rahimahullah, Maulid Nabi saw. bukanlah hari raya. Maulid Nabi saw. sesungguhnya jauh lebih agung dan lebih mulia daripada dua hari raya umat Islam, yakni Idul Fitri dan Idul adha. (Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, Hawla al-Ihtifâl bi Dzikr al-Mawlid an-Nabawi asy-Syarîfi, hlm. 10-11)

Kata beliau, “Andai tidak ada kelahiran Nabi Muhammad saw. tentu tidak akan pernah ada bi’tsah (pengutusan Muhammad saw. Sebagai rasul kepada manusia); tidak akan turun Al-Qur'an; tidak akan ada peristiwa Isra Mikraj; tidak akan ada hijrah; tidak akan ada kemenangan dalam Perang Badar; juga tidak akan ada penaklukan Kota Makkah. Sebabnya, semua itu berkaitan dengan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad (saw.). Artinya, Maulid Nabi Muhammad saw. Adalah sumber segala kebaikan yang sangat besar.” (Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, Hawla al-Ihtifâl bi Dzikr al-Mawlid an-Nabawi asy-Syarîfi, hlm. 13).

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hari lahir baginda Muhammad saw. merupakan hari lahirnya sumber segala kebaikan yang sangat besar bagi umat manusia. Sehingga, Maulid Nabi bukanlah sekadar perayaan hari kelahiran seperti orang pada umumnya.


Refleksi dalam Memperingati Maulid Nabi 

Memperingati maulid Nabi saw. merupakan wujud ekspresi cinta kita kepada Rasulullah saw. Namun, bukti mencintai Nabi tidak hanya termanifestasi dalam bentuk perayaan maulid Nabi saw., tetapi juga dengan mengikuti dan mengerjakan sunah Rasulullah saw.. 

Sunah Nabi saw. adalah segala perbuatan, ucapan, dan takrir (ketetapan) Rasulullah saw. dalam segala aspek kehidupan, baik dari segi ibadah, akhlak, ataupun sosial kemasyarakatan, termasuk pemerintahan yang pernah dijalankan oleh Rasulullah saw. sebagai pemimpin di Madinah. Hal ini kemudian diteruskan oleh para sahabat yang disebut dengan masa Khulafaur Rasyidin. Dengan sistem kepemimpinan yang berlandaskan akidah IsIam, seorang khalifah atau pemimpin menjalankan kekuasaannya untuk menegakkan hukum-hukum Allah Swt. di muka bumi. Inilah yang disebut sebagai negara Khilafah. 

Maulid Nabi Muhammad saw. tidak hanya direfleksikan dengan merayakan kelahiran Nabi saw. sebagai sumber segala kebaikan, tetapi juga dengan menginginkan segala kebaikan  yang dibawa oleh Nabi saw. diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Hal ini senada dengan perintah Allah di dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 208:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam secara menyeluruh. Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian,”

Negara dalam naungan sistem yang berasaskan sekularisme, tentu tidak akan dapat menerapkan Islam secara menyeluruh. Namun, hanya pemerintahan yang berlandaskan akidah Islam dalam naungan khilafah yang akan menerapkan Islam secara total di muka bumi. 

Sebagai umat yang beriman dan mengaku mencintai Rasulullah saw., tentu tidak ada alasan bagi kita untuk menolak khilafah. Sebab, pemerintahan IsIam merupakan bagian dari sunah Rasulullah saw. dan warisan dari para sahabat Nabi saw. Wallahu a’lam bisshawab.



Oleh: Siti Jeuzah S.Pd 
(Aktivis Muslimah) 

Senin, 23 September 2024

Maulid Nabi, Momentum Muhasabah Kembalikan Kepemimpinan Ideal



Tinta Media - Maulid Nabi saw. merupakan peristiwa penting bagi umat Islam untuk mengenang kelahiran sosok agung yang diutus Allah Swt. membawa risalah bagi seluruh umat manusia.

Baginda Nabi saw. lahir pada 12 Rabiul Awal pada tahun Gajah, bertepatan dengan Pasukan Gajah Raja Abrahah yang ingin menyerang dan menghancurkan Ka’bah. Namun, serangan tersebut gagal, karena Allah Swt. telah mengirimkan Burung Ababil yang membawa kerikil panas untuk meluluhlantakkan pasukan tersebut.

Tahun Gajah menjadi momen bersejarah, karena selain peristiwa kekalahan pasukan gajah akibat kekuasaan Allah Swt., tahun ini juga menjadi tanda kelahiran Nabi Muhammad saw. Ini menjadi titik awal perubahan dalam sejarah dunia.

Perhatian kaum muslimin terhadap momentum peringatan Maulid Nabi saw. merupakan salah satu bentuk ekspresi kecintaan dan penghormatan kepada beliau dengan tujuan untuk menguatkan kecintaan kepadanya, meneladani akhlak, mengenang perjuangannya, dan mempererat ukhuwah Islamiyah. 

Harus dipahami bahwa konsekuensi cinta adalah rela melakukan segalanya untuk orang yang dicintai, sehingga ketika sudah cinta maka kita harus meneladani seluruh perkataan, sikap, dan perbuatannya.

Rasulullah saw. adalah sosok mulia yang paling berjasa dalam kehidupan dan peradaban. Beliau merupakan satu-satunya contoh (_role model_) terbaik yang harus kita teladani dalam menapaki ragam sisi kehidupan.

Allah Swt. berfirman,

لَقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِىۡ رَسُوۡلِ اللّٰهِ اُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنۡ كَانَ يَرۡجُوا اللّٰهَ وَالۡيَوۡمَ الۡاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيۡرًا ؕ‏ ٢١

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (Q.S Al-Ahzab ayat 21)

Di samping itu, Rasulullah saw. adalah manusia dengan akhlak terbaik. Aisyah ra. menyebut bahwa akhlak beliau saw. adalah Al-Qur'án. Ia juga berkata,

“Rasulullah adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Tidak pernah berlaku keji. Tidak mengucapkan kata-kata kotor. Tidak berbuat gaduh di pasar. Tidak pernah membalas dengan kejelekan serupa. Akan tetapi, beliau pemaaf dan pengampun.” (HR Ahmad)

Ayat Al-Qur'an dan hadis di atas merupakan beberapa dalil yang menegaskan bahwa sebaik-baiknya sosok manusia yang dapat kita jadikan teladan adalah Nabi Muhammad saw. 

Ibnu Katsir, dalam tafsirnya mengatakan bahwa QS Al-Ahzab ayat 21 menjadi pokok besar untuk mengikuti Rasulullah dalam berbagai perkataan, perbuatan, dan kondisi beliau. Maka, meneladani Nabi saw. harus dilakukan dengan aksi nyata, termasuk meneladani beliau dalam kepemimpinan, bernegara, dan membangun peradaban.

Selain dikenal sebagai sosok yang berakhlak mulia, Nabi saw. juga dikenal sebagai kepala negara. Bentuk negara yang beliau dirikan adalah negara Islam yang merupakan cikal bakal lahirnya sistem pemerintahan khilafah, yaitu suatu kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin yang menerapkan syariat Islam secara total dalam kehidupan dan mendakwahkannya ke seluruh penjuru dunia.

Dengan sistem pemerintahan Islam Ini, Nabi saw. berhasil membangun peradaban manusia yang mulia. Sebelumnya, Bangsa Arab dan umat manusia hidup dalam peradaban jahiliah, tetapi beliau berhasil mengubah mereka menjadi masyarakat yang bertauhid, hanya berhukum pada hukum Allah Swt. Manusia berakhlak mulia, kemudian mampu menciptakan suasana kehidupan yang penuh keadilan, rasa aman, dan kesejahteraan.

Bahkan, keberhasilan beliau saw  dalam mengubah peradaban juga diakui oleh dunia Barat. Michel H. hart dalam bukunya _“The 100: A Ranking of the Most Influential Person in History”_, menempatkan Nabi Muhammad saw. di peringkat pertama sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah dunia. 

Hart berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak hanya sukses dalam menyebarkan Islam, tetapi juga merupakan pemimpin politik dan militer. Beliau membangun negara Islam yang sangat kuat di Jazirah Arab. Hart juga menganggap bahwa keberhasilan Nabi saw. dalam dua bidang ini merupakan sesuatu yang unik dan belum pernah terjadi dalam sejarah mana pun.

George Bernard Shaw, seorang penulis asal Irlandia juga mengatakan bahwa Ia yakin apabila di dunia modern ini seorang seperti Muhammad memegang kekuasaan tunggal, maka akan berhasil mengatasi segala permasalahan sedemikian rupa sehingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia.

Lantas, bagaimana dengan kondisi saat ini? Apakah kita punya sosok pemimpin seperti Nabi Muhammad saw? 

Bak jauh panggang dari api, saat ini kaum muslimin tidak mempunyai sosok seorang pemimpin. Pemimpin yang ada saat ini tidak lain hanyalah “boneka-boneka” yang sengaja dipilih untuk melanggengkan kekuasaan para kapitalis. Pemimpin boneka ini tidak akan pernah berpihak pada rakyat. 

Lihat saja bagaimana kondisi rakyat saat ini. Rakyat mengalami banyak kesulitan hidup akibat aturan-aturan yang diterapkan oleh penguasa. Akan tetapi, mereka hanya diam, tidak peduli dan terus saja membuat kebijakan bodoh. Parahnya, banyak nyawa melayang akibat ketidakpedulian mereka. 

Inilah potret kehidupan saat ini yang menerapkan sistem hidup sekuler kapitalis. Para pemangku kebijakan hanya peduli terhadap materi semata sehingga rakyat dibiarkan hidup dalam bayang-bayang ketakutan, tidak ada seorang pelindung yang mampu melindungi atau membelanya.

Momentum maulid Nabi ini seharusnya menjadi muhasabah bagi kaum muslimin untuk berjuang bersama dalam mengembalikan kehidupan Islam, karena mustahil kita berharap pada sosok pemimpin ideal dalam sistem kufur ini. Pemimpin Ideal hanya ada dalam sistem pemerintahan khilafah yang hanya menerapkan hukum Allah Swt. semata. Sistem inilah yang akan melahirkan sosok pemimpin yang mengayomi, melindungi, dan mementingkan rakyat.

Saat menjadi kepala negara, beliau saw. selalu bekerja keras untuk mengurus urusan rakyat dan memenuhi segala kebutuhan mereka. Inilah akhlak pemimpin yang sejatinya ada pelayan rakyat.

Rasulullah bersabda, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Abu Nu’aim al-Ashabani dari Anas ra.)

Di samping itu, kunci keberhasilan Nabi saw. dalam memimpin peradaban adalah dengan menjadikan akidah Islam sebagai landasan hidup bermasyarakat dan bernegara, menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam kehidupan, dan memberlakukan hukum secara adil dan konsisten tanpa adanya perbedaan.

Dengan demikian, peringatan kelahiran Nabi saw. tidak boleh dianggap sebagai nostalgia masa lalu atau perayaan ulang tahun semata. Justru pada momen ini, kaum muslimin harus memperkuat semangat perjuangan untuk menegakkan agama Allah di dalam kehidupan.

Ini karena Nabi saw. telah mencontohkan bagaimana menciptakan kehidupan ideal bernegara dan bermasyarakat itu. Bahkan, hal ini telah terbukti selama 13 abad, yaitu dengan penerapan syariat Islam kaffah dalam kehidupan dalam bingkai khilafah.




Oleh: Aryndiah 
(Aktivis Dakwah)

Minggu, 22 September 2024

Bulan Maulid, Mari Wujudkan Ketaatan dan Keteladanan, Jangan Terjebak pada Toleransi Kebablasan!


Tinta Media - Bulan Rabiul Awal adalah salah satu bulan yang istimewa. Pada bulan ini, kaum muslimin memperingati hari maulid, yaitu lahirnya seorang manusia mulia, Baginda Rasulullah Muhammad saw. Di dalam negeri, setiap tahun kita menyaksikan euforia peringatan Maulid Nabi yang telah menjadi tradisi. 

Selawat serta syair-syair pujian dilantunkan dengan merdu. Ceramah-ceramah diperdengarkan dengan tema maulid. Berbagai lomba diadakan, bahkan berbagai jamuan makanan pun dihidangkan sebagai peringatan atas kelahiran Nabiyullah Muhammad. 

Lalu, benarkah maulid ini hanya sebatas peringatan hari kelahiran? Harusnya kenangan atas kelahiran Baginda Nabi tak hanya sekadar nostalgia sejarah. Bukankah keistimewaan beliau tak hanya sebatas pada kelahiran dan kepribadiannya saja? 

Harusnya, dengan mengenang kelahiran Rasulullah, maka terbayang bagaimana jerih payah dan beratnya perjuangan beliau dalam berdakwah hingga membangun peradaban agung yang mampu menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Namun, sungguh miris fakta hari ini. Ramai kaum muslimin berlomba-lomba merayakan maulid dengan gegap gempita, tetapi di waktu yang sama juga melanggar syariat yang dibawa oleh beliau. Tak sedikit kita temui peringatan maulid justru ada jogetan berkedok selawat, campur baur laki-laki dan perempuan, dan lain semisalnya.

Bahkan, ada hal yang lebih menyakitkan lagi dari pada itu, khususnya di negeri ini beberapa hari yang lalu. Telah kita ketahui bersama, di bulan yang mulia ini justru kita menyaksikan seorang Imam Besar masjid terbesar di Asia Tenggara (Masjid Istiqlal) menyambut dengan hangat dan mesra kedatangan pemimpin tertinggi Katolik dunia, Paus Fransiskus pada tanggal 3-5 September lalu di Jakarta. 

Sebagaimana dirilis oleh media CNBC Indonesia bahwa Media Amerika Serikat, Associated Press (AP) memberitakan pertemuan dua pemuka agama ini dengan menampilkan foto saat Paus mencium tangan sang Imam yang mendekap pundak kepala negara Vatikan itu. Lalu, sang Imam pun mencium kening sang Paus (cnbcindonesia.com, 5/9/24).

Kompas.com (3/9/24) juga melaporkan bahwa sebanyak 33 tokoh muslim Indonesia yang diprakarsai oleh Frans Seda Foundation, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Yayasan Harapan Pemuda Indonesia, dan Unika Atma Jaya meluncurkan sebuah  buku dengan judul “Salve Peregrinans Spei” yang berarti “Salam Bagimu Sang Peziarah Harapan” dalam rangka menyambut kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia kali ini. Buku ini menarasikan semangat keberagaman dan nilai plurarisme di Indonesia.  

Turut berpartisipasi pula di dalam buku ini para pimpinan Ormas Islam dan juga para cendekiawan muslim, di antaranya yaitu: Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ketua Umum ICRP, Ketua Umum Pimpinan Pusat Laznah Tanfidziyah Syarikat Islam, Rektor Universitas Islam Internasional (2024-2029).  

Bukankah fakta-fakta ini telah menabrak batas-batas akidah dan syariat Islam yang jelas menyakiti hati Rasulullah saw.? Meskipun dikatakan bahwa hal tersebut merupakan bentuk toleransi dan upaya menjaga perdamaian, sejatinya ada unsur sinkretisme di dalamnya, yaitu upaya mencampuradukkan ajaran agama-agama. Padahal, Allah telah menegaskan di dalam Al-Qur'an:

“Dan jangalah kalian mencampuradukkan yang hak dengan yang batil.” (Terjemah QS. Al Baqarah [2] : 42). 

Selain sinkretisme, sikap ini menunjukkan bentuk pluralisme agama, yaitu paham yang menganggap bahwa semua agama adalah sama dan kebenaran agama dianggap relatif. Dalam pandangan pluralisme, pemeluk agama mana pun akan hidup bersama di surga. Jelas ini merupakan buah dari toleransi yang kebablasan.

Betapa sesak hati ini melihat para tokoh muslim dan pemimpin negeri ini menunjukkan sikap yang tidak adil dan tidak semestinya. Mereka memberi sambutan yang sangat spesial kepada pemimpin agama lain, tetapi di sisi lain menolak penerapan syariah Islam, membubarkan ormas dan kajian Islam kaffah, menuduh radikal para pejuang Islam, serta memberi stigma negatif pada ajaran-ajaran Islam. 

Padahal, di dalam Surah Al Fath ayat 29 Allah berfirman yang artinya:

“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka.”

Lalu, bagaimana seharusnya seorang muslim bersikap?

Para tokoh kaum muslimin seharusnya memanfaatkan kedatangan pemimpin nonmuslim ke negeri ini untuk mendakwahkan Islam kepada mereka, bukan sebaliknya, justru bersikap berlebihan bahkan memberi panggung seluas-luasnya untuk menyebarkan ajaran agama di negeri mayoritas muslim ini. 

Sebagai teladan umat Islam, Nabi Muhammad saw. senantiasa menampakkan syiar dan dakwah Islam kepada para pemimpin agama lain. Sangat jelas dalam catatan sejarah bahwa beliau pernah mengirimkan utusan kepada para kaisar dan raja-raja dengan membawa surat yang berisi ajakan untuk memeluk Islam. 

Islam telah mengajarkan batasan toleransi yang jelas. Toleransi dalam Islam artinya membiarkan, menghormati, serta tidak mengusik ibadah dan kepercayaan agama lain, bukan malah ikut campur di dalamnya, apalagi meleburkan ajaran Islam dengan agama lain. Sebagaimana yang sering kita baca di dalam Qur'an surah Al Kafirun [109]: 6 yang artinya: 

“Untuk kalian agama kalian dan untukku agamaku.” 

Keimanan jelas menuntut keberpihakan yang nyata. Tidak mungkin dianggap sama antara keyakinan bahwa Tuhan itu Esa dengan Tuhan itu berbilang, lalu dianggap keduanya benar.

Maka, seharusnya momentum bulan maulid tidaklah diisi dengan sikap-sikap yang berseberangan dengan risalah yang dibawa oleh Rasulullah. Sikap yang melanggar syariat justru bentuk pertentangan kepada Nabiyullah Muhammad. Bagaimana mungkin di satu sisi kita merayakan kelahiran beliau, tetapi pada kenyataannya justru menentang risalahnya? 

Semestinya cinta kepada Rasulullah itu dicerminkan pada sikap ketaatan sepenuhnya kepada syariat. Cinta kepada Nabi artinya mencintai dan menjalankan ajarannya secara kaffah (totalitas) dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam urusan sosial, muamalah, dan juga pemerintahan. 

Rasulullah bukan hanya seorang pribadi yang mulia akhlaknya, tetapi beliau juga seorang kepala negara terbaik dalam sejarah dunia yang juga diakui oleh para tokoh-tokoh Barat. 

Sir George Bernard Shaw, seorang tokoh berkebangsaan Irlandia, mengungkapkan, “Saya yakin apabila orang seperti Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan mampu mengatasi segala permasalahan hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia.”

Tokoh nonmuslim pun mengakui keunggulan Nabi Muhammad sebagai negarawan hebat dalam memimpin peradaban. Bagaimana dengan kita sebagai umat beliau? Cukupkah hanya meneladani beliau dalam aspek ibadah dan akhlak saja? Beliau telah membawa sebuah sistem aturan kehidupan yang sempurna untuk kita terapkan dan membawa kebaikan bagi umat manusia. Maka, marilah kita wujudkan cinta kepada Nabi dengan menerapkan syariat secara total dalam seluruh aspek kehidupan, serta melanjutkan perjuangan dakwah beliau untuk menegakkan agama Allah di muka bumi ini.



Oleh: Nurul Wahida, S.Pd, M.Si 
(Guru dan Aktivis Dakwah di Aceh)

Rabu, 25 Oktober 2023

Maulid Seharusnya Mampu Kembalikan Semangat Juang Terapkan Islam

Tinta Media - Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW seharusnya mampu mengembalikan semangat juang umat untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah.

“Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW seharusnya mampu mengembalikan kejayaan Islam dan semangat juang umat untuk menerapkan syariat Islam kaffah,” ungkap Mubalighah Ustadzah Yana Saparia dalam Kajian Muslimah Komunitas Keluarga Sakinah: Cinta Nabi Cinta Syariah, Ahad (15/10/2023) di Masjid Al-Huda, Cikumpa, Depok.

Menurutnya, saat ini umat Islam seluruh dunia dalam menyambut maulid penuh kebahagiaan yang diiringi pujian dan shalawat, namun sangat disayangkan semua itu hanyalah sebatas seremonial semata yang bersifat tarikh (sejarah) tanpa dikaji dari aspek tasyri'i (pemberlakukan syariat) dan siyasi (politik) bahkan seringkali diisi dengan kegiatan yang bertentangan dengan syariat.

Maka, tegasnya, memperingati maulid harus benar-benar mencintai Rasulullah seperti itulah wujud keimanan. “Mencintai Nabi SAW artinya ber-ittiba’ (mencontoh) kepadanya, cinta kepada Nabi SAW menjadi bukti cinta kita kepada Allah SWT begitupun sebaliknya, cinta kepada Allah SWT harus dibuktikan dengan mengikuti Nabi SAW, mengaku iman kepada Rasul SAW, maka wajib menerima, mengikuti dan menerapkan seluruh risalah yang disampaikannya yakni syariat Islam,” bebernya.

Lantas, ia pun memaparkan tafsir Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 31 menurut Imam Ibnu Katsir, “Siapa saja mengaku mencintai Allah sedangkan ia tidak berada di jalan Muhammad SAW maka ia berdusta, sampai ia mengikuti syariah Muhammad secara kaffah.”

Cara yang Benar

Menurutnya, cara yang benar dalam memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yakni dengan memahami bahwa kegiatan maulid bukanlah hari raya atau perayaan, bukan pula sekadar kisah dan cerita.

“Namun sebagai dzikra (peringatan) atau bentuk cinta kita kepada Nabi SAW hingga menjadikan kita semakin taat dan patuh terhadap syariat Allah karena sepanjang perjalanan Rasulullah SAW adalah untuk menegakkan Islam,” terangnya di hadapan puluhan peserta kajian.

Selain itu, ia menambahkan, perjuangan Rasul SAW yang harus diikuti adalah sifat dakwahnya Rasul SAW. Selama hidupnya, Rasul hanya menyampaikan Islam, hanya untuk Islam, dan hanya di jalan Allah saja.

“Dakwah Rasul bersifat politis dan menyeluruh, sebab Rasulullah SAW diutus bukanlah untuk mengatur urusan ibadah, makanan, minuman, pakaian, muamalah, ekonomi, sosial, dan akhlak saja, melainkan adalah untuk mengemban risalah Islam dengan mendakwahkannya ke seluruh dunia hingga Islam mampu memimpin dan berjaya,” tegasnya.

Ditambah lagi, menurutnya, keberhasilan dakwah Rasulullah dengan berdirinya negara Islam di Madinah dengan seluruh kehidupannya diatur oleh syariat Islam, Rasulullah selain sebagai Nabi adalah sebagai kepala negara Islam. Kepemimpinan beliau wajib diikuti, diteladani, dan dilanjutkan oleh para pemimpin Muslim saat ini.

“Keteladanan atas kepemimpinan Rasulullah SAW, Khulafaur Rasyidin dan kepemimpinan setelahnya di bawah Institusi Khilafah Islam, khalifah (pemimpin) wajib menegakkan seluruh syariat secara kaffah dalam setiap aspek kehidupan agar ketenangan, ketentraman, kemakmuran, dan keberkahan hidup mampu terwujud,” paparnya.

Terakhir, ia mengajak para Muslimah yang hadir untuk bersama-sama berjuang dalam rangka mengembalikan kehidupan Islam agar Islam kaffah dapat diterapkan, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW di Madinah yakni dengan mengemban dakwah Islam.

“Sampaikan kepada teman, saudara ataupun tetangga untuk mengkaji Islam secara lebih intensif, ikut bergabung ke dalam kelompok dakwah yang memperjuangkan dakwah Islam sesuai yang diajarkan Rasulullah SAW,” pungkasnya.[] Sari Liswantini


Jumat, 06 Oktober 2023

MENCINTAI NABI ﷺ DENGAN BENAR, BELAJAR DARI KHALIFAH UMAR

Tinta Media - Puluhan kali sudah kita memperingati Maulid Nabi ﷺ. Ketika kita ditanya, apakah sangat mencintai Nabi ﷺ ? Dengan cepat kita bisa jawab, tentu sangat mencintai. Jika ditanya seberapa besar cinta kita? Kita pun menjawab, sangatlah besar. Jauh lebih gede dari Gunung Gede di Jabar atau Gunung Merapi di Sumatera atau Puncak Jaya di Papua, dll. Namun ketika ditanya apakah lebih dicintai dari anak dan istri atau suami anda? Maka jawaban sesungguhnya ada di lubuk hati terdalam dari masing-masing kita.

Oleh karenanya kita perlu belajar mencintai Nabi ﷺ secara benar. Bukan sekedar cinta biasa yang mudah lentur dan luntur oleh godaan harta, tahta dan cinta lainnya. Untuk bisa mencintai secara luar biasa maka kita tak cukup menggunakan cara-cara yang biasa-biasa saja. Kita perlu menggunakan cara yang luar biasa dan juga belajar dari sosok manusia yang juga luar biasa.

Dalam catatan sejarah banyak sosok luar biasa yang dapat kita contoh cara mereka mencintai Nabi ﷺ. Kali ini kita coba belajar bagaimana Sosok Sahabat Umar Bin Khaththab mencintai Nabi ﷺ. Cinta Umar pada Nabi ﷺ tak sebatas di bibir saja. Tak sekedar diucapkan, namun juga direalisasikan dengan amal perbuatan. Umar berupaya sekuat tenaga mencintai segala hal yang dicintai oleh Nabi ﷺ.

Dikisahkan dari Abdullah bin Hisyam, ia berkata “Suatu ketika kami bersama Nabi Muhammad ﷺ . Dia kemudian memegang tangan Umar bin Khaththab. Umar kemudian berkata, “wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari apa pun, kecuali diriku.”

Nabi ﷺ bersabda, “tidak! Demi zat yang memiliki jiwa ini, (tidak sempurna Imanmu) hingga aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.”

Umar berkata, “Sekarang, Demi Allah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri.” Nabi ﷺ bersabda, “sekarang (engkau memiliki iman yang sempurna), wahai Umar (HR. Bukhari, 6632)

Belajar dari Cinta Umar bin Khaththab kepada Nabi ﷺ , dapat kita pilah menjadi 4 (empat) perkara penting. Dimulai dari Cinta yang terkait dengan Iman yang sempurna, Ucapan dan tindakan serta cara melakukan amalnya. Dapat kita uraikan, sbb;

PERTAMA, Mencintai Nabi ﷺ Perintah Allah, demi meraih manisnya IMAN. Dengan Cinta kepada Nabi ﷺ kita dapat meraih kesempurnaan iman dan merasakan Manisnya iman. Cinta kepada Allah dan Nabi ﷺ merupakan wujud kesempurnaan iman seseorang. Tentu manisnya iman, hanya bisa dirasakan bagi orang yang beriman.

Nabi ﷺ bersabda: “Tiga perkara, yang barang siapa memilikinya, ia dapat merasakan manisnya iman, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul melebihi cintanya kepada selain keduanya, cinta kepada seseorang karena Allah dan membenci kekafiran sebagaimana ia tidak mau dicampakkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari Muslim).

Bagi insan beriman akan menempatkan cinta pada Nabi ﷺ diatas segalanya. Melebihi cintanya pada anak dan istri serta keluarganya. Bahkan cinta pada dirinya sendiri.

Wujud nyata cinta pada Nabi ﷺ adalah mengimani dan menerima serta mengikuti seluruh syariat yang dibawanya secara utuh. Mengimaninya bermakna menerimanya tanpa ada keraguan sedikit pun. Tak boleh ada lagi pengakuan bahwa ada syariat lain yang lebih baik dari yang dibawa oleh Nabi ﷺ (syariat Islam). Jika masih ada seperti itu maka imannya bermasalah. Justru setiap ajaran lainnya (baik yang datang dari barat dan timur) harus diukur apakah sesuai dengan ajaran yang diimaninya itu. Bukan sebaliknya syariat yang diimani itu harus disesuaikan dengan ajaran manusia lainnya.

Bagi orang beriman tak mungkin akan ada konsep atau ajaran lain (kepemimpinan, politik, hukum, dll) dari Barat atau Timur yang dianggap lebih baik dari apa yang dibawa oleh Nabi ﷺ.

KEDUA, Mencintai Nabi ﷺ dibuktikan dengan lisan (ucapan). Ucapan seseorang dapat mencerminkan isi hatinya. Demikian juga cinta kita pada Nabi ﷺ mesti dapat tercermin dalam setiap ucapan kita. Apa yang keluar dari mulut kita adalah kalimat yang baik, tak boleh bertentangan dengan apa saja yang pernah diucapkan Nabi ﷺ.

Wujud cinta Nabi ﷺ dalam lisan kita dapat diwujudkan antara lain; 1) banyak menyebut nama Nabi ﷺ, 2) banyak bersholawat pada Nabi ﷺ 3) menjaga ucapan agar tak bertentangan dengan ucapan (hadits-hadits) yang mulia Nabi ﷺ. 4) mencintai apa saja doa dan ucapan yang dicintai Nabi ﷺ . 5) demikian pula sebaliknya membenci apa saja yang dibenci Nabi ﷺ .

KETIGA, Mengamalkan apa saja yang diajarkan Nabi ﷺ. Selain meyakini dan menerima apa saja yang datang dari Nabi ﷺ maka ada kewajiban lain yakni melaksanakan apa saja yang perintahkan oleh Nabi ﷺ . Ini merupakan manifestasi dari cinta. Menerima apa saja yang diajarkan/diperintahkan maupun yang di larang Nabi ﷺ. Semuanya diterima dan diamalkan tanpa pilih-pilih.
Sebagaimana yang termaktub dalam Firma Allah SWT, “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (TQS. Al Hasyr: 7)

Dalam hal ini semua yang diperintahkan Nabi ﷺ maka dilaksanakan oleh Umar. Ia tidak memilih mana yang disukai atau yang tak disukai. Semua yang datang dari nabi ﷺ ia terima dengan lapang dada dan amalkan dengan sebaik-baiknya. Hal ini sebagaimana tercatat dalam sebuah kisah.

Suatu ketika Umar melaksanakan ibadah haji. Dia melakukan seluruh manasik haji sama persis seperti yang dikerjakan Nabi ﷺ . Sampai kemudian ia mendatangi hajar aswad dan menciumnya. Umar berkata, “sungguh, aku tahu engkau hanyalah batu yang tidak memberi bahaya atau manfaat. Kalau saja aku tidak melihat Rasulullah menciummu, aku pasti tidak akan menciummu.” (The Golden Story… hal. 85).

Dalam kisah ini, Umar melaksanakan apa saja yang dicontohkan Nabi ﷺ. Bahkan meski mencium hajar aswad sekalipun ia jalani demi Cintanya pada Nabi ﷺ. Begitu pula dalam hal kepemimpinan pemerintahan, Khalifah Umar tak bergeser sedikit pun dari al Quran dan Sunnah Nabi ﷺ. Ia tak mengubah sistem pemerintahan yang diwariskan Nabi ﷺ dan dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar itu. Ia tak mengubahnya menjadi sistem Kerajaan (otokrasi) atau sistem Republik (demokrasi). Ia tetap mempertahankan warisan sistem khilafah itu hingga akhir hayatnya.

KEEMPAT, Mengamalkan dengan manjadikan Nabi ﷺ sebagai satu-satunya teladani. Selain meyakini dan menerima apa saja yang datang dari Nabi ﷺ maka ada kewajiban lain yakni melaksanakan apa saja yang perintahkan oleh Nabi ﷺ. Selanjutnya, dalam melaksanakan apa yang diperintahkan nabi ﷺ itu mesti meneladani (ittiba’) kepada beliau. Lalu, apa syarat-syarat ittiba’ Rasulullah ﷺ? Kapan seseorang disebut ittiba’ Rasulullah saw, dan kapan perbuatan dikatakan ”tertolak” (marduud)?

Imam al-Amidiy di dalam Kitab Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam menyatakan ada 3 syarat ittiba’:

“Adapun mensuriteladani perbuatan Rasulullah saw adalah anda berbuat seperti perbuatannya (mitsla fi’lihihi), setujuan dan seniat (‘ala wajhihi), dan karena sebab perbuatannya (min ajli fi’lihi)….” [Imam Al-Amidiy, Al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, ]
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwasanya syarat ta’assiy (meneladani) perbuatan Rasulullah saw ada tiga macam:

Pertama, [mitslu fi’lihi] semisal dengan perbuatan Nabi ﷺ. Sebagai contoh, Nabi saw mengerjakan sholat lima waktu dengan berdiri lurus. Seseorang dinyatakan ittiba’ kepada Nabi saw, ketika di dalam sholatnya, ia juga berdiri lurus sebagaimana berdirinya Rasulullah saw. Sebaliknya, seseorang tidak disebut meneladani beliau saw, jika ia mengerjakan sholat lima waktu dengan berkacak pinggang. Pasalnya, berdiri berkacak pinggang tidak semisal dengan perbuatan Nabi ﷺ.

Kedua, [‘ala wajhihi] tujuan dan niat perbuatan harus sesuai dengan tujuan dan niat perbuatan Nabi saw. Misalnya, Nabi saw melaksanakan sholat dua rakaat dengan niat wajib. Seseorang tdk disebut ittiba’ Rasulullah ﷺ, jika ia mengerjakan sholat dua rakaat tersebut dengan niat sunnah, meskipun gerakan dan bacaan sholatnya sama persis.

Ketiga, [min ajlihi] karena mengikuti amal Nabi ﷺ. Seseorang tidak disebut meneladani Nabi saw jika ia mengerjakan suatu perbuatan bukan karena mengikuti Nabi ﷺ. Yang menjadi obyek ta’assiy adalah perbuatan Rasulullah saw, bukan yang lain. Oleh karena itu, jika Nabi saw mengerjakan suatu perbuatan di suatu tempat atau waktu tertentu, maka, seseorang Muslim tidak dituntut untuk mengerjakan perbuatan tersebut pada tempat dan waktu yang sama, kecuali ada ketetapan dari Nabi ﷺ, Misalnya, keharusan puasa di bulan Ramadhan, bukan di bulan lain; wajibnya ibadah haji di Arafah bukan di tempat lain, dll. Adapun ibadah-ibadah lain yang pelaksanaannya tidak dikhususkan pada waktu dan tempat tertentu, maka diperkenankan melaksanakannya pada tempat dan waktu berbeda, seperti jual beli, berdagang, bekerja, dzikir, sholat muthlaq, dll. (Panduan Memahami KMKK… hal. 463)

Kiranya para pemimpin negeri ini bisa mencontoh sikap Khalifah Umar. Ia yang begitu disegani kawan dan lawan, namun hatinya lembut penuh cintanya pada Nabi ﷺ yang dilandasi iman. Dengan mencintai Nabi ﷺ, akan dicintai oleh Allah SWT. sebagaimana berfirman-Nya:

"Katakanlah (wahai Muhammad kepada umatmu): Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian" (TQS Ali-Imran [3]: 31).

Wujud mencintai Nabi Muhammad ﷺ, berarti menerima warisannya, menjaganya dan menerapkannya segala syariahnya secara kaffah dalam segala aspek kehidupan kita. Jadi kalau ada yang mengaku cinta Nabi Muhammad ﷺ, tetapi menolak syariah Islam kaffah maka itulah cinta palsu.

Semoga dengan mencintai Nabi ﷺ, kita dan negeri ini akan dicintai oleh Allah SWT. Dijauhkan dari berbagai bencana dan musibah. Serta dilimpahkan keberkahan hidup karena kecintaan kita pada Nabi Muhammad ﷺ. Aamiin.

*) Disarikan dari Buku ¬ The Golden Story of Umar bin Khaththab.

Oleh: Wahyudi al Maroky
(Dir. Pamong Institute)

NB: Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-4, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.

Minggu, 01 Oktober 2023

Maulid Nabi Muhammad, UIY: Diperingati Kelahirannya, Namun Disisihkan Syariatnya

Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menyesalkan sikap penguasa yang hanya memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw, namun menyisihkan risalah dan mencemooh syariatnya.

"Diperingati hari kelahirannya, tapi disisihkan risalahnya. Diperingati hari kelahirannya, tapi dicemooh syariatnya," tuturnya dalam program Fokus To The Point: Maulid Nabi, Kecintaan dan Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, Kamis (28/9/2023) di kanal YouTube UIY Official.

UIY menyatakan, Maulid Nabi Muhammad Saw. diperingati di Istana Negara, tapi kebijakan-kebijakan Negara banyak berseberangan dengan ajaran Rasulullah Saw.

"Maulid Nabi ini kan bahkan diperingati di Istana (Negara), tapi di sisi lain kebijakan-kebijakan Negara itu banyak berseberangan dengan ajaran Rasulullah Saw., terutama dalam masalah bernegara, berpolitik dan berekonomi," ujarnya.

Menurut UIY, ini hari agama seperti sekadar sebagai simbol semata, tapi substansinya tidak dipegang dan tidak diamalkan.

Tidak hanya itu, UIY juga mengungkapkan bahwa yang berjuang untuk menegakkan syariah atau risalah yang diajarkan oleh Rasulullah Nabi Muhammad Saw. yang hari lahirnya diperingati itu, malah dikriminalisasi dan dipersekusi.

Konsekuensi 

Terkait adanya anggapan kepemimpinan negara yang tidak harus mengikuti Nabi Muhammad Saw., UIY menegaskan, itu berarti menempatkan Nabi Saw. hanya sebagai orang biasa.

"Seperti (menganggap) seolah Nabi itu ya politikus yang ada pada masa lalu, bukan Nabi," ungkapnya.

Ia lantas menjelaskan, di dalam perkataan, perbuatan dan keputusan Nabi Saw sebagai Rasulullah Saw. itu  mengandung makna bahwa dia bukan orang biasa, karena beliau Saw. diutus oleh Allah Swt.

"Jadi ada konsekuensi hukum, yaitu kita harus mengikuti seluruh aturan-aturan Rasulullah Saw. termasuk dalam bernegara. Dan jaminannya akan ada kebaikan," jelasnya.

UIY kemudian memungkasi, kalau nyatanya di dalam kehidupan dunia ini tidak mengikuti Nabi Saw. (termasuk dalam bernegara).

"Lalu bagaimana bisa berharap bahwa nanti di akhirat itu akan bersama Nabi," pungkasnya. [] Muhar

Rabu, 28 Desember 2022

Kristolog: Natal dan Maulid Nabi Muhammad Memiliki Konteks yang Berbeda

Tinta Media - Meskipun secara bahasa Natal itu artinya hari lahir, namun menurut Kristolog Abu Deedat Syihab memiliki Konteks yang berbeda dengan maulid (hari lahir) Nabi Muhammad SAW.

“Secara bahasa Natal itu artinya hari lahir tetapi konteksnya berbeda. Karena istilah Natal, tidak pernah dipakai untuk Nabi Muhammad Saw. Natal ini dikhususkan kepada hari kelahiran Yesus (sebagai Tuhan),” ungkapnya dalam rubrik Fokus: Natal Dan Tudingan Intoleransi pada Ahad (25/12/2022) di kanal Youtube UIY Official.
 
Dalam Lukas ayat 11 tersebut, lanjutnya, di dalamnya dijelaskan hari ini telah lahir juru selamat Tuhan Yesus di kota Daud. “Jadi hari kelahiran Yesus sebagai juru selamat dan sebagai Tuhan. Bukan kelahiran sebagai nabi yang diperingati. Makanya tidak ada spanduk-spanduk di gereja-gereja ditulis Maulid Nabi Isa Alaihissalam. Yang ada ucapan Selamat Natal Yesus Kristus. Ini menunjukkan bahwa Natal Yesus itu tidak sama dengan Maulid,” bebernya.
 
Beda Pandangan

Di beberapa sekte kalangan Kristen di antaranya Advent dan Jehova, menurut Abu Deedat tidak mau merayakan Natal pada tanggal 25 Desember 2022. Setidaknya ada tiga alasan penolakan mereka. 

Pertama, tidak ada dalil yang memerintahkan di dalam alkitab untuk memperingati kelahiran Yesus. 

Kedua, tidak ada yang tahu kapan lahirnya Yesus. "Artinya itu menjadikan alasan mereka tidak memperingati Natal karena tidak tahu,” ujarnya. 

Ketiga, mereka tidak mau memperingati Natal karena dijelaskan bahwa natal itu berkaitan dengan sejarah Kaisar Konstantin. “Kaisar Konstantin sebelum masuk agama Kristen dulunya percaya kepada Tuhannya yaitu Dewa Matahari yang lahir tanggal 25 Desember pada hari Minggu. Makanya Minggu dikenal dengan Sunday atau hari matahari. Oleh karena itu setelah masuk agama Kristen baru diadopsikan menjadi hari kelahiran Yesus Kristus,” bebernya.

Toleransi

Dalam konteks toleransi, menurut Abu Deedat, adalah keharusan saling menghargai terhadap perbedaan itu sendiri. “Artinya karena jelas di dalam Islam kalau menyangkut masalah teologis tidak ada toleran. Yang ada itu kan kaitan dengan masalah sosial dan logis,” tegasnya.

Abu Deedat mengingatkan, yang pertama di dalam Islam terkait ini adalah wajib meyakini Isa sebagai nabi sebagai Rasul. Ia mengutip QS Maryam ayat 30 

قَالَ اِنِّيْ عَبْدُ اللّٰهِ ۗاٰتٰنِيَ الْكِتٰبَ وَجَعَلَنِيْ نَبِيًّا

“Dia (Isa) berkata, “Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.”

Menurutnya, dalam ayat tersebut bahwa dalam Islam wajib meyakini Isa sebagai nabi tapi tidak meyakini sebagai Tuhan dan juru selamat. “Toleransi di sini adalah menghargai adanya perbedaan. Yang jadi masalah sekarang ini ketika umat Islam tidak ikut dalam perayaan kegiatan agama-agama lain dikaitkan dengan istilah intoleran,” ucapnya dengan prihatin.

Dengan memahami perbedaan nyata ini, menurutnya, jelas tidak mungkin bagi muslim mengucapkan selamat kepada sesuatu yang menyangkut kesyirikan. Apalagi sampai menganggap Natal adalah memperingati Maulid Nabi Isa As. Ia megutip QS al Maidah ayat 72 untuk menguatkan pendapatnya. 

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ ۗوَقَالَ الْمَسِيْحُ يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اعْبُدُوا اللّٰهَ رَبِّيْ وَرَبَّكُمْ ۗاِنَّهٗ مَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوٰىهُ النَّارُ ۗوَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ

“Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.”

“Kalau toleran Natal bersama yang melibatkan sesama Kristiani, ya silahkan saja. Tapi tolong jangan mengajak kami yang muslim untuk terlibat dalam perayaan natal. Inilah konteks toleransi yang semestinya, bukan kita yang berbeda supaya ikut hadir di perayaan Natal,” pungkasnya.[] Erlina

Minggu, 13 November 2022

Mendudukkan Halloween di Arab dan Maulid Nabi

Tinta Media - Umat Islam di Indonesia masih dihangatkan dengan berita tentang Arab Saudi yang merayakan pesta Halloween. Namun, sejumlah kesaksian WNI di Indonesia yang tersebar di media menyatakan bahwa Arab Saudi tidak secara khusus merayakan Halloween, melainkan acara tersebut merupakan rangkaian dari festival musiman di Riyadh dengan tema "Pekan yang Menyeramkan". 

Tema festival itu selalu berganti tiap minggunya. Tema horor hanya satu di antara tema yang diusung dalam rangkaian acara festival. Oleh karena itu, tidak ada diksi Halloween dalam tema festival yang digelar pada 27-28 Oktober lalu. 

Menariknya, netizen Indonesia ada yang sampai memperbandingkan acara di Arab tersebut dengan Maulid Nabi. Kebetulan, kostum horor dalam festival di Arab itu persis seperti Halloween sehingga diksi itu pun digunakan. 

Sebelumnya, kita digegerkan dengan perayaan Halloween di Itaewon dan harus berakhir dengan melayangnya ratusan nyawa. Tragedi ini membuat duka Korea Selatan karena sebanyak 156 orang tewas di perayaan tersebut. 

Sebenarnya apa Halloween itu? Halloween merupakan perayaan umat Kristen yang diperingati setiap tanggal 31 Oktober. Peringatan ini dapat dijumpai di sejumlah negara. Halloween disimbolkan dengan labu yang dibentuk menyerupai wajah menyeramkan. (Kompas.com)

Halloween vs Maulid Nabi 

Pertama-tama, konteks festival di Arab dengan diksi Halloween pun sudah keliru, sebab pada faktanya tidak ada kekhususan Arab Saudi merayakan itu. Kostum menyeramkan yang disebut-sebut mirip dengan Halloween hanyalah sebagai rangkaian dari festival musiman. Adalah suatu kebetulan ketika tema horor diangkat di tengah musim Halloween. 

Kedua, memperbandingkan persoalan fikih dengan budaya adalah keliru, sesuatu yang sebetulnya bukan hal yang sebanding untuk dibandingkan karena berbeda konteks. Misalnya, ketika seseorang memperbandingkan akhlak dengan menutup aurat. Tidak ada dasarnya kalau semakin menutup aurat, semakin bagus akhlaknya. Ini tidak ada kaitannya sama sekali, termasuk antara festival di Arab dengan Maulid Nabi, keduanya berbeda ranah. 

Festival masuk ke ranah budaya, sedangkan Maulid Nabi lebih kepada perbedaan furu' yang tidak bisa dipaksakan. Ranah budaya dan fikih tidak tepat  diperbandingkan. Jikapun harus memperbandingkan budaya, maka harus dengan konteks budaya lagi. 

Arab saudi dengan madzhab Hambali yang dipegang, sebenarnya bukan persoalan. Yang menjadi persoalan adalah ketika ada yang tidak memahami bahwa justru ada khilafiyah pada perayaan Maulid Nabi itu sendiri. Persoalan fikih bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. 

Sama halnya ketika mengunjungi Baitullah misalnya. Ada seseorang dengan pandangan wajibnya qunut, tetapi tidak menemui adanya qunut saat salat Subuh di Masjidil Haram. Inilah yang dimaksud perbedaan furu'. 

Tentu mengedepankan akhlak dan toleransi dalam menyikapi perbedaan furu' adalah kewajiban. Bahkan, kita tahu bahwa Imam Syafi'i adalah murid dari Imam Abu Hanifah, tetapi tidak membuat keduanya berselisih dan justru saling menghormati. 

Kesimpulan 

Ada semacam pemahaman yang perlu diluruskan, agar Maulid Nabi tidak dipahami secara mutlak untuk dirayakan oleh semua umat Islam, sebab itu merupakan khilafiyah. Di sisi lain, mungkin komentar yang memperbandingkan Halloween dengan Maulid Nabi, bahwa dari segi substansi, tentu Maulid Nabi lebih baik. 

Namun, pada kenyataannya bukan Halloween yang tengah dirayakan, tetapi semacam festival yang tentu ranahnya adalah budaya, sedangkan budaya tidak bisa kita bandingkan dengan khilafiyah umat Islam. 

Pada prinsipnya, sebagian orang menyayangkan dan sebagian lagi pro dengan festival di Arab Saudi tersebut. Terlepas dari apa pun pendapat mereka, tetapi memperbandingkannya dengan Maulid Nabi jelas tidak ada kaitannya dan tidak bisa dijadikan bahan perbandingan.

Oleh: Shopiah Syafaatunnisa
Sahabat Tinta Media

Minggu, 30 Oktober 2022

Dzikro Maulidurrosul, Gus Tuhu: Mampu Melibas Pemikiran-pemikiran Kuffur

Tinta Media - Adanya peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW (Dzikro Maulidurrosul), Gus Tuhu Pengasuh Majelis Taklim Al-Mustanir Probolinggo mengatakan seharusnya mampu melibas pemikiran-pemikiran kuffur.

“Mestinya Dzikro Maulidurrosul hari ini mampu melibas pemikiran-pemikiran kuffur, melibas segala bentuk kegelapan kemudian hanya ada pilihan menuju cahaya Islam,” ujarnya dalam acara Live Streaming Multaqa Maulid Ulama Aswaja 1444 H: Transformasi Dari Kegelapan Kapitalisme / Demokrasi / Komunisme Menuju Cahaya Islam, di Kanal YouTube NgajiPro ID, Senin (24/10/2022).

Karena menurutnya, peneladanan Nabi Muhammad SAW secara kaffah (totalitas), harus meniru meneladani dari segala aspek kehidupannya, tidak berhenti di sosok pribadi saja. Seperti peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW pada masa Salahuddin Ayyubi Mantan Sultan Mesir yang mampu menumbuhkan semangat untuk mengusir orang-orang kafir dari Daulah Islam.

“Maka, tidak ada pilihan bagi kita, kecuali meniru meneladani Nabi Muhammad SAW dari segala aspek kehidupan, kita harus mulai mengatakan kepada masyarakat, kita wajib meniru Nabi SAW secara keseluruhan nya,” bebernya.

“Kalau sudah peringatan maulid Nabi Muhammad SAW bisa seperti itu, maka itulah peringatan yang bermanfaat dan berkah,” imbuhnya.

Bahwa hari ini adalah masa kegelapan, katanya, maka kaum Muslimin harus bertransformasi menuju cahaya Islam yaitu Islam Kaffah, melalui jalan dakwah yang bersifat revolusioner yang dapat merubah sistem, politik, dan tatanan sosial, bukan dakwah secara parsial.

“Masalahnya, kita semua sudah faham atau merasakan bahwa sekarang ini masa kegelapan atau tidak? Karena masih banyak dari kaum Muslimin menikmati yang namanya Demokrasi” ujarnya.

“Maka mengikuti Nubuwah SAW yang sering disebut sebagai bisyaroh rasulullah SAW, maka inilah yang menjadi masa depan cemerlang bagi kaum Muslimin. Semua tenaga, dakwah dan semangat Umat diarahkan menyongsong tegaknya syari’at Islam, itulah hakikat kita menuju cahaya masa depan,” pungkasnya. [] Lukman Indra Bayu

Sabtu, 29 Oktober 2022

Ustaz Nurul Muyasir: Rasulullah SAW Contoh Sosok Pemimpin dari Segala Aspek Kehidupan

Tinta Media - Dewan Asatiz Pondok Pesantren Al-Amri Probolinggo Ustaz Nurul Muyasir mengungkapkan bahwa Rasulullah SAW sebagai contoh pemimpin dari segala aspek kehidupan. 

“Rasullulah adalah sosok seorang pemimpin dari segala aspek, beliau adalah pemimpin di masjid, beliau adalah pemimpin di pemerintahan, bahkan beliau adalah pemimpin di medan perang,” ungkapnya dalam acara Live Streaming Multaqa Maulid Ulama Aswaja 1444 H: Transformasi Dari Kegelapan Kapitalisme / Demokrasi / Komunisme Menuju Cahaya Islam, di kanal YouTube NgajiPro ID, Senin (24/10/2022). 

Menurutnya, Rasulullah SAW pemimpin luar biasa, patut untuk di contoh dalam segala aspek kehidupan, Allah SWT turunkan dengan segala macam syari’at sebagai pedoman dan patokan yang jelas dalam kehidupan ini. ”Semoga dengan adanya sosok mulia nabi Muhammad SAW hidup kita lebih menjadi terarah, dari jalan jahiliyah menuju jalan kebenaran yaitu cahaya Islam,” tututnya.

“Sebagaimana dalam firman Allah SWT surah Al-Ahzab Ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah” imbuhnya.

Lanjutnya, contoh kesabaran dan kelembutan Rasulullah SAW dalam mengahadapi rintangan dakwah dengan cacian dan mengintimidasi secara fisik dengan lemparan kotoran kepada nya. Begitu juga segala macam ucapan dari Rasullulah adalah kebenaran tanpa adanya dusta, sehingga dijuluki sebahai Al-Amin (dapat dipercaya).

Ia juga melanjutkan, anjuran untuk mensyukuri nikmat yang diberikan dengan adanya sosok suri teladan, mengajarkan penghambaan yang hakiki kepada sang pencipta yaitu Allah SWT.

 “Yang memberirikan jalan kebenaran dari jalan kegelapan kepada jalan kebenaran Islam, yang telah memberikan contoh suri teladan dengan segala syari’at yang Allah SWT turunkan kepada beliau,” tutupnya.[] Lukman Indra Bayu 

Wajib Mencontoh Cara Rasulullah SAW untuk Meraih Cita-cita Tranformasi dari Kegelapan ke Cahaya Islam

Tinta Media - Menanggapi fenomena kerusakan moral yang terjadi saat ini, Pengasuh Majelis Taklim Kajian Ahad Malam Lumajang Kiai Nur Huda menjelaskan cara untuk meraihi cita-cita sebuah tranformasi keadaan dari kegelapan ke cahaya Islam.

”Oleh karena itu, untuk meraih cita-cita berpindah tranformasi keadaan dari kegelapan ke cahaya Islam, kita wajib mencontoh cara Rasulullah SAW,” ujarnya dalam acara Live Streaming Multaqa Maulid Ulama Aswaja 1444 H: Transformasi Dari Kegelapan Kapitalisme / Demokrasi / Komunisme Menuju Cahaya Islam, di kanal YouTube NgajiPro ID, Senin (24/10/2022).

Ia melanjutkan, cara Rasullulah SAW dalam mengubah keadaan di Makkah yang dikenal dengan zaman jahiliyah sebelum daulah tegak adalah dengan dakwah politik, dengan pemikiran dan tanpa kekerasan.

“Dakwah beliau adalah dakwah politik, begitu juga dakwah pemikiriran, dan untuk mewujudkan cita-cita yang mulia, Rasulullah SAW selama periode Mekkah sebelum daulah tegak, beliau menempuh jalan tanpa kekerasan, kita bisa lihat di kitab-kitab siroh,” ungkapnya.

“Karena begitulah Rasulullah SAW merubah semuanya dari kegelapan menuju cahaya hanya dengan dakwah,” imbuhnya.

Lalu ia mecontohkan, tentang keadaan yang menimpa keluarga yasir dalam menghadapi dakwah di Makkah dengan penuh siksaan, Rasulullah SAW menghiburnya mejanjikan surga untuk seluruh keluarganya. Begitu juga sikap sabar Rasulullah SAW ketika mendapati Umar ra menbacakan kitab Taurat dihadapan para sahabatnya.

“Walaupun ujian sedemikian rupa Nabi SAW untuk meraihi cita-citanya dengan cara tanpa kekrasan. Oleh karena itu, cara Nabi yang semcam ini harus wajib kita tiru, dalam sebuah peristwa tentang wajibnya meniru Nabi ini pernah terjadi setelah perang Khaibar,” tutupnya.[] Lukman Indra Bayu

Sabtu, 15 Oktober 2022

Cinta Rasul Itu Perjuangkan Islam Jadi Way of Life

Tinta Media - Guru dan Motivator Ustaz Adi S. Soeswadi menyatakan bahwa cinta Rasulullah itu dengan memperjuangkan aturan Allah menjadi way of life.

“Cinta Rasulullah itu, bagaimana aturan Allah, Islam menjadi aturan yang mengatur kehidupan manusia, way of life,” tuturnya dalam Program Kajian Spesial Maulid: Apa Bukti Cintamu Pada Rasulullah Saw., Senin (10/10/2022) di kanal Youtube At Takfir Channel. 

Menurutnya  saat ini belum terwujud cinta kepada Rasulullah Saw., sehingga umat muslim seharusnya berjuang untuk mewujudkannya. 

“Kenyataannya saat ini, belum ya (terwujud), tentang Islam menjadi way of life. Itulah yang seharusnya kita perjuangkan,” ujarnya. 

Ia mempertanyakan apakah kehidupan kita, amalan kita, individu, keluarga, bahkan negara itu sudah menjadi amal yang sesuai dengan syariat Islam.

“Apakah sudah sesuai dengan ketaatan kita pada Allah Swt.? Itulah yang seharusnya menjadi bahan evaluasi prioritas. Karena esensi itu hadirnya dari risalah Islam,” ucapnya. 

Ia menegaskan bahwa bahagia dengan kelahiran Rasulullah adalah sudah seharusnya karena dengan lahirnya Rasulullah, telah menunjukkan arah yang benar bagaimana hidup.

“Sudah sewajarnya, sudah seharusnya kita menyambutnya dengan bahagia. Tapi itu tidak cukup,” tegasnya. 

Esensi hadirnya Rasulullah, dijelaskan oleh Ustaz Adi adalah agar manusia taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

“Jadi esensinya itu, yang seharusnya menjadi prioritas, menjadi evaluasi kepada diri masing-masing bagi seorang muslim yang mengaku beriman adalah taat kepada Allah dan Rasul-Nya, ” jelasnya. 

Rasulullah Saw. telah menunjukkan kecintaannya kepada umat Islam walaupun tidak bertemu secara langsung. Ia mengungkapkan bentuk kecintaan Rasulullah dengan berjuang mendakwahkan Islam hingga sampai kepada kita (umat setelahnya). 

“Perjuangan itu adalah membuktikan bahwa beliau itu mencintai kita, kenapa? Andaikan tidak tersampaikan Islam sampai kepada diri kita, kita tidak akan mendapat petunjuk,” ungkapnya. 

Ia membeberkan wujud perjuangan Rasulullah dengan memberikan jaminan kebahagiaan dunia dan akhirat.

“Padahal itulah pentingnya, kita mendapat petunjuk Islam sehingga kita berjalan di jalan Islam, dan jaminannya adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat,” bebernya. 

Berdasarkan sirah bentuk kecintaannya ditunjukkan ketika Rasulullah Saw. mau wafat, beliau menyebut kata umati (umat) sebanyak tiga kali. Ustaz Adi mengartikan bahwa pikiran Rasulullah itu adalah umatnya setelah beliau tidak ada.

“Apakah umatnya itu masih akan taat kepada Allah dan Rasul-Nya setelah beliau wafat, karena itu syarat (selamat, bahagia di dunia dan di akhirat),” ucapnya. 

Ia menilai saat ini umat hanya ber-Islam tapi tidak mencintai Rasulullah lebih dari segalanya.

“Padahal kita diberi petunjuk jalan yang lurus, jalan kebenaran, jalan yang memberikan kita selamat, bahagia dunia dan akhirat,” ujarnya. I

Cinta Rasulullah secara Penuh

Cinta kepada Rasulullah menurut Ustaz Adi, harus melebihi dari apa pun yang kita miliki bahkan diri kita. 

“Itulah seharusnya besarnya cinta kita, seorang muslim yang mengaku beriman, mencintai Rasulullah itu tidak akan nanggung cintanya,” tuturnya. 

Sebagaimana ia mengatakan Rasulullah Saw. menegur Umar bin Khattab untuk mencintainya lebih dari segalanya bahkan dari dirinya sendiri. Menurut Rasulullah itulah kesempurnaan iman. 

“Bagi seorang muslim itu memang cintanya harus lebih besar daripada dirinya, hartanya, keluarganya, seperti itu,” katanya. 

Ustaz Adi menegaskan bahwa wajib kaum muslimin mencintai Rasulullah. 

“Sifatnya wajib mencintai Rasulullah karena dengan peran Rasulullah kita mengenal Islam, ditunjuki jalan yang terbaik, dan mendapat kebahagiaan serta keselamatan di dunia dan di akhirat,” tegasnya.

“Itulah poin yang perlu kita perhatikan, kenapa kita mencintai Rasulullah,” pungkasnya. [] Ageng Kartika
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab