Tinta Media - Akhir-akhir ini, keresahan dan kegelisahan sedang dialami oleh guru-guru di seluruh Indonesia. Pasalnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, yaitu Nadiem Makarim berencana akan mengimplementasikan platform marketplace guru pada tahun 2024.
Menurutnya, untuk memenuhi formasi, guru dapat menggunakan platform ini sebagai solusi permanen pada permasalahan rekrutmen guru di Indonesia. Dengan platform ini pula akan terbentuk pola perekrutan yang awalnya terpusat menjadi pola perekrutan setiap saat. Maka dari itu, tahap penyusunan dan sosialisasi pun telah menjadi konsep yang akan disampaikan pada para pemangku jabatan di Indonesia.
Hendro Susanto, selaku anggota DPRD Sumatera Utara pada fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengatakan akan mengkaji ide dan rencana Kemendikbud Ristek ini. Sebab menurut Hendro, guru bukanlah barang, sedangkan marketplace itu identik dengan barang. Sehingga dengan adanya marketplace ini akan membuat martabat guru menjadi rendah, bahkan menurun. Maka, sebelum rencana tersebut menjadi sebuah kebijakan, hal ini pun harus didiskusikan dengan melibatkan banyak pihak, termasuk para guru honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun.
Tidak hanya itu, para guru GTT di Sumatera Utara pun terlihat keberatan dengan rencana tersebut. Hal itu pun mereka ungkapkan dengan mengirimkan saran dan pesan lewat WhatsApp dan instagram para anggota DPRD. (Medanbisnisdaily.com, 03/06/2023)
Lagi dan lagi, usaha dan upaya yang dilakukan pemerintah secara terus-menerus untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat termasuk permasalahan guru merupakan suatu hal yang patut untuk diapresiasi.
Dengan melihat latar belakang Nadiem Makarim sebagai sosok yang piawai dalam dunia bisnis, bahkan ia adalah seorang pengusaha, wajar jika akhirnya mencetuskan untuk membuka lahan binis dengan menggunakan platform marketplace agar mudah untuk menjangkau kebutuhan dan rekrutmen guru di setiap sekolah. Namun, sayangnya usaha dan upaya ini tidak akan mampu menjawab permasalahan sistem perekrutan guru di negeri ini. Sebab, ketimpangan nasib guru honorer dan ketidakmerataan penyebaran tenaga pendidiklah yang menjadi permasalahan mendasarnya.
Maka dari itu, permasalahan penyebaran tenaga pendidik tidak akan bisa terjawab dengan adanya marketplace guru. Selain itu, adanya marketplace guru ini akan semakin menciptakan kesenjangan antarsekolah. Ini karena perekrutan guru yang berkualitas akan dengan mudah didapatkan oleh sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas terbaik. Sedangkan guru-guru yang biasa saja akan didapatkan oleh sekolah yang fasilitasnya minim dan jauh dari perkotaan.
Sungguh ketimpangan tersebut akan semakin membahayakan guru-guru di Indonesia. Ketidakadilan pun akan dirasakan dari kebijakan yang akan ditetapkan oleh pemerintah nantinya.
Inilah kegagalan negara dalam mengatur distribusi guru di setiap daerah. Padahal, seharusnya negara melalui pemerintahnya memiliki kemampuan untuk mendistribusikan guru secara langsung dengan data-data guru yang dimiliki. Dengan begitu, ketimpangan guru tentu tidak akan terjadi dan guru akan ditempatkan sesuai spesifikasi dan kompetensinya.
Sayangnya, penyelesaian ketimpangan guru ini tidak akan terlaksana jika negara masih tetap menerapkan sistem kapitalisme yang mengatur kehidupan masyarakat. Sebab, negara kapitalistik ini memiliki keuangan yang sangat lemah. APBN pun selalu mengalami penurunan, serta utang selalu menjadi andalan dalam seluruh pembiayaan.
Selain itu, negara yang menerapkan sistem kapitalisme ini memungkinkan terjadinya pengambilalihan wewenang oleh pemerintah pusat, sehingga keakuratan data proses rekrutmen guru menjadi berkurang. Bahkan, kesalahan di lapangan dan saling lempar tanggung jawab sering terjadi dalam sistem ini.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita kembali pada sistem yang memuliakan manusia dan yang mengurusi permasalahan hidup manusia, yaitu sistem Islam (Khilafah). Sebab, dalam Islam negara harus menjamin kebutuhan dasar masyarakat, termasuk di dalamnya pendidikan. Sementara, pendidikan akan mampu diakses oleh seluruh warga negara dengan peran sentral negara.
Ketimpangan pendidikan, bahkan fasilitas di kota dan desa akan terselesaikan dengan kekuatan baitul mal negara. Begitu pula dengan kesejahteraan guru, tentu akan dipenuhi oleh negara. Sebab, guru dalam Islam memiliki posisi yang sangat mulia. Sehingga, guru tidak disibukkan dengan kegiatan lain selain kegiatan belajar dan mengajar.
Hal ini karena pembentukan generasi yang berkepribadian Islam dan mampu menjadi mutiara umat ada pada guru yang terbaik.
Selanjutnya, gaji guru dalam Islam seperti pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab r.a, yaitu sebesar 15 dinar yang jika dikalkulasikan sekitar 60 juta rupiah. Tidak ada perbedaan gaji antara guru yang satu dengan guru lainnya karena mereka memiliki hak dan tugas yang sama, yaitu mendidik dan mencetak generasi unggul.
Kemudian, agar distribusi guru terjalankan dengan baik, maka negara akan menghitung dengan cermat kebutuhan guru di dalam negaranya, sehingga jumlah guru dengan kebutuhan mengajar benar-benar disesuaikan oleh negara secara cepat. Maka, tidak ada kebaikan yang akan didapatkan manusia dalam hal pengaturan dan kebijakan, jika hal itu tidak dilandaskan pada akidah dan sistem Islam. Kalau pun ada manfaat yang dirasakan, tentu manfaat tersebut hanya bersifat semu.
Dengan demikian, harapan untuk seluruh permasalahan di dunia pendidikan, termasuk guru, hanya akan terselesaikan jika kembali pada syariat Islam secara kaffah dalam institusi negara. Wallahu'alam bisshawwab.
Oleh: Halizah Hafaz Hutasuhut, S.Pd.
Aktivis Dakwah dan Praktisi Pendidikan