Senin, 23 September 2024
Minggu, 17 Maret 2024
UIY: Takwa adalah Segalanya!
Kamis, 14 Maret 2024
Kapitalisme Mengeliminasi Fitrah Manusia
Minggu, 24 September 2023
Rasulullah Muhammad adalah Guru bagi Seluruh Umat Manusia
Jumat, 04 Agustus 2023
Kebanyakan Manusia Membayangkan Hari Kiamat Masih Lama
Jumat, 12 Mei 2023
MMC: Sistem Sekuler Membuat Manusia Tak Memahami Tujuan Penciptaan
Senin, 06 Maret 2023
MANUSIA SAMPAH
Tinta Media - "Manusia sampah" adalah istilah yang digunakan untuk menyebut orang-orang yang tidak memperhatikan lingkungan sekitarnya. Manusia sampah adalah manusia yang tidak peduli dengan dampak dari perilaku mereka terhadap lingkungan. Orang-orang ini sering meninggalkan sampah di tempat yang tidak semestinya, bahkan di lingkungan yang seharusnya bersih dan rapi. Manusia sampah merujuk kepada istilah orang yang orientasinya mengotori dan merusak lingkungan dengan membuang sampah sembarangan.
Manusia sampah juga adalah mereka yang sering membuang sampah sembarangan di jalanan, sungai, laut, atau di tempat-tempat lain yang seharusnya tidak digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Dampak dari perilaku manusia sampah ini adalah terjadinya pencemaran lingkungan, kerusakan ekosistem, serta berbagai masalah kesehatan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar daerah tersebut.
Akibat ulah manusia sampah, maka rusaklah lingkungan, baik di darat, laut, maupun udara. Salah satu ayat dalam Al-Qur'an yang menggambarkan tentang kerusakan di darat dan laut adalah sebagai berikut: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS Ar-Rum 30:41).
Ayat ini menyebutkan bahwa kerusakan yang terjadi di darat dan laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia sampah yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan. Tujuan dari pencantuman ayat ini adalah untuk mengingatkan manusia yang bertanggungjawab terhadap lingkungan dan bumi yang dihuninya, karena seluruh perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT kelak.
Perilaku destruktif manusia sampah secara filosofis berarti yang punya pikiran sampah, alias pikiran negatif. Sebab, pikiran dan tindakan saling berkaitan dan memiliki korelasi yang erat. Pikiran merupakan suatu hal yang muncul dalam otak dan menjadi dasar dari tindakan seseorang. Dalam banyak kasus, pikiran dapat mempengaruhi tindakan seseorang. Tindakan seseorang diawali oleh pikirannya. Pikiran sampah akan melahirkan tindakan kotor.
Pikiran yang positif dapat memotivasi seseorang untuk melakukan tindakan positif, sedangkan pikiran negatif dapat memotivasi seseorang untuk melakukan tindakan negatif. Sebagai contoh, seseorang yang berpikir positif tentang lingkungan cenderung melakukan tindakan yang sehat dan positif seperti menjaga kebersihan dan tidak melakukan pencemaran lingkungan.
Sebaliknya, seseorang yang berpikir negatif tentang lingkungan cenderung melakukan tindakan yang merugikan dirinya sendiri seperti merusak lingkungan, membakar hutan, membuang sampah di sungai, mengeksploitasi sumber daya alam ugal-ugalan dan sejenisnya.
Jika ayat Al Qur’an telah mengingatkan perilaku manusia sampah, maka dapat disimpulkan bahwa manusia sampah adalah mereka yang punya pikiran sampah yang tidak berasal dari Al Qur’an. Pikiran sampah itu berasal dari ideologi buatan manusia yang tertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan Allah dalam Al Qur’an. Pikiran sampah itu ada dua, pertama pikiran yang memisahkan antara kehidupan dunia dengan agama, namanya sekulerisme. Kedua, pikiran yang menganggap tuhan itu tidak ada, namanya ateisme. Dua pikiran inilah yang kini menjadi biang kerusakan negeri ini.
Akibat dua ideologi sampah yang diterapkan di negeri ini, bukan hanya lingkungan dan sumber daya alam yang hancur dan rusak, namun sumber daya manusia juga rusak. Generasi bangsa ini hancur lebur akibat dua ideologi sampah ini. Perilaku hedonisme, amoralitas, kriminalistas, upnomrlitas dan sejenisnya semakin marak di negeri ini. Bagaimana mungkin, misalnya perilaku LGBT dilakukan oleh manusia, padahal binatang saja tidak melakukan. Itulah akibat ideologi sampah yang diterapkan di negeri ini. Dua ideologi ini telah menjauhkan keimanan dan ketaqwaan bangsa yang artinya jauh dari keberkahan.
Hal ini telah ditegaskan oleh Allah dalam firmanNya : Dan jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, niscaya kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS Al-A'raf 7:96).
Manusia sampah yang berideologi sekulerisme dan komunsime adalah manusia kafir, zolim dan fasik, sebab mereka mengabaikan hukum-hukum Allah dalam mengatur urusan dunia ini. Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firmanNya : Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS Al-Maidah 5:44).
Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim (QS Al Maidah : 45). Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik (QS Al Maidah : 47).
Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa orang yang tidak memutuskan suatu perkara sesuai dengan hukum Allah SWT, maka mereka dianggap sebagai orang kafir, zalim dan fasik. Hal ini menunjukkan pentingnya mengikuti dan mentaati hukum Allah SWT sebagai panduan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, ayat ini juga mengingatkan umat Islam untuk berpegang teguh pada hukum dan syariat Islam dalam memutuskan suatu perkara, agar tidak terjerumus pada perbuatan yang diharamkan dan merugikan diri sendiri dan orang lain dan bahkan akan melahirkan kesempitan hidup di dunia.
Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (QS Thahaa : 124)
Ayat ini menegaskan bahwa orang yang mengabaikan peringatan Allah SWT dan tidak mengikuti aturan-aturan-Nya, maka mereka akan mengalami kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan mereka. Kehidupan yang sempit di sini tidak hanya merujuk pada kesulitan dalam hal materi atau fisik, tetapi juga kesulitan dalam hal spiritual dan batiniah. Mereka yang tidak memperhatikan peringatan Allah SWT akan merasa terasing dan tidak tenang dalam hatinya, karena mereka kehilangan arah dan tujuan hidup yang sejati. Kesimpulannya, manusia sampah adalah manusia sekuler dan komunis.
Oleh: Dr. Ahmad Sastra Ketua
Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 25/02/23 : 13.35 WIB)
Sabtu, 31 Desember 2022
Jerat Mafia Perdagangan Manusia di Tengah Sempitnya Lapangan Kerja
Sabtu, 19 November 2022
Menjadi Manusia Rabbani
Kamis, 03 November 2022
Problem Terbesar Manusia adalah Kemiskinan
Rabu, 24 Agustus 2022
Hukum Manusia Dijadikan Sandaran Wujudkan Keadilan, FDMPB: Rumit!
Senin, 20 Juni 2022
Mentalitas Seperti Apa yang Diharapkan pada Manusia di Tapal Batas?
“Secara mentalitas, berbicara kualitas manusia seperti apa yang diharapkan oleh Islam ketika berada di tapal batas adalah orang-orang dengan mental superior,” tuturnya dalam Live Kajian Online Rubrik Muslimah Negarawan: Membangun Manusia di Tapal Batas (Mengenalkan Khazanah Islam Soal Perbatasan), Senin (13/6/2022) di kanal Youtube Peradaban Islam ID.
Hal ini ia kaitkan dengan yang disampaikan dalam QS. Al-Anfal ayat ke 60. Secara maknawi bahwa manusia-manusia yang berada di tapal batas itu adalah manusia superior. “Yaitu manusia-manusia yang bisa sampai pada level menakuti, menggetarkan,” ujarnya.
Kesadaran mental superior ini penting sekali untuk hidup di tapal batas atau perbatasan. “Jangan sampai kita seperti hidup dalam katak dalam tempurung, sementara musuh-musuh Islam memilik mata elang,” ucapnya.
“Kita harus punya standar mata elang di perbatasan yang dikaitkan dengan para penjaga tanah ribath. Ribath didefinisikan sebagai aktivitas untuk menguatkan agama dan kaum muslimin. Ribath sebagai aktivitas tinggal di tapal batas,” ungkapnya.
Terjajah Konsumerisme
Ia mengkritisi kesadaran ruang ini telah hilang di tapal batas. Standar mata elang ini kemudian hilang dan kaum muslimin telah terjajah oleh konsumerisme. Dan akhirnya dilumpuhkan secara tidak langsung. “Sementara kita secara manusia itu telah terjajah oleh konsumerisme. Sekedar menjadi konsumen, tenaga kerja, dan terkooptasi dengan iklim industrialisasi, sekularisasi, materialisasi sebuah peradaban bahkan kita akhirnya seperti dilumpuhkan secara tidak langsung, standar ini kemudian hilang,” kritiknya.
Ia memaparkan dalam banyak literatur, salah satu yang dikutipnya bahwa Islam itu menuntut masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan itu agar hidup sesuai dengan karakteristik iman tertentu.
“Menurut Dr. Majid ‘Irsan al-Kilani mengatakan dalam bukunya, Islam itu menuntut masyarakat yang tinggal di perbatasan itu agar hidup sesuai dengan karakteristik iman tertentu,” katanya.
“Jika mereka menyimpang dari arahan karakteristik itu maka Allah akan menghancurkannya dengan mengirimkan manusia yang lebih kuat sehingga bergerak bebas di sekitar rumah-rumah mereka dan meluluhlantakkan sebuah sarana dan aktivitas duniawi yang selama ini membuat mereka lalai dari salahnya,” paparnya.
Ia melihat fenomena ini terjadi di Batam. Batam berbatasan langsung dengan Singapura, bukan negeri muslim. Di mana para penduduknya terlena dengan arus kehidupan industrialisasi duniawi.
“Orang-orang Singapura pergi ke Batam karena mereka spending money, dapat fasilitas kemewahan lebih banyak dibanding di Singapura,” ucapnya.
Paradigma Perbatasan
Ia menjelaskan bagi Barat kedaulatan teritorial adalah harga mati dan menjadi fondasi bernegara. Maka ini mempengaruhi cara pandangnya terhadap perbatasan yang harus fix, kaku, dan baku.
“Inilah kenapa di era modern sekuler sekarang ilmu perbatasan menjadi berkembang pesat karena ada banyak masalah timbul soal garis demarkasi, delimitasi, dan batas maritim,” jelasnya.
Sementara Islam, menurutnya, tidak menetapkan kedaulatan pada teritorialitas sebuah negara melainkan pada penerapan hukum-hukum Allah dan jaminan keamanan sebuah negara.
“Walhasil pembahasan teritorial menjadi sangat dinamis dan fleksibel bahkan dikatakan bahwa darah syuhada lah yang menentukan batas-batas negara,” tuturnya.
“Kewilayahan tidak menjadi patokan tapi lebih bertumpu kepada sumbu dakwah dan syiar Islam yang menerapkan otoritas hukum-hukum Allah dan menjamin keamanan sebuah negeri,” lanjutnya.
Ia mengungkapkan, saat ini batas tapal atau perbatasan mengacu pada paradigma Barat. Batas teritorial harus fix, kaku, dan baku. Ia melihat Batam, Bintan, dan Natuna yang merupakan wilayah tapal batas inkonsisten terhadap batas teritorial ini.
“Katanya perbatasan harus fix tapi mereka orang-orang Singapura bebas bergerak ke tanah muslim bahkan menginvestasikan tanah, memiliki tanah properti, dan mereka bisa melakukan apa pun yang mereka suka,” ungkapnya.
Ironisnya masyarakat Batam yang sudah terindustrialisasi dengan perdagangan bebas tersebut terimbas dengan arus konsumerisme. “Justru Batam jadi semacam kabupaten Singapura. Semacam mata rantai perdagangan yang menerima barang-barang bekas branded atau preloved di Singapura, masyarakat yang sangat memuja brand-brand terkenal, rela membeli barang bekas dengan harga murah. Ini sebenarnya ironis,” bebernya.
Melihat fenomena berikutnya, ia menuturkan di Bintan sendiri banyak kepemilikan tanah atau lahan oleh perusahaan-perusahaan asing. Karena alamnya masih relatif lebih luas sehingga dalam konteks industri lebih ke hulu. “Banyak daerah yang dikelilingi untuk kepentingan perusahaan-perusahaan asing. Itu masih terjadi di Bintan,” tuturnya.
Dibandingkan Batam yang sudah terindustrialisasi, banyak terasa pengaruhnya pada produk-produk jadi, industri jasa, pembangunan resort, dan pusat-pusat hiburan. “Tipikal penduduk di Batam hampir 80 persen pendatang. Jadi acuh tak acuh. Profil masyarakatnya sudah sangat hyper industrialize sehingga mempengaruhi kepekaan. Berbeda dengan Bintan masih banyak penduduk asli,” ungkapnya.
“Diperlukan kerja keras para Dai dan Daiyah di tapal batas untuk kembali mengaktifkan penduduk di Batam yang memang relatif banyak pendatang tapi bukan berarti mereka tidak bisa dibentuk kepekaannya terhadap kemaksiatan, kezaliman, dan bagaimana membentuk mental penjaga tapal batas,” urainya.
Natuna merupakan wilayah yang tidak langsung berhadapan dengan Singapura. Natuna berhadapan dengan Laut Cina Selatan yang lotus geopolitiknya penuh gejolak luar biasa. “Luar biasa dalam 5 tahun atau bahkan 10 tahun terakhir seiring menguatnya hegemoni China dan bicara konflik Laut Cina Selatan itu urusannya China, Amerika, dan negara-negara sekutu. Kita bukan negara klaim state. Masalahnya ada tanah perbatasan laut yang memang beririsan yang diklaim oleh China,” tuturnya.
Menurutnya, kalau berbicara pembangunan manusia di tapal batas atau daerah perbatasan hari ini tantangannya luar biasa.
“Kalau sudah bicara perbatasan. Itu masalah sensitif bagi Islam, bagi kaum muslimin. Bagaimana pun itu harus menjadi concern kita membangun manusia di tapal batas,” pungkasnya. [] Ageng Kartika