Tinta Media: Masjid
Tampilkan postingan dengan label Masjid. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masjid. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 September 2023

Masjid Tempat Memulai Peradaban Bukan Terorisme

Tinta Media - Tersebar berita bahwa badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mengusulkan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia agar tidak menjadi sarang radikalisme. Harusnya BNPT tidak berkaca dari negara-negara luar.

Berita ini membuat kaum muslimin terkejut dan menolak. Sebagaimana diketahui, Indonesia negara dengan populasi mayoritas muslim. Artinya semua masjid akan diawasi oleh pemerintah, seakan-akan dijadikan sebagai tempat kriminalisasi dan terorisme. Ironis, predikat muslim terbanyak justru menjadikan kaum muslimin terfitnah dan tertuduh. Menjadikan mereka sebagai sosok monster yang menakutkan. Ini menunjukkan negara sedang tidak baik-baik saja. Pasalnya rumah ibadah yang seharusnya umat beribadah dengan tenang justru harus dikontrol dan diawasi.

Berawal dari Sistem Kapitalisme

Berawal dari pemikiran bahwa hidup di dunia hanya berdasarkan materi, sehingga muncul usulan pengontrolan tempat ibadah. Kecintaan mereka terhadap harta, tidak ingin Islam bangkit, sehingga mereka membuat usulan yang merugikan umat muslim di negara ini. Inilah sistem kapitalisme dan demokrasi yang membuat umat Islam semakin hancur dan terpercah belah.

Lalu, masihkah memuja sistem demokrasi yang hanya mengantarkan umat Islam pada kehinaan dan kehancuran? Belum cukupkah umat Islam dihina dan ditindas? Belum cukupkah hal tersebut menjadi pengingat? Sudah saatnya sistem kapitalisme dihilangkan dan diganti dengan kepemimpinan Islam yang jelas-jelas akan mendatangkan rahmat bagi seluruh alam.

Masjid Tempat Memulai Peradaban.

Tidak ada tempat lain kecuali masjid yang digunakan untuk memulai peradaban ini. Rasulullah sendiri, ketika hijrah dan sampai di Madinah, beliau langsung membangun masjid. Beliau membangun masjid sebagai sentral negara, tempat berkumpulnya kaum muslimin dan disanalah semua masalah diselesaikan.

Bahkan sosok Muhammad Al Fatih yang menaklukkan Konstantinopel melakukan hal yang sama, yaitu mengubah gereja Hagia Sophia menjadi masjid. Berikutnya ia langsung menggunakan masjid tersebut untuk shalat Jumat.

Dari sinilah membuktikan pentingnya masjid bagi kaum muslimin. Masjid tidak hanya digunakan untuk ibadah saja, bahkan lebih dari itu, masjid merupakan sentral negara di mana masjid digunakan sebagai tempat berkumpulnya umat muslim. Di masjid lah umat Islam menyelesaikan berbagai masalah. Maka dari itu, tidak pantas sebuah masjid diawasi dan dikontrol. Apalagi dituduh menjadi sarang radikalisme. Sungguh, ini fitnah yang paling kejam bagi umat muslim.

Kewajiban Umat Muslim Memakmurkan Masjid

Tidak ada yang diwajibkan menjaga dan memakmurkan masjid selain umat Islam. Karena sesungguhnya masjid adalah tempat sentral kaum muslimin. Dan orang kafir tidak pantas memakmurkan masjid karena mereka sendiri mangakui bahwa mereka adalah kafir. Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surah At Taubah ayat 17-18, yang artinya,"Tidaklah pantas orang-orang musyrik memakmurkan masjid Allah, padahal mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Mereka itu sia-sia amalnya, dan kekal di dalam neraka. Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah mudahan mereka termasuk orang orang yang mendapat petunjuk."

Oleh karena itu, sebuah keanehan nyata apabila umat muslim sendiri tidak bisa memakmurkan masjid apalagi menuduhnya sebagai sarang terorisme. Karena sesungguhnya muslim sejati adalah mereka yang memakmurkan masjid.

Tentunya kemakmuran masjid ini akan diterapkan ketikan khilafah bangkit, di mana masjid ini akan menjadi sentral negara kaum muslimin dan tempat berkumpulnya kaum muslimin. Oleh karena itu mari Bersama-sama memakmurkan masjid untuk tegaknya khilafah sebagaimana telah dikabarkan Rasulullah.

Allahu a’lam bish showab.


Oleh: Azzaky Ali (Santri kelas X UBS Al-Amri)

Jumat, 18 Agustus 2023

Masjid Jadi Tempat Maksiat, Sistem Rusak Makin Menguat

Tinta Media - Masjid merupakan tempat ibadah yang selayaknya dijaga dari segala bentuk kemaksiatan. Namun apa jadinya jika masjid justru dijadikan tempat maksiat? Bukankah ini sudah sangat keterlaluan?

Maksiat Merajalela, Dampak Kehidupan Sekuler

Masjid di Tulungagung dilaporkan telah dijadikan tempat maksiat. Lima orang remaja diduga melakukan perset*b*han di masjid yang berlokasi di dekat Perumahan Purimas, Kelurahan Botoran, Tulungagung, Jawa Timur (tribun-sulbar.com, 14/8/2023).

Aksi senonoh tersebut dipergoki warga yang melewati lokasi sekitar pkl. 02.30 WIB. Parahnya lagi, para pelaku, yaitu tiga orang remaja putra dan dua orang remaja putri, memiliki hubungan keluarga. Akhirnya para pelaku dilaporkan ke pihak Polsek Tulungagung. Kepada pihak kepolisian, mereka mengaku telah melakukan perset*b*han.

Pergaulan yang makin mengenaskan menjadikan kehidupan makin jauh dari ketenangan. Pengaruh media sosial yang semakin merusak. Konten tanpa filter, merangsek pergaulan generasi. Konten makin bebas dan mudah diakses oleh siapapun, tanpa kecuali.

Sementara di sisi lain, pendidikan yang kini diterapkan hanya mengejar nilai akademis semata. Sedangkan nilai-nilai agama ditinggalkan. Dianggap tak dibutuhkan. Kondisi masyarakat yang tak peduli dan keluarga yang tak mampu mengedukasi, juga menjadi penyebab lalainya generasi. Generasi terbawa arus kehidupan yang rusak. Kontrol masyarakat tak mampu berdiri sendiri dalam mengendalikan kerusakan dalam kehidupan.

Negara seolah tak peduli pada setiap masalah yang menimpa masyarakat. Umumnya, hanya pembinaan yang diberikan kepada para pelaku maksiat. Tanpa ada sanksi tegas yang ditetapkan.

Inilah fakta diterapkannya sistem pengaturan kehidupan ala sekulerisme liberal. Pergaulan yang ada, jauh dari aturan agama. Padahal aturan agama adalah pondasi yang mampu menjadi perisai penjaga perilaku.

Gaya hidup kebarat-baratan pun dijadikan acuan. Pergaulan bebas tanpa batas menjadi lifestyle yang dikatakan sebagai gaya kekinian. Standar yang digunakan adalah standar yang tak jelas. Tak ada batas antara benar dan salah. Kesenangan dan kepuasan hawa nafsu menjadi hal yang dianggap harus sesegera mungkin dipenuhi. Sungguh, semua konsep tersebut melahirkan pola pikir yang keliru. Alhasil, pola perbuatan yang ada pun, perbuatan yang salah.

Sungguh, kehidupan ini membutuhkan pengaturan sistem yang mengutamakan agama dalam konsep dasarnya. Sistem Islam-lah satu-satunya harapan yang mampu menjaga kehidupan agar melahirkan penjagaan dan ketenangan sempurna.

Islam Sumber Ketenangan

Syariat Islam menetapkan bahwa zina adalah perbuatan yang dilarang.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk."
(QS. Al-Isra': 32)

Zina adalah pintu rusaknya generasi. Sistem Islam dalam wadah institusi Khilafah akan memberikan sanksi tegas agar terbentuk efek jera bagi para pelaku maksiat, baik bagi muhson (pelaku yang sudah menikah) maupun ghairu muhson (belum menikah).
Pelaku zina selayaknya mendapatkan hukuman yakni hukuman cambuk 100 kali (ghairu muhson) (QS An-Nur: 2) dan diasingkan selama setahun (HR al-Bukhari). Sedangkan pezina yang sudah menikah atau belum pernah menikah tetapi sering berzina dikenai hukum rajam (dilempari dengan batu) sampai mati.

Setiap hukuman yang ditetapkan, hanya dapat efektif terealisasikan dalam wadah khilafah. Khalifah akan tegas bertindak agar zina tak menjadi masalah yang terus berkepanjangan.
Khalifah pun akan menetapkan sistem pendidikan yang berbasis pada akidah Islam. Agar terbentuk kepribadian Islam. Alhasil, generasi memiliki wawasan dan kepribadian Islam yang mampu menjaganya dari arus kerusakan. Demikianlah Islam menjaga kemuliaan generasi.

Hanya dengan syariat Islam, umat menjadi mulia dan terjaga. Tak ada pilihan lain.
Wallahu a'lam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Jumat, 20 Januari 2023

Sekularisme Membatasi Fungsi Masjid

Tinta Media - Masjid merupakan tempat ibadah bagi umat Islam, baik ibadah ritual seperti salat lima waktu, membaca Al-Qur'an, zikir, ceramah agama, majelis taklim, tablig akbar ataupun kegiatan keislaman lainnya. Masjid juga berfungsi sebagai pusat aktivitas umat Islam. Sebagaimana ketika Rasulullah saw. pertama kali tiba di Madinah, beliau dan para sahabat membangun Masjid Nabawi.

Rasulullah saw. juga tidak hanya menjadikan masjid sebagai tempat ibadah ritual, tetapi sebagai pusat aktivitas umat Islam, seperti membicarakan masalah umat sekaligus memberikan solusinya dan mengatur strategi perang.

Inilah aktivitas politik yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di dalam masjid karena politik itu adalah pemeliharaan urusan umat.

Dilansir Republik (8/1/2023), Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan bahwa masjid harus bebas dari kepentingan partai politik maupun lainnya. Hal ini disampaikan usai adanya pengibaran bendera salah satu partai di masjid wilayah Cirebon yang menuai kritik masyarakat.
Hal tersebut merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang menjelaskan bahwa pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan untuk berkampanye.

Tindakan pengibaran bendera partai di masjid menurut Ma'ruf berpotensi untuk menimbulkan konflik antarjemaah. Masuknya kepentingan politik di masjid dapat membawa perpecahan di masjid dan sekitarnya.

Runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani pada 3 Maret 1924, menjadi awal dari sekularisasi terhadap Islam dan simbol-simbolnya. Kafir penjajah menanamkan bahwa tidak ada hubungan antar agama dan negara. Agama tidak boleh mengatur urusan negara harus dipisahkan urusan agama dengan kehidupan. Hingga muncullah opini, 'jangan bawa-bawa politik ke dalam masjid'.

Masjid adalah pusat aktivitas umat Islam, tempat untuk membina dan menyadarkan umat Islam dengan aktivitas-aktivitas politik, karena seluruh kehidupan umat tidak lepas dari kebijakan politik yang diterapkan oleh penguasa, baik kebijakan politik, dalam hal ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya.

Sekularisme telah menyempitkan fungsi masjid sebatas tempat ibadah ritual atau ibadah mahdhah semata. Agama hanya mengatur habluminallah, hubungan manusia dengan penciptanya, sementara di ruang publik, peran agama dijauhkan, hanya dijadikan sebagai spirit dan formalitas belaka.
Agama dipisahkan dari kehidupan dan bernegara.

Sekularisme ini telah diemban oleh para tokoh Islam, sehingga pernyataannya akan berpengaruh bagi masyarakat. Inilah yang menyebabkan Islam sebagai pedoman hidup dibatasi hanya dalam ranah ibadah. Padahal, Islam bukan hanya agama, tetapi juga pedoman hidup yang mengatur urusan ibadah, masyarakat, hingga negara.

Sekularisasi masjid merupakan upaya kaum kafir melalui bonekanya untuk menjauhkan umat Islam dari pedoman hidupnya. Mereka berusaha memunculkan pemahaman yang salah di tengah masyarakat tentang masjid dan politik. Masjid adalah tempat suci sehingga tidak boleh ada aktivitas politik di dalamnya. Padahal, politik yang kotor merupakan buah dari sekularisme. Kekhawatiran umat menjadi terpecah belah akibat masjid dijadikan tempat berpolitik karena umat belum paham makna politik yang hakiki.

Masjid dalam Islam merupakan pusat kegiatan umat. Islam bukan hanya mengatur manusia dengan penciptanya, tetapi juga mengatur manusia dengan dirinya sendiri dan mengatur manusia dengan manusia lainnya.

Fungsi masjid dari masa Rasulullah saw. hingga para khalifah setelahnya adalah sebagai pusat berbagai kegiatan, mulai dari ibadah, pendidikan, dan politik kenegaraan. Di dalamnya dibahas berbagai macam permasalahan umat hingga didapat solusi hakiki, menjadikan Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna. 

Saatnya umat sadar akan makna politik yang hakiki, yakni mengurus urusan umat. Upaya menjauhkan masjid dari politik Islam adalah bentuk ketakutan musuh Islam akan kembalinya Islam sebagai ideologi yang diterapkan di dunia.

Wallahualam bissawab.

Oleh: Naina Yanyan
Sahabat Tinta Media

Senin, 15 Agustus 2022

Hagia Sophia Kembali Jadi Masjid, Aktivis Muslimah: Dunia Islam menyambut dengan Gembira

Tinta Media - Terkait kabar mengenai Hagia Sophia di Turki yang dikembalikan menjadi masjid, Aktivis Muslimah Ustadzah Iffah Ainur Rochmah mengungkapkan bahwa dunia Islam menyambutnya dengan gembira. 

"Sahabat yang dirahmati Allah, kita tentu saja di dunia Islam menyambutnya dengan gembira," tuturnya dalam acara MMC Explore : Hagia Sophia Diubah Menjadi Masjid, Simbol Kemenangan Umat Islam, di kanal YouTube Muslimah Media Center, Kamis (11/8/2022).

Ustadzah melanjutkan, karena ini adalah simbol bagaimana agama Allah itu dimenangkan atas keyakinan dari agama-agama yang lain. 

"Tentu kita merasakan haru bisa melihat kembali masjid Hagia Sophia ini kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu dijadikan demikian oleh sang penakluk, Fatih Sultan Mehmed (Sultan Muhammad Al Fatih). Di Juli 2020 kemarin setelah 86 tahun masjid ini dialihfungsikan menjadi museum oleh Mustafa Kemal Attartuk, tokoh sekuler nasionalis Turki. Di tahun 2020 kemarin dikembalikan sebagaimana fungsinya semula yaitu sebagai masjid," jelasnya.

Ia pun mengungkapkan, ini tentu saja adalah sebuah peristiwa yang menghentak dunia, membuat negara-negara Eropa kaget, bahkan Amerika juga ikut berkomentar.

"Sahabat, saya berada di depan Hagia Sophia. Dan kalau sahabat lihat, ini masjid Hagia Sophia itu berhadapan dengan Masjid Sultan Ahmed, yang biasa kita kenal dengan masjid biru. Nah, tadi subuh saya shalat di masjid Hagia Sophia, dan di atasnya ada lampu yang dibentuk menjadi tulisan lafaz La
 illaha illallah. Kemudian di ujung yang berseberangan di masjid Sultan Ahmed juga ditulis lampu sejenis, dengan lafadz Muhammadurrasulullah. Di masjid Hagia Sophia dan masjid Sultan Ahmed ini juga adzannya itu bergantian. Adzan di Hagia Sophia selesai, kemudian adzan di masjid Sultan Ahmed. Jadi ada juga yang mengatakan kadang-kadang bersahut-sahutan, maksudnya disana dilafadzkan Allahu Akbar Allahu Akbar selesai, kemudian menunggu di masjid Sultan Ahmed dilafadzkan lafadz yang sama, yaitu Allahu Akbar Allahu Akbar, dan seterusnya," bebernya menceritakan.

Tentu saja, lanjutnya, di negeri-negeri muslim itu semua umat Islam juga ikut tersadarkan kembali mengingat sebenarnya bagaimana masjid Hagia Sophia ini. Kenapa dunia terhentak dengan peristiwa dikembalikannya Hagia Sophia ini menjadi masjid? Karena ini mengingatkan dunia bahwa di tahun 1453 M, Hagia Sophia yang oleh orang-orang Kristen disebut Hagia Sophia itu Holy Wisdom yaitu kebijaksanaan suci.

"Ini adalah semacam gereja utama atau tempat ibadah utama yang disebut terbesar di seluruh jagad Kristen pada waktu itu, ternyata bisa ditaklukan oleh seorang pemimpin Turki yaitu Sultan Muhammad Al Fatih, yang pada waktu itu masih berusia 21 tahun," paparnya.

"Tentu ini sangat menyentak mereka, sangat menjadi momok besar bagi mereka. Dan hari ini ketika dikembalikan menjadi masjid, tentu ingatan mereka terhadap momok kekalahan Kristen, kekalahan dunia Eropa, kekalahan Byzantium terhadap kekuasaan Islam Usmani, ini menjadi terangkat kembali memori mereka tentang itu," katanya. 

"Dan saya ingin sedikit menyinggung apa yang dilakukan oleh Sultan Muhammad Al Fatih pada saat menaklukkan konstantinopel. Kemudian beliau menjadikan tempat yang pertama kali dikunjungi itu adalah Hagia Sophia ini. Di tempat ini tentu saja di dalamnya ada orang-orang Kristen, pemuka-pemuka agama yang bersembunyi ketakutan karena mereka khawatir akan dibantai oleh pemimpin Islam. Karena mereka menganggap itulah tabiat (karakter) yang ada pada setiap pemimpin (penguasa) yang menaklukkan, menguasai sebuah daerah," jelasnya.

Ustadzah Iffah pun menambahkan, pada waktu itu Sultan Muhammad Al Fatih turun dari kuda beliau. Kemudian beliau sujud menghadap kiblat dan sujud bersyukur kepada Allah. Beliau ambil segenggam debu, beliau taburkan debu itu ke atas kepala beliau yang masih dilindungi dengan semacam helm di dalam peperangan. "Ini menggambarkan bahwa Sultan Muhammad Al Fatih benar-benar menyadari kemenangan itu adalah kemenangan yang datangnya dari Allah. Dan tidak ada kepongahan, tidak ada arogansi sekalipun beliau yang masih semuda itu bisa mengalahkan rezim adidaya dunia Byzantium izamaya," tambahnya.

"Apa yang dilakukan oleh Sultan Muhammad Al Fatih berikutnya? Beliau katakan bahwa tempat ini harus berubah menjadi masjid. Karena itulah yang akan meninggikan asma Allah. Apa yang berikutnya dilakukan oleh Sultan Muhammad Al Fatih? Beliau mengeluarkan dana dari kantong pribadi beliau dan kemudian membeli Hagia Sophia ini, bukan dari dana Baitul Mal, bukan dari biaya kaum muslimin. Kemudian beliau mewakafkan Hagia Sophia ini untuk seluruh kaum muslimin, untuk difungsikan sebagai masjid," sambungnya.

Ia pun menyimpulkan, inilah yang hari ini seharusnya membuat umat Islam menyadari bahwa seorang pemimpin seperti Sultan Muhammad Al Fatih senantiasa dituntun oleh Allah untuk membuat tindakan-tindakan bijak yang melampaui zamannya. 

"Ternyata pada hari ini, pada abad ke 21 ini, apa yang dilakukan oleh Mustafa Kemal Attartuk? Mengubah Hagia Sophia menjadi museum, seolah-olah dibenarkan oleh dunia, karena dulunya adalah gereja. Seolah-olah tindakan ini adalah yang paling tepat," terangnya.

Ia menegaskan, tetapi kaum muslimin sesungguhnya tidak menginginkan ini terjadi. Karena masjid seharusnya tetap difungsikan sebagai masjid. Dan di tahun 2020 setelah gugatan yang disampaikan oleh kaum muslimin ke pengadilan Turki, gugatan itu dimenangkan karena ada dokumen yang menyatakan bahwa Hagia Sophia bukanlah milik siapa-siapa. Ini adalah tanah yang diwakafkan oleh Sultan Muhammad Al Fatih untuk menjadi masjid bagi kaum muslimin. 
"Maka tidak ada yang boleh protes apalagi kaum muslimin yang kemudian mereka atas nama pluralisme, ada atas nama keberagamaan, penjagaan terhadap nilai-nilai kebersamaan dan lain-lain, mereka keberatan terhadap fungsi Hagia Sophia ini," tegasnya.

Hal ini tentu tidak mendasar, lanjutnya, dan negara-negara barat Eropa maupun Amerika juga tidak bisa mengatakan ini adalah warisan budaya dunia sehingga tidak boleh diubah menjadi masjid. Karena ini adalah wakaf dari Sultan Muhammad Al Fatih yang akan tetap mempertahankan fungsinya untuk mengagungkan asma Allah, Allahu Akbar Allahu Akbar. 

"Sahabat yang dirahmati Allah, semoga kita senantiasa memiliki kesadaran bahwa sesungguhnya penjagaan terhadap nilai-nilai Islam dan mengagungkan asma Allah hanya bisa kita peroleh disaat kita memiliki sistem khilafah. Dan disaat sistem sekuler berkuasa sebagaimana Turki sekian waktu yang lalu sejak 1924 sampai hari ini, maka memang tepat untuk mengagungkan asma Allah," tandasnya.

"Dan begitu banyak persoalan yang dihadapi oleh kaum muslimin, semoga kita semua juga tertunjuki kembali untuk segera memiliki kembali sistem khilafah," pungkasnya.[] Willy Waliah

Selasa, 17 Mei 2022

KH M. Shiddiq Al-Jawi Jelaskan Tiga Kriteria Masjid


Tinta Media - Founder Institut Muamalah Indonesia KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menjelaskan sebuah tempat menjadi masjid menurut hukum Islam jika memenuhi 3 (tiga) kriteria.

“Sebuah tempat menjadi masjid menurut hukum Islam jika memenuhi 3 (tiga) kriteria,” tutur Ustaz Shiddiq kepada Tinta Media, Ahad (15/5/2022).

Kriteria tersebut ia ambil berdasarkan pengertian masjid menurut fiqih Islam dalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah mengenai definisi masjid sebagai berikut:

المسجد هو المكان المهيأ للصلوات الخمس دائما ، والموقوف لذلك . والمكان يصير مسجدا : بالإذن العام للناس بالصلاة فيه ، سواء صرح بأنه وقف لله أو لم يصرح بذلك ، عند جمهور العلماء خلافا للشافعية . الموسوعة الفقهية (37/ 220).

"Masjid adalah tempat yang disiapkan untuk sholat lima waktu (berjamaah) secara permanen dan diwakafkan untuk keperluan itu. Sebuah tempat menjadi masjid, dengan adanya izin umum kepada masyarakat untuk sholat di tempat tersebut, baik dengan pernyataan eksplisit bahwa tempat itu adalah wakaf lillahi ta'ala maupun dengan pernyataan implisit. Demikian menurut jumhur ulama, berbeda dengan ulama mazhab Syafi'i (yang mensyaratkan pernyataan eksplisit). (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 37/220).

Dari penjelasan definisi masjid tersebut, tutur Ustaz Shiddiq, kriteria sebuah tempat menjadi masjid jika:

Pertama, tempat itu digunakan untuk sholat lima waktu secara permanen.
Kedua, masyarakat umum sudah diizinkan untuk menggunakan tempat tersebut untuk sholat lima waktu.
Ketiga, tempat tersebut berstatus tanah wakaf, yaitu bukan lagi milik individu atau perorangan, melainkan menjadi milik umum (milkiyyah 'ammah).

“Dengan demikian, jika suatu tempat telah memenuhi tiga syarat tersebut, maka tempat itu sudah dapat disebut masjid menurut fiqih Islam, dan konsekuensinya pada tempat itu diberlakukan hukum-hukum syarak yang terkait masjid,” terangnya.

Ustaz Shiddiq menjelaskan di antara hukum-hukum syarak itu, bahwa sah hukumnya tempat itu menjadi tempat i'tikaf, sah dilakukan sholat tahiyyatul masjid di dalamnya, haram hukumnya berdiam di dalamnya bagi orang junub atau wanita yang haid dan nifas, ada larangan berjual beli dan mengumumkan barang hilang di dalamnya, disyariatkan memakmurkan masjid untuk tempat itu, dan sebagainya.

“Sebaliknya, jika suatu tempat tidak memenuhi satu atau lebih dari tiga kriteria tersebut, maka tempat itu berarti tidak memenuhi masjid dalam fiqih Islam,” tegasnya

Dia memberi contoh suatu tempat di sekolah yang digunakan untuk sholat jamaah tetapi tidak sholat lima waktu. Misalnya hanya digunakan untuk sholat jamaah Zhuhur dan Ashar saja, ketika ada murid-murid yang bersekolah. “Tempat seperti ini bukan masjid menurut fiqih Islam karena tidak memenuhi kriteria pertama masjid, yaitu digunakan untuk sholat lima waktu secara permanen,” jelasnya.

Ustaz Shiddiq memberi contoh lain, suatu tempat yang khusus digunakan untuk sholat lima waktu berjamaah, tapi tempat itu merupakan tempat milik pribadi seseorang, yang menjadi bagian dari rumah pribadi dia. “Tempat seperti ini juga bukan masjid menurut fiqih Islam karena tidak memenuhi kriteria kedua masjid, yaitu masyarakat umum diizinkan untuk sholat lima waktu di tempat tersebut,” terangnya.

Contoh lain lagi yang ia sampaikan adalah suatu tempat di perkantoran, baik kantor pemerintah maupun kantor swasta, atau tempat tertentu di mall atau super market, biasanya di basement, yang khusus digunakan sholat lima waktu, tetapi tempat ini tidak diwakafkan dan statusnya masih menjadi hak milik kantor atau mall tersebut.

“Tempat-tempat seperti ini juga tidak memenuhi kriteria ketiga masjid, menurut fiqih Islam karena tidak memenuhi kriteria ketiga masjid, yaitu tempat tersebut tidak berstatus tanah wakaf, atau dengan kata lain, tempat itu masih menjadi milik pribadi atau milik negara, belum menjadi milik umum (milkiyah 'aammah) yang dipersyaratkan untuk masjid,” bebernya.

Menurutnya, contoh-contoh tempat yang di atas, tidak memenuhi definisi masjid dalam fiqih Islam. Konsekuensi hukum syaraknya, antara lain, tidak sah i'tikaf di tempat-tempat tersebut, karena i'tikaf itu disyariatkan di masjid, yang memenuhi kriteria-kriteria syariahnya dalam fiqih Islam. Firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah: 187 yang artinya:
"Dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istri kamu), sedangkan kamu tengah beriktikaf dalam masjid."

“Sebaliknya, bisa jadi suatu tempat tidak disebut masjid oleh masyarakat, dan hanya disebut musholla, tetapi jika memenuhi tiga kriteria masjid secara syariah seperti dijelaskan di atas, maka tempat itu dihukumi masjid menurut fiqih Islam,” tuturnya.

“Perlu kami tambahkan, bahwa tidak disyaratkan sholat Jum’at agar suatu tempat menjadi masjid. Yang disyaratkan hanyalah sholat lima waktu secara berjamaah dan permanen,” tambahnya.

Ustaz Shiddiq menjelaskan bahwa sholat Jumat sendiri, juga tidak disyaratkan wajib dilakukan di masjid, menurut jumhur ulama selain mazhab Maliki, tetapi dapat dilakukan di tempat terbuka atau tanah kosong (al fadha'), misalnya pelataran kantor atau basement mall. “Boleh juga sholat Jumat dilakukan di tempat-tempat sewaan (berarti bukan tempat yang diwakafkan), misalnya di lapangan futsal dan yang semisalnya,” jelasnya.

Ustaz menyampaikan pendapat dari penulis kitab Hasyiyah Jamal 'Ala Syarah Al Manhaj, Syekh Jamal Al-Ujaili yang menjelaskan :

لأن إقامتها في المسجد ليست بشرط" "حاشية الجمل على شرح المنهج" (2/ 238)

"Melaksanakan sholat Jumat di masjid bukanlah syarat sah (untuk sholat Jumat)." (Hasyiyah Jamal 'Ala Syarah Al-Manhaj, 2/238).

“Sholat Jumat di tempat-tempat yang bukan masjid itu, hukumnya sah dan boleh, dikarenakan tidak disyaratkan sholat Jumat harus dilakukan di masjid,” pungkasnya.[] Raras

Senin, 16 Mei 2022

MASJID DI PERKANTORAN PEMERINTAH, APAKAH MEMENUHI DEFINISI MASJID DALAM FIQIH ISLAM?


Tinta Media  -  Tanya :
Banyak instansi pemerintah / BUMN dalam bangunan gedung yang mereka miliki memang menyediakan masjid secara khusus, atau memfungsikan salah satu bagian bangunannya sebagai masjid hingga dibentuk takmirnya. Hanya saja, dalam konteks manajemen aset kekinian, bangunan masjid / yang difungsikan masjid tersebut diadministrasikan sebagai aset milik pemerintah / BUMN. Sumber biaya pembangunannya dan pemeliharaan/operasi setelah selesai konstruksi bersumber dari keuangan daerah. Contohnya, di Bandung ada Pusdai/Islamic Center Jawa Barat, merupakan masjid milik Pemprov Jabar. Apakah bangunan-bangunan masjid seperti ini syar'iy disebut sebagai masjid dalam perspektif syariah? Terutama kaitannya dengan hukum terkait masjid secara syar'iy adalah milik umum, bukan institusi. Juga apakah i'tikaf di masjid seperti ini sah hukumnya? Jazaakallaahu khayran. (Iman, Bandung).

Jawab:

Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, perlu diketahui lebih dulu pengertian masjid menurut fiqih Islam.

Dalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah terdapat penjelasan mengenai definisi masjid sebagai berikut :

المسجد هو المكان المهيأ للصلوات الخمس دائما ، والموقوف لذلك . والمكان يصير مسجدا : بالإذن العام للناس بالصلاة فيه ، سواء صرح بأنه وقف لله أو لم يصرح بذلك ، عند جمهور العلماء خلافا للشافعية . الموسوعة الفقهية (37/ 220).

"Masjid adalah tempat yang disiapkan untuk sholat lima waktu (berjamaah) secara permanen dan diwakafkan untuk keperluan itu. Sebuah tempat menjadi masjid, dengan adanya izin umum kepada masyarakat untuk sholat di tempat tersebut, baik dengan pernyataan eksplisit bahwa tempat itu adalah wakaf lillahi ta'ala maupun dengan pernyaraan implisit. Demikian menurut jumhur ulama, berbeda dengan ulama mazhab Syafi'i (yang mensyaratkan pernyataan eksplisit). (Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 37/220).

Dari penjelasan definisi masjid tersebut, sebuah tempat menjadi masjid menurut hukum Islam jika memenuhi 3 (tiga) kriteria;

Pertama, tempat itu digunakan untuk sholat lima waktu secara permanen.
Kedua, masyarakat umum sudah diizinkan untuk menggunakan tempat tersebut untuk sholat lima waktu.
Ketiga, tempat tersebut berstatus tanah wakaf, yaitu bukan lagi milik individu atau perorangan, melainkan menjadi milik umum (milkiyyah 'ammah).

Dengan demikian, jika suatu tempat telah memenuhi tiga syarat tersebut, maka tempat itu sudah dapat disebut masjid menurut fiqih Islam, dan konsekuensinya pada tempat itu diberlakukan hukum-hukum syarak yang terkait masjid.

Di antara hukum-hukum syarak itu, bahwa sah hukumnya tempat itu menjadi tempat i'tikaf, sah dilakukan sholat tahiyyatul masjid di dalamnya, haram hukumnya berdiam di dalamnya bagi orang junub atau wanita yang haid dan nifas, ada larangan berjual beli dan mengumumkan barang hilang di dalamnya, disyariatkan memakmurkan masjid untuk tempat itu, dan sebagainya.

Sebaliknya, jika suatu tempat tidak memenuhi satu atau lebih dari tiga kriteria tersebut, maka tempat itu berarti tidak memenuhi masjid dalam fiqih Islam.

Misalnya, suatu tempat di sekolah yang digunakan untuk sholat jamaah tetapi tidak sholat lima waktu. Misalnya hanya digunakan untuk sholat jamaah Zhuhur dan Ashar saja, ketika ada murid-murid yang bersekolah. Tempat seperti ini bukan masjid menurut fiqih Islam karena tidak memenuhi kriteria pertama masjid, yaitu digunakan untuk sholat lima waktu secara permanen.

Contoh lain, suatu tempat yang khusus digunakan untuk sholat lima waktu berjamaah, tapi tempat itu merupakan tempat milik pribadi seseorang, yang menjadi bagian dari rumah pribadi dia. Tempat seperti ini juga bukan masjid menurut fiqih Islam karena tidak memenuhi kriteria kedua masjid, yaitu masyarakat umum diizinkan untuk sholat lima waktu di tempat tersebut.

Contoh lain, suatu tempat di perkantoran, baik kantor pemerintah maupun kantor swasta, atau tempat tertentu di mall atau super market, biasanya di basement, yang khusus digunakan sholat lima waktu, tetapi tempat ini tidak diwakafkan dan statusnya masih menjadi hak milik kantor atau mall tersebut.

Tempat-tempat seperti ini juga tidak memenuhi kriteria ketiga masjid menurut fiqih Islam, karena tidak memenuhi kriteria ketiga masjid, yaitu tempat tersebut tidak berstatus tanah wakaf, atau dengan kata lain, tempat itu masih menjadi milik pribadi atau milik negara, belum menjadi milik umum (milkiyah 'aammah) yang dipersyaratkan untuk masjid.

Contoh-contoh tempat yang kami berikan di atas, tidak memenuhi definisi masjid dalam fiqih Islam. Konsekuensi hukum syaraknya, antara lain, tidak sah i'tikaf di tempat-tempat tersebut, karena i'tikaf itu disyariatkan di masjid, yang memenuhi kriteria-kriteria syariahnya dalam fiqih Islam. Firman Allah SWT :

وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ

"Dan janganlah kamu campuri mereka (istri-istri kamu), sedangkan kamu tengah beri'tikaf dalam masjid." (QS Al-Baqarah : 187).

Sebaliknya, bisa jadi suatu tempat tidak disebut masjid oleh masyarakat, dan hanya disebut *musholla*, tetapi jika memenuhi tiga kriteria masjid secara syariah seperti dijelaskan di atas, maka tempat itu dihukumi masjid menurut fiqih Islam.

Perlu kami tambahkan, bahwa tidak disyaratkan sholat Jumat agar suatu tempat menjadi masjid. Yang disyaratkan hanyalah sholat lima waktu secara berjamaah dan permanen.

Sholat Jumat itu sendiri, juga tidak disyaratkan wajib dilakukan di masjid, menurut jumhur ulama selain mazhab Maliki, tetapi dapat dilakukan di tempat terbuka atau tanah kosong (al fadha'), misalnya pelataran kantor atau basement mall. Boleh juga sholat Jumat dilakukan di tempat-tempat sewaan (berarti bukan tempat yang diwakafkan), misalnya di lapangan futsal dan yang semisalnya.

Sholat Jumat di tempat-tempat yang bukan masjid itu, hukumnya sah dan boleh, dikarenakan tidak disyaratkan sholat Jumat harus dilakukan di masjid.

Penulis kitab Hasyiyah Jamal 'Ala Syarah Al Manhaj, Syekh Jamal Al-Ujaili menjelaskan :

لأن إقامتها في المسجد ليست بشرط" "حاشية الجمل على شرح المنهج" (2/ 238)

"Melaksanakan sholat Jumat di masjid bukanlah syarat sah (untuk sholat Jumat)." (Hasyiyah Jamal 'Ala Syarah Al-Manhaj, 2/238).

Wallahu a'lam.

Jogjakarta, 15 Syawal 1443 / 15 Mei 2022

Oleh: KH. M. Shiddiq Al Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab