Tinta Media: Mahasiswa
Tampilkan postingan dengan label Mahasiswa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mahasiswa. Tampilkan semua postingan

Senin, 02 September 2024

Tren Mahasiswa Bunuh Diri, Potret Buram Sistem Pendidikan Sekuler


Tinta Media - Saat ini kasus bunuh diri semakin marak seolah menjadi solusi terbaik untuk menyelesaikan permasalahan. Kematian Aulia Lestari, mahasiswa PPDS Anestasi Universitas Diponegoro (Undip), misalnya. Ia diduga bunuh diri karena tak kuat atas perilaku bullying yang dialaminya. 

Ini menambah daftar panjang kasus bunuh diri di Semarang, Jawa Tengah. Sebelumnya, telah terjadi beberapa kasus serupa di beberapa kampus negeri maupun swasta di Semarang. Penyebab bunuh diri pun beragam, mulai dari depresi, persoalan asmara, utang pinjol,  perundungan, hingga tekanan dalam proses belajar di kampus. (Jawapos.com, Sabtu 17/08/ 2024)

Peristiwa tragis di atas bukanlah fakta baru. Dilansir BBC.com, Ribuan calon dokter spesialis tercatat mengalami depresi, sementara ratusan lainnya mengaku ingin mengakhiri hidup. Beban pendidikan dan tekanan hidup yang tinggi akibat perundungan senior disebut menjadi penyebabnya. Mereka berpikir, daripada menanggung derita, lebih baik mengakhiri hidup dengan membunuh diri. 

Tingginya kasus bunuh diri yang menimpa pemuda hari ini menggambarkan rapuhnya mental generasi. Pemuda hari ini cenderung mengambil jalan pintas dan instan dalam persoalan hidup yang menimpanya. Mereka mudah menyerah hingga memutuskan untuk mengakhiri hidup. 

Tidak bisa dimungkiri bahwa generasi saat ini sedang menghadapi serangan pemikiran Barat yang membentuk cara pandang hidup kapitalisme-liberal. Kapitalisme telah meletakkan standar kebahagiaan hidup tertinggi pada segala hal yang bersifat materi, seperti harta, ketenaran, kedudukan, seks, dan sejenisnya. 

Bunuh diri pun sangat berdampak buruk pada generasi di masa depan, yaitu: 

Pertama, menggerus fungsi strategis pemuda sebagai garda terdepan perubahan. Sungguh ironis bila sang pemimpin perubahan justru dihinggapi banyak problem. Kesehatan metalnya lemah sehingga melakukan bunuh diri demi lari dari masalah.

Kedua, bila dibiarkan, maka kasus bunuh diri akan dianggap  sebagai kelaziman atau hal biasa, bahkan menjadi tren anak muda untuk menyelesaikan masalah. Sesuatu yang buruk bila berlangsung terus-menerus akan dianggap sebagai kebenaran.

Ketiga, mengancam kelangsungan generasi masa depan. Jika kasus bunuh diri tidak serius diatasi, maka akan mengakibatkan mental mahasiswa tak terjaga, sehingga bayang-bayang lost generation akan semakin nyata.

Demikianlah beberapa dampak negatif dari maraknya bunuh diri di kalangan mahasiswa. Ini menjadi bahan pemikiran  seluruh elemen bangsa agar bisa melakukan upaya pencegahan hingga fenomena bunuh diri tidak terus terjadi. 

Persoalan bunuh diri lahir dari sistem kapitalisme yang berasaskan sekularisme atau paham yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari, sehingga menjadikan generasi kehilangan jati diri sebagai hamba Allah. Mereka menjalani hidup sesuka hati dan mengikuti hawa nafsu. Standar halal-haram pun tak ada lagi dalam kamus hidup mereka. Maka tak heran, ketika dihadapkan pada persoalan hidup, mereka mempertimbangkannya tanpa dikaitkan dengan pemahaman hidup yang benar. Negara juga gagal membentuk jati diri yang benar bagi generasi. Dengan kurikulum pendidikan kapitalisme-sekularisme, generasi semakin jauh dari cara pandang yang benar tentang hidup.

Solusi tuntas atas persoalan ini hanyalah dengan menerapkan sistem Islam yang sahih sebab berasal dari Sang pencipta manusia, yaitu Allah Swt. Islam menempatkan negara sebagai penanggung jawab besar terbentuknya generasi unggul dan berkepribadian Islam. Oleh karenanya, negara wajib mengondisikan individu dan masyarakat agar memiliki mindset yang benar tentang hidup.

Setiap warga negara khilafah akan dibina untuk memahami jati dirinya sebagai hamba Allah sehingga selalu berusaha untuk taat dan menjauhi maksiat.  Ketika ditimpa masalah, mereka akan fokus menyelesaikan masalahnya sesuai dengan syariat Islam. 

Masalah yang muncul pada generasi pun sejatinya tak akan lahir secara sistemik sebagaimana dalam sistem kapitalisme, sebab masyarakat dalam khilafah akan hidup dalam suasana Islami. Mereka berlomba-lomba dalam mengerjakan amal saleh, bukan berlomba-lomba mengejar materi dan kesenangan duniawi. Mereka akan terbiasa melakukan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, sehingga pemahaman Islam dalam diri umat, termasuk generasi akan semakin menancap kuat.

Terbentuknya generasi yang mempu menyelesaikan persoalan hidupnya juga didukung oleh sistem pendidikan Islam yang diterapkan khilafah. Tujuan pendidikan yang berasaskan akidah Islam adalah menciptakan generasi berkepribadian Islam yang menguasai tsaqofah Islam dan Iptek. Maka, wajar khilafah akan mampu melahirkan generasi tangguh bukan generasi yang rapuh dan mudah menyerah. Khilafah akan memfasilitasi generasinya untuk menuntut ilmu, selain memberikan pendidikan gratis dan berkualitas. Khilafah juga menyiapkan orang tua untuk memiliki kemampuan mendidik generasi dengan cara dan tujuan yang benar. 

Dengan demikian, hanya khilafah yang mampu mencetak generasi tangguh dan membangun peradaban gemilang dengan menerapkan Islam kaffah di seluruh penjuru dunia. Wallahu a’lam bis shawwab.




Oleh: Hamsia 
(Pegiat Opini)

Beban Berat Mahasiswa dalam Sistem Sekuler



Tinta Media - Bunuh diri merupakan jalan pintas yang dianggap bisa menyelesaikan masalah seseorang. Sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan meniscayakan seseorang nekat mengakhiri hidup. Sistem ini meminggirkan aturan agama, sehingga manusia bebas berbuat sesukanya. Belum lagi beratnya beban kehidupan, rusaknya mental menjadi faktor tambahan.

Sebagaimana terjadi pada Aulia Risma Lestari, mahasiswa PPDS Anestesi Undip yang ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya pada Senin (12/8) akibat perundungan (bullying) di kampus. Lalu, pada Oktober 2023, EN (24), mahasiswa semester 11 Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang ditemukan meninggal dunia. Ia diduga bunuh diri akibat terlilit utang pinjaman online (pinjol).

Masih di tahun yang sama, Mahasiswi Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang (UNNES) dengan inisial NJW (20), mengakhiri hidup dengan dengan terjun dari lantai empat Mall Paragon Semarang. Sementara pada 2022 lalu, Mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi USM berinisial ANI (19) nekat bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 6B gedung parkir kampusnya akibat depresi, dan masih banyak lagi kasus serupa (Jawapos.com, 17/8).

Beban Berat

Sungguh, beratnya beban kehidupan makin terasa hari ini. Potret banyaknya mahasiswa bunuh diri menjadi fakta yang memilukan. Menurut Pakar Psikologi Unair, Dr. Nur Ainy Fardana, faktor mahasiswa bunuh diri adalah karena kesehatan mental, tekanan dan tuntutan yang tinggi dalam lingkup akademik dan keluarga, perasaan kesepian karena kurang dukungan keluarga, dan traumatis atau pelecehan. (Kompas.com, 21/11/23)

Kehidupan berat terasa dimulai dari krisis kesehatan mental. Mahasiswa sering mengalami depresi atau gangguan kecemasan. Kehidupan dijauhkan dari aturan Allah Swt. sehingga menghasilkan cara pandang kehidupan yang keliru. Kehidupan didasari dengan upaya untuk meraih tujuan materi sebanyak-banyaknya. Jika goals tidak tercapai, terkadang merasa ingin menyerah dan gagal menjalani kehidupan.

Selanjutnya, beban berat dirasakan oleh mahasiswa akibat mahalnya biaya kuliah dan kebutuhan hidup. Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa makin naik hari ini. 

Di satu sisi, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy justru mendukung mahasiswa membayar UKT dengan menggunakan pinjol. Bunga dan denda pinjol tak main-main, membengkak hingga membuat depresi. Alhasil, banyak ditemui orang yang nekat mengakhiri hidup karena gagal bayar pinjol.

Tuntutan berat juga dialami mahasiswa dari lingkungan akademik. Beban akademik yang banyak dan harus menghadapi senioritas memunculkan tekanan dalam kehidupan. Akibatnya, mahasiswa merasa tertekan dalam menjalani pendidikannya. Belum lagi bullying yang dapat merusak mental seseorang.

Lebih lanjut, beban berat mahasiswa akibat liberalisme, pelecehan seksual semakin tumbuh subur. Peluang perzinaan terbuka lebar dengan maraknya aurat diumbar. Pacaran, pornoaksi dan pornografi merajalela. Liberalisme meniscayakan kehidupan serba bebas. Saat zina telah terjadi, beban mental dirasakan sehingga memilih untuk bunuh diri.

Sesungguhnya, beratnya beban kehidupan di atas bukan hanya dialami oleh mahasiswa, tetapi seluruh manusia. Beban kehidupan akan lebih ringan jika ditopang oleh tiga pilar, yakni individu, masyarakat, dan negara. Ketiga pilar tersebut nihil perannya dalam sekularisme saat ini. Individu jauh dari aturan agama, masyarakat hilang fungsinya sebagai kontrol kehidupan, dan negara hilang perannya mengurus kehidupan rakyat.

Seringkali, solusi yang diberikan negara justru menimbulkan masalah baru. Misalnya, solusi UKT mahal seperti contoh di atas malah didukung dengan pinjol. Tak ada upaya penjagaan dan perbaikan oleh negara yang memisahkan aturan agama.

Kembali pada Islam

Islam adalah agama yang sempurna, bukan sekadar mengatur ranah ibadah saja, melainkan seluruh aspek kehidupan. Tiga pilar, yakni individu, masyarakat, dan negara akan menjalankan fungsi dan perannya dengan penerapan aturan Islam secara kafah (sempurna).

Individu misalnya, di dalam Islam akan dibina dengan akidah yang kuat. Melalui sistem pendidikan Islam, generasi dibentuk kecerdasannya, beriman, dan bertakwa. Sistem pendidikan Islam menjadikan akidah sebagai pondasi perbuatan, sehingga setiap perbuatan seseorang akan berdasarkan aturan dan perintah Allah Swt. 

Sementara, masyarakat berfungsi sebagai kontrol kehidupan. Masyarakat yang tersuasanakan Islam, akan melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap pelaku maksiat. Saling mengingatkan ini merupakan perintah Allah Swt. dalam firman-Nya,

وَالْعَصْرِۙاِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْر

“Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling mengingatkan (sesamanya) dengan kebenaran dan saling mengingatkan (sesamanya) dengan penuh kesabaran.” (QS Al-Ashr: 1-3)

Terakhir adalah peran negara. Fungsi negara di dalam Islam adalah sebagai penanggung jawab kehidupan rakyat. 

Rasulullah saw. bersabda,

".... Kamu semuanya adalah penanggung jawab atas gembalaannya. Maka, pemimpin adalah penggembala dan dialah yang harus selalu bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” (HR  Ahmad, al-Bukhâri, Muslim, Abû Dâwûd, dan at-Tirmîdzi dari Ibn Umar).

Hadits ini sebagai penjelas bahwa negara memiliki tanggung jawab penting kepada rakyat yang dipimpinnya. Islam mewajibkan negara menjamin kebutuhan pokok setiap individu. Selain itu, kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan juga merupakan tanggung jawab negara. Dengan hal ini, beban ekonomi rakyat tidaklah berat karena telah tersistem dengan baik sesuai Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Bukan hanya ekonomi, syariat Islam juga diterapkan negara dalam seluruh aspek kehidupan, mulai dari aspek politik, sosial, pergaulan, hukum, dll. Penerapan syariat Islam secara utuh akan menghantarkan manusia pada keberkahan hidup yang banyak. Wallahua'lam bisshawab.




Oleh: Ismawati 
(Aktivis Dakwah dari Banyuasin)

Minggu, 07 April 2024

Kasus TPPO Mahasiswa, IJM: Bongkar dan Adili Para Pelaku yang Terlibat



Tinta Media - Menyoroti kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang melibatkan mahasiswa, Direktur Indonesia Justice Monitor  (IJM) Agung Wisnuwardana menyerukan, agar kasus tersebut dibongkar dan para pelaku yang terlibat diadili.

“Bongkar dan adili siapa pun yang  terlibat dalam perdagangan orang dengan modus magang ferienjob (program kerja yang mengandalkan tenaga fisik) ke Jerman!” ujarnya dalam program Aspirasi: Pihak Kampus dan Menteri Nadiem ikut Bertanggung Jawab? Di kanal YouTube Justice Monitor, Senin (1/4/2024).

Menurutnya, para pelaku tampak mempunyai jaringan rapi untuk meyakinkan mahasiswa dan kampus agar mau bergabung.

“Jaringan ini, ternyata terhubung dengan agen tenaga kerja di Jerman yang ujungnya adalah tindakan TPPO,” ungkapnya.

Selain itu, Agung menduga ada perusahaan yang bertugas mempromosikan ferienjob di kampus-kampus seluruh Indonesia. 

Lalu, sambungnya, ada perusahaan penyedia layanan administratif, termasuk kontrak kerja bagi kampus dan mahasiswa yang berminat dengan program ferienjob tersebut.

“Diduga, mereka juga bekerja sama dengan oknum akademisi untuk meyakinkan para petinggi kampus di Indonesia,” tandasnya.

Sebelumnya, Agung mengungkapkan, sebanyak 1.047 mahasiswa dari 33 universitas di Indonesia diduga menjadi korban eksploitasi kerja dengan modus magang di Jerman pada Oktober sampai Desember 2023. 

Kasus ini diketahui terkait dengan adanya dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) berkedok Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

“Mahasiswa tersebut dipekerjakan secara nonprosedural sehingga tereksploitasi,” pungkasnya.[] Muhar

Minggu, 03 Maret 2024

Bukan untuk Semua Calon Mahasiswa, Besti Bikin Iri


Tinta Media - Sungguh sangat disayangkan membaca laporan Kompas TV Bandung (15/02/2024) yang menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung kembali membuka program "Beasiswa Bupati (Besti) gelombang I, tahun 2024 bagi 130 calon mahasiswa dari warga Kabupaten Bandung.  Menurut penulis, bantuan itu terlalu sedikit dan bersyarat bagi para lulusan SMA/SMK yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat Perguruan Tinggi (PT).  Tentu ini bikin iri siswa yang tidak lulus tes.

Bupati Dadang Supriatna menjelaskan bahwa Beasiswa ini (Besti) merupakan upaya dan perhatian pemerintah dalam mewujudkan salah satu visi Pemkab Bandung, yaitu menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata untuk mendukung terwujudnya masyarakat Kabupaten Bandung yang edukatif. Harapannya, di tahun 2024 ini Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) dapat mencapai 10 tahun. Tahun 2023, RLS Kabupaten Bandung adalah 9.10.

RLS  adalah banyaknya tahun (lamanya) belajar penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah diselesaikan dalam pendidikan formal (tidak termasuk tahun yang mengulang). Maka, RLS 10 tahun artinya rata-rata penduduk dapat menyelesaikan pendidikan sampai tingkat sarjana (S1), yaitu 3 tahun SMP, 3 tahun SMA, dan 4 tahun Perguruan Tinggi.

Namun, Besti tidak untuk semua warga, karena sasaran program Besti adalah calon mahasiswa atau mahasiswi yang memiliki prestasi akademik atau non-akademik, serta tergolong sebagai keluarga ekonomi tidak mampu (SETM). 

Jumlah siswa lulusan SMA/SMK di Kabupaten Bandung tahun 2023  sebanyak 36. 158 orang dan perkiraan siswa yang lulus tahun 2024 sebanyak 40.786 orang. Maka, baru 100 orang lulusan SMA /SMK di Kabupaten Bandung yang mendapat bantuan dari pemerintah, karena dari 130 Besti, 30 Besti khusus diperuntukkan bagi guru ngaji yang belum mendapat pendidikan S1. Artinya, baru 0.27 %  siswa lulusan SMA/SMK yang terbantu Besti, masih jauh untuk mencapai pendidikan yang merata.

Pendidikan adalah hak setiap manusia. Seharusnya tidak ada syarat untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Setiap anak warga Kabupaten Bandung berhak untuk mendapatkan pendidikan tinggi tanpa harus dicap sebagai keluarga tidak mampu (miskin) dulu.

Mirisnya, hidup dalam negeri dengan sistem kapitalisme menempatkan manusia dalam kelas-kelas tertentu. Ada kelas ekonomi mampu, ekonomi menengah, dan ekonomi tidak mampu. Bantuan baru ada bila warga termasuk kelas ekonomi tidak mampu. Itu pun tidak seluruhnya dapat bantuan, harus ada prestasi atau nilai akademik yang bertahan tinggi setiap semesternya. 

Siswa harus berusaha sekuat tenaga  agar dapat memperoleh sedikit bantuan dari penguasa.  Biaya pendidikan yang mahal terasa berat bagi para orang tua karena selain biaya pendidikan, masih harus dipikirkan biaya keperluan hidup yang lainnya, seperti kebutuhan makanan, tempat tinggal, listrik, kesehatan dan lain-lain. Seluruh biaya hidup ditanggung oleh masyarakat sendiri. Dimana peran pemerintah?

Hal berbeda akan kita dapatkan dalam negara Khilafah yang berlandaskan Syariat Islam.  Dalam Khilafah, seorang pemimpin (Khalifah) bertugas mengurus urusan rakyat. Dia bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rakyat individu per individu. Landasan keimanan membuat Khalifah akan bersungguh-sungguh melayani rakyat, termasuk dalam hal pendidikan. 

Setiap orang dapat menjalani pendidikan dengan tenang karena pendidikan diselenggarakan secara gratis oleh Khalifah. Segala fasilitas pendidikan disediakan dan dibangun oleh pemerintah.  Bangunan sekolah, laboratorium, perpustakaan, buku-buku, asrama, bahkan para guru terbaik di bidangnya disediakan oleh negara Khilafah.  

Dari mana Biayanya? Inilah bedanya negara kapitalis yang miskin akibat banyak korupsi dan jeratan utang dengan negara Khilafah Islamiyah yang kaya. Dalam sistem Islam, sumber daya alam adalah milik rakyat secara umum, maka haram dikelola oleh swasta, apalagi asing. 

Sumber daya alam yang melimpah dikelola oleh Khalifah dan hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Tidak ada korupsi atau usaha memperkaya diri sendiri, karena akan berhadapan dengan Allah Swt. nanti di yaumil qiyamah. Selain dari pengelolaan SDA, Khilafah pun mendapat dana dari kharaz, fa'i,  dan waqaf  dari para aghnia (orang kaya). Semua dana dikelola oleh baitul mal yang terpercaya. Wallahu a'lam bish shawwab



Oleh: Wiwin
Sahabat Tinta Media 

Senin, 25 Desember 2023

Inilah Alasan Gerakan Mahasiswa Mulai Meredup



Tinta Media - Direktur Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Dr. Erwin Permana mengungkapkan alasan gerakan mahasiswa mulai meredup lagi. 

"Kenapa? Ya karena melihat track record dari mantan aktivis sebelumnya kan, yang akhirnya menjadi bagian dari pemerintah," ujarnya dalam acara Kabar Petang dengan tema Redam Suara Kritis, Jokowi Gunakan Strategi Pukul dan Rangkul? Di kanal Youtube Khilafah News Sabtu (23/12/2023). 

Bung Erwin, sapaannya, mencontohkan seperti halnya Faldono Maldini (mantan ketua BEM UI) dan juga mantan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) sebelumnya yang mengatakan DPR itu Dewan Pengkhianat Rakyat. 

"Dia katakan DPR itu Dewan Pengkhianat Rakyat, lah dia malah sekarang nyaleg berarti dia sedang mencalonkan diri untuk menjadi pengkhianat rakyat, kan begitu," bebernya. 

Akhirnya, lanjutnya, dari kasus ini banyak yang dikomplain oleh mahasiswa yang ditonton oleh adik-adiknya. "Kalau gitu ngapain menjadi aktivis, toh ujung-ujungnya begitu," lanjutnya. 

Jadi memang, ujarnya, justru kasus seperti inilah yang mencederai aktivis-aktivis opportunis yang ujungnya adalah masuk kekuasaan atau pemerintahan. 

"Gimana nih banyak duitnya, jadilah mereka (mahasiswa)  menjadi aktivis yang jinak, maka ini akan menimbulkan sinisme di kalangan aktivis-aktivis yang saat ini aktif di kampus," tuturnya. 

Akhirnya keluhnya, mereka (mahasiswa) tidak bergerak. "Ngapain jadi aktivis, ngekor juga kan ujung-ujungnya," katanya. 

Jadi bebernya, hal semacam itu bisa mengubah mindset aktivis yang sekarang ini tidak melahirkan satu gebrakan sosial. "Kan sudah tak sanggup lagi menjadi bagian agent of change ditengah-tengah masyarakat, toh kebawa arus juga kan," bebenya. 

Bung Erwin mengungkapkan beberapa mahasiswa memang masih ada yang memperhatikan hal-hal yang kritis, namun jika tidak dibangun dengan mindstroming ideologi yang jelas seperti ideologi Islam mereka senantiasa beropini pragmatis. 

"Opini-opini perubahan yang menggugah gerakan -gerakan yang lain, itu justru kemudian menjadi temporal," pungkasnya. [] Setiyawan Dwi.

Sabtu, 10 Desember 2022

Mahasiswa Terjerat Pinjol, Potret Korban Sistem Kapitalis

Tinta Media - Belakangan ini, berita diramaikan oleh ratusan mahasiswa dari perguruan tinggi negeri di Jawa Barat terjerat pinjaman online/pinjol. Mahasiswa tersebut mengalami ketakutan, lantaran didatangi oleh penagih utang (debt collector). Utang mereka pun beragam, mulai dari 3 juta rupiah hingga 13 juta rupiah (Republika.co.id)

Kabarnya, para mahasiswa yang terjerat pinjol ini, adalah korban penipuan dengan modus iming-iming imbal hasil yang besar. Menurut laporan yang diterima, total korban yang terjerat kasus penipuan hingga meminjam ke pinjol ini sebanyak 331 orang, 116 orang di antaranya mahasiswa asal IPB (Bbc.com).

Modus yang dilakukan oleh pelaku penipuan adalah dengan meminta korban untuk pura-pura membeli sejumlah barang di toko online pelaku. Pelaku menjanjikan akan mengembalikan uang yang dibelikan korban sekaligus imbal bagi hasil sebesar 10%. Mahasiswa yang tidak memiliki uang pun, akhirnya menggunakan jasa pinjol untuk modal dalam membeli barang fiktif tersebut. Hal inilah yang menjadikan mereka rugi dua kali. Sudah ditipu, terjerat oleh tagihan pinjol dan bunga yang kian menumpuk.

Minimnya literasi keuangan di kalangan masyarakat, khususnya mahasiswa menjadi alasan yang disampaikan oleh Yatri Indah Kusuma Astuti, Humas IPB, terkait kasus penipuan pembelian barang fiktif ini. Bila kita lihat, masyarakat saat ini, seringkali mencari jalan pintas dalam menambah penghasilan. Iming-iming imbal bagi hasil yang besar dan passive income menjadi alasan yang dapat menjerat para korban untuk masuk ke dalam jebakan penipuan.

Ini adalah potret korban sistem kapitalis. Harta menjadi tujuan utama yang harus dikejar bagaimanapun caranya. Mereka berlomba mencari harta sebanyak-banyaknya dan dengan cara secepat-cepatnya, sehingga tidak lagi berpikir logis dan kritis. Hal ini semakin miris dikarenakan korbannya adalah mahasiswa yang seharusnya memiliki pola pikir yang lebih kritis dibandingkan masyarakat pada umumnya.

Pergeseran paradigma berpikir mahasiwa pun menjadi hal yang perlu disoroti dalam kasus ini. Jika sebelumnya mahasiswa diidentikkan dengan cara berpikir yang berpendidikan, serta upaya untuk menjadi solusi bagi masyarakat, faktanya saat ini yang kita lihat justru kebalikannya, mahasiswa seringkali malah terjebak pada arus hedonisme. Mereka menggunakan waktu dan uangnya hanya untuk bersenang-senang, tanpa memikirkan kondisi masyarakat dan umat. Ini dapat dilihat dari menjamurnya kafe-kafe tempat nongkrong mahasiswa dan juga tempat-tempat hiburan yang ramai dikunjungi oleh mahasiswa.

Padahal, mahasiswa adalah pemuda. Di tangannyalah harapan umat ditaruh. Eerginya masih penuh dan waktunya masih luang untuk memikirkan solusi bagi permasalahan umat. Sudah sepatutnya para mahasiswa kembali lagi berpikir mengenai perubahan yang perlu mereka lakukan untuk memperbaiki generasi mengubah diri dari yang terbawa arus justru menjadi penggerak arus.

Seperti yang dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah saw. Jika kita lihat, usia mereka ketika masuk Islam kebanyakan masih di bawah 30 tahun. Umar bin Khattab masuk Islam di usia 27 tahun. Ali bin Abi Thalib adalah yang termuda dengan masuk Islam di usia 10 tahun. Lalu ada Saad bin Abi Waqqash yang masuk Islam pada usia 17 tahun. Mereka aktif dalam membuat arus perubahan.

Mereka aktif berdakwah mengajak kepada ketauhidan dan melakukan perubahan dari masyarakat yang jahiliyah (menyembah berhala) menjadi masyarakat Islam yang mulia. Bahkan, kepemimpinannya menghantarkan  Islam pada puncak kejayaannya selama 13 abad, hingga akhirnya Islam bisa tersebar luas ke seluruh penjuru dunia.

Belum lagi cerita seorang khalifah muda yang namanya mungkin tak asing kita dengar, Muhammad Al-Fatih. Ia menaklukan Konstantinopel bukan karena mengharapkan harta ataupun kekuasaan, tetapi semata hanya untuk menegakan dakwah Islam dan memuliakan seluruh umat dengan Islam. 

Dari sini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa perubahan yang menyeluruh ini, tidak akan dapat dicapai dengan sudut pandang materi keduniaan, melainkan perlu dicapai dengan sudut pandang Allah sebagai Rabb Pencipta langit dan bumi, yang tertuang di dalam syariat Islam. 

Maka dari itu, para pemuda perlu menjadikan Islam sebagai sudut pandangnya dan mencampakkan pemikiran kapitalis dan liberalis yang jelas-jelas hanya akan membawa mereka kepada kerusakan. Pemuda perlu mengembalikan jati dirinya menjadi pemuda muslim yang merupakan umat terbaik dengan cara kembali kepada syariat Allah dan melakukan pendalaman Ilmu Islam yang dapat membuat perubahan, baik bagi diri maupun masyarakat.

Hanya dengan ini, pemuda khususnya mahasiswa dapat menjadi penggerak perubahan, bukan lagi menjadi pembebek yang silau akan kesenangan yang fana di dunia yang justru akan menjebak mereka pada kerusakan yang lebih parah.[]

Oleh: Ummul Fiqri
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok

Sabtu, 26 November 2022

Terseret Pinjol, Mahasiswa dalam Pusaran Kapitalisme

Tinta Media - Alih-alih mengoptimalkan potensinya untuk menuntut ilmu dan menjadi agen pengubah peradaban, ratusan mahasiswa di Kota Bogor malah terseret pinjol (pinjaman online). Dari 333 orang, sebagian besar adalah mahasiswa IPB. Total kerugian mencapai Rp2,1 miliar (www.viva.co.id/18/11/22). 

Kronologi Kejadian 

Ratusan mahasiswa tersebut tertipu bisnis online fiktif dengan iming-iming keuntungan sebesar 10 persen dari nilai yang diinvestasikan. Namun, untuk mendapatkan keuntungan tersebut para mahasiswa ini diharuskan mengajukan pinjaman online. Sedangkan pemilik bisnis online tersebut tak kunjung merealisasikan keuntungan 10 persen kepada korban. Akhirnya, ratusan mahasiswa ini terjebak tagihan pinjaman online. 

Beberapa kasus berawal dari keikutsertaan mahasiswa dalam panitia divisi sponsor yang menuntut mereka untuk fundraising (penggalangan dana) dalam sebuah project kampus. Kemudian, mereka mendapatkan tawaran dari temannya untuk bergabung dalam bisnis online fiktif tersebut. Rata-rata yang menjadi korban bisnis online fiktif ini adalah mahasiswa baru. Kebanyakan dari mereka terdorong menjadi pegiat di bidang wirausaha. Pebisnis online nakal yang tergiur dengan keuntungan besar memanfaatkan peluang ini. 

Imbas dari Program Kewirausahaan Mahasiswa MBKM 

Maraknya program-program UMKM mahasiswa tidak terlepas dari penggalakan program kewirausahaan di perguruan tinggi. Kampus yang seharusnya mencetak tenaga terdidik yang dengan ilmunya mampu membawa perubahan besar dunia dan mengangkat harkat martabat negara, kini berbelok sekadar menjadikan lulusan pencetak remah-remah rupiah. 

Mahasiswa yang seharusnya sibuk menuntut, mengkaji, dan mengamalkan ilmu untuk meraih pahala jariyah, kini tersibukkan dengan jualan dan cari uang. Pasalnya, melalui Program Kewirausahaan Mahasiswa Indonesia (PKMI) tahun 2021 sebagai bentuk implementasi kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka (MBKM) menargetkan peningkatan kompetensi lulusan, baik soft skills maupun hard skills, agar lebih siap dan relevan dengan kebutuhan zaman (dikti.kemdikbud.go.id/18/11/22). 

Artinya, relevan dengan kebutuhan di zaman ketamakan oligarki,  saat kelompok elit/pengusaha menjadi penguasa negeri. Jati diri mahasiswa sebagai agent of change hilang. Mereka justru menjadi buruh kerja yang semakin menguntungkan ‘industri’ oligarki. 

Jikalau sukses menjadi wirausaha, mereka tak akan mampu bersaing dengan perusahaan besar swasta/asing yang bercokol di negeri ini. Mereka hanya sekadar menjadi pejuang remah-remah rupiah yang bertahan sebentar. Program ini adalah desain kapitalisme yang ingin menjaga dan memuluskan kepentingan mereka/oligarki. 

Mahasiswa dalam Pusaran Kapitalisme

Di zaman yang serba materialistik, arah pendidikan semakin jelas memenuhi kebutuhan industri. Kehidupan sekuler yang tidak memandang halal haram menjadi paket komplit sumber inovasi kerusakan. 

Kondisi ini cocok bagi inovator bisnis online nakal layaknya SAN (pelaku bisnis fiktif) memanfaatkan segala kondisi yang ada, tanpa memandang aktivitas itu halal atau haram, demi meraih keuntungan. Seperti yang terjadi pada kasus ratusan mahasiswa terjebak pinjol ini. Mahasiswa pun tidak menggunakan standart halal dan haram ketika melakukan pinjaman online. Padahal, di dalam aktivitas pinjol ada unsur riba yang jelas diharamkan dalam Islam. Di satu sisi, peluang untuk memperoleh uang juga mudah melalui kemunculan berbagai aplikasi pinjol. 

Pada akhirnya, peristiwa ini logis terjadi dalam sistem kapitalisme. Hanya uang atau keuntungan materi saja yang menjadi standar perbuatan. Tanpa tebang pilih, mahasiswa pun masuk dalam pusaran gaya hidup kapitalistik. Mereka masuk kuliah agar lulus, kemudian bisa kerja dan dapat uang banyak. 

Standart sukses pendidikan hanya diukur dari seberapa banyak output yang terserap dalam dunia kerja. Sistem pendidikan ala kapitalisme telah gagal mencetak mahasiswa visioner dan ideologis. Memang betul, hanya ‘UUD’ yang berlaku di peradaban kapitalisme saat ini, alias Ujung-Ujungnya Duit, tanpa memandang halal haram perbuatan. 

Islam Mencetak Pemuda Takwa dan Ideologis 

Sistem pendidikan Islam akan mencetak pemuda-pemudi muslim yang bertakwa dan berideologi Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ … وَشَابٌّ نَشَأَ فِى عِبَادَةِ رَبِّهِ 

“Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan (Arsy-Nya) pada hari yang tidak ada naungan (sama sekali) kecuali naungan-Nya: … dan seorang pemuda yang tumbuh dalam ibadah (ketaatan) kepada Allah …” (HR. Bukhori Muslim) 

Pemuda muslim yang memiliki ideologi Islam akan memiliki kesadaran hubungannya dengan Allah. Bahwasanya, seluruh perbuatannya dalam 24 jam terikat dengan aturan Allah. Ia sadar bahwa ada Allah yang mengawasi dan menghisab amal perbuatannya. 

Pemuda muslim ideologis juga memiliki semangat perjuangan untuk mengubah suatu kondisi yang buruk menjadi baik/mulia. Sebab itulah, pemuda ideologis memiliki idealisme hidup karena ia berjalan sesuai standar dari Sang Pencipta, yaitu Allah Swt. 

Dalam hal ini kejelasan sikap pemuda muslim ideologis meliputi hal berikut: 

Pertama, dalam hal pendidikan. Ia akan memandang bahwa perguruan tinggi adalah wadah untuk menuntut ilmu, bukan untuk menimba uang sebanyak-banyaknya. 

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah) 

Kedua, ketika hendak berbuat atau memutuskan sesuatu, ia berpikir terlebih dahulu, apakah perbuatannya dalam rida Allah atau tidak. 

Ketiga, ketika mengetahui kemungkaran, ia segera mencegahnya. Ia memiliki daya juang melawan kemungkaran. Ia seperti daya magnet yang mampu menarik pemuda-pemuda muslim lain untuk fastabiqul khairat dan mampu membuat arus perubahan di tengah-tengah masyarakat. 

Firman Allah Swt. 

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Al-Imran:110) 

Pendidikan dalam sistem Islam tidak diukur dari seberapa banyak output yang terserap dalam dunia kerja, melainkan mencetak generasi cerdas, beriman dan bertamwa. Generasi  Islam mampu memberikan sumbangsih keilmuan untuk membangun peradaban mulia, bukan generasi money oriented. 

Hal itu sebagaimana generasi ilmuwan muslim di masa peradaban Islam yang menjadi peletak dasar keilmuan hingga saat ini, seperti: 

Ibnu Sina, dijuluki Bapak Kedokteran Modern. Ia menjadi peletak dasar keilmuan kedokteran yang ilmunya digunakan hingga generasi sekarang. 

Al khawarizmi, penemu angka nol. Ia merupakan ilmuwan penting dalam sejarah matematika. 

Fatima al Fihri, pendiri universitas pertama di dunia (Al Qarawiyyin, 859M). 

Dan masih banyak ilmuwan muslim lainnya. Mereka adalah ilmuwan yang bertakwa dan ideologis yang mampu mengubah dunia dan membawa peradaban Islam pada puncak kejayaan. 

[Wallahua’lam]

Oleh: apt. Azimatur Rosyida, S.Farm. Pemerhati Generasi

Minggu, 20 November 2022

Ratusan Mahasiswa Tertipu Pinjol, MMC: Teracuni Pemikiran Kapitalis

Tinta Media - Adanya kasus penipuan dengan modus pinjaman online yang menimpa ratusan mahasiswa dinilai Muslimah Media Center karena teracuni oleh pemikiran kapitalis.

“Adanya sejumlah mahasiswa yang terjerat pinjaman online sejatinya menunjukkan potret pemuda hari ini yang telah teracuni oleh pemikiran kapitalis,” tutur narator MMC dalam rubrik Serba-serbi MMC: Ratusan Mahasiswa Tertipu Pinjol, Mahasiswa Terseret Arus Kapitalisme? pada Kamis (17/11/2022) di kanal Youtube Muslimah Media Center.


Menurutnya, mahasiswa tersebut dicekoki gambaran pemuda sukses adalah ketika bisa meraih materi atau harta sebanyak-banyaknya. Narator merasa prihatin ketika menyampaikan hasil survei UGM yang menyatakan banyak di antara para korban tidak merasa dirugikan karena yang dianggap kerugian hanya finansial dan tidak memperhitungkan perkara penting yaitu waktu, kesempatan, dan martabat. 

“Paradigma sekuler kapitalisme dalam sistem pendidikan saat ini telah jelas telah menjauhkan pemuda dari posisi strategisnya sebagai penggerak perubahan menuju terbentuknya peradaban gemilang,” ujarnya.

Pendidikan tinggi yang memberi ruang begitu luas bagi mahasiswa yang ingin menyalurkan potensinya dalam dunia usaha, menurut narator sejatinya hanya membelokkan perjuangan pemuda agar mendukung penuh kebijakan rezim neo liberal. “Sistem Kapitalisme telah mencengkram seluruh potensi pemuda agar pemberdayaan mereka di seluruh bidang tidak keluar dari desain kapitalisme global,” paparnya.

Ia menceritakan ada 311 orang menjadi korban penipuan dengan modus pinjaman online atau pinjol dan 126 di antaranya adalah mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). 

“Para mahasiswa ditawari proyek usaha online dengan iming-iming bagi hasil sebesar 10% yang pembayarannya melalui pinjaman online. Hasil pinjaman digunakan untuk membayar produk. Namun apa lacur, janji bagi hasil 10% tak kunjung diberikan dan uang pun melayang,” katanya.

Narator sepakat dengan apa yang disampaikan oleh pengamat keuangan, Peter Abdullah. Peter menilai ratusan mahasiswa Institut Pertanian Bogor atau IPB yang terjerat pinjaman dalam jaringan pinjol untuk penjualan -yang ternyata bodong- karena tamak, tidak memiliki kemampuan keuangan, dan tidak memiliki literasi pengetahuan mengenai masalah ini.
 
Pemuda Muslim

Narator mengajak agar pemuda muslim mengembalikan jati dirinya sebagai seorang muslim dengan ideologi Islam sebagai pemikirannya dan arah perjuangannya.

“Ideologi Islam tegak di atas akidah yang lurus sesuai dengan tujuan penciptaan manusia alam semesta dan kehidupan. Dari akidah Islam yang lurus inilah lahir sistem hidup yang benar yakni syariat Islam kaffah yang mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan,” tuturnya.

Narator menjelaskan bahwa ideologi Islam akan menjadikan pemuda muslim memiliki kaidah berpikir yang bisa mengarahkan umat untuk maju dan membangun sebuah peradaban cemerlang di masa depan. Selain itu, menurutnya, pemuda berideologi Islam akan memiliki kesadaran politik Islam. 

“Para pemuda akan menyadari bahwa berbagai persoalan kehidupan yang menimpa manusia hari ini adalah akibat ideologi kapitalisme sekuler yang merusak dan tidak Allah ridhoi. Mereka akan bangkit dan mencampakkan pemikiran yang rusak dari benak mereka,” ujarnya penuh optimis.

Masih dengan penuh semangat dan optimisme, narator juga mempunyai harapan jika pemuda Muslim akan bertransformasi menjadi pemuda ideologis yang mampu menjadi pelopor perjuangan umat untuk mengembalikan Islam dalam tatanan kehidupan manusia. 

Narator menjabarkan bahwa pemuda Muslim ideologis akan menjadi sosok yang berani menyatakan visinya secara terang-terangan ke masyarakat yakni melanjutkan kembali kehidupan Islam di dalam dan di luar negeri dalam institusi politik yakni Khilafah. 

“Inilah arah pemberdayaan pemuda Muslim yakni mewujudkan para pemuda berideologi Islam yang siap memperjuangkan Islam semata-mata dengan kesadaran Iman. Dan hanya partai politik Islam ideologis saja yang mampu mencetak pemuda pejuang seperti ini,” pungkasnya.[] Erlina YD

Jumat, 18 November 2022

Mahasiswa Dicekik Utang Ribawi, Iwan Januar: Berpikirlah Waras dan Syar’i!

Tinta Media - Direktur Siyasah Institute Iwan Januar mengajak anak-anak muda agar berpikir waras dan syar’i.

“Anak-anak muda saatnya berpikir waras dan syar’i soal bisnis,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (17/11/2022).

“Kalau tidak, siap-siaplah nyungsep dalam jerat utang,” tambahnya.
 
Ia menyontohkan seperti yang dialami ratusan mahasiswa IPB yang terjerat utang pinjaman online sampai didatangi para debt collector. Terbuai iming-iming keuntungan bisnis online, para pelaku ini nekat mengambil pinjaman online yang disodorkan pada mereka. “Tapi cicilan utang plus bunga yang harus dibayarkan ternyata lebih besar ketimbang keuntungan bisnis, jatuhlah mereka dalam debt trap,” jelasnya.

Iwan sepakat dengan pernyataan pengamat keuangan, Piter Abdullah, dalam Republika online kalau kejadian ini perpaduan sifat tamak dan kurang literasi. Soal yang pertama, anak-anak muda belakangan dibombamdir bisnis menjual mimpi. Tagline muda, sukses, kaya raya bersliweran di media sosial, buku-buku dan ragam pelatihan bisnis. Iming-iming coaching bisnis lebih banyak menjual mimpi ketimbang memberikan literasi bisnis yang benar. “Tidak jarang para coach itu tidak punya bisnis riil, kecuali ya dengan bisnis coaching bisnis,” paparnya. 

Diungkapkan pula bahwa rakyat juga makin tergiur ingin buru-buru sukses dan kaya karena dihajar budaya flexing alias pamer kekayaan maksimal. Selebritis, pengusaha muda, pengacara, atau siapapun yang kaya. Kalau dulu orang Indonesia dibuai kekayaan lewat sinetron-sinetron domestik yang menyajikan rumah mewah, mobil mewah, dsb. Sekarang warga disodori kemewahan lewat media sosial. “Lewat medsos, anak-anak muda bisa mengintip jam tangan artis atau pengusaha muda, makan siang di mana, merk dan jenis mobilnya, bajunya, berenang dan liburan dimana,” ungkapnya.

Bagi warga biasa, menurutnya juga anak-anak muda, konten-konten seperti itu selain hiburan juga menginspirasi atau tepatnya jadi mimpi. Sementara buat para selebritis, akun mereka juga sumber cuan. Makin banyak follower, like dan subscriber, makin banyak cuan yang masuk rekening mereka. “Di antara konten yang disukai warga adalah flexing, pamer kekayaan,” tuturnya.

Iwan menilai anak-anak muda ini miskin literasi bahwa bisnis itu ada ilmunya dan perlu pengalaman. Bahwa untuk membuat segelas kopi enak saja perlu belajar serius jadi barista. Untuk membuat mie instan ala abang-abang warmindo ada teknik yang kudu dipelajari. “Belum lagi siap mental untuk jatuh bangun sebagai pengusaha,” ujarnya.

Tapi, dasar manusia, apalagi anak-anak muda, lebih mudah terbujuk dengan bisnis yang mudah, tinggal rebahan, pemasukan datang. “Kalimat ‘pasive income’ itu beneran membuat banyak orang tersihir untuk cari bisnis yang gampang, cukup rebahan, tapi ada pemasukan,” paparnya.

Utang Ribawi

Utang ribawi menurut Iwan belum cukup. “Karena persoalan yang paling dasar soal ratusan mahasiswa terjerat pinjol, adalah berjalannya sistem kapitalisme yang menghalalkan pinjaman ribawi,” jelasnya.
 
Ia menjelaskan bahwa dalam kapitalisme, utang atau pinjaman adalah bisnis. Bukan aktivitas sosial. Tak ada makan siang gratis. Lembaga keuangan memberi pinjaman benar-benar mencari keuntungan. Revolusi teknologi digital menjadikan bisnis pinjaman jadi lebih mudah, cepat, dan bisa diakses siapa saja. “Termasuk anak-anak muda seperti para mahasiswa ini,” jelasnya.

“Mungkin dengan niatan ingin punya penghasilan, meringankan beban orang tua, atau juga termakan iming-iming sukses finansial di usia muda, ramai-ramailah ajukan pinjaman lewat aplikasi online. Ujung-ujungnya seperti tikus masuk jepitan perangkap,” lanjutnya.

Iwan memaparkan soal mahasiswa terjerat utang jauh lebih sadis di Amerika Serikat. Ribuan mahasiswa negeri kapitalis itu jatuh dalam apa yang disebut ‘student trap’, perangkap utang mahasiswa untuk biaya kuliah. “Penyebab semua itu adalah mahalnya biaya perkuliahan di sana,” paparnya.

Diterangkannya bahwa sejak tahun 1978, biaya kuliah di AS naik hingga 1.120 persen. Banyak keluarga dan anak muda AS yang tidak sanggup bayar uang kuliah dari kocek sendiri. Solusinya mereka mengajukan pinjaman pada sejumlah bank atau lembaga keuangan yang disebut program student loan. Rata-rata mahasiswa AS punya total pinjaman pada kisaran US$ 26,950 – US$ 31,450. Kalau dirupiahkan kisarannya Rp 421 juta hingga Rp 491 juta. “Pusing, tidak?” tanyanya.

Total utang mahasiswa di AS tembus US$1,6 triliun, menempati urutan kedua daftar utang terbesar setelah perumahan. Banyak di antara mahasiswa tersebut yang gagal bayar dan harus drop out dari kampus dengan tetap masih menanggung utang. Pada tahun 2015-2016 diperkirakan ada 3,9 juta mahasiswa harus cabut dari kampus karena kehabisan uang. Hal ini mendorong Presiden Joe Biden membuat kebijakan pemutihan alias penghapusan utang mahasiswa di AS. “Tapi rencana ini ditentang sejumlah ekonom karena dicemaskan justru akan mendorong inflasi di AS,” terang Iwan.

Solusi Islam

Iwan menjelaskan persoalan utang piutang sebenarnya sudah tuntas dalam Islam. “Sedari awal Islam sudah menetapkan bahwa utang atau pinjaman adalah amal salih sebagai nilai sosial. Memberi bantuan pinjaman pada sesama itu berpahala,” jelasnya dengan menyampaikan sabda Nabi Saw 

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً

Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada seorang muslim suatu pinjaman sebanyak dua kali, maka ia seperti telah bersedekah sekali.” (HR. Ibnu Majah).

Ditambahkannya bahkan agama ini mendorong orang yang memberikan pinjaman untuk senantiasa memudahkan pembayaran, meski tentu saja juga mendorong orang yang berutang untuk segera membayar pinjamannya. Nabi Saw bersabda:

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّيْنُ , فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ

Barangsiapa memberi tenggang waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan,  dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum bisa dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya.” (HR. Ahmad)

Ia menegaskan soal riba, tak ada toleransi terhadapnya. Islam memerangi praktik riba dalam muamalah, termasuk dalam utang piutang, baik nilainya kecil maupun besar. Allah Swt. Berfirman, yang artinya:

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.“ (TQS. al-Baqarah [2]: 275).

Utang piutang adalah amal yang dihalalkan dalam agama. Seorang muslim dianjurkan saling tolong menolong, baik dengan bersedekah atau dengan memberi pinjaman. “Yang terlarang adalah praktik utang ribawi, karena itu diharamkan dan mencekik leher orang yang membutuhkan,” jelas Iwan.

Sedangkan untuk keperluan bisnis, Ia memaparkan Islam juga sudah membuka jalan melalui hukum-hukum syirkah. “Sistem usaha yang diajarkan Islam adalah riil, mengedepankan usaha dan kerja keras, dan bukan iming-iming atau jualan mimpi,” paparnya.

Apalagi soal biaya pendidikan, ia menegaskan Islam mewajibkan negara untuk menanggung biaya pendidikan rakyatnya; mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, termasuk doktoral sekalipun. Mencari ilmu adalah perkara fardhu, maka menjadi kewajiban bagi kaum muslimin selain berkorban biaya, juga kewajiban Negara Islam untuk menanggung seluruh biaya tersebut. “Negara tidak boleh membisniskan pendidikan pada rakyatnya, sebagaimana juga tidak boleh membisniskan kesehatan,” tegasnya. 
Nabi Saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

”Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Imam Al Bukhari).

Yang tidak kalah penting, menurut Iwan adalah Islam juga mendidik umat, termasuk anak-anak muda, untuk menjadi pribadi-pribadi yang qonaah, merasa cukup, dan menjauhkan diri dari jiwa serakah dan panjang angan-angan (tulul amal). Siapapun yang membaca biografi Utsman bin Affan atau Abdurrahman bin Auf, atau ulama yang kaya seperti Abdullah bin Mubarak, maka yang diceritakan adalah tentang kesalihan dan kedermawanan mereka. “Bukan kiat sukses apalagi flexingnya,” tuturnya.

Ia mempertanyakan entah bagaimana ceritanya, selalu ada ustadz atau coach bisnis Islam yang malah mengiming-imingi jamaah agar menjadi orang kaya, sehingga malah melenceng dari karakter para sahabat dan ulama-ulama tadi.

“Maka persoalan utang ribawi apakah via pinjol atau lembaga keuangan macam perbankan tidak akan pernah tuntas selama warga Indonesia masih hidup di alam kapitalisme. Praktik ribawi masih jalan, sedangkan rakyatnya dibuai dengan mimpi-mimpi kenikmatan jadi orang kaya. Hancur sudah,” ujarnya.

Ia mempertanyakan kenapa di kampus yang mahasiswanya mayoritas muslim malah terjerat utang ribawi? Bisa jadi ini efek kebijakan kontra radikalisme di kampus-kampus, sehingga dakwah di lingkungan mahasiswa makin dibonsai, dibatasi ruang geraknya, sampai-sampai tak bisa menyampaikan seruan kalau utang ribawi itu haram. “Nah, makin jelas siapa yang bertanggung jawab,” tandasnya. [] Raras

Kamis, 17 November 2022

Mahasiswa Dicekik Utang Ribawi, Kapitalisme Akar Masalahnya

Tinta Media - Anak-anak muda saatnya berpikir waras dan syar’iy soal bisnis. Kalau tidak, siap-siaplah nyungsep dalam jerat utang. Seperti yang dialami ratusan mahasiswa IPB yang terjerat utang pinjaman online sampai didatangi para debt collector. Terbuai iming-iming keuntungan bisnis online, para pelaku ini nekat mengambil pinjaman online yang disodorkan pada mereka. Tapi cicilan utang plus bunga yang harus dibayarkan ternyata lebih besar ketimbang keuntungan bisnis, jatuhlah mereka dalam debt trap.

Saya sepakat dengan pernyataan pengamat keuangan, Piter Abdullah, dalam Republika online kalau kejadian ini perpaduan sifat tamak dan kurang literasi. Soal yang pertama, anak-anak muda belakangan dibombamdir bisnis menjual mimpi. Tagline muda, sukses, kaya raya bersliweran di media sosial, buku-buku dan ragam pelatihan bisnis. Iming-iming coaching bisnis lebih banyak menjual mimpi ketimbang memberikan literasi bisnis yang benar. Tidak jarang para coach itu tidak punya bisnis riil, kecuali ya dengan bisnis coaching bisnis.

Rakyat juga makin tergiur ingin buru-buru sukses dan kaya karena dihajar budaya flexing alias pamer kekayaan maksimal. Selebritis, pengusaha muda, pengacara, atau siapapun yang kaya . Kalau dulu orang Indonesia dibuai kekayaan lewat sinetron-sinetron domestik yang menyajikan rumah mewah, mobil mewah, dsb., sekarang warga disodori kemewahan lewat media sosial. Lewat medsos, anak-anak muda bisa mengintip jam tangan artis atau pengusaha muda anu, makan siang dimana, merk dan jenis mobilnya, bajunya, berenang dan liburan dimana.

Bagi warga biasa, juga anak-anak muda, konten-konten seperti itu selain hiburan juga menginspirasi atau tepatnya jadi mimpi. Sementara buat para selebritis, akun mereka juga sumber cuan. Makin banyak follower, like dan subscriber, makin banyak cuan yang masuk rekening mereka. Di antara konten yang disukai warga adalah flexing, pamer kekayaan.

Anak-anak muda ini miskin literasi bahwa bisnis itu ada ilmunya dan perlu pengalaman. Bahwa untuk membuat segelas kopi enak saja perlu belajar serius jadi barista. Untuk membuat mie instan ala abang-abang warmindo ada teknik yang kudu dipelajari. Belum lagi siap mental untuk jatuh bangun sebagai pengusaha.

Tapi, dasar manusia, apalagi anak-anak muda, lebih mudah terbujuk dengan bisnis yang mudah, tinggal rebahan, pemasukan datang. Kalimat ‘pasive income’ itu beneran membuat banyak orang tersihir untuk cari bisnis yang gampang, cukup rebahan, tapi ada pemasukan.

 

Kapitalisme & Utang Ribawi

Cukup? Belum. Karena persoalan yang paling dasar soal ratusan mahasiswa terjerat pinjol, adalah berjalannya sistem kapitalisme yang menghalalkan pinjaman ribawi. Dalam kapitalisme, utang atau pinjaman adalah bisnis. Bukan aktivitas sosial. Tak ada makan siang gratis. Lembaga keuangan memberi pinjaman benar-benar mencari keuntungan. Revolusi teknologi digital menjadikan bisnis pinjaman jadi lebih mudah, cepat, dan bisa diakses siapa saja. Termasuk anak-anak muda seperti para mahasiswa ini.

Mungkin dengan niatan ingin punya penghasilan, meringankan beban orang tua, atau juga termakan iming-iming sukses finansial di usia muda, ramai-ramailah ajukan pinjaman lewat aplikasi online. Ujung-ujungnya seperti tikus masuk jepitan perangkap.

Soal mahasiswa terjerat utang jauh lebih sadis di Amerika Serikat. Ribuan mahasiswa negeri kapitalis itu jatuh dalam apa yang disebut ‘student trap’, perangkap utang mahasiswa untuk biaya kuliah. Penyebab semua itu adalah mahalnya biaya perkuliahan di sana. Sejak tahun 1978, biaya kuliah di AS naik hingga 1.120 persen. Banyak keluarga dan anak muda AS yang tidak sanggup bayar uang kuliah dari kocek sendiri. Solusinya mereka mengajukan pinjaman pada sejumlah bank atau lembaga keuangan yang disebut program student loan. Rata-rata mahasiswa AS punya total pinjaman pada kisaran US$ 26,950 – US$ 31,450. Kalau dirupiahkan kisarannya Rp 421 juta hingga Rp 491 juta. Pusing, tidak?

Hasilnya? Total utang mahasiswa di AS tembus US$1,6 triliun, menempati urutan kedua daftar utang terbesar setelah perumahan. Banyak di antara mahasiswa tersebut yang gagal bayar dan harus drop out dari kampus dengan tetap masih menanggung utang. Pada tahun 2015-2016 diperkirakan ada 3,9 juta mahasiswa harus cabut dari kampus karena kehabisan uang.

Hal ini mendorong Presiden Joe Biden membuat kebijakan pemutihan alias penghapusan utang mahasiswa di AS. Tapi rencana ini ditentang sejumlah ekonom karena dicemaskan justru akan mendorong inflasi di AS.

 

Islam, Utang & Biaya Pendidikan

Persoalan utang piutang sebenarnya sudah tuntas dalam Islam. Sedari awal Islam sudah menetapkan bahwa utang atau pinjaman adalah amal salih sebagai nilai sosial. Memberi bantuan pinjaman pada sesama itu berpahala. Nabi Saw bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً

Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada seorang muslim suatu pinjaman sebanyak dua kali, maka ia seperti telah bersedekah sekali. (HR. Ibnu Majah).

Bahkan agama ini mendorong orang yang memberikan pinjaman untuk senantiasa memudahkan pembayaran, meski tentu saja juga mendorong orang yang berutang untuk segera membayar pinjamannya. Nabi Saw bersabda:

مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّيْنُ , فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ

Barangsiapa memberi tenggang waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan, dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum bisa dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya.” (HR. Ahmad).

Soal riba maka tak ada toleransi terhadapnya. Islam memerangi praktik riba dalam muamalah, termasuk dalam utang piutang, baik nilainya kecil maupun besar. Allah Swt. berfirman:

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (TQS. al-Baqarah [2]: 275).

Utang piutang adalah amal yang dihalalkan dalam agama. Seorang muslim dianjurkan saling tolong menolong, baik dengan bersedekah atau dengan memberi pinjaman. Yang terlarang adalah praktik utang ribawi, karena itu diharamkan dan mencekik leher orang yang membutuhkan.

Untuk keperluan bisnis, Islam juga sudah membuka jalan melalui hukum-hukum syirkah. Sistem usaha yang diajarkan Islam adalah riil, mengedepankan usaha dan kerja keras, dan bukan iming-iming atau jualan mimpi.

Apalagi soal biaya pendidikan, maka Islam mewajibkan negara untuk menanggung biaya pendidikan rakyatnya; mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, termasuk doktoral sekalipun. Mencari ilmu adalah perkara fardhu, maka menjadi kewajiban bagi kaum muslimin selain berkorban biaya, juga kewajiban Negara Islam untuk menanggung seluruh biaya tersebut. Negara tidak boleh membisniskan pendidikan pada rakyatnya, sebagaimana juga tidak boleh membisniskan kesehatan. Nabi Saw. bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari).

Yang tidak kalah penting, Islam juga mendidik umat ini, termasuk anak-anak muda, untuk menjadi pribadi-pribadi yang qonaah, merasa cukup, dan menjauhkan diri dari jiwa serakah dan panjang angan-angan (tulul amal). Siapapun yang membaca biografi Utsman bin Affan atau Abdurrahman bin Auf, atau ulama yang kaya seperti Abdullah bin Mubarak, maka yang diceritakan adalah tentang kesalihan dan kedermawanan mereka, bukan kiat sukses apalagi flexingnya.

Entah bagaimana ceritanya, selalu ada ustadz atau coach bisnis Islam yang malah mengiming-imingi jamaah agar menjadi orang kaya, sehingga malah melenceng dari karakter para sahabat dan ulama-ulama tadi.

Maka persoalan utang ribawi apakah via pinjol atau lembaga keuangan macam perbankan tidak akan pernah tuntas selama warga Indonesia masih hidup di alam kapitalisme. Praktik ribawi masih jalan, sedangkan rakyatnya dibuai dengan mimpi-mimpi kenikmatan jadi orang kaya. Hancur sudah.

Lalu kenapa di kampus yang mahasiswanya mayoritas muslim malah terjerat utang ribawi? Bisa jadi ini efek kebijakan kontra radikalisme di kampus-kampus, sehingga dakwah di lingkungan mahasiswa makin dibonsai, dibatasi ruang geraknya, sampai-sampai tak bisa menyampaikan seruan kalau utang ribawi itu haram. Nah, makin jelas siapa yang bertanggung jawab.

Ustaz Iwan Januar 
Direktur Siyasah Institute 

Referensi: https://www.iwanjanuar.com/mahasiswa-dicekik-utang-ribawi-kapitalisme-akar-masalahnya/

Sabtu, 24 September 2022

MAHASISWA GARUT BANGKIT, NYALAKAN API PERJUANGAN, MENGUSUNG KEBANGKITAN ISLAM

Tinta Media - Bangga bisa hadir d itengah mahasiswa pemberani, cerdas dan memiliki nurani. Nurani yang memantik api perjuangan, melawan kezaliman dan menyatakan perang terbuka pada setiap inchi tirani dan penindasan.

Di tengah kejumudan berfikir, matinya ruang gerak mahasiswa, di tengah masifnya pertanyaan publik: Mahasiswa dimana? Ternyata, di Garut penulis mendapatkan jawabannya.

Pada Ahad 11 September 2022, Forum Pemuda & Mahasiswa Garut mengundang penulis untuk hadir berdiskusi secara offline di Kota Dodol. Asyik dan hangat, membersamai mahasiswa dengan semangat dan gelora perjuangan, yang meskipun dari radius beberapa meter, induksi semangat itu terasa menyentak.

Ada Bung Dede Sopian (BKLDK Garut) yang menjadi MC acara. Dan diskusi dipandu secara apik oleh Moderator Adam Permana (Mahasiswa Universitas Garut).

Ngalor ngidul bicara tentang semangat, pergerakan, hingga lika liku perjuangan ideologi Islam melalui pergerakan mahasiswa. Di awal, penulis sempat ditanya-tanya soal curiculum vitae.

Untuk menghindari hal-hal yang akan mengesankan penulis sudah tua, penulis tidak cerita sudah memiliki istri dan 5 anak. Penulis hanya cerita dulu waktu mahasiswa aktif di IPNU, IMM, HMI, Permahi hingga Ismahi. Lupa cerita, pernah juga menjadi Gubernur BEM Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang. Biar gini-gini, juga pernah jadi Gubernur. hehe.

Penulis tekankan pentingnya gerakan mahasiswa harus berbasis ideologi. Hal ini, agar mahasiswa tidak menjadi patron, mengekor pada gerakan politik lainnya. Agar mahasiswa tidak hanya menjadi 'agen perubahan' (agent of change) tetapi menjadi 'pemimpin perubahan' (leader of change).

Ideologi tersebut jelas bukan Kapitalisme liberal atau sosialisme komunisme. Namun, ideologi itu harus ideologi Islam. Mahasiswa harus memimpin pergerakan berdasarkan ideologi Islam.

Memimpin pergerakan dengan ideologi Islam bukan berarti harus selalu tampil didepan. Memimpin dalam pengertian selalu mengontrol pergerakan agar selalu sejalan dengan ideologi Islam. Itulah, tugas utama mahasiswa sebagai pemimpin perubahan, bukan hanya menjadi agen perubahan yang diorder oleh aktor kekuasaan atau oligarki.

Ada banyak pertanyaan kritis yang disampaikan kawan-kawan mahasiswa. Diantaranya ada Bung Fikri, yang bertanya tentang harapan bergantinya presiden indonesia, korelasinya dengan kesejahteraan rakyat. Lalu Bung Luthfi Mukhtar (salah satu Orator Aksi Mahasiswa yang masuk ke gedung DPRD Garut), yang bertanya soal hukum produk kekuasaan (politik), dan akhirnya hukum hanya menjadi alat represi. Lalu ada Asep Ridwansyah yang bertanya tentang pengaruh demo dengan kebijakan pemerintah (khususnya soal BBM), ada Enjang Undang yang bertanya tentang forum diskusi mahasiswa yang banyaknya tidak memberikan solusi utama menyelesaikan masalah, dan seterusnya.

Ada satu kesimpulan penting yang penulis sampaikan kepada kawan-kawan mahasiswa. Bahwa pada titik tertentu, ideologi perjuangan bukan hanya bicara soal kebenaran. Melainkan, kebenaran itu akhirnya dikonfirmasi dengan nyali. Tak ada perubahan, tanpa sikap dan karakter pemberani dan punya nyali untuk melawan segala bentuk penindasan. [].

Oleh: Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

https://heylink.me/AK_Channel/


Rabu, 31 Agustus 2022

Indonesia dalam Ancaman "Lost Generation"

Tinta Media - Seorang pemuda bersikap nyeleneh ketika mengikuti acara Pengenalan Kehidupan Kampus bagi mahasiswa baru di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makasar. Ketika ditanya jenis kelaminnya, ia mengaku bahwa dirinya bergender "non-biner". Sontak jawaban mahasiswa ini langsung menuai perhatian dan tersebar di dunia maya. Padahal, jelas saat itu dirinya menggenakan pakaian laki-laki saat di kampus.

Non-biner adalah kategori dari seluruh identitas gender yang tidak secara ekslusif atau khusus maskulin atau feminim. Orang yang mengaku non-biner atau genderqueer dapat menunjukkan identitas maskulinitas, feminitas, atau keduanya, bahkan sama sekali tidak nampak identitas tersebut. Mirisnya, orang-orang yang mengaku non-biner tersebut kini semakin berani dan tidak malu mengakui identitas mereka di depan umum.

Sekulerisme Menumbuhkan Kemaksiatan

Dunia saat ini telah dikuasai oleh sekulerisme, tidak terkecuali di Indonesia. Demokrasi dengan asasnya, yaitu dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, benar-benar telah membuat kerusakan nyata di dunia. Tatanan dunia yang salah tersebut melahirkan liberalisasi (kebebasan) yang selalu dipropagandakan oleh sang tuan, yaitu Barat (Amerika). Kebebasan tersebut, di antaranya adalah kebebasan bertingkah laku.

Memang, dalam diri manusia terdapat naluri atau gharizah. Naluri itu adalah sesuatu yang fitrah. Ia menuntut untuk dipenuhi. Meskipun tidak sampai menimbulkan kematian bila belum terpenuhi, tetapi menimbulkan kegelisahan. 

Ketika manusia sudah mengesampingkan Pencipta dalam kehidupannya, maka ia akan bertindak 'semau gue' saat akan memenuhi tuntutan naluri tersebut. Padahal sebagai manusia, kita diminta melihat dulu, apakah pemenuhan naluri tersebut sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya atau tidak.

Akan tetapi, dalam sekulerisme, aspek syariat ini diterjang. Mereka berpendapat bahwa, 'Yang hidup di dunia adalah saya, maka bagaimana pemenuhannya adalah hak saya.'

Maka dari itu, sekarang kaum non-biner ini semakin eksis. Padahal, apa yang mereka lakukan jelas menyalahi hukum Allah Swt. Perilaku yang mereka lakukan hanya berdasarkan hawa nafsu, tanpa mengikutsertakan agama. 

Akan tetapi, atas nama HAM mereka memaknai bahwa sesuatu yang menyimpang tadi adalah bagian dari keberagaman orientasi seksual dan identitas gender. Mereka berdalih bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup yang sama serta mendapatkan perlakuan yang setara. Maka, mereka akan selalu mencoba untuk melegalkan penyimpangan tingkah lakunya. Sebab, bila sudah mempunyai payung hukum yang menaungi perilaku tersebut, tidak menutup kemungkinan mereka semakin massif.

Kembalikan Peran Keluarga

Pemuda yang merupakan sosok pengubah dan penjaga sebuah peradaban harus benar-benar kita siapkan dari sekarang. Lingkungan pertama yang bisa membentuk sosok tersebut adalah keluarga. Keluarga merupakan tonggak awal pemuda berinteraksi. Tokoh keluarga yang sering ia jumpai adalah ibu.

Maka, harusnya kita mengembalikan peran ibu sebagai sekolah pertama bagi anak dan pengatur rumah. Beliaulah  yang membentuk si anak ini menjadi sosok pemuda kuat dan tangguh. Ibulah yang pertama kali memperkenalkan peran laki-laki bila anak dilahirkan menjadi seorang pria. 

Ibu yang mengenalkan baju dan kegiatan sebagaimana mestinya. Ditambah sosok ayah, diharapkan bisa menjadi contoh seorang pria tulen. 

Jika anak tersebut perempuan, maka harus diajarkan bagaimana bersikap sebagai seorang perempuan, misalnya harus pria sebagaimana memakai pakaian muslimah, mengerjakan tugas-tugas wanita yang menunjukkan sifat femininnya. Figur ini bisa didapatkan dari sosok sang ibu sendiri.

Ibu bisa melakukan tugas tersebut dengan baik bila ia menyadari kewajibannya secara total. Ia melaksanakan kewajiban tersebut tanpa ikut memikirkan kondisi ekonomi keluarga, meskipun tidak menutup kemungkinan ada seorang ibu yang bisa melaksanakan dua hal. Mengurus anak dan rumah tangga serta bekerja di luar rumah. Disinilah fungsi keluarga benar-benar dibutuhkan. Kerjasama antara ibu dan ayah yang bisa mengantar anak tersebut menjadi laki-laki atau perempuan sesuai kodratnya.

Masyarakat yang Peduli

Hal yang membantu mengantarkan perilaku  menyimpang ini semakin meluas salah satunya adalah masyarakat. Apabila pemahaman yang dimiliki oleh anggota masyarakat keliru, maka akan mengancam peradaban.  Ia akan menjadi masalah sosial  yang destruktif kala berkembang di tengah masyarakat, bahkan bisa menghilangkan sebuah generasi.

Ketika suatu masyarakat bisa menerima keberadaannya, mereka akan membangun opini bahwa tindakan menyimpang tersebut adalah kodrat dari Allah yang harus diterima. Yang penting menurut pandangan mereka, bahwa kaumnya tidak menganggu orang lain. Kaum yang terjangkit penyakit ini bisa bekerja dengan orang lain, dan masih produktif.

Bila masyarakat mempunyai prespektif seperti itu, maka keberadaan kaum menyimpang ini akan semakin subur. Ia akan berkembang dengan leluasa, menambah jumlah populasinya. Maka dari itu, diperlukan sebuah masyarakat yang kritis atas kondisi ini. Sikap berani melawan pendapat bahwa kita sama-sama makhluk Tuhan, harusnya semakin ditingkatkan. Berani menolak narasi-narasi yang saat ini massif digaungkan terimalah perbedaan.

Ketegasan Negara

Negara mempunyai andil besar untuk menghilangkan pemahaman yang salah, termasuk keberadaan kaum menyimpang ini. Aksi nyata dari pemerintah sangat dibutuhkan agar generasi Indonesia terus eksis. Pemerintah harus memandangnya sebagai sebuah masalah serius yang memerlukan penyelesaian, yang berhubungan dengan keberadaan sebuah bangsa. Dalam menyelesaikan permasalahan ini, negara wajib mengambil dari sudut pandang agama.

Sebab dengan mengambil dalam pandangan agama, pastilah itu benar. Agama manapun secara tegas melarang perilaku menyimpang. Semua keyakinan menginginkan adanya umat yang memegang teguh ajarannya. Bagaimana ajaran agama bisa terpatri dalam benak semua warga negaranya? mungkin dengan menjadikan agama sebagai landasan saat memenuhi kebutuhan dunia dan naluri.

Pendidikan. Melalui sistem pendidikan yang dilandasi akidah agama dalam setiap level, akan mencetak pribadi tangguh, keyakinan terpatri dan menguasai ilmu dunia serta penerapannya. Di saat sistem itu dapat menanamkan pengaruh agama, setiap pemuda akan berfikir akan dampak dari sebuah perbuatan. 

Negara diharapkan berani menindak tegas setiap warga yang berperilaku menyimpang, baik sebagai warga biasa, warga yang berprofesi sebagai pegawai pemerintah, ataupun lainnya. Sebab, hukum berlaku sama di hadapan warga, baik rakyat, pejabat, bahkan kepala negara sekalipun.

Oleh: Nurhayati 
Komunitas Menulis Setajam Pena
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab