Guru Luthfi: Al-Baqarah 144 Tegaskan Masjidil Haram sebagai Arah Kiblat dalam Shalat
Tinta Media - Pengurus Majelis Baitul Qur’an, Tapin, Guru Luthfi Hidayat menuturkan dalam Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 144 bahwa arah kiblat dalam shalat adalah Masjidil Haram.
“Merenungi Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 144 bahwa kiblat dalam shalat adalah Masjidil Haram,” tuturnya dalam Kajian Jum’at Bersama Al-Qur’an: Masjidil Haram Sebagai Arah Kiblat, Jum’at (25/11/2022) di kanal Youtube Majelis Baitul Qur’an.
Ia menjelaskan bahwa ayat yang mulia ini mengungkapkan tentang arah kiblat kaum muslimin dalam melaksanakan shalat lima waktu. “Dalam ayat ini juga bisa kita ambil ibrah, betapa rapinya, betapa indahnya Allah mempersatukan kaum muslimin, orang-orang yang beriman, hanya dalam masalah arah kiblat saja, dengan penuh ketaatan ketika kita menunaikan shalat dikomando dengan arah kiblat yang sama,” jelasnya.
Firman Allah Swt.:
قَدْ نَرى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّماءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضاها فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرامِ وَحَيْثُ ما كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Artinya: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kalian berada, palingkanlah muka kalian ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al-Kitab memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Rabb-Nya; dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan". (QS. Al-Baqarah, [2]: 144)
Menurut Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir beliau Al Qur’anul Azhim menerangkan bahwa Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas.
“Kata Ibnu Abbas, masalah yang pertama kali dinasakh (dihapus hukumnya) di dalam Al-Qur’an adalah masalah kiblat,” ujarnya.
Hal tersebut terjadi ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah yang mayoritas penduduknya adalah Yahudi. Maka Allah Ta’ala memerintahkan untuk menghadap ke Baitul Maqdis. “Orang-orang Yahudi pun merasa senang, Rasulullah Saw. menghadap ke Baitul Maqdis sekitar belasan bulan,” ucapnya.
Tetapi Rasulullah SAW sendiri lebih menyukai (untuk menghadap ke) kiblat Ibrahim.
“Karena itu, ia berdoa memohon kepada Allah sambil menengadahkan wajahnya ke langit,” tuturnya.
Sementara menurut Imam Al Qurthubi dalam Tafsir beliau Al Jami’ li Ahkamil Qur’an menjelaskan bahwa As Suddi meriwayatkan bahwasanya apabila Rasulullah shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis, maka beliau mengangkat kepalanya ke langit, menanti apa yang akan diperintahkan kepadanya.
“Saat itu beliau ingin sekali shalat dengan menghadap ke Ka’bah. Maka Allah pun menurunkan ayat: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit.”," ujarnya.
Ia mengatakan Abu Ishak meriwayatkan dari Al Bana’ bahwa Rasulullah SAW shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan.
“Saat itu Rasulullah Saw. ingin shalat dengan menghadap ke arah Ka’bah maka Allah menurunkan ayat di atas,” katanya.
Ia memaparkan penjelasan dari Imam Muhammad Ali Ash Shabuni dari ayat : فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضاها
Artinya: Maka sungguh Kami arahkan mukamu ke kiblat yang kamu cintai, yaitu Ka’bah yang menjadi kiblat bapakmu Ibrahim As. “Artinya arahkanlah wajahmu dalam shalat menuju Ka’bah yang agung,” paparnya.
Sedangkan penjelasan dari makna kalimat فَوَلِّ وَجْهَكَ
Menurut Imam Ali Ash Shabuni secara balaghah menyebut wajah dan yang dimaksud adalah Dzat-Nya seperti pada firman Allah: وَيبقى وَجْه ُرَبِّك
“Bentuk seperti ini disebut dengan “majaz mursal”, masuk kategori menyebutkan sebagian untuk menghendaki keseluruhan,” ujarnya.
وَحَيْثُ ما كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya, artinya di mana pun kalian berada, wahai orang-orang yang beriman, arahkanlah wajah kalian ketika shalat ke Ka’bah juga,” bebernya.
Ia mengungkapkan kesimpulan yang diberikan oleh Imam Al Qurthubi atas persoalan tersebut di atas.
Guru Luthfi mengutip Ibnu Juraij yang meriwayatkan dari Atha’, dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Ka’bah adalah kiblat bagi penghuni Masjidil Haram, Masjidil Haram adalah kiblat bagi penduduk tanah haram, dan tanah haram adalah kiblat bagi penduduk bumi, baik yang ada di timur maupun di baratnya dari umatku.”
Kemudian Imam Ali Ash Shabuni memperdalam penjelasan makna di atas, yakni mengenai diungkapnya Ka’bah dengan Masjidil Haram. “Hal tersebut sebagai isyarat bahwa wajib memperhatikan arah, bukan pandangan mata. Sebab melihat Ka’bah dari jarak jauh akan mendatangkan kesulitan bagi manusia,” ucapnya.
Ia menguraikan akhir dari ayat 144 ini di mana Allah menerangkan bahwa Ahlul Kitab sebenarnya mereka mengetahui perihal perubahan arah kiblat ini.
وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ
Dan sesungguhnya orang-orang yang diberi Al-Kitab memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Rabb-Nya.
“Artinya, sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani telah mengetahui bahwa perubahan arah kiblat ini adalah benar dari Allah Swt., akan tetapi mereka menyesatkan manusia dengan memberikan syubhat kepadanya,” urainya.
وَمَا اللَّهُ بِغافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
Dan Allah sekali-kali tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.
Ia mengakhirinya dengan mengharapkan kepada kaum muslimin untuk selalu di satukan dalam ketaatan kepada Allah SWT di berbagai sisi kehidupan. [] Ageng Kartika