Tinta Media: Masa Depan
Tampilkan postingan dengan label Masa Depan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masa Depan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 Februari 2024

Kemiskinan Ekstrem Mengancam Masa Depan Generasi


Tinta Media - Kemiskinan merupakan bencana bagi sebuah peradaban, kemiskinan membuat manusia tidak mendapatkan dan kesusahan memenuhi hak hak hajat kehidupan mereka. Jelas kemiskinan ini akan berefek pada kualitas generasi. Kemiskinan adalah problem dunia, persoalan sistematik yang di hadapi dunia.

Ancaman kemiskinan ekstrem, gizi buruk hingga kelaparan yang di  hadapi anak.  Bukan karena rendah atau tingginya atau cukupnya tunjangan anak  melainkan lebih kepada penerapan sistem kapitalisme secara  global. 

Sebagai mana kita ketahui sistem yang di tetapkan saat ini adalah sistem kapitalisme. Sistem ini memberikan kebebasan dalam kegiatan ekonomi sehingga para kapitalis dapat menguasai hajat hidup rakyat, termasuk menguasai sumber daya alam. Padahal sumber daya alam harta yang seharusnya di gunakan untuk menjamin kebutuhan masyarakat seperti menjamin tersedianya layanan pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.

Sistem kapitalisme  membuat para kapitalis mengendalikan ketersediaan lapangan kerja, kebutuhan pokok masyarakat dan  sejenisnya. Negara dalam sistem kapitalisme  keberadaannya tidak lebih sebagai regulator
Akibatnya masyarakat  khususnya generasi akan mengalami banyak problem kehidupan. Sistem kapitalis nyata gagal memberikan kesejahteraan kepada rakyat khususnya para generasinya.

Dalam sistem Islam, negara dan para penguasanya mampu mencegah dan mengatasi permasalahan kemiskinan. Islam memiliki mekanisme untuk mewujudkan kesejahteraan. Islam punya mekanisme menjamin masyarakat  termasuk upaya mengangkat generasi dari kemiskinan. 

Tapi bukan berarti di dalam Islam tidak akan ada orang miskin. Hanya saja mereka masih bisa mendapatkan jaminan kehidupan yang layak. Dengan begitu kualitas generasi tetap akan terjaga. Dengan tersedianya lapangan kerja yang luas serta terjaminnya pemenuhan kebutuhan pokok rakyat seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Selain itu distribusi hasil pengelolaan sumber daya alam akan dikembalikan kepada seluruh rakyat sebagai pemiliknya. 

Maka masih mungkinkah di dalam sistem Islam terjadi masalah kemiskinan ekstrem yang berlarut-larut? Jawabannya tentu saja tidak akan. Karena tiga pilar negara berjalan semua pada rel yang Allah ridhai. Yaitu individu yang Sholeh, kontrol masyarakat dan penerapan syariah Islam di seluruh aspek kehidupan manusia.

Wallahu a'lam bish shawwab


Oleh: Ummu Nifa
Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 15 Juli 2023

Awal Tahun Pelajaran, Wujudkan Generasi Bervisi Masa Depan

Tinta Media - Hai Guys, bagaimana perasaanmu menyambut tahun ajaran baru? Semakin semangat atau malah pudar ditelan suramnya masa depan? Aku berharap, semoga kalian semakin membulatkan tekad untuk selalu semangat dalam menuntut ilmu.

Semuanya semarak dalam menyambut tahun ajaran baru, membeli peralatan baru, semuanya serba baru, termasuk aku. Terlebih, tahun ini aku bakal masuk MAN yang suasananya berbeda jauh dari waktu di pondok kemarin.

Sebagian instansi pendidikan masuk sekolah pada pekan ini. Ada juga yang pekan depan, termasuk aku. Nah, sebenarnya apa tujuan kita menuntut ilmu? Untuk karir dan pekerjaan, atau hanya sekadar memenuhi permintaan orang tua? 

Sebagian dari para siswa atau pelajar, cenderung tidak mengetahui apa sebenarnya tujuan mereka berangkat ke sekolah setiap hari. Mereka hanya mengikuti ritme atau kebiasaan yang telah dilakukan dari tahun ke tahun, tanpa memiliki alasan dan tujuan yang jelas. Kalaupun ada, sebagian besar dari mereka belajar atau menuntut ilmu hanya untuk karir atau pekerjaan di masa depan, hanya untuk sekadar kehidupan duniawi yang sebenarnya hanya sejenak kita lalui.

Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari no. 6416, kita seharusnya menjadikan diri sebagai orang asing atau musafir dalam menjalani kehidupan dunia ini, yang pasti akan kembali ke tempat asalnya, yaitu akhirat.

Sayangnya, keadaan saat ini, khususnya dunia pendidikan hanya menghasilkan generasi yang sebagian besar hanya bertujuan untuk kehidupan duniawi. Padahal, tujuan sebenarnya ketika menuntut ilmu adalah untuk mencari rida Allah semata, bukan mengharapkan pujian dari sesama manusia. Sehingga, harus diluruskan dulu niat kita ketika menimba ilmu agar tidak salah dalam melangkah.

Generasi muda seharusnya memiliki visi akhirat, karena tujuan akhir kita adalah surga. Sehingga, kita termasuk dalam salah satu di antara dua kebaikan, yakni hidup mulia atau mati syahid, hidup dengan syariat Islam secara kaffah atau mati syahid dalam rangka meninggikan kalimatullah di muka bumi.

Telah banyak contoh para pemuda atau remaja yang memiliki visi akhirat atau surga. Contoh paling fenomenal adalah Sultan Muhammad Al Fatih dari Turki Utsmani. Di usianya yang baru menginjak duapuluh satu tahun, beliau telah berhasil menaklukkan Konstantinopel yang kala itu masih dikuasai oleh Bizantium. 

Ada juga pemuda di zaman Rasulullah yang ditunjuk sebagai panglima perang di usianya yang baru tujuh belas tahun. Meski masih sangat belia, tetapi Rasulullah telah memberinya amanah sebagai _amirul jihad_ atau pemimpin dalam sebuah peperangan. Dia adalah Usamah bin Zaid, orang kesayangan dari orang tua yang juga kesayangan Rasulullah saw., Zaid bin Haritsah. 

Masih banyak lagi kisah para pemuda atau remaja yang hidupnya diisi dengan kegiatan yang bernilai akhirat. Ini karena mereka telah mengetahui bahwa kehidupan dunia ini fana dan hanya sementara, sedangkan kehidupan yang sesungguhnya adalah kelak di akhirat.

Sehingga, tujuan menuntut ilmu adalah untuk mengharapkan rida Allah Swt. semata. Karenanya, apa pun yang kita pelajari, selama tidak menyalahi syariat Islam, maka gunakan sebagai bentuk kontribusi dalam jalan dakwah, berharap, agar kelak Allah satukan kita dalam barisan para pejuang dan syuhada.

Wallahu a'lam bish shawwab

Oleh: Naila Ahmad Farah Adiba 
Santriwati Peduli Generasi Muda

Sabtu, 24 Juni 2023

HTI, KHILAFAH, MASA DEPAN INDONESIA DAN DUNIA


Tinta Media - Penulis merasa sedih sekaligus prihatin mendengar kabar ada aktivitas pengajian yang dibubarkan dengan dalih terkait HTI. Bahkan, kericuhan sempat terjadi dalam upaya pembubaran pengajian di Desa Sumbersuko, Purwosari, Pasuruan, Jawa Timur. (Selasa, 21/6).

Kalau yang dibubarkan itu aktivitas perjudian, tawuran, pelacuran, mabuk-mabukan, LGBT, balapan liar, atau sejumlah aktivitas kejahatan lainnya, tentu kita semua bisa maklum. Kejahatan memang tak boleh didiamkan, aktivitas kejahatan memang harus dibubarkan karena melanggar hukum.

Tanpa perlu di embel-embeli terkait dengan HTI, terkait tokoh HTI, semua kejahatan layak dibubarkan. Perjudian, tawuran, pelacuran, mabuk-mabukan, LGBT, balapan liar, atau kejahatan lainnya silahkan saja dibubarkan. Meskipun demikian, aktivitas pembubaran itu harus dilakukan atau setidaknya dibawah pengawasan aparat penegak hukum yang berwenang.

Hanya saja, begitu yang dibubarkan pengajian, kita semua tentu berfikir ada apa dengan bangsa ini? Apakah bangsa sebesar Indonesia ini sedang sakit? Sejak kapan pengajian dianggap kejahatan sehingga harus dibubarkan? Kenapa pula aparat penegak hukum tidak mencegah bahkan melakukan pembiaran terhadap tindakan main hakim sendiri ini?

Kalau pembubaran itu di nisbatkan pada HTI, apa salahnya HTI melakukan pengajian? Bukankah itu bukti bahwa HTI memang hanya berdakwah maka setelah BHP HTI dicabut mereka tetap berdakwah, tetap menjalankan pengajian?

Lain soal, kalau ternyata ada sejumlah aktivitas HTI terlibat dalam kejahatan Perjudian, tawuran, pelacuran, mabuk-mabukan, LGBT, balapan liar, atau kejahatan lainnya, lalu dibubarkan. Kita semua tentu setuju, perjudian, tawuran, pelacuran, mabuk-mabukan, LGBT, balapan liar, atau kejahatan lainnya dibubarkan meskipun tidak terkait dengan HTI.

Lalu muncul framing jahat, bahwa pengajian itu ada kaitannya dengan HTI yang dinyatakan terlarang. Sehingga, setiap aktivitas apapun bentuknya, meskipun bentuknya pengajian tetap harus dibubarkan karena terkait dengan HTI yang telah dinyatakan terlarang.

Mengenai hal ini, penulis ingin menyampaikan ulang fakta hukum kedudukan HTI yang tidak pernah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. HTI hanya dicabut badan hukumnya.

Sekali lagi, perlu penulis tegaskan bahwa HTI hanya dicabut Badan Hukum Perkumpulannya. HTI hanya mendapat tindakan dari badan atau pejabat TUN (Tata Usaha Negara), berupa keputusan TUN (Beshicking) tentang pencabutan status BHP.

HTI berbeda dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). HTI mendakwahkan ajaran Islam Khilafah, tidak seperti PKI yang menyebarkan paham Komunisme yang diajarkan Karl Marx.

PKI jelas-jelas dinyatakan terlarang berdasarkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Dalam diktum keputusannya termaktub secara tegas pernyataan PKI sebagai organisasi terlarang.

Adapun kronologis dan status hukum HTI sebagai berikut:

*Pertama,* pada tanggal 2 Juli 2014, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah terdaftar secara resmi menjadi Ormas Islam yang berbadan hukum perkumpulan dengan nomor registrasi AHU-00282.60.10.2014. Pendaftaran ini dilakukan setahun sejak terbitnya UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

*Kedua,* pada tanggal 10 Juli 2017, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan terhadap UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

*Ketiga,* pada hari Rabu tanggal 19 Agustus 2017, pemerintah melalui Kemenkum HAM menerbitkan SK Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 tentang pencabutan SK Nomor AHU-00282.60.10.2014, tentang pengesahan status badan hukum HTI.

*Keempat,* pada tanggal 13 Oktober 2017, HTI menggugat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktur Jendral Administrasi Hukum Umum ke PTUN Jakarta, dengan registerasi gugatan bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT.

Adapun Petitum (tututan) gugatan HTI sebagai berikut:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017, batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum Mengikat dengan segala akibat hukumnya;

3. Memerintahkan Tergugat Mencabut Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.A.01.08.Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017;

4. Menghukum Tergugat membayar biaya yang timbul dalam perkara a quo.

*Kelima,* pada hari Senin, tanggal 7 Mei 2018, Majelis Hakim dengan susunan majelis :

1. Tri Cahya Indra Permana, S.H., M.H. sebagai Ketua Majelis;

2. Nelvy Chiristin, S.H., M.H. sebagai Hakim Anggota I;

3. Roni Erry Saputro, S.H., M.H.  sebagai Hakim Anggota II;

4. Kiswono, SH., MH selaku Panitera Pengganti;

Memutuskan perkara gugatan HTI Nomor bernomor 211/G/2017/PTUN.JKT, dengan amar putusan:

M E N G A D I L I

DALAM PENUNDAAN

Menolak permohonan penundaan surat keputusan yang diajukan oleh Penggugat;

DALAM EKSEPSI

Menyatakan eksepsi Tergugat tidak diterima untuk seluruhnya;

DALAM POKOK PERKARA

1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 455.000,- (empat ratus lima puluh lima ribu rupiah).

*Keenam,* pada tanggal 16 Mei 2018 HTI mengajukan Banding terhadap putusan nomor 211/G/2017/PTUN.JKT, ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta (PTTUN Jakarta) dengan nomor perkara : 196/B/2018/PT.TUN.JKT.

*Ketujuh,* pada tanggal 13 September 2018, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta, mengeluarkan putusan nomor : 196/B/2018/PT.TUN.JKT, dengan susunan Majelis Hakim:

DR Kadar Slamet, SH MHum, sebagai Ketua Majelis.

Djoko Dwi Hartono, SH, MH, sebagai Hakim Anggota.

DR Slamet Supartono, SH M
Hum, sebagai Hakim Anggota.

Jarwo Liyanto, SH MH, sebagai Panitera Pengganti.

Adapun amar putusannya:

MENGADILI

1. Menerima permohonan banding dari penggugat/pembanding;

2. Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta putusan nomor 211/G/2017/PTUN.JKT, yang dimohonkan banding,

3. Menghukum Penggugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara pada ke dua tingkat pengadilan yang untuk tingkat pengadilan banding ditetapkan sejumlah Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah).

*Kedelapan,* pada tanggal 19 Oktober 2018, HTI mengajukan Kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara DKI Jakarta nomor : 196/B/2018/PT.TUN.JKT.

*Kesembilan,* pada tanggal 14 Februari 2019, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Nomor: K/KTUN/2019, dengan susunan majelis hakim:

DR H. Supandi, SH MHum, sebagai Ketua Majelis.

Is Sudaryono, SH MH, sebagai Hakim Anggota.

Dr H M Hary Djatmiko, SH MS, sebagai Hakim Anggota.

Michael Renaldy, SH, sebagai Panitera Pengganti.

Adapun amat putusannya:

MENGADILI:

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PERKUMPULAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI).

2. Menghukum Pemohon Kasasi membayar biaya perkara pada tingkat Kasasi sejumlah Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Dari 9 (sembilan) kronologi terkait HTI diatas, dari sejak pendaftaran BHP, pencabutan, gugatan PTUN, banding hingga putusan Kasasi, dimana letak terlarangnya? seluruh putusan pengadilan dari tingkat pertama hingga kasasi hanya menolak gugatan HTI, yang maknanya HTI resmi dicabut Badan Hukumnya.

Dalam SK Menkum HAM Nomor AHU-30.A.01.08 Tahun 2017 isinya hanya memuat tentang pencabutan SK Nomor AHU-00282.60.10.2014, tentang pengesahan status badan hukum HTI. Tak ada satupun diktum SK yang menyatakan HTI terlarang.

Karena itu, aktivitas pembubaran pengajian berdalih terkait HTI yang diframing sebagai organisasi terlarang jelas-jelas merupakan tindakan yang ilegal dan inkonstitusional. Sebuah tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum dan konstitusi.

Lalu, bagaimana dengan Khilafah? Apakah Khilafah terlarang? Khilafah memecahbelah? Khilafah merusak kesepakatan para pendiri bangsa? Khilafah ajaran sesat?

Mengenai hal ini, penulis kira tidak mengapa jika sekali lagi dan boleh juga ditegaskan secara berulang, bahwa Khilafah adalah ajaran Islam. Kerusakan negeri ini bukan disebabkan oleh Khilafah.

Korupsi yang menggila di negeri ini, bukan disebabkan oleh Khilafah, melainkan sistem demokrasi yang sekuler, politisi dan partai yang korup dan cawe-cawe oligarki dalam kekuasaan. Utang yang menggunung di negeri ini, bukan disebabkan oleh Khilafah, melainkan sistem demokrasi yang sekuler, politisi dan partai yang korup dan cawe-cawe oligarki dalam kekuasaan.

Perampokan kekayaan alam, dekadensi moral, ancaman disintegrasi Papua, lepasnya Timor Leste, kemiskinan, pengangguran, mafia tanah, dan seabreg masalah yang terjadi di negeri ini bukan karena negeri ini menerapkan Khilafah. Semua itu terjadi justru saat negeri ini menerapkan sistem demokrasi sekuler yang merusak, sebuah sistem pemerintahan warisan penjajah.

Yang berkhianat pada para pendiri bangsa adalah mereka para politisi khianat, partai korup, pemimpin penipu, oligarki yang mengangkangi kekayaan negeri ini. Merekalah yang harusnya dipermasalahkan, bukan para pejuang Khilafah.

Nah, penulis kira justru umat Islam di negeri ini harus Husnudz Dzan pada Khilafah yang merupakan ajaran Islam. Tidak mungkin, Allah SWT menurunkan ajaran Islam yang merusak.

Justru ditengah kebuntuan politik saat ini, diantara ketidakpastian masa depan Indonesia melalui Pemilu dan Pilpres, boleh jadi Khilafah justru akan menjadi solusinya. Bukan hanya solusi bagi Indonesia, bahkan akan menjadi solusi bagi dunia. [].

NB. Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis, tidak dan bukan mewakili organisasi.

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Anggota HTI



Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab