Tinta Media: Mahar Politik
Tampilkan postingan dengan label Mahar Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mahar Politik. Tampilkan semua postingan

Rabu, 17 Mei 2023

Diminta 500 Juta untuk Dapat Nomor Urut Satu, Pamong Institute: Mundurnya Didin Keputusan Tepat

Tinta Media - Direktur Pamong Institute Wahyudi al Maroky menilai keputusan Wakil Ketua Partai Demokrat Jawa Barat Didin untuk mundur karena diminta mahar 500 juta untuk mendapatkan nomor urut 1 pada Bacaleg 2024 adalah tepat.
“Keputusan yang dilakukan oleh Didin, saya anggap itu keputusan yang tepat,” tuturnya kepada Tinta Media, Selasa(16/5/2023).

Menurutnya, keputusan Didin ini menjadi tamparan keras bagi para partai-partai sekuler maupun para politisi sekuler bahwa praktek seperti itu sebenarnya tidak layak dilanjutkan. "Dan ini merusak tatanan keadaban dan peradaban kita sebagai negeri yang mayoritas muslim, harusnya tidak melakukan seperti itu,” tegasnya.

Kejadian mundurnya Didin, dianggapnya sekaligus membuka tabir gunung es yang sebenarnya publik sudah tahu bahwa ini menjadi rahasia umum, kalau biaya politik sangat mahal bahkan sifatnya transaksional, tidak ada yang sifatnya ideologis ataupun rasional. 

“Semua transaksional, minus rasional, dan itu sudah menjadi rahasia umum,” ungkapnya.

Tak Ada Harapan 

Menurut Wahyudi, tidak ada yang bisa diharapkan dari sistem demokrasi kecuali masyarakat mendapatkan para politisi atau wakil-wakil mereka atau pemimpin-pemimpin mereka adalah politisi-politisi yang sudah terbiasa melakukan praktek transaksional seperti itu.

“Kalau yang tidak mau melakukan praktik transaksional seperti itu mundur, berarti yang berlanjut itu kebanyakan melakukan praktek transaksional. Jadi walaupun kita tidak menuduh semua, tetapi setidaknya itu gambaran bahwa berarti transaksional itu masih berlaku,” jelasnya. 
 
Kalau hal itu terjadi maka ini ia kasihan pada masyarakat. “Publik selalu hanya disuruh memilih, dijadikan legalisasi untuk mendapatkan dukungan politik daripada prakteknya dengan sistem politik yang begitu mahal,” tuturnya.

Ia perkirakan para politisi yang bisa berkiprah dan mungkin bahkan terpilih dan menjabat hanya orang-orang yang punya uang cukup atau yang orang-orang yang dibiayai oleh investor politik lain. 

“Nah kalau dua kelompok ini yang terjadi, maka ketika mereka duduk sudah bisa dipastikan dia harus mengembalikan modalnya yang pertama, kemudian atau dia berhutang kepada para investor politik lain, dia juga harus mengembalikan biaya politik itu sekaligus plus bonus-bonusnya, kira-kira begitu,” paparnya memperkirakan.

Jadi kalau itu dilakukan maka dinilainya kebijakan-kebijakan yang dihasilkan para politisi seperti ini akan berpihak kepada pro investor politik atau pro oligarki. 

“Sementara mereka tidak pro kepada rakyat Nah kalau biaya sistem demokrasi yang begitu mahal seperti ini terus dilanjutkan maka sebenarnya yang terjadi adalah para calon pemimpin kita yang disodorkan kepada masyarakat untuk dipilih itu adalah hasil pilihan tentara oligarki dan rakyat tidak bisa memilih sendiri mana yang mereka harus tentukan,” jelasnya.

Kalaupun ada yang idealis, ia perkirakan sudah pada mundur semua. “Saya pikir catatan kita harus diubah, sistem biaya politik demokrasi yang begitu mahal harus diubah menjadi lebih mudah dan dengan sistem yang lebih baik,” tuturnya.

*Sistem Alternatif Lain*
Saat ini sebagian orang, bahkan kebanyakan beranggapan bahwa sistem politik demokrasi itulah sistem yang terbaik. Karena menurutnya masyarakat sudah terhipnotis dengan istilah obat panas bahwa semua bisa selesai dengan demokrasi. “Padahal dalam pencatatan kita, berbagai negara yang baik, yang maju itu juga sebenarnya bukan melaksanakan demokrasi tetapi mereka kebanyakan bentuknya kerajaan yang sistemnya otokrasi maupun otokrasi konstitusional,” ungkapnya.

Ia menjelaskan kalau diajukan, sebenarnya banyak alternatif, misalnya dengan sistem Islam, ada politik Islam yang bisa diajukan.

“Tetapi persoalan berikut para politisi ini kan masih phobia terhadap Islam, jadi kalau kita bilang harus pakai sistem politik Islam, mereka langsung mengatakan ‘wah itu usulan yang radikal’ dan tentu kita harus menjelaskan bahwa itu adalah pilihan-pilihan terbaik,” jelasnya.
 
Menurutnya, kalau orang demokrat harusnya mengaku sebagai pembela demokrasi, harusnya melihat perbedaan-perbedaan itu hal yang biasa. “Nah kalau yang biasa, harusnya bisa menerima usulan kita misalnya kita ajukan kita harus mengganti dengan sistem politik Islam yang berbiaya murah dan efisien dan juga tidak melakukan transasional politik, saya pikir kalau itu bisa diusulkan lebih baik,” paparnya.

“Sayangnya, selama ini justru narasi-narasi yang dibangun oleh para penguasa yang tetap ingin mempertahankan sistim  demokrasi yang mahal ini, karena sedang menikmati sistem ini dan mereka bisa berkuasa, berlanjut, berulang-ulang dengan argumentasi bahwa orang yang ingin menjadi pesaing mereka tentu orang yang harus punya uang yang sama ataupun kalangan yang sama. Tentu di antara mereka sendiri sudah saling memahami itu,” paparnya lebih lanjut.

 Ia berharap sebagai kaum muslimin harusnya mulai dari sekarang memulai untuk menawarkan sistem politik Islam, juga sistem ekonomi Islam, sistem pemerintahan Islam (khilafah) dan juga sistem-sistem yang lain.

Ustadz Wahyudi berpikir, jika sistem khilafah ditawarkan, lambat laun orang mulai mencari alternatif selain sistem politik demokrasi.

“Sebagai muslim tentu mestinya mencontoh Baginda Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat untuk menerapkan sistem politik Islam,” pungkasnya.[] Raras

Selasa, 16 Mei 2023

Didin Mundur dari Bacaleg Demokrat, IJM: Menguak Kembali Bau Busuk Pemilu

Tinta Media - Mundurnya Didin dari bacaleg (bakal calon legislatif) Partai Demokrat karena diminta mahar 500 juta dinilai Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana mengonfirmasikan kembali rahasia umum di tengah masyarakat bahwa setiap pencalonan membutuhkan biaya yang tidaklah sedikit.

"Apa yang diungkap oleh Didin ini kan mengkonfirmasi rahasia umum yang selama ini. Bau busuknya tercium keras di tengah publik Indonesia, bahwa memang demikianlah yang terjadi, bahwa untuk menjadi bacaleg itu ada mahar dan nanti biayanya nggak berhenti di situ. Setelah menjadi caleg, untuk berkampanye biaya tinggi juga. Belum lagi serangan fajar. Ini sudah menjadi rahasia umum," ujarnya kepada Tinta Media, Jumat (12/5/2023)

Mahalnya ongkos pemilu ini lah yang menurut Agung kemudian menyebabkan kondisi munculnya politisi-politisi busuk di negeri ini.

Ia juga menduga kuat bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi pada Partai Demokrat, namun hampir terjadi pada semua partai yang ada di negeri ini. "Dan ini lah gambaran buruk 'pilegsen' negeri ini. Gambaran buruk bagaimana sistem kepemimpinan negeri ini akan di bangun," bebernya.

Agung menguraikan, demokrasi memberikan kebebasan memiliki, dan kebebasan memiliki ini telah menghasilkan para pemilik modal, yaitu para kapitalis. Para kapitalis inilah yang kemudian ingin memastikan agar proses-proses eksploitasi terhadap sumber daya alam dan sumber daya negeri ini itu terus berlangsung. "Demi kemudian memperbesar dan mempertahankan kekayaan mereka," tegasnya.

Untuk kepentingan itu, sambungnya, pastinya mereka membutuhkan keputusan, kebijakan-kebijakan. "Kebijakan itu lahir dari para birokrat, dari para caleg yang ada di kursi DPR, terus kemudian yang ada di kekuasaan eksekutif," terangnya. 

Sehingga menurut Agung, oleh karena itu terjadilah gelindan antara demokrasi dan para kapitalis. Demokrasi membutuhkan biaya tinggi dari para pemilik modal, yaitu para kapitalis. Para kapitalis membutuhkan kebijakan yang menaungi mereka untuk tetap bisa mengeksploitasi sumber daya. Dari mana asalnya? dari demokrasi. 

"Sehingga memang demokrasi itu akhirnya akan menghasilkan satu sistem yang disebut dengan kleptokrasi, sistem perampokan," pungkasnya.[] Wafi
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab