Tinta Media: Mahal
Tampilkan postingan dengan label Mahal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Mahal. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 13 Agustus 2022

Biaya Kuliah Mahal, Apa Kabar Mahasiswa?

Tinta Media - Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan yang penting bagi setiap orang untuk mempersiapkan masa depannya. Lebih luas lagi, majunya peradaban suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh pendidikan yang ada pada bangsa tersebut. Karena itu, pendidikan adalah investasi masa depan.

Lalu bagaimana jika biaya pendidikan mahal? Mampukah membawa bangsa ini maju? 
Sebelum pandemi, pemerintah mendorong agar PTN berbadan hukum. PTN BH adalah perguruan tinggi yang didirikan pemerintah dan diberi hak otonom. Dengan hak otonom tersebut, PTN BH memiliki kewenangan secara bebas dalam mengelola rumah tangganya, termasuk masalah pendanaan. 

Status PTN BH memiliki dampak berkurangnya jumlah dana subsidi dari pemerintah. Konsekuensinya, kampus harus menaikkan biaya kuliah untuk menutupi kekurangan dana operasional yang tidak didukung sepenuhnya oleh pemerintah. Kebijakan biaya kuliah yang tinggi menjadikan PTN BH kurang bersahabat untuk mahasiswa dari keluarga ekonomi bawah. (duniadosen.com, 30/01/20) 

Sejalan dengan ungkapan Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf Macan Effendi bahwa beliau mengakui jika memang biaya kuliah di tanah air saat ini masih terbilang mahal. Banyak orang tua tak melanjutkan studi kuliah sang anak lantaran benturan biaya. Sekalipun ada program beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP), tetapi untuk masuk kuliah masih ada biaya lain, seperti uang bangku, uang duduk, uang bangunan, dan lain-lain yang besarannya bisa mencapai belasan juta, terutama prodi-prodi favorit seperti, teknik dan kedokteran. (KedaiPena.Com, 30/7/2022)

Fakta tersebut semakin menegaskan bahwa orang tua yang memiliki gaji rendah tidak akan bisa menyekolahkan anaknya hingga Perguruan tinggi. Hal ini menambah deret anak putus sekolah dan juga menurunnya kualitas generasi bangsa ini. 

Lalu bagaimana nasib mahasiswa? Mahasiswa dalam perannya sebagai kaum intelektual dan agent of change memiliki tugas penting sebagai penyambung lidah masyarakat kepada negara. Namun, dengan masalah mahalnya biaya kuliah, secara tidak langsung menjadi salah satu penyebab terbungkamnya suara mahasiswa, bahkan disorientasi. Pendidikan tinggi saat ini tak lagi mencetak mahasiswa yang kritis dan militan, tetapi mahasiswa yang sibuk memikirkan diri mereka sendiri. 

Hal itu tentu bukan tanpa sebab. Sistem pendidikan sekuler yang hanya berorientasi pada materi, dengan komersialisasi pendidikan semakin menambah beban hidup orang tua. Pada akhirnya, anak dituntut untuk balik modal. Alhasil, output pendidikan yang dihasilkan hanyalah mencetak para pekerja, bukan seorang ilmuan.

Sistem pendidikan sekuler telah membajak potensi mahasiswa sebagai agent of change menjadi pemuda individualis yang hanya fokus pada teraihnya materi sebanyak mungkin bagi dirinya dan abai dengan masalah di sekitarnya.

Dalam Islam, pendidikan diberikan perhatian penuh oleh negara karena negara berkewajiban memberikan hak primer bagi seluruh warga negara secara cuma-cuma. Dana yang digunakan negara dalam membiayai pendidikan adalah dari kas baitul mal. Salah satu sumber pemasukannya adalah dari pengelolaan sumber daya alam milik umum yang dikelola oleh negara. Hasilnya dikembalikan kepada masyarakat. Salah satunya adalah untuk biaya pendidikan. 

Dengan upaya ini, negara dapat menyelenggarakan pendidikan dan memastikan bahwa kebutuhan rakyat terhadap pendidikan dapat terpenuhi tanpa ada pengalihan tanggung jawab ke pihak lain, apalagi korporasi.

Selain itu, tujuan dan visi pendidikan dalam Islam adalah mencetak generasi yang berkepribadian Islam (memiliki pola pikir dan pola sikap yang islami) dan mewujudkan para ilmuan yang mengamalkan ilmunya untuk kemaslahatan masyarakat.  

Begitulah seharusnya, sebuah negara bertanggung jawab penuh terhadap hak rakyat dalam pendidikan. Rakyat dengan mudah mengakses fasilitas pendidikan yang berkualitas, baik input maupun outputnya sehingga hasilnya mampu dikontribusikan untuk kemaslahatan masyarakat dan kemajuan bangsa dan negara. Wallahualam

Oleh: Heti Suhesti
Sahabat Tinta Media

Jumat, 01 April 2022

Direktur Pamong Institute Ungkap Alasan Demokrasi Mahal dan Butuh Biaya Tinggi

https://drive.google.com/uc?export=view&id=14a1s35G6NZojW7-jfwVLAI78AKZ4G7zk

Tinta Media - Menanggapi atas fakta Demokrasi hari ini, Direktur Pamong Institut, Wahyudi al Maroky M.Si mengungkap alasan demokrasi mahal dan butuh biaya tinggi.

"Melihat fakta demokrasi kenapa jadi mahal, lambat pelayanannya, ini memang tabiat dari sistem politik demokrasi mulai dari  proses pembentukan. Dan semua itu butuh biaya tinggi dan mahal," tuturnya dalam acara Kajian Politik Islam: Sistem Politik Islam, Sederhana, Cepat dan Hemat Anggaran, Sabtu (26/03/2022) di kanal Youtube Khilafah Channel.

Dia menyebutkan bahwa proses politik yang penuh liku dan panjang waktunya, lama masa kampanye dan seterusnya memakan biaya super mahal.

"Tidak heran ketika disusun kabinet atau disusun pengisian jabatan-jabatan, maka banyak sekali terjadi kompromi politik, akhirnya jabatan itu diisi dalam bentuk kompromistis bukan karena keahlian atau orang yang amanah, cakap atau kapabilitas," ungkapnya.

Jika tubuh pemerintah yang lebih ke kompromistis, kata Wahyudi, yang terjadi struktur pemerintahan menjadi gemuk, pasti lebih lambat dan memakan biaya banyak. “Mereka hadir atas kepentingan-kepentingan politik, yakni mereka menjawab atau merespon janji-janji politik ketika berkampanye,” ujarnya.

"Karena jumlah menteri yang lebih banyak, kalau mau mengambil kebijakan pasti dengan koordinasi. Biaya koordinasi juga pasti banyak biaya dan boros, jadi dengan banyaknya jumlah struktur kabinet, menteri dan jabatan, pasti juga menteri butuh staff, ini tentunya akan menambah biaya, butuh kantor, butuh biaya perjalanan dinas, telephon dan sebagainya, jadi mahal sekali," bebernya.

"Ada tambahan penyakit lain yang sama persis dengan tubuh manusia, jika sudah gemuk, lamban, butuh biaya tinggi maka akan gontok-gontokan, cakar-cakaran sesama menteri, sesama pejabat, karena rebutan proyek dan sebagainya," tambahnya.

Dia mengatakan bahwa itu resiko kalau di dalam tubuh pemerintah itu gemuk. "Mungkin di dalam konstruksi di dalam pemerintah yang dipimpin pak Jokowi ini, saya pikir bukan sekedar gemuk, tapi sudah obesitas," pungkasnya. [] Emalia

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab