Bansos Kian Masif, untuk Siapa?
Tinta Media - Politisasi bansos di tahun politik menjadi keniscayaan bagi sistem demokrasi. Bansos atau bantuan sosial sering kali digunakan oleh pihak tertentu untuk meraih simpati rakyat. Para pejabat mengambil kesempatan emas demi memuluskan kepentingan mereka. Bahkan penguasa tidak malu mengatakan bansos atas nama pribadi.
Pemerintah berdalih bahwa bansos program yang sudah ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk tahun ini 2024, alokasi dana bansos naik Rp 20 triliun dibandingkan tahun 2023. Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers Hasil Rapat Berkala KSSK, mengatakan tahun ini 2024 bansos di dalam APBN sebesar Rp 496 triliun jadi beda Rp 20 triliun. (CNBC Indonesia.com)
Hal ini tentu menuai kritik dari berbagai pakar Ekonom. Mengutip dari tempo.co (6/2/24) salah satunya, Faisal Basri mengkritik dan mempersoalkan bansos yang belum dijadikan mekanisme terpadu di dalam pengelolaan ekonomi menjadi jaring pengaman sosial. Selain itu, peningkatan anggaran bansos terbukti tidak meningkatkan angka harapan hidup manusia di Indonesia. Seharusnya, bansos itu tidak temporer, bukan hanya saat pemilu saja.
Sementara itu, ada masalah yang jauh lebih penting. Masyarakat terjepit dan menjerit akibat harga pangan terus melejit. Salah satunya harga beras yang melonjak drastis. Secara rata-rata nasional harga beras medium Rp 13.620 per kilogram (kg) dan premium Rp 15.500/kg (detikfinance.com 5/2/24). Dipastikan akibat kenaikan harga beras akan terjadi inflasi dan angka kemiskinan semakin meningkat. Sedangkan bansos yang terus disalurkan tidak mampu menyelesaikan masalah ini.
Melihat fenomena ini, akankah masyarakat tetap diam? Di saat masyarakat terhimpit dengan kemiskinan, pejabat malah mencari muka. Jelas, bansos tidak lebih sekadar alat penguasa mempertahankan kekuasaannya.
Mengutamakan citra daripada kerja hal biasa dalam sistem demokrasi. Maka tak heran, demi merasa paling empati terhadap rakyat, bansos cara jitu menarik simpati. Agar terkesan berjasa, pasang foto atau nama pribadi biar seolah dari kantong pribadi. Tidak ada transparan dana yang pakai berasal dari mana atau besaran jumlahnya, justru menurunkan kepercayaan masyarakat.
Deras aliran dana bansos tidak disertai solusi harga pangan yang meroket, menandakan ketidakpekaan pemerintah terhadap kondisi rakyat. Padahal, menjamin terpenuhi kebutuhan adalah tugas negara. Tanpa harus diminta-minta. Kini semakin jelas, rakyat hanya jembatan meraih kekuasaan. Penderitaannya hanya alat untuk mencari panggung politik. Inilah alasan mengapa rakyat harus meninggalkan sistem demokrasi. Sebab, demokrasi berdiri untuk kepentingan korporasi.
Pemimpin yang memperhatikan kebutuhan rakyat, tidak lahir dari sistem berasaskan manfaat. Tetapi lahir dari sistem shahih yaitu Islam. Sistem Islam akan mendahulukan kemaslahatan umat. Pemimpin yang menjalankan seluruh aturan Allah SWT. Menjadikan jabatan sebagai amanah yang kelak dimintai pertanggungjawaban.
Dalam sistem ekonomi Islam, pemimpin wajib menjamin dan memenuhi kebutuhan umat. Oleh karenanya, dalam menyelesaikan kemiskinan tidak cukup diberi bansos. Namun dibuka pintu bagi rakyat untuk mendapatkan kebutuhan secara murah dan gratis. Untuk itu, negara turun langsung mengelola SDA dan melarang SDA diprivatisasi segelintir oligarki. Sistem Islam melarang keras kepemilikan umum dikuasai individu.
Mewujudkan kesejahteraan rakyat merupakan kewajiban negara. Maka, rakyat miskin yang perlu bantuan akan di data secara tepat. Bantuan yang diberikan sesuai kebutuhan rakyat. Seperti membuka lapangan pekerjaan bagi laki-laki agar mandiri menafkahi keluarganya. Sedangkan lansia, orang yang tidak punya wali, orang cacat yang tidak bisa bekerja akan ditanggung oleh negara.
Islam memiliki aturan komprehensif dalam mengatasi kemiskinan. Mulai dari mekanisme memenuhi kebutuhan hingga mengelola SDA. Jika, mekanisme ini diterapkan negara tidak perlu lagi mengeluarkan bansos. Sebuah keniscayaan masalah kemiskinan akan teratasi dalam sistem Islam. Khalifah Umar bin Abdul Aziz membuktikan selama masa kepemimpinannya tidak ada lagi rakyat yang berhak menerima zakat dari negara. Sungguh luar biasa bila sistem Islam diterapkan, kesejahteraan bukan hanya khayalan semata. Waallahu a'lam bis shawwab.
Oleh : Eri,
Pemerhati Masyarakat